Genggaman tangan Marilyn mengerat, nyaris terangkat untuk melayangkan pukulan pada Ian akibat lelucon menyebalkannya. Namun, amarahnya luruh begitu saja, berganti dengan helaan napas panjang yang sarat frustrasi.
"Oke, oke... Aku tidak dalam posisi untuk memilih," ucapnya mengalah. Tawa Ian membahana, matanya berkilat geli menyaksikan kekesalan Marilyn. "Setidaknya, kau akan mengingatku." Dengan lembut, jemarinya mengusap puncak kepala Marilyn sebelum kembali ke posisinya dan melanjutkan santapan. "Besok kau harus berangkat pagi-pagi untuk mengejar bus pukul tujuh," Ian menjelaskan dengan nada serius. "Kau harus tiba di Kota A sebelum penerbanganmu meninggalkan negeri ini." Tak ada kepastian kapan Marilyn bisa kembali. Terlebih lagi, ia bahkan tak akan bisa mengunjungi makam kedua orangtuanya selama masa pelariannya ini. Setetes air mata jatuh tanpa suara ke atas piringnya. Pandangan Ian langsung menangkap isyarat kesedihan itu. Tanpa ragu, ia meletakkan sendok dan garpu, beranjak mengitari meja untuk duduk di sisi Marilyn. Dengan gerakan penuh kehangatan, Ian menarik tubuh rapuh Marilyn ke dalam dekapannya. Tangannya mengusap punggung wanita itu dengan lembut, membiarkan keheningan melingkupi mereka. Tak ada kata yang mampu meredam duka yang kini Marilyn rasakan. Biarkan ia mengurai tangis saat ini, karena hanya dengan begitu ia bisa melepaskan sebagian beban kesedihan, kemarahan, kebencian, dan segala rasa ketidakadilan yang berkecamuk dalam dirinya. Namun, setelah air mata ini mengering, Marilyn bertekad akan membangun kembali kehidupannya. Ia tak akan membiarkan semua ini menghancurkan dirinya. Tekadnya sudah bulat. Dan untuk mewujudkan semua itu, langkah pertama yang harus ia ambil adalah menyelamatkan dirinya sendiri terlebih dahulu. *** Fajar masih malu-malu mengintip dari balik horizon ketika Marilyn melangkah keluar dari rumah Ian. Udara pagi merayap dingin menembus kulitnya, memaksanya mengeratkan jaket kebesaran milik Ian yang membungkus tubuh ringkihnya. Ranselnya terasa berat, bukan karena beberapa potong pakaian atau barang-barang yang dijejalkan di dalamnya, tetapi karena beban tak kasat mata yang harus ditanggungnya. Dokumen-dokumen berharga itu—bukti kehidupannya yang lama—tersimpan rapi di saku terdalam, seolah takut terlepas dan tertinggal. "Ini," Ian menyelipkan amplop tebal ke tangan Marilyn, matanya mengisyaratkan bahwa penolakan tak akan diterima. "Untuk jaga-jaga." Marilyn membuka amplop itu, terkesiap melihat jumlah uang yang terlalu banyak. Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan separuhnya dan mendorong kembali ke telapak tangan Ian yang kasar. "Ciara membutuhkan ini lebih dari aku," bisiknya dengan suara serak, menyebut nama yang selalu menjadi kelemahan Ian. "Untuk pengobatannya." Ian membeku mendengar nama saudarinya. Keteguhan hatinya runtuh perlahan, dan jari-jarinya yang kaku akhirnya menerima uang itu kembali. Di balik tatapannya yang keras, terbersit rasa syukur yang mendalam. Saudara perempuannya terbaring lemah di rumah sakit, menelan biaya perawatan yang menguras habis tabungannya. Namun bahkan dalam kesulitannya, Ian tak pernah sekalipun berpikir untuk menolak membantu Marilyn. Gadis itu adalah cahaya dalam kegelapan terkelamnya dulu—satu-satunya yang mengulurkan tangan saat ia terjerembab ke jurang keputusasaan. Saat semua orang membuang muka, Marilyn-lah yang tetap menatap matanya, melihat nilai di balik kerapuhannya. Sejak saat itu, Ian bersumpah dalam hati: Marilyn bukan sekadar teman, dia adalah keluarga. Darah mungkin tak mengikat mereka, tetapi kesetiaan dan kepercayaan telah menempa ikatan yang lebih kuat dari apapun. "Sepertinya ini saatnya mengucapkan selamat tinggal," ucap Marilyn tiba-tiba, berbalik untuk menyembunyikan matanya yang telah diselimuti kabut merah jambu—pertanda air mata yang ditahan sekuat tenaga. "Kau yakin tidak mau kuantar sampai terminal?" Ian merentangkan lengan kekarnya, merengkuh tubuh mungil Marilyn dalam pelukan yang terasa seperti benteng terakhir. Marilyn menggeleng dalam pelukannya. "Tidak perlu," bisiknya, suaranya teredam di dada bidang Ian. "Kaulah orang pertama yang akan kuhubungi setelah badai ini berlalu." Jalanan masih lengang, seolah dunia memberikan ruang privasi bagi dua sahabat untuk menulis epilog sementara dari persahabatan mereka. Taksi sudah menunggu, mesinnya mendengkur halus memecah keheningan pagi. "Jangan lupa telepon aku," Ian mencengkeram bahu Marilyn sejenak sebelum perlahan melepaskannya, membukakan pintu penumpang dengan gerakan yang terasa berat. Marilyn duduk di kursi belakang, jemarinya dengan sia-sia berusaha menghapus aliran air mata yang tak kunjung berhenti. Dari balik jendela yang diturunkan, tangannya melambai lemah. "Sampaikan salamku untuk Ciara," katanya dengan senyum yang dipaksakan, kontras dengan air mata yang mengkhianati ketegarannya. Ian mengangguk singkat, tangannya terulur mengacak rambut Marilyn dalam gestur kasih sayang yang familiar. "Jaga dirimu baik-baik." Taksi pun melaju perlahan, membawa Marilyn menjauh dari kota yang telah menjadi saksi bisu lembar-lembar kehidupannya—tempat ia tertawa, menangis, jatuh cinta, dan kini, terpaksa meninggalkannya. *** Tepat waktu, Marilyn tiba di terminal bus. Perjalanan empat jam dari kota R menuju kota A terasa seperti keabadian. Sepanjang jalan berliku itu, matanya menolak untuk terpejam meski lelah menggerogoti. Pikirannya bergejolak, membayangkan masa depan yang kabur ke luar negeri—tanah asing tanpa satu pun wajah familiar untuk disambangi. Tapi bukankah itulah tujuan pelariannya? Untuk menghilang. Untuk tidak ditemukan. Mengenal seseorang di sana hanya akan membuat segalanya rumit. Karena pada akhirnya, Marilyn tidak akan pernah bisa bertemu mereka—tidak selama bayangan Rama Dimatrio masih mengejarnya. Sungguh ironis, ia tak pernah merasa begitu kesepian seperti hari ini, dikelilingi oleh puluhan penumpang bus yang sibuk dengan dunia mereka sendiri. Empat jam yang menyiksa akhirnya berakhir ketika bus berhenti di terminal kota A. Dari sini, hanya diperlukan sepuluh menit perjalanan taksi untuk mencapai bandara, tempat pesawat pertamanya ke negara bagian selatan menunggu. Berapa tahun yang akan berlalu sebelum kakinya bisa menginjak tanah kelahirannya lagi? Bahkan Marilyn sendiri tak tahu. Ia sengaja menghindari televisi dan berita dua hari terakhir. Nama Rama Dimatrio pasti telah menjadi headline utama—dan Marilyn belum siap menghadapi kenyataan itu. Ketakutan sudah cukup mencekiknya tanpa perlu diperparah oleh detail-detail mengerikan dari media. Namun, ketika Marilyn hendak menyeberang jalan untuk memanggil taksi, sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari headline berita manapun muncul di hadapannya. Di kejauhan, sosok yang sangat dikenalinya berdiri tegak, memindai kerumunan dengan tatapan elang yang tajam. Alex—pengawal setia Rama Dimatrio. Jantung Marilyn seolah berhenti berdetak."Bagaimana mereka bisa menemukanku di sini?" Napas Marilyn tercekat. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat tatapannya bertemu dengan mata Alex—kilatan pengenalan langsung menyala di wajah pria itu.Dua kota memisahkan mereka. Seharusnya, dengan kematian Rama Dimatrio, pencarian terhadap dirinya terhenti. Bukankah begitu?Tapi logika dingin menyeruak dalam benaknya. Tentu saja. Tentu saja dia menjadi target pertama yang dicari para Pengawal setelah kematian tidak wajar bos mereka. Marilyn—tersangka utama dalam drama berdarah ini.Pupil matanya melebar. Adrenalin membanjiri pembuluh darahnya saat ia mundur perlahan, kemudian berputar dan mencoba menerobos kerumunan di belakangnya. Dari ekor matanya, ia melihat Alex dan dua anjing pemburu setianya mulai bergerak—berlari dengan tatapan yang tak perlu diterjemahkan lagi: jika tertangkap, Marilyn tak akan pernah melihat dunia luar lagi.Visualisasi tentang sel penjara yang pengap, empat dinding beton yang akan menjadi saksi bisu sisa hi
Marilyn sungguh tak mengenal pria yang baru saja ia akui sebagai tunangannya. Namun, berkat ketelitian salah seorang petugas medis yang menemukan identitas dalam saku jaket korban, setidaknya kini ia mengetahui nama pria itu.Di bangku tunggu, tak jauh dari ruang operasi, Marilyn duduk dengan tatapan kosong, jemarinya menggenggam erat jaket bernoda darah milik Elon Tudor—pria yang kini tengah berjuang antara hidup dan mati di meja operasi.Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Kenyataan pahit harus ia telan bulat-bulat; ia takkan pernah tiba di bandara tepat waktu, apalagi menaiki pesawat sesuai jadwal. Yang lebih mengkhawatirkan, Marilyn tak yakin apakah ketiga pria yang memburu jejaknya akan berhenti mencari.‘Mereka pasti dengan mudah memperoleh informasi tentang rumah sakit ini,’ batinnya resah. ‘Aku harus segera pergi dari sini.’Setelah memastikan tak ada lagi perawat yang akan mendekati dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tak ia ketahui tentang pria bernam
‘Keluarga Tudor adalah salah satu elit teratas di kota A!’Kenyataan itu menghantam Marilyn bagai sambaran petir. Bagaimana mungkin ia bisa begitu ceroboh sampai melupakan fakta sepenting ini?Seketika, adrenalin berpacu dalam nadinya, begitu cepat hingga membuat kepalanya berputar. Jantungnya berdegup kencang, nyaris terdengar di telinganya sendiri."Apa kau baik-baik saja?" Suara Lis Tudor terdengar lembut, namun sepasang matanya yang tajam mengamati setiap gerak-gerik Marilyn dengan penuh perhitungan. "Kau tampak pucat.""Aku baik-baik saja..." gumam Marilyn, menggelengkan kepalanya perlahan. Tatapannya jatuh pada jari-jarinya yang bertautan erat di pangkuan, seolah mencari kekuatan di sana. Pikirannya kosong, tak tahu harus berkata apa."Mengenai hubunganmu dan Elon..." Lis memulai, namun kata-katanya langsung terpotong.Desahan pelan Lis Tudor memecah keheningan. Mendengarnya, bulu kuduk Marilyn meremang. Berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya. Wanita elegan di ha
Marilyn menatap pengawal bertubuh kekar yang menjaga pintu keluar dengan perasaan campur aduk. Apakah ia harus bersyukur atas kehadiran pria itu, atau justru merasa terpenjara? Satu hal yang pasti—melarikan diri akan menjadi nyaris mustahil."Ada beberapa urusan yang tidak bisa kutunda," ujar Lis sambil membelai lembut kepala putranya. Matanya yang teduh beralih pada Marilyn. "Aku harap kau tidak keberatan menjaga Elon malam ini.""Ah, itu..." Marilyn menelan ludah, ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengangguk. "Tentu saja," bisiknya, hampir tak terdengar.Lis meraih ponselnya dan berbalik. "Kalau begitu, aku pergi sekarang.""Nyonya Tudor." Suara Marilyn melengking, lebih tinggi dari yang ia inginkan. Kecemasan merayapi tulang belakangnya—bagaimana ia bisa terjebak semalaman bersama orang asing yang bahkan tak sadarkan diri?"Hm?" Lis menoleh, alisnya terangkat penuh tanya. "Ya?" tanyanya, menunggu gadis itu melanjutkan.Marilyn menggigit bibir bawahnya, jemarinya bergerak gelisah. "Hmm..
Marilyn merasakan seluruh tubuhnya menegang, jemarinya perlahan mati rasa seakan dialiri es. Napasnya menjadi pendek dan cepat, terperangkap dalam dada yang kini terasa sesak. ‘Lupakan Rama Dimatrio.’ Keluarga Tudor—nama yang membawa gema kekuasaan di setiap suku katanya—jauh lebih berpengaruh daripada keluarga jaksa wilayah manapun. Jika Marilyn sampai berselisih dengan keluarga sebesar Tudor, siapa yang bisa memprediksi takdir kelam apa yang akan menanti hidupnya?"Apa maksudnya ini?" Suara Lis memecah keheningan, tatapannya yang tajam berpindah dari Elon ke Marilyn seperti pendulum yang mencari kebenaran. Keheranan terpancar jelas dari bola matanya yang mengilat di bawah cahaya ruangan. "Elon, bagaimana mungkin kau tidak mengingat kekasihmu sendiri? Wanita pilihanmu yang telah kau sembunyikan dari dunia selama dua tahun penuh?"Lis mengulurkan tangan, jemarinya yang lentik dengan lembut membelai wajah putranya, mencari koneksi. Namun Elon, dengan gerakan dingin yang menyiratkan pe
Marilyn mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dengan gelisah. Matanya menjelajahi langit-langit ruang perawatan yang putih bersih, beralih pada setiap detail perabotan yang tertata rapi, lalu pada jendela besar dengan tirai putih yang melambai lembut tertiup angin pendingin. Tatapannya kemudian jatuh pada lukisan abstrak mewah yang menghiasi dinding, sebelum akhirnya terpaku pada tabung infus yang cairan di dalamnya nyaris habis—pengingat bahwa ia sedang berada di rumah sakit, bukan di kamar hotel berbintang lima.Ke mana pun matanya berkelana, Marilyn menolak untuk menatap sosok pria yang duduk di hadapannya—pria yang baru saja ia suapi potongan apel segar."Kenapa kau menghindari tatapanku?" Suara berat Elon memecah keheningan, mengejutkan Marilyn yang pikirannya sedang melayang jauh, memikirkan ribuan kemungkinan dalam waktu yang bersamaan."Hah?" Marilyn tersentak, menoleh dan langsung berhadapan dengan mata tajam Elon yang menatapnya penuh selidik. "Tidak," jawabn
"Kenapa dia melakukan ini?" desis Marilyn, suaranya bergetar menahan emosi kala menatap tajam ke arah pria paruh baya di hadapannya. Baru seminggu berlalu sejak pemakaman kedua orangtuanya - korban perampokan yang berakhir tragis. Kini dia terjebak di sebuah hotel mewah, hasil dari pengkhianatan yang tak pernah dia bayangkan akan dilakukan oleh Aileen, saudari tirinya sendiri. Mengingat nama itu membuat darah Marilyn mendidih. Bagaimana mungkin seseorang yang tumbuh bersamanya, berbagi kenangan masa kecil yang sama, tega menjebaknya dalam situasi mengerikan ini? "Kau pikir kau bisa membeli seseorang seenaknya?!" Marilyn meraih vas bunga kecil dari meja dan melemparkannya ke arah pria itu. Vas itu menghantam dinding dan pecah berkeping-keping. Pria itu hanya terkekeh. "Kau masih belum tahu ya? Saudarimu itu sudah lama terlibat dalam bisnis gelap ini." Dia melangkah maju, membuat Marilyn semakin terpojok. Marilyn menggeleng keras, menolak mempercayai kenyataan yang ada di hadapan
Dalam keheningan yang mencekam, Marilyn melepaskan genggamannya pada pecahan vas yang kini bernoda merah. Matanya yang nanar beralih dari sosok tak bergerak di hadapannya, sementara realitas akan apa yang baru saja terjadi mulai merasuki kesadarannya yang rapuh.Rasa ngeri menggerogoti setiap sendi tubuhnya, mengalahkan perih yang menusuk dari telapak tangannya yang terluka. Tubuhnya yang gemetar hebat seperti dedaunan di tengah badai berkali-kali mengkhianatinya saat ia berusaha bangkit. Dinding dingin menjadi satu-satunya pegangan, tempat ia menyandarkan tubuhnya yang seakan kehilangan seluruh kekuatan.Detak jantungnya menggila, berdentum-dentum liar seolah berusaha membobol sangkar tulang rusuknya. Setiap debarannya menggetarkan seluruh rongga dadanya, menambah kekacauan dalam dirinya yang sudah porak-poranda.Setelah waktu yang terasa seperti keabadian, sebersit tenaga akhirnya kembali ke tubuhnya yang lemah. Dengan langkah yang masih terhuyung seperti orang mabuk, Marilyn menyer
Marilyn mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dengan gelisah. Matanya menjelajahi langit-langit ruang perawatan yang putih bersih, beralih pada setiap detail perabotan yang tertata rapi, lalu pada jendela besar dengan tirai putih yang melambai lembut tertiup angin pendingin. Tatapannya kemudian jatuh pada lukisan abstrak mewah yang menghiasi dinding, sebelum akhirnya terpaku pada tabung infus yang cairan di dalamnya nyaris habis—pengingat bahwa ia sedang berada di rumah sakit, bukan di kamar hotel berbintang lima.Ke mana pun matanya berkelana, Marilyn menolak untuk menatap sosok pria yang duduk di hadapannya—pria yang baru saja ia suapi potongan apel segar."Kenapa kau menghindari tatapanku?" Suara berat Elon memecah keheningan, mengejutkan Marilyn yang pikirannya sedang melayang jauh, memikirkan ribuan kemungkinan dalam waktu yang bersamaan."Hah?" Marilyn tersentak, menoleh dan langsung berhadapan dengan mata tajam Elon yang menatapnya penuh selidik. "Tidak," jawabn
Marilyn merasakan seluruh tubuhnya menegang, jemarinya perlahan mati rasa seakan dialiri es. Napasnya menjadi pendek dan cepat, terperangkap dalam dada yang kini terasa sesak. ‘Lupakan Rama Dimatrio.’ Keluarga Tudor—nama yang membawa gema kekuasaan di setiap suku katanya—jauh lebih berpengaruh daripada keluarga jaksa wilayah manapun. Jika Marilyn sampai berselisih dengan keluarga sebesar Tudor, siapa yang bisa memprediksi takdir kelam apa yang akan menanti hidupnya?"Apa maksudnya ini?" Suara Lis memecah keheningan, tatapannya yang tajam berpindah dari Elon ke Marilyn seperti pendulum yang mencari kebenaran. Keheranan terpancar jelas dari bola matanya yang mengilat di bawah cahaya ruangan. "Elon, bagaimana mungkin kau tidak mengingat kekasihmu sendiri? Wanita pilihanmu yang telah kau sembunyikan dari dunia selama dua tahun penuh?"Lis mengulurkan tangan, jemarinya yang lentik dengan lembut membelai wajah putranya, mencari koneksi. Namun Elon, dengan gerakan dingin yang menyiratkan pe
Marilyn menatap pengawal bertubuh kekar yang menjaga pintu keluar dengan perasaan campur aduk. Apakah ia harus bersyukur atas kehadiran pria itu, atau justru merasa terpenjara? Satu hal yang pasti—melarikan diri akan menjadi nyaris mustahil."Ada beberapa urusan yang tidak bisa kutunda," ujar Lis sambil membelai lembut kepala putranya. Matanya yang teduh beralih pada Marilyn. "Aku harap kau tidak keberatan menjaga Elon malam ini.""Ah, itu..." Marilyn menelan ludah, ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengangguk. "Tentu saja," bisiknya, hampir tak terdengar.Lis meraih ponselnya dan berbalik. "Kalau begitu, aku pergi sekarang.""Nyonya Tudor." Suara Marilyn melengking, lebih tinggi dari yang ia inginkan. Kecemasan merayapi tulang belakangnya—bagaimana ia bisa terjebak semalaman bersama orang asing yang bahkan tak sadarkan diri?"Hm?" Lis menoleh, alisnya terangkat penuh tanya. "Ya?" tanyanya, menunggu gadis itu melanjutkan.Marilyn menggigit bibir bawahnya, jemarinya bergerak gelisah. "Hmm..
‘Keluarga Tudor adalah salah satu elit teratas di kota A!’Kenyataan itu menghantam Marilyn bagai sambaran petir. Bagaimana mungkin ia bisa begitu ceroboh sampai melupakan fakta sepenting ini?Seketika, adrenalin berpacu dalam nadinya, begitu cepat hingga membuat kepalanya berputar. Jantungnya berdegup kencang, nyaris terdengar di telinganya sendiri."Apa kau baik-baik saja?" Suara Lis Tudor terdengar lembut, namun sepasang matanya yang tajam mengamati setiap gerak-gerik Marilyn dengan penuh perhitungan. "Kau tampak pucat.""Aku baik-baik saja..." gumam Marilyn, menggelengkan kepalanya perlahan. Tatapannya jatuh pada jari-jarinya yang bertautan erat di pangkuan, seolah mencari kekuatan di sana. Pikirannya kosong, tak tahu harus berkata apa."Mengenai hubunganmu dan Elon..." Lis memulai, namun kata-katanya langsung terpotong.Desahan pelan Lis Tudor memecah keheningan. Mendengarnya, bulu kuduk Marilyn meremang. Berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya. Wanita elegan di ha
Marilyn sungguh tak mengenal pria yang baru saja ia akui sebagai tunangannya. Namun, berkat ketelitian salah seorang petugas medis yang menemukan identitas dalam saku jaket korban, setidaknya kini ia mengetahui nama pria itu.Di bangku tunggu, tak jauh dari ruang operasi, Marilyn duduk dengan tatapan kosong, jemarinya menggenggam erat jaket bernoda darah milik Elon Tudor—pria yang kini tengah berjuang antara hidup dan mati di meja operasi.Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Kenyataan pahit harus ia telan bulat-bulat; ia takkan pernah tiba di bandara tepat waktu, apalagi menaiki pesawat sesuai jadwal. Yang lebih mengkhawatirkan, Marilyn tak yakin apakah ketiga pria yang memburu jejaknya akan berhenti mencari.‘Mereka pasti dengan mudah memperoleh informasi tentang rumah sakit ini,’ batinnya resah. ‘Aku harus segera pergi dari sini.’Setelah memastikan tak ada lagi perawat yang akan mendekati dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tak ia ketahui tentang pria bernam
"Bagaimana mereka bisa menemukanku di sini?" Napas Marilyn tercekat. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat tatapannya bertemu dengan mata Alex—kilatan pengenalan langsung menyala di wajah pria itu.Dua kota memisahkan mereka. Seharusnya, dengan kematian Rama Dimatrio, pencarian terhadap dirinya terhenti. Bukankah begitu?Tapi logika dingin menyeruak dalam benaknya. Tentu saja. Tentu saja dia menjadi target pertama yang dicari para Pengawal setelah kematian tidak wajar bos mereka. Marilyn—tersangka utama dalam drama berdarah ini.Pupil matanya melebar. Adrenalin membanjiri pembuluh darahnya saat ia mundur perlahan, kemudian berputar dan mencoba menerobos kerumunan di belakangnya. Dari ekor matanya, ia melihat Alex dan dua anjing pemburu setianya mulai bergerak—berlari dengan tatapan yang tak perlu diterjemahkan lagi: jika tertangkap, Marilyn tak akan pernah melihat dunia luar lagi.Visualisasi tentang sel penjara yang pengap, empat dinding beton yang akan menjadi saksi bisu sisa hi
Genggaman tangan Marilyn mengerat, nyaris terangkat untuk melayangkan pukulan pada Ian akibat lelucon menyebalkannya. Namun, amarahnya luruh begitu saja, berganti dengan helaan napas panjang yang sarat frustrasi."Oke, oke... Aku tidak dalam posisi untuk memilih," ucapnya mengalah.Tawa Ian membahana, matanya berkilat geli menyaksikan kekesalan Marilyn. "Setidaknya, kau akan mengingatku." Dengan lembut, jemarinya mengusap puncak kepala Marilyn sebelum kembali ke posisinya dan melanjutkan santapan."Besok kau harus berangkat pagi-pagi untuk mengejar bus pukul tujuh," Ian menjelaskan dengan nada serius. "Kau harus tiba di Kota A sebelum penerbanganmu meninggalkan negeri ini."Tak ada kepastian kapan Marilyn bisa kembali. Terlebih lagi, ia bahkan tak akan bisa mengunjungi makam kedua orangtuanya selama masa pelariannya ini.Setetes air mata jatuh tanpa suara ke atas piringnya. Pandangan Ian langsung menangkap isyarat kesedihan itu. Tanpa ragu, ia meletakkan sendok dan garpu, beranjak men
Ketukan di pintu bergema seperti tembakan pistol di keheningan malam, menyentak Marilyn dari lamunan yang ternyata hanyalah mimpi—mimpi tentang serentetan kejadian mengerikan beberapa jam lalu.Marilyn mengusap wajahnya yang kusut, mengerjapkan mata yang terasa berpasir. Ia tak sadar telah terlelap di sofa tua yang keras ini."Marilyn? Buka pintunya."Suara Ian menembus kayu pintu—berat dan menuntut."Ya... sebentar," jawabnya dengan suara serak. Pandangannya melayang ke arah jam dinding yang jarumnya telah melewati tengah malam. Rupanya ia jatuh tertidur menunggu kepulangan Ian.Dengan tubuh yang terasa ditarik gravitasi dan kepala berdenyut akibat kurang tidur serta tekanan yang mencekik sepanjang hari, Marilyn menyeret langkahnya ke arah pintu dan membukanya.Ian berdiri menjulang di ambang pintu. Bayang-bayang lampu lorong menciptakan dimensi gelap pada seringai khasnya. Marilyn menatap luka-luka perang di wajahnya—memar keunguan di pipi, sayatan tipis di dahi, dan sudut bibir yan
Malam itu, kabut keraguan menyelimuti pikiran Marilyn. Arena menunggu kedatangan Ian, dan Marilyn enggan menyendiri di kediaman pria itu. Pilihan terakhirnya hanyalah menanti sang petarung menyelesaikan pertarungannya—sebuah rutinitas yang selalu berakhir dengan kemenangan mutlak.Tak pernah sekalipun Marilyn meragukan kemahiran Ian di atas ring. Namun, satu pertanyaan terus menggelayut dalam benaknya: mengapa masih ada yang nekat menantang Ian di Arena? Tidakkah mereka melihat jejak tubuh-tubuh yang tumbang sebelumnya? Tidakkah mereka paham betapa sia-sia perlawanan mereka?"Tunggulah di sini. Satu jam lagi aku kembali," ujar Ian sambil menanggalkan pakaiannya. Tanpa sungkan, ia menampakkan tubuh atletisnya di hadapan Marilyn. Namun pikiran gadis itu terlalu kusut untuk mengagumi pahatan sempurna otot perut Ian yang terekspos sejenak, sebelum akhirnya tertutup kemeja putih yang akan menemaninya dalam pertarungan nanti. Toh, pemandangan Ian bertelanjang dada bukanlah hal baru baginya