Dalam keheningan yang mencekam, Marilyn melepaskan genggamannya pada pecahan vas yang kini bernoda merah. Matanya yang nanar beralih dari sosok tak bergerak di hadapannya, sementara realitas akan apa yang baru saja terjadi mulai merasuki kesadarannya yang rapuh.
Rasa ngeri menggerogoti setiap sendi tubuhnya, mengalahkan perih yang menusuk dari telapak tangannya yang terluka. Tubuhnya yang gemetar hebat seperti dedaunan di tengah badai berkali-kali mengkhianatinya saat ia berusaha bangkit. Dinding dingin menjadi satu-satunya pegangan, tempat ia menyandarkan tubuhnya yang seakan kehilangan seluruh kekuatan. Detak jantungnya menggila, berdentum-dentum liar seolah berusaha membobol sangkar tulang rusuknya. Setiap debarannya menggetarkan seluruh rongga dadanya, menambah kekacauan dalam dirinya yang sudah porak-poranda. Setelah waktu yang terasa seperti keabadian, sebersit tenaga akhirnya kembali ke tubuhnya yang lemah. Dengan langkah yang masih terhuyung seperti orang mabuk, Marilyn menyeret kakinya ke kamar mandi. Begitu mencapai toilet, isi perutnya memberontak keluar. Berkali-kali ia menekan tuas air, seakan berharap bisa turut menyiram pergi semua kenangan akan kejadian malam ini. Masih dengan tubuh bergetar hebat, ia memaksa diri menghadap cermin di atas wastafel. Yang menatap balik padanya adalah sosok asing - seorang wanita dengan wajah sepucat mayat dan rambut hitam kusut yang membingkai wajah kurusnya bagai tirai kelam. Dalam hitungan jam, waktu seakan telah melompat dua dekade ke depan, meninggalkan jejak usia yang tak terhapuskan pada parasnya. Di sisi kiri kepalanya, bekas benturan dengan tepi meja dan vas yang kini telah hancur berkeping-keping telah berubah menjadi lebam keunguan yang mengerikan. Goresan-goresan kecil mengalirkan darah segar yang kontras dengan kulitnya yang pucat pasi. Dengan tangan yang masih bergetar hebat, Marilyn membuka keran. Air dingin membasuh wajahnya yang dipenuhi campuran keringat dan darah - entah darahnya sendiri atau darah pria yang tergeletak tak bernyawa di ruangan sebelah. Pikirannya menolak untuk menjelajah lebih jauh ke arah itu. Tidak sekarang. Mungkin tidak akan pernah. Air dingin memercik wajahnya bagai jarum-jarum es yang menusuk, namun justru sensasi itu yang meredakan degup jantungnya yang liar. Perlahan, gemetar di jemarinya mulai mereda, seolah tersapu oleh dinginnya air yang mengalir. Luka di pelipis kirinya masih berdenyut, tapi setidaknya darah yang mengalir telah mengering menjadi kerak merah kehitaman. Atau mungkin Marilyn telah mati rasa - pikirannya terlalu sibuk mencari jalan keluar hingga tak sempat lagi meratapi luka-luka yang menghiasi tubuhnya. Tiga puluh menit berlalu dalam keheningan kamar mandi mewah itu. Tiga puluh menit yang mengubah kegalauan menjadi tekad baja dalam diri Marilyn. Pilihan-pilihan yang tersisa bagaikan jalan buntu yang mengepungnya. Menyerahkan diri ke polisi? Gagasan itu mati bahkan sebelum sempat berkembang. Bagaimana mungkin dia bisa menang melawan sistem yang dikendalikan oleh orang-orang berkuasa? Pria tua itu - sang jaksa wilayah kota T - dengan segala pengaruh dan kekuasaannya, akan memastikan Marilyn membusuk dalam sel tahanan. Dan putranya, yang mengikuti jejak sang ayah dalam profesi yang sama, pasti tak akan membiarkan pembunuh ayahnya lolos begitu saja. Bagi mereka yang berkuasa, menyewa tangan-tangan kotor untuk "mengurus" seseorang di balik jeruji besi adalah perkara mudah. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Marilyn meremang. Hanya tersisa satu pilihan: melarikan diri. Menghilang sejauh mungkin dari kota T, mengubur diri di tempat yang bahkan tak ada dalam peta, dan menunggu hingga debu-debu masa lalu ini mengendap dalam ingatan orang-orang. Sepuluh tahun? Dua puluh tahun? Entahlah. Yang pasti, Marilyn harus rela menukar kebebasannya dengan kehidupan dalam bayangan, setidaknya sampai waktu mengikis ingatan mereka tentang kasus ini, sampai namanya tak lebih dari sekadar bisikan yang terlupakan. Keputusan sudah bulat. Dengan teguh, Marilyn melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi, mengabaikan pemandangan mengerikan yang terpampang di hadapannya. Jasad yang bermandikan darah itu seolah menjadi penanda akan pilihan yang telah dia ambil – pilihan yang tak dapat ditarik kembali. Dengan tangan yang masih bergetar samar, wanita itu bergerak menuju jaket dan tas milik Rama Dimatrio yang tergeletak tak jauh dari tubuh tak bernyawanya. Setiap langkah terasa berat, namun dorongan untuk bertahan hidup mengalahkan segala keraguan yang tersisa. Berkas-berkas penting tersimpan rapi dalam tas kulit mahal itu, sementara lembaran uang tunai bersembunyi di berbagai saku jaket dan dompet tebalnya. Tanpa pikir panjang, Marilyn mengumpulkan semuanya. Dalam situasinya saat ini, setiap rupiah bisa menjadi penentu antara hidup dan mati. Namun takdir seolah menuntut lebih. Marilyn menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata sejenak sebelum memberanikan diri menatap kembali sosok Rama Dimatrio yang kini telah membeku dalam keabadian. Matanya langsung tertuju pada kilau keemasan yang melingkar di pergelangan tangan pria paruh baya itu – sebuah jam tangan mewah yang nilainya jauh melampaui seluruh uang tunai yang baru saja dia kumpulkan. Rasa bersalah menyelinap ke dalam hatinya saat dia melepaskan jam tangan itu dari lengan yang mulai kaku, ditambah dua cincin yang berkilau di jari-jemari korbannya. Untuk sesaat, dia merasa seperti pencuri rendahan, namun naluri bertahan hidupnya dengan cepat menepis perasaan itu. Ini bukan saatnya untuk tenggelam dalam rasa bersalah atau malu. Meski masih ada getaran halus yang menjalari tubuhnya dan degup jantung yang belum sepenuhnya normal, Marilyn telah jauh lebih terkendali dibandingkan saat pertama kali berhadapan dengan kematian Rama. Dalam keheningan ruangan itu, dia menyadari bahwa tidak ada jalan kembali. Yang tersisa hanyalah langkah ke depan, tidak peduli seberapa gelap jalan yang harus dia tempuh. Keringat dingin mengalir di pelipis Marilyn sementara otaknya berpacu mencari jalan keluar. Masalah terbesarnya sekarang adalah bagaimana mengelabui para pengawal Rama yang setia menunggu di balik pintu kamar hotel. Sebuah keuntungan kecil berpihak padanya - sebelum ajal menjemput, Rama telah berpesan pada Alex untuk tidak mengganggu aktivitasnya, apapun yang terjadi di dalam. Setidaknya ini memberi Marilyn waktu bernafas sebelum para pengawal mencium gelagat mencurigakan dari dalam kamar. Di tengah kepanikan yang mencekam, sebuah ide gila terlintas di benaknya. Bukankah situasi ekstrem membutuhkan solusi ekstrem? Matanya tertumbuk pada microwave yang menjadi fasilitas standar kamar hotel mewah ini. Tanpa pikir panjang, ia menyambar botol parfum yang ditemukannya sebelumnya. Dengan gerakan cepat namun hati-hati, Marilyn mengamati posisi detektor asap yang terpasang berdekatan dengan sprinkler, lalu menarik kabel untuk mengaktifkannya. "Ini memang gila," bisiknya pada diri sendiri sambil mengatur microwave ke suhu maksimal dengan timer terpanjang. Secepat kilat, ia mengambil posisi di balik tirai dekat pintu keluar. Jaket besar Rama yang berlumuran darah menjadi satu-satunya pelindung tubuhnya - dia tak sempat menemukan pakaiannya sendiri. Detik-detik berlalu bagai siput merayap. Detak jantungnya berdentum semakin keras, mengisi kesunyian ruangan dengan irama ketegangan yang menyiksa. Marilyn menahan nafas, menunggu rencana gilanya membuahkan hasil. Letupan pertama terdengar sayup - pertanda bahwa kekacauan akan segera dimulai. Dengan sigap, Marilyn menutup kedua telinganya rapat-rapat. Tepat seperti dugaannya, dentuman keras memecah keheningan, disusul raungan alarm yang memekakkan telinga. Di tengah hiruk pikuk yang tercipta, sosoknya yang bersembunyi di balik tirai akan luput dari perhatian siapapun yang menerobos masuk. Kini, Marilyn hanya bisa berdoa agar rencananya berjalan sesuai harapan.Dunia seakan berhenti berputar dalam sekejap mata.Dentuman dahsyat menggetarkan udara, menembus pertahanan jemari Marilyn yang terkepal erat di telinganya. Ledakan itu—hasil dari percobaan naifnya yang tak terkendali—menghantam seluruh ruangan dengan kekuatan yang membuatnya tersungkur. Tubuhnya yang ramping terhuyung, lutut membentur lantai sementara punggungnya mencari sandaran pada dinding dingin di belakangnya.Tirai putih yang menggantung menjadi penyelamatnya, menghalangi pandangan ketiga pria bertubuh kekar yang menerobos masuk dengan napas memburu. Kepulan asap tebal menari-nari di udara, berpadu dengan lengking nyaring alarm kebakaran yang memecah keheningan. Perhatian ketiga pria itu sepenuhnya tertuju pada sosok Rama Dimatrio—sang atasan yang kini terbaring tak bergerak.Mereka seolah lupa, atau mungkin tak peduli, bahwa ada nyawa lain yang terancam di ruangan itu. Pemandangan mencekam di hadapan mereka telah menyita seluruh kesadaran."Tuan Rama!!!" Suara Alex menggelegar
Kantong plastik berisi pakaian tergenggam di tangan sopir taksi itu saat ia kembali ke mobilnya. Diketuknya kaca jendela pelan, berusaha menarik perhatian penumpang wanitanya yang tenggelam dalam lamunan. Tatapan kosong sang penumpang menerawang jauh, seolah pikirannya berada di tempat lain.Begitu kunci mobil terbuka, Marilyn menurunkan kaca jendelanya dengan gerakan lambat. Tangannya yang gemetar menerima tas plastik yang disodorkan."Ini pesanan Anda - baju dan celana," ujar sang sopir dengan nada ramah. "Saya juga sekalian belikan topi.""Terima kasih," bisik Marilyn, suaranya nyaris tak terdengar.Kaca depan mobil yang buram menjadi tameng sempurna, menghalangi pandangan orang-orang yang berlalu lalang. Meski demikian, sang sopir tetap berjaga-jaga. Ia memosisikan diri tepat di samping jendela, punggungnya menutupi sosok Marilyn yang tengah berganti pakaian dengan tergesa di dalam mobil.Seusai mengenakan pakaian barunya, Marilyn memasukkan jam tangan mewah pemberian Rama beserta
Langkah Ian bergema di koridor beton yang dingin saat ia melesat menuju pintu keluar arena. Kutukan-kutukan tertahan di antara desah napasnya yang memburu. Marilyn—gadis itu berani-beraninya menginjakkan kaki di sarang iblis ini sendirian. Berapa kali ia harus memperingatkannya? Tempat ini bukan untuk makhluk selembut dia.Demian, penjaga keamanan bertubuh kekar dengan bekas luka di wajah, mengekor di belakangnya. "Si algojo tampaknya tergesa-gesa," bisiknya pada rekannya dengan seringai tipis.Udara luar terasa menggigit kulit. Di sana, di bawah lampu jalan yang berkedip lemah, berdiri sosok mungil Marilyn. Rambutnya yang panjang terurai liar dipermainkan angin malam, sementara ujung sepatunya menendang-nendang kerikil dengan gelisah."Marilyn," suara Ian menggelegar, mengoyak keheningan malam. "Sudah kubilang berkali-kali bahwa..."Kalimatnya terputus oleh hantaman tubuh Marilyn yang menghambur ke arahnya. Aroma manis parfumnya bercampur dengan bau asin air mata yang kini membasahi
Malam itu, kabut keraguan menyelimuti pikiran Marilyn. Arena menunggu kedatangan Ian, dan Marilyn enggan menyendiri di kediaman pria itu. Pilihan terakhirnya hanyalah menanti sang petarung menyelesaikan pertarungannya—sebuah rutinitas yang selalu berakhir dengan kemenangan mutlak.Tak pernah sekalipun Marilyn meragukan kemahiran Ian di atas ring. Namun, satu pertanyaan terus menggelayut dalam benaknya: mengapa masih ada yang nekat menantang Ian di Arena? Tidakkah mereka melihat jejak tubuh-tubuh yang tumbang sebelumnya? Tidakkah mereka paham betapa sia-sia perlawanan mereka?"Tunggulah di sini. Satu jam lagi aku kembali," ujar Ian sambil menanggalkan pakaiannya. Tanpa sungkan, ia menampakkan tubuh atletisnya di hadapan Marilyn. Namun pikiran gadis itu terlalu kusut untuk mengagumi pahatan sempurna otot perut Ian yang terekspos sejenak, sebelum akhirnya tertutup kemeja putih yang akan menemaninya dalam pertarungan nanti. Toh, pemandangan Ian bertelanjang dada bukanlah hal baru baginya
Ketukan di pintu bergema seperti tembakan pistol di keheningan malam, menyentak Marilyn dari lamunan yang ternyata hanyalah mimpi—mimpi tentang serentetan kejadian mengerikan beberapa jam lalu.Marilyn mengusap wajahnya yang kusut, mengerjapkan mata yang terasa berpasir. Ia tak sadar telah terlelap di sofa tua yang keras ini."Marilyn? Buka pintunya."Suara Ian menembus kayu pintu—berat dan menuntut."Ya... sebentar," jawabnya dengan suara serak. Pandangannya melayang ke arah jam dinding yang jarumnya telah melewati tengah malam. Rupanya ia jatuh tertidur menunggu kepulangan Ian.Dengan tubuh yang terasa ditarik gravitasi dan kepala berdenyut akibat kurang tidur serta tekanan yang mencekik sepanjang hari, Marilyn menyeret langkahnya ke arah pintu dan membukanya.Ian berdiri menjulang di ambang pintu. Bayang-bayang lampu lorong menciptakan dimensi gelap pada seringai khasnya. Marilyn menatap luka-luka perang di wajahnya—memar keunguan di pipi, sayatan tipis di dahi, dan sudut bibir yan
Genggaman tangan Marilyn mengerat, nyaris terangkat untuk melayangkan pukulan pada Ian akibat lelucon menyebalkannya. Namun, amarahnya luruh begitu saja, berganti dengan helaan napas panjang yang sarat frustrasi."Oke, oke... Aku tidak dalam posisi untuk memilih," ucapnya mengalah.Tawa Ian membahana, matanya berkilat geli menyaksikan kekesalan Marilyn. "Setidaknya, kau akan mengingatku." Dengan lembut, jemarinya mengusap puncak kepala Marilyn sebelum kembali ke posisinya dan melanjutkan santapan."Besok kau harus berangkat pagi-pagi untuk mengejar bus pukul tujuh," Ian menjelaskan dengan nada serius. "Kau harus tiba di Kota A sebelum penerbanganmu meninggalkan negeri ini."Tak ada kepastian kapan Marilyn bisa kembali. Terlebih lagi, ia bahkan tak akan bisa mengunjungi makam kedua orangtuanya selama masa pelariannya ini.Setetes air mata jatuh tanpa suara ke atas piringnya. Pandangan Ian langsung menangkap isyarat kesedihan itu. Tanpa ragu, ia meletakkan sendok dan garpu, beranjak men
"Bagaimana mereka bisa menemukanku di sini?" Napas Marilyn tercekat. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat tatapannya bertemu dengan mata Alex—kilatan pengenalan langsung menyala di wajah pria itu.Dua kota memisahkan mereka. Seharusnya, dengan kematian Rama Dimatrio, pencarian terhadap dirinya terhenti. Bukankah begitu?Tapi logika dingin menyeruak dalam benaknya. Tentu saja. Tentu saja dia menjadi target pertama yang dicari para Pengawal setelah kematian tidak wajar bos mereka. Marilyn—tersangka utama dalam drama berdarah ini.Pupil matanya melebar. Adrenalin membanjiri pembuluh darahnya saat ia mundur perlahan, kemudian berputar dan mencoba menerobos kerumunan di belakangnya. Dari ekor matanya, ia melihat Alex dan dua anjing pemburu setianya mulai bergerak—berlari dengan tatapan yang tak perlu diterjemahkan lagi: jika tertangkap, Marilyn tak akan pernah melihat dunia luar lagi.Visualisasi tentang sel penjara yang pengap, empat dinding beton yang akan menjadi saksi bisu sisa hi
Marilyn sungguh tak mengenal pria yang baru saja ia akui sebagai tunangannya. Namun, berkat ketelitian salah seorang petugas medis yang menemukan identitas dalam saku jaket korban, setidaknya kini ia mengetahui nama pria itu.Di bangku tunggu, tak jauh dari ruang operasi, Marilyn duduk dengan tatapan kosong, jemarinya menggenggam erat jaket bernoda darah milik Elon Tudor—pria yang kini tengah berjuang antara hidup dan mati di meja operasi.Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Kenyataan pahit harus ia telan bulat-bulat; ia takkan pernah tiba di bandara tepat waktu, apalagi menaiki pesawat sesuai jadwal. Yang lebih mengkhawatirkan, Marilyn tak yakin apakah ketiga pria yang memburu jejaknya akan berhenti mencari.‘Mereka pasti dengan mudah memperoleh informasi tentang rumah sakit ini,’ batinnya resah. ‘Aku harus segera pergi dari sini.’Setelah memastikan tak ada lagi perawat yang akan mendekati dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tak ia ketahui tentang pria bernam
Marilyn mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dengan gelisah. Matanya menjelajahi langit-langit ruang perawatan yang putih bersih, beralih pada setiap detail perabotan yang tertata rapi, lalu pada jendela besar dengan tirai putih yang melambai lembut tertiup angin pendingin. Tatapannya kemudian jatuh pada lukisan abstrak mewah yang menghiasi dinding, sebelum akhirnya terpaku pada tabung infus yang cairan di dalamnya nyaris habis—pengingat bahwa ia sedang berada di rumah sakit, bukan di kamar hotel berbintang lima.Ke mana pun matanya berkelana, Marilyn menolak untuk menatap sosok pria yang duduk di hadapannya—pria yang baru saja ia suapi potongan apel segar."Kenapa kau menghindari tatapanku?" Suara berat Elon memecah keheningan, mengejutkan Marilyn yang pikirannya sedang melayang jauh, memikirkan ribuan kemungkinan dalam waktu yang bersamaan."Hah?" Marilyn tersentak, menoleh dan langsung berhadapan dengan mata tajam Elon yang menatapnya penuh selidik. "Tidak," jawabn
Marilyn merasakan seluruh tubuhnya menegang, jemarinya perlahan mati rasa seakan dialiri es. Napasnya menjadi pendek dan cepat, terperangkap dalam dada yang kini terasa sesak. ‘Lupakan Rama Dimatrio.’ Keluarga Tudor—nama yang membawa gema kekuasaan di setiap suku katanya—jauh lebih berpengaruh daripada keluarga jaksa wilayah manapun. Jika Marilyn sampai berselisih dengan keluarga sebesar Tudor, siapa yang bisa memprediksi takdir kelam apa yang akan menanti hidupnya?"Apa maksudnya ini?" Suara Lis memecah keheningan, tatapannya yang tajam berpindah dari Elon ke Marilyn seperti pendulum yang mencari kebenaran. Keheranan terpancar jelas dari bola matanya yang mengilat di bawah cahaya ruangan. "Elon, bagaimana mungkin kau tidak mengingat kekasihmu sendiri? Wanita pilihanmu yang telah kau sembunyikan dari dunia selama dua tahun penuh?"Lis mengulurkan tangan, jemarinya yang lentik dengan lembut membelai wajah putranya, mencari koneksi. Namun Elon, dengan gerakan dingin yang menyiratkan pe
Marilyn menatap pengawal bertubuh kekar yang menjaga pintu keluar dengan perasaan campur aduk. Apakah ia harus bersyukur atas kehadiran pria itu, atau justru merasa terpenjara? Satu hal yang pasti—melarikan diri akan menjadi nyaris mustahil."Ada beberapa urusan yang tidak bisa kutunda," ujar Lis sambil membelai lembut kepala putranya. Matanya yang teduh beralih pada Marilyn. "Aku harap kau tidak keberatan menjaga Elon malam ini.""Ah, itu..." Marilyn menelan ludah, ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengangguk. "Tentu saja," bisiknya, hampir tak terdengar.Lis meraih ponselnya dan berbalik. "Kalau begitu, aku pergi sekarang.""Nyonya Tudor." Suara Marilyn melengking, lebih tinggi dari yang ia inginkan. Kecemasan merayapi tulang belakangnya—bagaimana ia bisa terjebak semalaman bersama orang asing yang bahkan tak sadarkan diri?"Hm?" Lis menoleh, alisnya terangkat penuh tanya. "Ya?" tanyanya, menunggu gadis itu melanjutkan.Marilyn menggigit bibir bawahnya, jemarinya bergerak gelisah. "Hmm..
‘Keluarga Tudor adalah salah satu elit teratas di kota A!’Kenyataan itu menghantam Marilyn bagai sambaran petir. Bagaimana mungkin ia bisa begitu ceroboh sampai melupakan fakta sepenting ini?Seketika, adrenalin berpacu dalam nadinya, begitu cepat hingga membuat kepalanya berputar. Jantungnya berdegup kencang, nyaris terdengar di telinganya sendiri."Apa kau baik-baik saja?" Suara Lis Tudor terdengar lembut, namun sepasang matanya yang tajam mengamati setiap gerak-gerik Marilyn dengan penuh perhitungan. "Kau tampak pucat.""Aku baik-baik saja..." gumam Marilyn, menggelengkan kepalanya perlahan. Tatapannya jatuh pada jari-jarinya yang bertautan erat di pangkuan, seolah mencari kekuatan di sana. Pikirannya kosong, tak tahu harus berkata apa."Mengenai hubunganmu dan Elon..." Lis memulai, namun kata-katanya langsung terpotong.Desahan pelan Lis Tudor memecah keheningan. Mendengarnya, bulu kuduk Marilyn meremang. Berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya. Wanita elegan di ha
Marilyn sungguh tak mengenal pria yang baru saja ia akui sebagai tunangannya. Namun, berkat ketelitian salah seorang petugas medis yang menemukan identitas dalam saku jaket korban, setidaknya kini ia mengetahui nama pria itu.Di bangku tunggu, tak jauh dari ruang operasi, Marilyn duduk dengan tatapan kosong, jemarinya menggenggam erat jaket bernoda darah milik Elon Tudor—pria yang kini tengah berjuang antara hidup dan mati di meja operasi.Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Kenyataan pahit harus ia telan bulat-bulat; ia takkan pernah tiba di bandara tepat waktu, apalagi menaiki pesawat sesuai jadwal. Yang lebih mengkhawatirkan, Marilyn tak yakin apakah ketiga pria yang memburu jejaknya akan berhenti mencari.‘Mereka pasti dengan mudah memperoleh informasi tentang rumah sakit ini,’ batinnya resah. ‘Aku harus segera pergi dari sini.’Setelah memastikan tak ada lagi perawat yang akan mendekati dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tak ia ketahui tentang pria bernam
"Bagaimana mereka bisa menemukanku di sini?" Napas Marilyn tercekat. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat tatapannya bertemu dengan mata Alex—kilatan pengenalan langsung menyala di wajah pria itu.Dua kota memisahkan mereka. Seharusnya, dengan kematian Rama Dimatrio, pencarian terhadap dirinya terhenti. Bukankah begitu?Tapi logika dingin menyeruak dalam benaknya. Tentu saja. Tentu saja dia menjadi target pertama yang dicari para Pengawal setelah kematian tidak wajar bos mereka. Marilyn—tersangka utama dalam drama berdarah ini.Pupil matanya melebar. Adrenalin membanjiri pembuluh darahnya saat ia mundur perlahan, kemudian berputar dan mencoba menerobos kerumunan di belakangnya. Dari ekor matanya, ia melihat Alex dan dua anjing pemburu setianya mulai bergerak—berlari dengan tatapan yang tak perlu diterjemahkan lagi: jika tertangkap, Marilyn tak akan pernah melihat dunia luar lagi.Visualisasi tentang sel penjara yang pengap, empat dinding beton yang akan menjadi saksi bisu sisa hi
Genggaman tangan Marilyn mengerat, nyaris terangkat untuk melayangkan pukulan pada Ian akibat lelucon menyebalkannya. Namun, amarahnya luruh begitu saja, berganti dengan helaan napas panjang yang sarat frustrasi."Oke, oke... Aku tidak dalam posisi untuk memilih," ucapnya mengalah.Tawa Ian membahana, matanya berkilat geli menyaksikan kekesalan Marilyn. "Setidaknya, kau akan mengingatku." Dengan lembut, jemarinya mengusap puncak kepala Marilyn sebelum kembali ke posisinya dan melanjutkan santapan."Besok kau harus berangkat pagi-pagi untuk mengejar bus pukul tujuh," Ian menjelaskan dengan nada serius. "Kau harus tiba di Kota A sebelum penerbanganmu meninggalkan negeri ini."Tak ada kepastian kapan Marilyn bisa kembali. Terlebih lagi, ia bahkan tak akan bisa mengunjungi makam kedua orangtuanya selama masa pelariannya ini.Setetes air mata jatuh tanpa suara ke atas piringnya. Pandangan Ian langsung menangkap isyarat kesedihan itu. Tanpa ragu, ia meletakkan sendok dan garpu, beranjak men
Ketukan di pintu bergema seperti tembakan pistol di keheningan malam, menyentak Marilyn dari lamunan yang ternyata hanyalah mimpi—mimpi tentang serentetan kejadian mengerikan beberapa jam lalu.Marilyn mengusap wajahnya yang kusut, mengerjapkan mata yang terasa berpasir. Ia tak sadar telah terlelap di sofa tua yang keras ini."Marilyn? Buka pintunya."Suara Ian menembus kayu pintu—berat dan menuntut."Ya... sebentar," jawabnya dengan suara serak. Pandangannya melayang ke arah jam dinding yang jarumnya telah melewati tengah malam. Rupanya ia jatuh tertidur menunggu kepulangan Ian.Dengan tubuh yang terasa ditarik gravitasi dan kepala berdenyut akibat kurang tidur serta tekanan yang mencekik sepanjang hari, Marilyn menyeret langkahnya ke arah pintu dan membukanya.Ian berdiri menjulang di ambang pintu. Bayang-bayang lampu lorong menciptakan dimensi gelap pada seringai khasnya. Marilyn menatap luka-luka perang di wajahnya—memar keunguan di pipi, sayatan tipis di dahi, dan sudut bibir yan
Malam itu, kabut keraguan menyelimuti pikiran Marilyn. Arena menunggu kedatangan Ian, dan Marilyn enggan menyendiri di kediaman pria itu. Pilihan terakhirnya hanyalah menanti sang petarung menyelesaikan pertarungannya—sebuah rutinitas yang selalu berakhir dengan kemenangan mutlak.Tak pernah sekalipun Marilyn meragukan kemahiran Ian di atas ring. Namun, satu pertanyaan terus menggelayut dalam benaknya: mengapa masih ada yang nekat menantang Ian di Arena? Tidakkah mereka melihat jejak tubuh-tubuh yang tumbang sebelumnya? Tidakkah mereka paham betapa sia-sia perlawanan mereka?"Tunggulah di sini. Satu jam lagi aku kembali," ujar Ian sambil menanggalkan pakaiannya. Tanpa sungkan, ia menampakkan tubuh atletisnya di hadapan Marilyn. Namun pikiran gadis itu terlalu kusut untuk mengagumi pahatan sempurna otot perut Ian yang terekspos sejenak, sebelum akhirnya tertutup kemeja putih yang akan menemaninya dalam pertarungan nanti. Toh, pemandangan Ian bertelanjang dada bukanlah hal baru baginya