Chapter 7

Ketukan di pintu bergema seperti tembakan pistol di keheningan malam, menyentak Marilyn dari lamunan yang ternyata hanyalah mimpi—mimpi tentang serentetan kejadian mengerikan beberapa jam lalu.

 

Marilyn mengusap wajahnya yang kusut, mengerjapkan mata yang terasa berpasir. Ia tak sadar telah terlelap di sofa tua yang keras ini.

 

"Marilyn? Buka pintunya."

 

Suara Ian menembus kayu pintu—berat dan menuntut.

 

"Ya... sebentar," jawabnya dengan suara serak. Pandangannya melayang ke arah jam dinding yang jarumnya telah melewati tengah malam. Rupanya ia jatuh tertidur menunggu kepulangan Ian.

 

Dengan tubuh yang terasa ditarik gravitasi dan kepala berdenyut akibat kurang tidur serta tekanan yang mencekik sepanjang hari, Marilyn menyeret langkahnya ke arah pintu dan membukanya.

 

Ian berdiri menjulang di ambang pintu. Bayang-bayang lampu lorong menciptakan dimensi gelap pada seringai khasnya. Marilyn menatap luka-luka perang di wajahnya—memar keunguan di pipi, sayatan tipis di dahi, dan sudut bibir yang pecah. Namun selain itu, Ian tampak utuh.

 

Dan dari kilatan berbahaya di matanya, Marilyn tak perlu bertanya. Ia berani mempertaruhkan nyawanya bahwa Ian—sekali lagi—telah memenangkan pertarungannya.

 

"Tertidur?" Ian bertanya santai sambil memeriksa luka-lukanya di cermin.

 

"Ya, lengkap dengan mimpi buruk," Marilyn mendengus, kembali meringkuk seperti kucing terluka di atas sofa.

 

"Seberapa mengerikan?" tanya Ian, melemparkan amplop cokelat tebal ke pangkuan Marilyn. "Bertemu hantu?"

 

"Hantu akan terlihat menggemaskan dibandingkan dua iblis dalam mimpiku," sahut Marilyn getir, namun sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis saat melihat tumpukan uang dalam amplop pemberian Ian. Rupanya ketiga barang milik Rama itu bernilai cukup fantastis...

 

Ian terkekeh mendengar jawaban Marilyn. "Tak perlu memandang uang sebanyak itu dengan mata takjub. Harta warisan orangtuamu pasti jauh lebih mengesankan dari sekedar tumpukan kertas itu."

 

Sekejap, suasana hati Marilyn menggelap seperti langit sebelum badai. Ia menjejalkan kembali uang itu ke dalam amplop dan menyimpannya di saku jaket dengan gerakan posesif.

 

"Warisan?" dengusnya, mata hijau gelapnya berkilat dengan kesedihan yang tak tersembunyi. "Bahkan pembacaan surat wasiat baru akan dilaksanakan seminggu dari sekarang. Dan meski aku menerima seluruh hak warisnya, apa gunanya dalam situasi terkutuk seperti ini?"

 

Meski Marilyn mendapatkan seluruh harta warisan, tentu saja ia tak bisa begitu saja melenggang ke rumahnya dan mengklaim haknya. Tindakan itu sama halnya dengan memasang tali gantungan di lehernya sendiri—mempersilakan bahaya yang jauh lebih besar. Bagaimanapun, darah seseorang telah tertumpah di tangannya...

 

Inilah salah satu penyesalan terbesarnya. Bukan karena ia tak bisa menikmati kemewahan aset-asetnya, tapi karena hatinya memberontak membayangkan seluruh kekayaan itu jatuh ke tangan Aileen.

 

Marilyn tak akan pernah rela memberikan sepeser pun harta orangtuanya kepada Aileen, namun takdir seolah memiliki rencana berbeda, dan kini ia terjebak dalam situasi di mana ia harus memprioritaskan keselamatan nyawanya sendiri terlebih dahulu.

 

"Kita harus memikirkan cara membalas dendam pada Aileen," geram Ian, amarah dingin mewarnai suaranya.

 

Namun Marilyn hanya menggeleng lemah. "Itu bisa menunggu. Yang kubutuhkan sekarang adalah mandi air panas, pakaian bersih, dan tempat tidur yang tak menusuk punggungku," ucapnya dengan suara hampir menyerupai bisikan.

 

Melihat wajah Marilyn yang pucat seperti kertas, Ian langsung berkata, "Aku mandi dulu, baru kita ke tempatku."

 

Marilyn mengangguk tanpa tenaga dan kembali meringkuk di sofa, memeluk amplop berisi uang di saku jaketnya seolah itu adalah sekoci terakhir di lautan badai yang mengelilinginya.

 

 ***

 

Selama dua hari, Marilyn menumpang di kediaman Ian—sebuah hunian sederhana yang tak bisa dikatakan luas. Dengan hanya satu kamar tidur tersedia, Ian dengan senang hati menyerahkannya kepada Marilyn, sementara ia sendiri beralih tidur di sofa depan televisi.

 

Marilyn tak sekalipun menginjakkan kaki ke luar rumah. Waktunya dihabiskan untuk menyulap kekacauan di rumah Ian menjadi keteraturan yang nyaman.

 

Untuk urusan makanan, Ian—yang biasanya tak pernah repot-repot berbelanja—kini rajin mengisi kulkasnya yang biasanya hampa dengan beragam bahan makanan. Dari tangan Marilyn, bahan-bahan sederhana itu menjelma menjadi hidangan yang membuat lidah Ian berdecak kagum.

 

Awalnya Ian sangat meragukan kemampuan memasak Marilyn. Sebagai putri manja seorang pengusaha berlian, rasanya hampir mustahil Marilyn bisa menciptakan hidangan yang lebih rumit dari sekadar telur dadar.

 

Namun kenyataan berkata lain; Marilyn memiliki sentuhan ajaib dalam seni kuliner.

 

Seperti hari sebelumnya, Ian tiba di rumah tepat pukul sepuluh. Marilyn telah menyiapkan santapan sederhana namun menggiurkan: udang goreng renyah, sup tahu yang mengepul, dan semangkuk mi yang masih panas.

 

Bahkan sebelum pintu terbuka sepenuhnya, aroma menggoda telah menyambut indra penciuman Ian.

 

"Ah! Betapa menyenangkan jika hidangan selezat ini bisa menemaniku setiap hari," desah Ian sambil menikmati udang gorengnya dan menyendok nasi lagi.

 

Marilyn hanya memutar bola matanya mendengar keluhan sahabatnya, "Kalau begitu, carilah pendamping yang bisa merawatmu," ujarnya ringan.

 

"Nasihat dari seseorang yang bahkan belum memiliki kekasih," balas Ian dengan seringai jahil sembari bangkit untuk mengambil sebotol air dingin dari kulkas.

 

Marilyn mencibir, "Kau tak bisa menyamakanku denganmu."

 

"Oh, astaga! Hampir saja lupa!" seru Ian tiba-tiba, menepuk dahinya dengan cukup keras. Ia meletakkan botol air di atas meja dan merogoh sesuatu dari saku jaket yang tersampir di kursi. "Ini."

 

Ian menyodorkan sebuah amplop cokelat ke hadapan Marilyn.

 

Tanpa pikir panjang, Marilyn segera membukanya dan menemukan beberapa lembar dokumen beserta sebuah kartu identitas.

 

Ini adalah dokumen yang dijanjikan Ian dua hari lalu, rupanya selesai lebih cepat dari perkiraan.

 

Marilyn membaca nama yang tertera dengan seksama. "Marilyn Wolfe?"

 

Ian mengangguk, bibirnya melengkung membentuk seringai puas. "Kenapa? Bagus, kan?" katanya, diselingi tawa kecil yang menggoda.