Dunia seakan berhenti berputar dalam sekejap mata.
Dentuman dahsyat menggetarkan udara, menembus pertahanan jemari Marilyn yang terkepal erat di telinganya. Ledakan itu—hasil dari percobaan naifnya yang tak terkendali—menghantam seluruh ruangan dengan kekuatan yang membuatnya tersungkur. Tubuhnya yang ramping terhuyung, lutut membentur lantai sementara punggungnya mencari sandaran pada dinding dingin di belakangnya. Tirai putih yang menggantung menjadi penyelamatnya, menghalangi pandangan ketiga pria bertubuh kekar yang menerobos masuk dengan napas memburu. Kepulan asap tebal menari-nari di udara, berpadu dengan lengking nyaring alarm kebakaran yang memecah keheningan. Perhatian ketiga pria itu sepenuhnya tertuju pada sosok Rama Dimatrio—sang atasan yang kini terbaring tak bergerak. Mereka seolah lupa, atau mungkin tak peduli, bahwa ada nyawa lain yang terancam di ruangan itu. Pemandangan mencekam di hadapan mereka telah menyita seluruh kesadaran. "Tuan Rama!!!" Suara Alex menggelegar, memimpin dua rekannya yang bergegas masuk. Di luar, koridor mulai riuh dengan derap langkah dan bisik-bisik ketakutan dari para pegawai yang saling mencari tahu sumber kekacauan. "Tuan Rama!" Alex kembali berteriak, kali ini dengan nada yang semakin putus asa. "Oh, sial!" Umpatan kasar itu menjadi sinyal bagi Marilyn—bodyguard itu telah menemukan jasad Rama Dimatrio. Ini adalah kesempatannya untuk meloloskan diri. Masih gemetar akibat ledakan yang ia ciptakan, Marilyn memaksa matanya terbuka lebar. Sepasang iris cokelat itu berkilat penuh tekad saat ia mengerahkan seluruh kekuatannya, berpegangan pada dinding untuk membantunya berdiri. Waktu terasa melambat, namun instingnya menjerit untuk segera bergerak. Pintu kamar hotel yang menganga seolah berbisik, memanggil Marilyn mendekat dengan janji sebuah pelarian. Tanpa ragu, kakinya bergerak mengikuti panggilan takdir itu. Sebelum hiruk-pikuk petugas hotel dan security mengacaukan rencananya, Marilyn melesat bagai anak panah. Tubuhnya yang ramping menyelip di antara kerumunan orang-orang yang memenuhi koridor, hingga akhirnya mencapai tangga darurat. Di sana, beberapa orang telah lebih dulu melarikan diri, bisik-bisik ketakutan mereka tentang kemungkinan ledakan bom menggema di dinding-dinding sempit tangga beton. Gumaman-gumaman panik itu mengikuti langkah Marilyn yang tergesa menuruni anak tangga. Nasib baik masih berpihak padanya - kamar Rama yang terletak di lantai tiga membuatnya tak perlu berlama-lama berkutat dengan endless spiral tangga darurat sebelum mencapai lobi. Pandangan-pandangan heran dan penuh tanya menghujani sosoknya yang hanya berbalut jaket kebesaran. Tatapan mereka seolah menelanjangi Marilyn lebih dari kondisinya yang memang nyaris telanjang di balik jaket itu. Kulit putih mulusnya yang seharusnya tersembunyi kini menjadi tontonan para mata lapar. Namun Marilyn tak peduli. Apa yang sedang dihadapinya jauh lebih mengerikan dari sekadar menjadi objek tatapan predator. Derap kakinya terus membawanya melintasi lobi, menembus pintu hotel, hingga akhirnya berhenti di tepi jalan untuk memanggil taksi. "Mau ke mana?" tanya sopir taksi itu, matanya terbelalak melihat penampilan Marilyn yang berantakan dengan wajah sepucat kertas. "Distrik 18," sahut Marilyn terengah, nafasnya masih memburu. Sang sopir terdiam. Kota T hanya mencakup hingga Distrik 12, sementara Distrik 18 sudah masuk wilayah Kota R. Jarak yang harus ditempuh bisa mencapai lima jam dalam kondisi normal. Matanya melirik penampilan Marilyn dengan ragu, jelas mempertanyakan kemampuan penumpangnya membayar argo untuk perjalanan sejauh itu. Marilyn menangkap keraguan itu. Dengan gerakan kasar ia merogoh saku jaketnya, mengeluarkan segepok uang dan melemparkannya ke kursi depan. "Simpan kembaliannya!" bentaknya keras, mengakhiri segala keraguan sang sopir. Malam itu, pikiran Marilyn berkecamuk. Setelah semua yang terjadi hari ini, dia tak peduli lagi dengan sopan santun atau tata krama. Yang ada di benaknya hanya satu: melarikan diri sejauh mungkin. "Jalan sekarang atau aku cari taksi lain!" bentaknya kasar. Tangannya gemetar saat melemparkan segepok uang ke kursi depan. Sopir taksi berkepala plontos itu terkesiap melihat jumlah yang jauh melebihi argo normal. Namun dia tak ambil pusing tentang asal-usul uang tersebut - di rumah, istri dan anak-anaknya menanti, mulut-mulut yang harus diberi makan. Itu saja yang penting baginya. "Ya, ya, Nona," sahutnya tergagap, menepis tangan Marilyn yang sedingin es. Mobil pun melaju membelah kegelapan malam. Di kursi belakang, Marilyn menghitung sisa hasil jarahan dari dompet dan jaket Rama. Selain uang tunai yang baru saja dia berikan pada sopir, masih ada jam tangan mewah dan sepasang cincin yang bisa diuangkan nanti. Tapi sekarang yang terpenting adalah menemui sahabatnya - satu-satunya orang yang masih bisa dia percaya di dunia ini. Taksi terus melaju, meliuk-liuk menghindari kemacetan lewat jalan-jalan tikus. Sopir mencoba mencairkan suasana, "Ada keributan ya tadi di hotel, Nona? Apa yang terjadi?" Tak ada jawaban. Dari kaca spion, dia melihat penumpangnya hanya menatap kosong ke luar jendela, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Paham bahwa gadis itu tak ingin diganggu, sopir taksi membiarkan keheningan menyelimuti sisa perjalanan lima jam ke depan. *** Malam telah merangkak naik ketika taksi yang membawa Marilyn akhirnya mencapai Long Isle, setelah melahap jalanan selama lima jam tanpa henti. Deretan toko-toko kecil berjajar rapi di kedua sisi jalan, menciptakan labirin kehidupan malam yang masih bergeliat meski waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Marilyn mengenali setiap sudut tempat ini. Long Isle bukanlah sekadar nama baginya—tempat ini menyimpan serpihan-serpihan memori yang tak terhitung jumlahnya. Lampu-lampu neon dari etalase toko menari-nari di matanya, sementara kelompok-kelompok remaja masih berkeliaran, memamerkan keberanian mereka menghadapi dinginnya malam dengan tawa yang menggelegar. "Nona..." Suara sopir taksi memecah lamunannya, nadanya penuh keraguan. Matanya melirik jaket tipis yang melekat di tubuh Marilyn melalui kaca spion. "Anda yakin ingin turun di sini?" Marilyn menangkap kecemasan dalam suara sang sopir. Ia menunduk, mengamati jaket yang menjadi satu-satunya pelindung tubuhnya. Setelah menimbang sejenak, sebuah ide muncul di benaknya. "Uang yang tersisa ini cukup banyak," ujarnya mantap. "Tolong belikan saya pakaian lengkap dengan celana. Tidak perlu yang mahal—yang penting layak dipakai." Keragu-raguan masih tergambar jelas di wajah sang sopir. Marilyn, yang sudah mahir membaca ekspresi manusia, segera menambahkan, "Matikan saja mobilnya dan bawa kuncinya. Saya akan menunggu di sini." Setelah beberapa saat tenggelam dalam pertimbangan, sopir itu akhirnya mengangguk. "Baiklah," ucapnya, sembari mematikan mesin dan melangkah keluar, meninggalkan Marilyn terkunci aman di dalam taksi. Di dalam keheningan mobil yang terparkir, Marilyn membiarkan pikirannya mengembara. Ada hal-hal lebih besar yang perlu ia pikirkan—hal-hal yang membuatnya kembali ke tempat ini, ke Long Isle yang selalu setia menyimpan rahasia-rahasianya.Kantong plastik berisi pakaian tergenggam di tangan sopir taksi itu saat ia kembali ke mobilnya. Diketuknya kaca jendela pelan, berusaha menarik perhatian penumpang wanitanya yang tenggelam dalam lamunan. Tatapan kosong sang penumpang menerawang jauh, seolah pikirannya berada di tempat lain.Begitu kunci mobil terbuka, Marilyn menurunkan kaca jendelanya dengan gerakan lambat. Tangannya yang gemetar menerima tas plastik yang disodorkan."Ini pesanan Anda - baju dan celana," ujar sang sopir dengan nada ramah. "Saya juga sekalian belikan topi.""Terima kasih," bisik Marilyn, suaranya nyaris tak terdengar.Kaca depan mobil yang buram menjadi tameng sempurna, menghalangi pandangan orang-orang yang berlalu lalang. Meski demikian, sang sopir tetap berjaga-jaga. Ia memosisikan diri tepat di samping jendela, punggungnya menutupi sosok Marilyn yang tengah berganti pakaian dengan tergesa di dalam mobil.Seusai mengenakan pakaian barunya, Marilyn memasukkan jam tangan mewah pemberian Rama beserta
Langkah Ian bergema di koridor beton yang dingin saat ia melesat menuju pintu keluar arena. Kutukan-kutukan tertahan di antara desah napasnya yang memburu. Marilyn—gadis itu berani-beraninya menginjakkan kaki di sarang iblis ini sendirian. Berapa kali ia harus memperingatkannya? Tempat ini bukan untuk makhluk selembut dia.Demian, penjaga keamanan bertubuh kekar dengan bekas luka di wajah, mengekor di belakangnya. "Si algojo tampaknya tergesa-gesa," bisiknya pada rekannya dengan seringai tipis.Udara luar terasa menggigit kulit. Di sana, di bawah lampu jalan yang berkedip lemah, berdiri sosok mungil Marilyn. Rambutnya yang panjang terurai liar dipermainkan angin malam, sementara ujung sepatunya menendang-nendang kerikil dengan gelisah."Marilyn," suara Ian menggelegar, mengoyak keheningan malam. "Sudah kubilang berkali-kali bahwa..."Kalimatnya terputus oleh hantaman tubuh Marilyn yang menghambur ke arahnya. Aroma manis parfumnya bercampur dengan bau asin air mata yang kini membasahi
Malam itu, kabut keraguan menyelimuti pikiran Marilyn. Arena menunggu kedatangan Ian, dan Marilyn enggan menyendiri di kediaman pria itu. Pilihan terakhirnya hanyalah menanti sang petarung menyelesaikan pertarungannya—sebuah rutinitas yang selalu berakhir dengan kemenangan mutlak.Tak pernah sekalipun Marilyn meragukan kemahiran Ian di atas ring. Namun, satu pertanyaan terus menggelayut dalam benaknya: mengapa masih ada yang nekat menantang Ian di Arena? Tidakkah mereka melihat jejak tubuh-tubuh yang tumbang sebelumnya? Tidakkah mereka paham betapa sia-sia perlawanan mereka?"Tunggulah di sini. Satu jam lagi aku kembali," ujar Ian sambil menanggalkan pakaiannya. Tanpa sungkan, ia menampakkan tubuh atletisnya di hadapan Marilyn. Namun pikiran gadis itu terlalu kusut untuk mengagumi pahatan sempurna otot perut Ian yang terekspos sejenak, sebelum akhirnya tertutup kemeja putih yang akan menemaninya dalam pertarungan nanti. Toh, pemandangan Ian bertelanjang dada bukanlah hal baru baginya
Ketukan di pintu bergema seperti tembakan pistol di keheningan malam, menyentak Marilyn dari lamunan yang ternyata hanyalah mimpi—mimpi tentang serentetan kejadian mengerikan beberapa jam lalu.Marilyn mengusap wajahnya yang kusut, mengerjapkan mata yang terasa berpasir. Ia tak sadar telah terlelap di sofa tua yang keras ini."Marilyn? Buka pintunya."Suara Ian menembus kayu pintu—berat dan menuntut."Ya... sebentar," jawabnya dengan suara serak. Pandangannya melayang ke arah jam dinding yang jarumnya telah melewati tengah malam. Rupanya ia jatuh tertidur menunggu kepulangan Ian.Dengan tubuh yang terasa ditarik gravitasi dan kepala berdenyut akibat kurang tidur serta tekanan yang mencekik sepanjang hari, Marilyn menyeret langkahnya ke arah pintu dan membukanya.Ian berdiri menjulang di ambang pintu. Bayang-bayang lampu lorong menciptakan dimensi gelap pada seringai khasnya. Marilyn menatap luka-luka perang di wajahnya—memar keunguan di pipi, sayatan tipis di dahi, dan sudut bibir yan
Genggaman tangan Marilyn mengerat, nyaris terangkat untuk melayangkan pukulan pada Ian akibat lelucon menyebalkannya. Namun, amarahnya luruh begitu saja, berganti dengan helaan napas panjang yang sarat frustrasi."Oke, oke... Aku tidak dalam posisi untuk memilih," ucapnya mengalah.Tawa Ian membahana, matanya berkilat geli menyaksikan kekesalan Marilyn. "Setidaknya, kau akan mengingatku." Dengan lembut, jemarinya mengusap puncak kepala Marilyn sebelum kembali ke posisinya dan melanjutkan santapan."Besok kau harus berangkat pagi-pagi untuk mengejar bus pukul tujuh," Ian menjelaskan dengan nada serius. "Kau harus tiba di Kota A sebelum penerbanganmu meninggalkan negeri ini."Tak ada kepastian kapan Marilyn bisa kembali. Terlebih lagi, ia bahkan tak akan bisa mengunjungi makam kedua orangtuanya selama masa pelariannya ini.Setetes air mata jatuh tanpa suara ke atas piringnya. Pandangan Ian langsung menangkap isyarat kesedihan itu. Tanpa ragu, ia meletakkan sendok dan garpu, beranjak men
"Bagaimana mereka bisa menemukanku di sini?" Napas Marilyn tercekat. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat tatapannya bertemu dengan mata Alex—kilatan pengenalan langsung menyala di wajah pria itu.Dua kota memisahkan mereka. Seharusnya, dengan kematian Rama Dimatrio, pencarian terhadap dirinya terhenti. Bukankah begitu?Tapi logika dingin menyeruak dalam benaknya. Tentu saja. Tentu saja dia menjadi target pertama yang dicari para Pengawal setelah kematian tidak wajar bos mereka. Marilyn—tersangka utama dalam drama berdarah ini.Pupil matanya melebar. Adrenalin membanjiri pembuluh darahnya saat ia mundur perlahan, kemudian berputar dan mencoba menerobos kerumunan di belakangnya. Dari ekor matanya, ia melihat Alex dan dua anjing pemburu setianya mulai bergerak—berlari dengan tatapan yang tak perlu diterjemahkan lagi: jika tertangkap, Marilyn tak akan pernah melihat dunia luar lagi.Visualisasi tentang sel penjara yang pengap, empat dinding beton yang akan menjadi saksi bisu sisa hi
Marilyn sungguh tak mengenal pria yang baru saja ia akui sebagai tunangannya. Namun, berkat ketelitian salah seorang petugas medis yang menemukan identitas dalam saku jaket korban, setidaknya kini ia mengetahui nama pria itu.Di bangku tunggu, tak jauh dari ruang operasi, Marilyn duduk dengan tatapan kosong, jemarinya menggenggam erat jaket bernoda darah milik Elon Tudor—pria yang kini tengah berjuang antara hidup dan mati di meja operasi.Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Kenyataan pahit harus ia telan bulat-bulat; ia takkan pernah tiba di bandara tepat waktu, apalagi menaiki pesawat sesuai jadwal. Yang lebih mengkhawatirkan, Marilyn tak yakin apakah ketiga pria yang memburu jejaknya akan berhenti mencari.‘Mereka pasti dengan mudah memperoleh informasi tentang rumah sakit ini,’ batinnya resah. ‘Aku harus segera pergi dari sini.’Setelah memastikan tak ada lagi perawat yang akan mendekati dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tak ia ketahui tentang pria bernam
‘Keluarga Tudor adalah salah satu elit teratas di kota A!’Kenyataan itu menghantam Marilyn bagai sambaran petir. Bagaimana mungkin ia bisa begitu ceroboh sampai melupakan fakta sepenting ini?Seketika, adrenalin berpacu dalam nadinya, begitu cepat hingga membuat kepalanya berputar. Jantungnya berdegup kencang, nyaris terdengar di telinganya sendiri."Apa kau baik-baik saja?" Suara Lis Tudor terdengar lembut, namun sepasang matanya yang tajam mengamati setiap gerak-gerik Marilyn dengan penuh perhitungan. "Kau tampak pucat.""Aku baik-baik saja..." gumam Marilyn, menggelengkan kepalanya perlahan. Tatapannya jatuh pada jari-jarinya yang bertautan erat di pangkuan, seolah mencari kekuatan di sana. Pikirannya kosong, tak tahu harus berkata apa."Mengenai hubunganmu dan Elon..." Lis memulai, namun kata-katanya langsung terpotong.Desahan pelan Lis Tudor memecah keheningan. Mendengarnya, bulu kuduk Marilyn meremang. Berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya. Wanita elegan di ha
Marilyn mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dengan gelisah. Matanya menjelajahi langit-langit ruang perawatan yang putih bersih, beralih pada setiap detail perabotan yang tertata rapi, lalu pada jendela besar dengan tirai putih yang melambai lembut tertiup angin pendingin. Tatapannya kemudian jatuh pada lukisan abstrak mewah yang menghiasi dinding, sebelum akhirnya terpaku pada tabung infus yang cairan di dalamnya nyaris habis—pengingat bahwa ia sedang berada di rumah sakit, bukan di kamar hotel berbintang lima.Ke mana pun matanya berkelana, Marilyn menolak untuk menatap sosok pria yang duduk di hadapannya—pria yang baru saja ia suapi potongan apel segar."Kenapa kau menghindari tatapanku?" Suara berat Elon memecah keheningan, mengejutkan Marilyn yang pikirannya sedang melayang jauh, memikirkan ribuan kemungkinan dalam waktu yang bersamaan."Hah?" Marilyn tersentak, menoleh dan langsung berhadapan dengan mata tajam Elon yang menatapnya penuh selidik. "Tidak," jawabn
Marilyn merasakan seluruh tubuhnya menegang, jemarinya perlahan mati rasa seakan dialiri es. Napasnya menjadi pendek dan cepat, terperangkap dalam dada yang kini terasa sesak. ‘Lupakan Rama Dimatrio.’ Keluarga Tudor—nama yang membawa gema kekuasaan di setiap suku katanya—jauh lebih berpengaruh daripada keluarga jaksa wilayah manapun. Jika Marilyn sampai berselisih dengan keluarga sebesar Tudor, siapa yang bisa memprediksi takdir kelam apa yang akan menanti hidupnya?"Apa maksudnya ini?" Suara Lis memecah keheningan, tatapannya yang tajam berpindah dari Elon ke Marilyn seperti pendulum yang mencari kebenaran. Keheranan terpancar jelas dari bola matanya yang mengilat di bawah cahaya ruangan. "Elon, bagaimana mungkin kau tidak mengingat kekasihmu sendiri? Wanita pilihanmu yang telah kau sembunyikan dari dunia selama dua tahun penuh?"Lis mengulurkan tangan, jemarinya yang lentik dengan lembut membelai wajah putranya, mencari koneksi. Namun Elon, dengan gerakan dingin yang menyiratkan pe
Marilyn menatap pengawal bertubuh kekar yang menjaga pintu keluar dengan perasaan campur aduk. Apakah ia harus bersyukur atas kehadiran pria itu, atau justru merasa terpenjara? Satu hal yang pasti—melarikan diri akan menjadi nyaris mustahil."Ada beberapa urusan yang tidak bisa kutunda," ujar Lis sambil membelai lembut kepala putranya. Matanya yang teduh beralih pada Marilyn. "Aku harap kau tidak keberatan menjaga Elon malam ini.""Ah, itu..." Marilyn menelan ludah, ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengangguk. "Tentu saja," bisiknya, hampir tak terdengar.Lis meraih ponselnya dan berbalik. "Kalau begitu, aku pergi sekarang.""Nyonya Tudor." Suara Marilyn melengking, lebih tinggi dari yang ia inginkan. Kecemasan merayapi tulang belakangnya—bagaimana ia bisa terjebak semalaman bersama orang asing yang bahkan tak sadarkan diri?"Hm?" Lis menoleh, alisnya terangkat penuh tanya. "Ya?" tanyanya, menunggu gadis itu melanjutkan.Marilyn menggigit bibir bawahnya, jemarinya bergerak gelisah. "Hmm..
‘Keluarga Tudor adalah salah satu elit teratas di kota A!’Kenyataan itu menghantam Marilyn bagai sambaran petir. Bagaimana mungkin ia bisa begitu ceroboh sampai melupakan fakta sepenting ini?Seketika, adrenalin berpacu dalam nadinya, begitu cepat hingga membuat kepalanya berputar. Jantungnya berdegup kencang, nyaris terdengar di telinganya sendiri."Apa kau baik-baik saja?" Suara Lis Tudor terdengar lembut, namun sepasang matanya yang tajam mengamati setiap gerak-gerik Marilyn dengan penuh perhitungan. "Kau tampak pucat.""Aku baik-baik saja..." gumam Marilyn, menggelengkan kepalanya perlahan. Tatapannya jatuh pada jari-jarinya yang bertautan erat di pangkuan, seolah mencari kekuatan di sana. Pikirannya kosong, tak tahu harus berkata apa."Mengenai hubunganmu dan Elon..." Lis memulai, namun kata-katanya langsung terpotong.Desahan pelan Lis Tudor memecah keheningan. Mendengarnya, bulu kuduk Marilyn meremang. Berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya. Wanita elegan di ha
Marilyn sungguh tak mengenal pria yang baru saja ia akui sebagai tunangannya. Namun, berkat ketelitian salah seorang petugas medis yang menemukan identitas dalam saku jaket korban, setidaknya kini ia mengetahui nama pria itu.Di bangku tunggu, tak jauh dari ruang operasi, Marilyn duduk dengan tatapan kosong, jemarinya menggenggam erat jaket bernoda darah milik Elon Tudor—pria yang kini tengah berjuang antara hidup dan mati di meja operasi.Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Kenyataan pahit harus ia telan bulat-bulat; ia takkan pernah tiba di bandara tepat waktu, apalagi menaiki pesawat sesuai jadwal. Yang lebih mengkhawatirkan, Marilyn tak yakin apakah ketiga pria yang memburu jejaknya akan berhenti mencari.‘Mereka pasti dengan mudah memperoleh informasi tentang rumah sakit ini,’ batinnya resah. ‘Aku harus segera pergi dari sini.’Setelah memastikan tak ada lagi perawat yang akan mendekati dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tak ia ketahui tentang pria bernam
"Bagaimana mereka bisa menemukanku di sini?" Napas Marilyn tercekat. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat tatapannya bertemu dengan mata Alex—kilatan pengenalan langsung menyala di wajah pria itu.Dua kota memisahkan mereka. Seharusnya, dengan kematian Rama Dimatrio, pencarian terhadap dirinya terhenti. Bukankah begitu?Tapi logika dingin menyeruak dalam benaknya. Tentu saja. Tentu saja dia menjadi target pertama yang dicari para Pengawal setelah kematian tidak wajar bos mereka. Marilyn—tersangka utama dalam drama berdarah ini.Pupil matanya melebar. Adrenalin membanjiri pembuluh darahnya saat ia mundur perlahan, kemudian berputar dan mencoba menerobos kerumunan di belakangnya. Dari ekor matanya, ia melihat Alex dan dua anjing pemburu setianya mulai bergerak—berlari dengan tatapan yang tak perlu diterjemahkan lagi: jika tertangkap, Marilyn tak akan pernah melihat dunia luar lagi.Visualisasi tentang sel penjara yang pengap, empat dinding beton yang akan menjadi saksi bisu sisa hi
Genggaman tangan Marilyn mengerat, nyaris terangkat untuk melayangkan pukulan pada Ian akibat lelucon menyebalkannya. Namun, amarahnya luruh begitu saja, berganti dengan helaan napas panjang yang sarat frustrasi."Oke, oke... Aku tidak dalam posisi untuk memilih," ucapnya mengalah.Tawa Ian membahana, matanya berkilat geli menyaksikan kekesalan Marilyn. "Setidaknya, kau akan mengingatku." Dengan lembut, jemarinya mengusap puncak kepala Marilyn sebelum kembali ke posisinya dan melanjutkan santapan."Besok kau harus berangkat pagi-pagi untuk mengejar bus pukul tujuh," Ian menjelaskan dengan nada serius. "Kau harus tiba di Kota A sebelum penerbanganmu meninggalkan negeri ini."Tak ada kepastian kapan Marilyn bisa kembali. Terlebih lagi, ia bahkan tak akan bisa mengunjungi makam kedua orangtuanya selama masa pelariannya ini.Setetes air mata jatuh tanpa suara ke atas piringnya. Pandangan Ian langsung menangkap isyarat kesedihan itu. Tanpa ragu, ia meletakkan sendok dan garpu, beranjak men
Ketukan di pintu bergema seperti tembakan pistol di keheningan malam, menyentak Marilyn dari lamunan yang ternyata hanyalah mimpi—mimpi tentang serentetan kejadian mengerikan beberapa jam lalu.Marilyn mengusap wajahnya yang kusut, mengerjapkan mata yang terasa berpasir. Ia tak sadar telah terlelap di sofa tua yang keras ini."Marilyn? Buka pintunya."Suara Ian menembus kayu pintu—berat dan menuntut."Ya... sebentar," jawabnya dengan suara serak. Pandangannya melayang ke arah jam dinding yang jarumnya telah melewati tengah malam. Rupanya ia jatuh tertidur menunggu kepulangan Ian.Dengan tubuh yang terasa ditarik gravitasi dan kepala berdenyut akibat kurang tidur serta tekanan yang mencekik sepanjang hari, Marilyn menyeret langkahnya ke arah pintu dan membukanya.Ian berdiri menjulang di ambang pintu. Bayang-bayang lampu lorong menciptakan dimensi gelap pada seringai khasnya. Marilyn menatap luka-luka perang di wajahnya—memar keunguan di pipi, sayatan tipis di dahi, dan sudut bibir yan
Malam itu, kabut keraguan menyelimuti pikiran Marilyn. Arena menunggu kedatangan Ian, dan Marilyn enggan menyendiri di kediaman pria itu. Pilihan terakhirnya hanyalah menanti sang petarung menyelesaikan pertarungannya—sebuah rutinitas yang selalu berakhir dengan kemenangan mutlak.Tak pernah sekalipun Marilyn meragukan kemahiran Ian di atas ring. Namun, satu pertanyaan terus menggelayut dalam benaknya: mengapa masih ada yang nekat menantang Ian di Arena? Tidakkah mereka melihat jejak tubuh-tubuh yang tumbang sebelumnya? Tidakkah mereka paham betapa sia-sia perlawanan mereka?"Tunggulah di sini. Satu jam lagi aku kembali," ujar Ian sambil menanggalkan pakaiannya. Tanpa sungkan, ia menampakkan tubuh atletisnya di hadapan Marilyn. Namun pikiran gadis itu terlalu kusut untuk mengagumi pahatan sempurna otot perut Ian yang terekspos sejenak, sebelum akhirnya tertutup kemeja putih yang akan menemaninya dalam pertarungan nanti. Toh, pemandangan Ian bertelanjang dada bukanlah hal baru baginya