Share

Chapter 5

Author: RDP
last update Last Updated: 2025-02-25 13:01:59

Langkah Ian bergema di koridor beton yang dingin saat ia melesat menuju pintu keluar arena. Kutukan-kutukan tertahan di antara desah napasnya yang memburu. Marilyn—gadis itu berani-beraninya menginjakkan kaki di sarang iblis ini sendirian. Berapa kali ia harus memperingatkannya? Tempat ini bukan untuk makhluk selembut dia.

 

Demian, penjaga keamanan bertubuh kekar dengan bekas luka di wajah, mengekor di belakangnya. "Si algojo tampaknya tergesa-gesa," bisiknya pada rekannya dengan seringai tipis.

 

Udara luar terasa menggigit kulit. Di sana, di bawah lampu jalan yang berkedip lemah, berdiri sosok mungil Marilyn. Rambutnya yang panjang terurai liar dipermainkan angin malam, sementara ujung sepatunya menendang-nendang kerikil dengan gelisah.

 

"Marilyn," suara Ian menggelegar, mengoyak keheningan malam. "Sudah kubilang berkali-kali bahwa..."

 

Kalimatnya terputus oleh hantaman tubuh Marilyn yang menghambur ke arahnya. Aroma manis parfumnya bercampur dengan bau asin air mata yang kini membasahi kemeja Ian. Tubuh mungil itu bergetar hebat, isakan tertahan lolos dari bibirnya yang pucat.

 

Bisik-bisik mulai terdengar. Para petarung dan penjudi yang sedang merokok di luar arena kini menatap dengan mata penuh keheranan. Si Algojo—pria yang terkenal karena tak pernah meninggalkan lawannya dalam keadaan bernapas di atas ring—kini berdiri kaku dengan seorang gadis yang terisak dalam pelukannya.

 

"Marilyn... Marilyn... jangan menangis seperti ini." Ian berbisik gusar, matanya mengedar tajam, mengancam siapa pun yang berani memandang terlalu lama. Reputasinya sebagai pembantai ring tinju kini tercoreng oleh pemandangan sentimentil ini. "Ayo masuk," desisnya, suaranya rendah dan berbahaya.

 

Dalam satu gerakan mulus, Ian membungkuk dan mengangkat tubuh Marilyn. Gadis itu otomatis mengalungkan lengannya di leher Ian, wajahnya masih tersembunyi di ceruk bahu pria itu.

 

Mereka berjalan memasuki arena—tempat di mana darah dan keringat bercampur di atas kanvas, tempat di mana taruhan-taruhan besar dipertaruhkan atas nyawa manusia, tempat di mana teriakan-teriakan haus darah menggema di bawah lampu sorot yang menyilaukan. Tempat yang sama sekali tidak cocok untuk air mata seorang gadis.

 

Langkah Ian bergema di lorong ketika ia menuntun Marilyn menuju ruang ganti, mengabaikan tatapan-tatapan ingin tahu yang mengiringi mereka. Kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya yang biasanya dingin tak terbaca.

 

Sesampainya di ruangan, Ian membaringkan Marilyn yang masih terisak di sofa lusuh. Dengan gerakan cepat, ia menutup pintu dan menguncinya, memastikan mereka terisolasi dari dunia luar. Ia kemudian berjongkok di hadapan gadis yang telah ia anggap sebagai saudarinya sendiri.

 

"Lyn, redakan tangismu dan ceritakan apa yang terjadi," ucapnya lembut, tangannya mengusap kepala Marilyn dengan sentuhan yang kontras dengan reputasinya.

 

Marilyn menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Matanya yang sembab bertemu dengan pandangan Ian sebelum bibirnya yang bergetar membuka, melontarkan kalimat yang membuat darah Ian seakan membeku.

 

"Aku... baru saja mencabut nyawa seseorang..." Suaranya pecah, bersamaan dengan gelombang kepanikan dan teror yang kembali menghantamnya—emosi yang berhasil ia bendung sementara hingga detik ini.

 

"Apa?" Satu kata itu meluncur dari mulut Ian, diikuti kebingungan yang membanjiri benaknya. "Bagaimana mungkin kau membunuh seseorang? Siapa korbannya? Kau tidak sedang bercanda, bukan?"

 

Marilyn mengeratkan rahangnya. Air mata masih menggenang di pelupuk matanya ketika ia menatap Ian dengan sorot yang mengeras. "Menurutmu, apakah wajah ini terlihat seperti sedang melontarkan lelucon?"

 

"Siapa yang kau bunuh?"

 

Pertanyaan Ian menggantung di udara seperti kabut beracun. Nada suaranya berubah, tak ada lagi jejak humor yang biasa mewarnai percakapan mereka. Bagaimana mungkin ia bercanda saat melihat Marilyn seperti ini—tubuh gemetar, mata sembab, dan isak tangis yang tak kunjung reda?

 

Ian mengamati Marilyn lekat-lekat. Memar kebiruan di dahinya. Darah kering yang menggumpal di helai-helai rambutnya seperti bunga liar yang tumbuh di tanah yang salah. Instingnya sebagai pengacara berteriak bahwa ini bukan sekadar masalah biasa.

 

"Rama Dimatrio, Jaksa Wilayah di kota T."

 

Suara Marilyn melemah dengan setiap suku kata yang terucap, seakan nama itu sendiri memiliki kekuatan untuk merampas napasnya. Begitu nama itu meluncur dari bibirnya, seketika memori-memori mengerikan malam itu menyeruak kembali—suara-suara, sentuhan-sentuhan, dan kengerian yang tak terbayangkan.

 

"Kau membunuhnya?!"

 

Mata Ian membelalak, pupilnya melebar oleh keterkejutan yang tak terbendung. Ia menggelengkan kepalanya keras-keras—kebiasaan lamanya saat berusaha mempertahankan fokus di tengah badai informasi yang menghantam. Seolah dengan gerakan itu ia bisa mengusir pikiran-pikiran buruk yang mulai bermunculan.

 

"Tapi kenapa? Tidak. Pertanyaannya adalah; bagaimana kau bisa tahu tentang dia? Dan untuk apa kau bertemu dengannya?"

 

Ian melihat Marilyn menelan ludah dengan susah payah, tenggorokannya kering oleh ketakutan dan air mata. Tanpa berkata-kata, ia meraih sebotol air mineral dan menyodorkannya pada wanita itu—gestur sederhana yang menawarkan lebih dari sekadar pelepas dahaga.

 

Marilyn menerima botol itu dengan tangan bergetar. Sensasi dingin cairan yang mengalir di tenggorokannya terasa seperti anugerah kecil di tengah mimpi buruk yang sedang ia jalani. Suaranya kembali, meski rapuh seperti es tipis di atas danau musim dingin.

 

Waktu seakan melambat saat Marilyn membuka jalinan cerita yang selama ini tersimpan rapat. Bagaimana kedua orangtuanya ditemukan tewas dalam perampokan misterius seminggu lalu. Bagaimana dunianya runtuh dalam sekejap mata. Bagaimana Aileen—saudari tiri yang selama ini dipandangnya sebagai sosok sempurna, teladan kehidupan yang ingin ia capai—ternyata menyimpan rahasia kelam.

 

Rahasia tentang bagaimana ia telah menjual Marilyn kepada sang jaksa wilayah, Rama Dimatrio, pria yang ternyata adalah kakek biologis Marilyn sendiri. Pria yang namanya disebut dengan suara lirih dan penuh kebencian.

 

Dan akhirnya, bagaimana dalam keputusasaan untuk meloloskan diri dari cengkeraman pria itu, tangannya telah melakukan hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya—merenggut nyawa sang jaksa wilayah yang disegani.

 

Pengakuan itu mengalir seperti darah dari luka yang terlalu lama ditutup-tutupi, menyakitkan namun juga membebaskan. Dan Ian tahu, bahwa apa yang ia dengar hanyalah permulaan dari labirin kegelapan yang masih harus mereka telusuri bersama.

 

"Apa yang harus kulakukan?" Desah Marilyn putus asa, suaranya pecah di sela isak tangis yang tak kunjung mereda. Dengan tangan gemetar, ia merogoh sakunya, mengeluarkan jam tangan mewah dan sepasang cincin berkilau milik Rama. Benda-benda itu beralih ke tangan Ian, seolah menyerahkan sebagian beban hidupnya. "Aku butuh uang, Ian. Sekarang."

 

Dahi Ian berkerut dalam, matanya menyipit penuh perhitungan saat mengamati barang-barang curian itu. "Tenang saja," ujarnya dengan suara rendah yang menjanjikan. "Aku akan menjualnya dengan aman." Tentu saja, dalam dunia gelap yang Ian jelajahi, koneksi adalah segalanya. Ada banyak jaringan tersembunyi yang tak pernah tersentuh cahaya 'matahari'—tempat di mana barang-barang bisa berpindah tangan tanpa meninggalkan jejak.

 

"Sudah kubilang, bukan?" Ian menatap Marilyn tajam, ada kilatan kecewa di matanya. "Kau harus berhati-hati dengan Aileen. Dia tidak sebaik yang kau bayangkan." Peringatan yang sama, yang dulu hanya dianggap angin lalu oleh Marilyn.

 

Orangtua Marilyn—Tuan dan Nyonya Tatum yang terpandang—telah lama mencium bahaya dari sosok Ian. Penjahat, begitu mereka menyebutnya. Keluarga Tatum membangun tembok tinggi antara putri mereka dan Ian, takut jika hubungan keduanya akan bermuara pada sesuatu yang tak pernah mereka inginkan untuk putri kesayangan mereka.

 

Upaya itu berhasil, setidaknya untuk sementara. Selama satu bulan terakhir, jembatan komunikasi antara Marilyn dan Ian benar-benar terputus. Ian tidak tahu apa yang terjadi pada sosok yang sudah dianggapnya saudari perempuan ini—hingga hari ini, ketika Marilyn datang dengan mata sembab dan hati yang hancur.

 

"Ian," bisik Marilyn parau, jemarinya kembali bergerak menyeka aliran air mata yang seakan tak ada habisnya. "Apa yang harus kulakukan sekarang?" Keputusasaan menggantung berat di setiap kata yang terucap.

 

Dengan gerakan lembut, Ian mengeluarkan sekotak tisu dan menyodorkannya pada Marilyn. Tanpa kata, ia kemudian duduk di sampingnya, lengannya merangkul bahu Marilyn yang bergetar. Ada kehangatan dan perlindungan dalam pelukan itu, membiarkan Marilyn bersandar pada bahunya yang kokoh.

 

"Ada satu cara," Ian berbicara pelan, suaranya seperti janji di tengah badai. "Aku akan membantumu menemukan tempat yang aman, menciptakan identitas baru untukmu." Ia mengeratkan pelukannya, seolah menegaskan janjinya. "Sementara itu, kau bisa tinggal di rumahku. Tak seorang pun akan menemukanmu di sana."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 6

    Malam itu, kabut keraguan menyelimuti pikiran Marilyn. Arena menunggu kedatangan Ian, dan Marilyn enggan menyendiri di kediaman pria itu. Pilihan terakhirnya hanyalah menanti sang petarung menyelesaikan pertarungannya—sebuah rutinitas yang selalu berakhir dengan kemenangan mutlak.Tak pernah sekalipun Marilyn meragukan kemahiran Ian di atas ring. Namun, satu pertanyaan terus menggelayut dalam benaknya: mengapa masih ada yang nekat menantang Ian di Arena? Tidakkah mereka melihat jejak tubuh-tubuh yang tumbang sebelumnya? Tidakkah mereka paham betapa sia-sia perlawanan mereka?"Tunggulah di sini. Satu jam lagi aku kembali," ujar Ian sambil menanggalkan pakaiannya. Tanpa sungkan, ia menampakkan tubuh atletisnya di hadapan Marilyn. Namun pikiran gadis itu terlalu kusut untuk mengagumi pahatan sempurna otot perut Ian yang terekspos sejenak, sebelum akhirnya tertutup kemeja putih yang akan menemaninya dalam pertarungan nanti. Toh, pemandangan Ian bertelanjang dada bukanlah hal baru baginya

    Last Updated : 2025-03-07
  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 7

    Ketukan di pintu bergema seperti tembakan pistol di keheningan malam, menyentak Marilyn dari lamunan yang ternyata hanyalah mimpi—mimpi tentang serentetan kejadian mengerikan beberapa jam lalu.Marilyn mengusap wajahnya yang kusut, mengerjapkan mata yang terasa berpasir. Ia tak sadar telah terlelap di sofa tua yang keras ini."Marilyn? Buka pintunya."Suara Ian menembus kayu pintu—berat dan menuntut."Ya... sebentar," jawabnya dengan suara serak. Pandangannya melayang ke arah jam dinding yang jarumnya telah melewati tengah malam. Rupanya ia jatuh tertidur menunggu kepulangan Ian.Dengan tubuh yang terasa ditarik gravitasi dan kepala berdenyut akibat kurang tidur serta tekanan yang mencekik sepanjang hari, Marilyn menyeret langkahnya ke arah pintu dan membukanya.Ian berdiri menjulang di ambang pintu. Bayang-bayang lampu lorong menciptakan dimensi gelap pada seringai khasnya. Marilyn menatap luka-luka perang di wajahnya—memar keunguan di pipi, sayatan tipis di dahi, dan sudut bibir yan

    Last Updated : 2025-03-07
  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 8

    Genggaman tangan Marilyn mengerat, nyaris terangkat untuk melayangkan pukulan pada Ian akibat lelucon menyebalkannya. Namun, amarahnya luruh begitu saja, berganti dengan helaan napas panjang yang sarat frustrasi."Oke, oke... Aku tidak dalam posisi untuk memilih," ucapnya mengalah.Tawa Ian membahana, matanya berkilat geli menyaksikan kekesalan Marilyn. "Setidaknya, kau akan mengingatku." Dengan lembut, jemarinya mengusap puncak kepala Marilyn sebelum kembali ke posisinya dan melanjutkan santapan."Besok kau harus berangkat pagi-pagi untuk mengejar bus pukul tujuh," Ian menjelaskan dengan nada serius. "Kau harus tiba di Kota A sebelum penerbanganmu meninggalkan negeri ini."Tak ada kepastian kapan Marilyn bisa kembali. Terlebih lagi, ia bahkan tak akan bisa mengunjungi makam kedua orangtuanya selama masa pelariannya ini.Setetes air mata jatuh tanpa suara ke atas piringnya. Pandangan Ian langsung menangkap isyarat kesedihan itu. Tanpa ragu, ia meletakkan sendok dan garpu, beranjak men

    Last Updated : 2025-03-07
  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 9

    "Bagaimana mereka bisa menemukanku di sini?" Napas Marilyn tercekat. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat tatapannya bertemu dengan mata Alex—kilatan pengenalan langsung menyala di wajah pria itu.Dua kota memisahkan mereka. Seharusnya, dengan kematian Rama Dimatrio, pencarian terhadap dirinya terhenti. Bukankah begitu?Tapi logika dingin menyeruak dalam benaknya. Tentu saja. Tentu saja dia menjadi target pertama yang dicari para Pengawal setelah kematian tidak wajar bos mereka. Marilyn—tersangka utama dalam drama berdarah ini.Pupil matanya melebar. Adrenalin membanjiri pembuluh darahnya saat ia mundur perlahan, kemudian berputar dan mencoba menerobos kerumunan di belakangnya. Dari ekor matanya, ia melihat Alex dan dua anjing pemburu setianya mulai bergerak—berlari dengan tatapan yang tak perlu diterjemahkan lagi: jika tertangkap, Marilyn tak akan pernah melihat dunia luar lagi.Visualisasi tentang sel penjara yang pengap, empat dinding beton yang akan menjadi saksi bisu sisa hi

    Last Updated : 2025-03-07
  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 10

    Marilyn sungguh tak mengenal pria yang baru saja ia akui sebagai tunangannya. Namun, berkat ketelitian salah seorang petugas medis yang menemukan identitas dalam saku jaket korban, setidaknya kini ia mengetahui nama pria itu.Di bangku tunggu, tak jauh dari ruang operasi, Marilyn duduk dengan tatapan kosong, jemarinya menggenggam erat jaket bernoda darah milik Elon Tudor—pria yang kini tengah berjuang antara hidup dan mati di meja operasi.Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Kenyataan pahit harus ia telan bulat-bulat; ia takkan pernah tiba di bandara tepat waktu, apalagi menaiki pesawat sesuai jadwal. Yang lebih mengkhawatirkan, Marilyn tak yakin apakah ketiga pria yang memburu jejaknya akan berhenti mencari.‘Mereka pasti dengan mudah memperoleh informasi tentang rumah sakit ini,’ batinnya resah. ‘Aku harus segera pergi dari sini.’Setelah memastikan tak ada lagi perawat yang akan mendekati dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tak ia ketahui tentang pria bernam

    Last Updated : 2025-03-07
  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 11

    ‘Keluarga Tudor adalah salah satu elit teratas di kota A!’Kenyataan itu menghantam Marilyn bagai sambaran petir. Bagaimana mungkin ia bisa begitu ceroboh sampai melupakan fakta sepenting ini?Seketika, adrenalin berpacu dalam nadinya, begitu cepat hingga membuat kepalanya berputar. Jantungnya berdegup kencang, nyaris terdengar di telinganya sendiri."Apa kau baik-baik saja?" Suara Lis Tudor terdengar lembut, namun sepasang matanya yang tajam mengamati setiap gerak-gerik Marilyn dengan penuh perhitungan. "Kau tampak pucat.""Aku baik-baik saja..." gumam Marilyn, menggelengkan kepalanya perlahan. Tatapannya jatuh pada jari-jarinya yang bertautan erat di pangkuan, seolah mencari kekuatan di sana. Pikirannya kosong, tak tahu harus berkata apa."Mengenai hubunganmu dan Elon..." Lis memulai, namun kata-katanya langsung terpotong.Desahan pelan Lis Tudor memecah keheningan. Mendengarnya, bulu kuduk Marilyn meremang. Berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya. Wanita elegan di ha

    Last Updated : 2025-03-08
  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 12

    Marilyn menatap pengawal bertubuh kekar yang menjaga pintu keluar dengan perasaan campur aduk. Apakah ia harus bersyukur atas kehadiran pria itu, atau justru merasa terpenjara? Satu hal yang pasti—melarikan diri akan menjadi nyaris mustahil."Ada beberapa urusan yang tidak bisa kutunda," ujar Lis sambil membelai lembut kepala putranya. Matanya yang teduh beralih pada Marilyn. "Aku harap kau tidak keberatan menjaga Elon malam ini.""Ah, itu..." Marilyn menelan ludah, ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengangguk. "Tentu saja," bisiknya, hampir tak terdengar.Lis meraih ponselnya dan berbalik. "Kalau begitu, aku pergi sekarang.""Nyonya Tudor." Suara Marilyn melengking, lebih tinggi dari yang ia inginkan. Kecemasan merayapi tulang belakangnya—bagaimana ia bisa terjebak semalaman bersama orang asing yang bahkan tak sadarkan diri?"Hm?" Lis menoleh, alisnya terangkat penuh tanya. "Ya?" tanyanya, menunggu gadis itu melanjutkan.Marilyn menggigit bibir bawahnya, jemarinya bergerak gelisah. "Hmm..

    Last Updated : 2025-03-08
  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 13

    Marilyn merasakan seluruh tubuhnya menegang, jemarinya perlahan mati rasa seakan dialiri es. Napasnya menjadi pendek dan cepat, terperangkap dalam dada yang kini terasa sesak. ‘Lupakan Rama Dimatrio.’ Keluarga Tudor—nama yang membawa gema kekuasaan di setiap suku katanya—jauh lebih berpengaruh daripada keluarga jaksa wilayah manapun. Jika Marilyn sampai berselisih dengan keluarga sebesar Tudor, siapa yang bisa memprediksi takdir kelam apa yang akan menanti hidupnya?"Apa maksudnya ini?" Suara Lis memecah keheningan, tatapannya yang tajam berpindah dari Elon ke Marilyn seperti pendulum yang mencari kebenaran. Keheranan terpancar jelas dari bola matanya yang mengilat di bawah cahaya ruangan. "Elon, bagaimana mungkin kau tidak mengingat kekasihmu sendiri? Wanita pilihanmu yang telah kau sembunyikan dari dunia selama dua tahun penuh?"Lis mengulurkan tangan, jemarinya yang lentik dengan lembut membelai wajah putranya, mencari koneksi. Namun Elon, dengan gerakan dingin yang menyiratkan pe

    Last Updated : 2025-03-14

Latest chapter

  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 14

    Marilyn mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dengan gelisah. Matanya menjelajahi langit-langit ruang perawatan yang putih bersih, beralih pada setiap detail perabotan yang tertata rapi, lalu pada jendela besar dengan tirai putih yang melambai lembut tertiup angin pendingin. Tatapannya kemudian jatuh pada lukisan abstrak mewah yang menghiasi dinding, sebelum akhirnya terpaku pada tabung infus yang cairan di dalamnya nyaris habis—pengingat bahwa ia sedang berada di rumah sakit, bukan di kamar hotel berbintang lima.Ke mana pun matanya berkelana, Marilyn menolak untuk menatap sosok pria yang duduk di hadapannya—pria yang baru saja ia suapi potongan apel segar."Kenapa kau menghindari tatapanku?" Suara berat Elon memecah keheningan, mengejutkan Marilyn yang pikirannya sedang melayang jauh, memikirkan ribuan kemungkinan dalam waktu yang bersamaan."Hah?" Marilyn tersentak, menoleh dan langsung berhadapan dengan mata tajam Elon yang menatapnya penuh selidik. "Tidak," jawabn

  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 13

    Marilyn merasakan seluruh tubuhnya menegang, jemarinya perlahan mati rasa seakan dialiri es. Napasnya menjadi pendek dan cepat, terperangkap dalam dada yang kini terasa sesak. ‘Lupakan Rama Dimatrio.’ Keluarga Tudor—nama yang membawa gema kekuasaan di setiap suku katanya—jauh lebih berpengaruh daripada keluarga jaksa wilayah manapun. Jika Marilyn sampai berselisih dengan keluarga sebesar Tudor, siapa yang bisa memprediksi takdir kelam apa yang akan menanti hidupnya?"Apa maksudnya ini?" Suara Lis memecah keheningan, tatapannya yang tajam berpindah dari Elon ke Marilyn seperti pendulum yang mencari kebenaran. Keheranan terpancar jelas dari bola matanya yang mengilat di bawah cahaya ruangan. "Elon, bagaimana mungkin kau tidak mengingat kekasihmu sendiri? Wanita pilihanmu yang telah kau sembunyikan dari dunia selama dua tahun penuh?"Lis mengulurkan tangan, jemarinya yang lentik dengan lembut membelai wajah putranya, mencari koneksi. Namun Elon, dengan gerakan dingin yang menyiratkan pe

  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 12

    Marilyn menatap pengawal bertubuh kekar yang menjaga pintu keluar dengan perasaan campur aduk. Apakah ia harus bersyukur atas kehadiran pria itu, atau justru merasa terpenjara? Satu hal yang pasti—melarikan diri akan menjadi nyaris mustahil."Ada beberapa urusan yang tidak bisa kutunda," ujar Lis sambil membelai lembut kepala putranya. Matanya yang teduh beralih pada Marilyn. "Aku harap kau tidak keberatan menjaga Elon malam ini.""Ah, itu..." Marilyn menelan ludah, ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengangguk. "Tentu saja," bisiknya, hampir tak terdengar.Lis meraih ponselnya dan berbalik. "Kalau begitu, aku pergi sekarang.""Nyonya Tudor." Suara Marilyn melengking, lebih tinggi dari yang ia inginkan. Kecemasan merayapi tulang belakangnya—bagaimana ia bisa terjebak semalaman bersama orang asing yang bahkan tak sadarkan diri?"Hm?" Lis menoleh, alisnya terangkat penuh tanya. "Ya?" tanyanya, menunggu gadis itu melanjutkan.Marilyn menggigit bibir bawahnya, jemarinya bergerak gelisah. "Hmm..

  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 11

    ‘Keluarga Tudor adalah salah satu elit teratas di kota A!’Kenyataan itu menghantam Marilyn bagai sambaran petir. Bagaimana mungkin ia bisa begitu ceroboh sampai melupakan fakta sepenting ini?Seketika, adrenalin berpacu dalam nadinya, begitu cepat hingga membuat kepalanya berputar. Jantungnya berdegup kencang, nyaris terdengar di telinganya sendiri."Apa kau baik-baik saja?" Suara Lis Tudor terdengar lembut, namun sepasang matanya yang tajam mengamati setiap gerak-gerik Marilyn dengan penuh perhitungan. "Kau tampak pucat.""Aku baik-baik saja..." gumam Marilyn, menggelengkan kepalanya perlahan. Tatapannya jatuh pada jari-jarinya yang bertautan erat di pangkuan, seolah mencari kekuatan di sana. Pikirannya kosong, tak tahu harus berkata apa."Mengenai hubunganmu dan Elon..." Lis memulai, namun kata-katanya langsung terpotong.Desahan pelan Lis Tudor memecah keheningan. Mendengarnya, bulu kuduk Marilyn meremang. Berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya. Wanita elegan di ha

  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 10

    Marilyn sungguh tak mengenal pria yang baru saja ia akui sebagai tunangannya. Namun, berkat ketelitian salah seorang petugas medis yang menemukan identitas dalam saku jaket korban, setidaknya kini ia mengetahui nama pria itu.Di bangku tunggu, tak jauh dari ruang operasi, Marilyn duduk dengan tatapan kosong, jemarinya menggenggam erat jaket bernoda darah milik Elon Tudor—pria yang kini tengah berjuang antara hidup dan mati di meja operasi.Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Kenyataan pahit harus ia telan bulat-bulat; ia takkan pernah tiba di bandara tepat waktu, apalagi menaiki pesawat sesuai jadwal. Yang lebih mengkhawatirkan, Marilyn tak yakin apakah ketiga pria yang memburu jejaknya akan berhenti mencari.‘Mereka pasti dengan mudah memperoleh informasi tentang rumah sakit ini,’ batinnya resah. ‘Aku harus segera pergi dari sini.’Setelah memastikan tak ada lagi perawat yang akan mendekati dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tak ia ketahui tentang pria bernam

  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 9

    "Bagaimana mereka bisa menemukanku di sini?" Napas Marilyn tercekat. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat tatapannya bertemu dengan mata Alex—kilatan pengenalan langsung menyala di wajah pria itu.Dua kota memisahkan mereka. Seharusnya, dengan kematian Rama Dimatrio, pencarian terhadap dirinya terhenti. Bukankah begitu?Tapi logika dingin menyeruak dalam benaknya. Tentu saja. Tentu saja dia menjadi target pertama yang dicari para Pengawal setelah kematian tidak wajar bos mereka. Marilyn—tersangka utama dalam drama berdarah ini.Pupil matanya melebar. Adrenalin membanjiri pembuluh darahnya saat ia mundur perlahan, kemudian berputar dan mencoba menerobos kerumunan di belakangnya. Dari ekor matanya, ia melihat Alex dan dua anjing pemburu setianya mulai bergerak—berlari dengan tatapan yang tak perlu diterjemahkan lagi: jika tertangkap, Marilyn tak akan pernah melihat dunia luar lagi.Visualisasi tentang sel penjara yang pengap, empat dinding beton yang akan menjadi saksi bisu sisa hi

  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 8

    Genggaman tangan Marilyn mengerat, nyaris terangkat untuk melayangkan pukulan pada Ian akibat lelucon menyebalkannya. Namun, amarahnya luruh begitu saja, berganti dengan helaan napas panjang yang sarat frustrasi."Oke, oke... Aku tidak dalam posisi untuk memilih," ucapnya mengalah.Tawa Ian membahana, matanya berkilat geli menyaksikan kekesalan Marilyn. "Setidaknya, kau akan mengingatku." Dengan lembut, jemarinya mengusap puncak kepala Marilyn sebelum kembali ke posisinya dan melanjutkan santapan."Besok kau harus berangkat pagi-pagi untuk mengejar bus pukul tujuh," Ian menjelaskan dengan nada serius. "Kau harus tiba di Kota A sebelum penerbanganmu meninggalkan negeri ini."Tak ada kepastian kapan Marilyn bisa kembali. Terlebih lagi, ia bahkan tak akan bisa mengunjungi makam kedua orangtuanya selama masa pelariannya ini.Setetes air mata jatuh tanpa suara ke atas piringnya. Pandangan Ian langsung menangkap isyarat kesedihan itu. Tanpa ragu, ia meletakkan sendok dan garpu, beranjak men

  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 7

    Ketukan di pintu bergema seperti tembakan pistol di keheningan malam, menyentak Marilyn dari lamunan yang ternyata hanyalah mimpi—mimpi tentang serentetan kejadian mengerikan beberapa jam lalu.Marilyn mengusap wajahnya yang kusut, mengerjapkan mata yang terasa berpasir. Ia tak sadar telah terlelap di sofa tua yang keras ini."Marilyn? Buka pintunya."Suara Ian menembus kayu pintu—berat dan menuntut."Ya... sebentar," jawabnya dengan suara serak. Pandangannya melayang ke arah jam dinding yang jarumnya telah melewati tengah malam. Rupanya ia jatuh tertidur menunggu kepulangan Ian.Dengan tubuh yang terasa ditarik gravitasi dan kepala berdenyut akibat kurang tidur serta tekanan yang mencekik sepanjang hari, Marilyn menyeret langkahnya ke arah pintu dan membukanya.Ian berdiri menjulang di ambang pintu. Bayang-bayang lampu lorong menciptakan dimensi gelap pada seringai khasnya. Marilyn menatap luka-luka perang di wajahnya—memar keunguan di pipi, sayatan tipis di dahi, dan sudut bibir yan

  • Rahasia Tunangan sang CEO Amnesia   Chapter 6

    Malam itu, kabut keraguan menyelimuti pikiran Marilyn. Arena menunggu kedatangan Ian, dan Marilyn enggan menyendiri di kediaman pria itu. Pilihan terakhirnya hanyalah menanti sang petarung menyelesaikan pertarungannya—sebuah rutinitas yang selalu berakhir dengan kemenangan mutlak.Tak pernah sekalipun Marilyn meragukan kemahiran Ian di atas ring. Namun, satu pertanyaan terus menggelayut dalam benaknya: mengapa masih ada yang nekat menantang Ian di Arena? Tidakkah mereka melihat jejak tubuh-tubuh yang tumbang sebelumnya? Tidakkah mereka paham betapa sia-sia perlawanan mereka?"Tunggulah di sini. Satu jam lagi aku kembali," ujar Ian sambil menanggalkan pakaiannya. Tanpa sungkan, ia menampakkan tubuh atletisnya di hadapan Marilyn. Namun pikiran gadis itu terlalu kusut untuk mengagumi pahatan sempurna otot perut Ian yang terekspos sejenak, sebelum akhirnya tertutup kemeja putih yang akan menemaninya dalam pertarungan nanti. Toh, pemandangan Ian bertelanjang dada bukanlah hal baru baginya

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status