"Lepaskan! Apa yang kamu—"
Savanah tercekik oleh rasa sakit dan keterkejutan. Ia berusaha meronta, tetapi cengkeraman pria mabuk itu semakin erat, menekan lengannya hingga nyaris mati rasa.
Kegelapan di sekelilingnya semakin pekat, seperti menekan napasnya. Tubuh bagian bawah mereka menempel dan Savanah merasakan kengerian yang tidak dapat dicegahnya.
"Tolong..., hentikan!" serunya, berusaha mengumpulkan kekuatan. Ia mencoba menendang kaki pria itu, tetapi tubuhnya yang menempel di meja membuatnya kesulitan, pria itu merapatkan tubuhnya untuk menahan perlawanan Savannah.
Savanah yang merupakan petugas kebersihan di sebuah bar mewah, tengah mengakhiri shift malam yang ia lakukan.
Namun, di ruang tempat loker yang telah gelap itu, tiba-tiba seorang pria misterius menarik tubuhnya!
Savanah bisa merasakan hembusan napas pria asing itu di belakang lehernya, panas dan tergesa-gesa. "Kamu wangi sekali," bisiknya dengan nada yang tajam dan mengancam.
Savanah berusaha meronta dan berbalik.
Plak!!!
Savanah menampar pria asing itu. Bau alkohol yang menyengat menyeruak dari mulutnya, di samping keringat yang membasahi mereka.
Samar-samar, Savanah bisa melihat garis otot pria itu yang tercetak jelas di atas tubuhnya. Savana merasakan tubuh pria itu sangat panas dan tidak normal.
Tiba-tiba, tubuhnya mengejan tatkala bagian sensitifnya merasakan sesuatu. Savanah hanya bisa mengigit bibirnya sendiri dan memejamkan mata. Menancapkan kuku-kukunya ke punggung pria yang mendesah dalam kenikmatan.
Pria itu bergerak semakin cepat dan Savanah seperti kehilangan kekuatan untuk menolak.
Sepanjang malam dan terasa lama sampai sinar matahari mulai menyelinap masuk di sela-sela tirai jendela. Savanah tidak tahu, Dia terbangun dengan tubuh remuk dan tulang yang terasa sudah terpisah dari ototnya.
"Ugh!"
Dengan cepat, Savanah melangkah menuju loker dan mengeluarkan pakaian lalu memakainya dengan buru-buru. Segera berlari keluar, meninggalkan pria itu.
Dia berjalan dengan langkah terges-gesa, keluar dari bar 'Salvastone', tempat di mana dia bekerja selama satu tahun terakhir.
Apa yang dilakukan pria misterius itu benar-benar membuat Savanah seketika lemas. Kesucian yang selama ini ia pertahankan jatuh ke tangan pria yang bahkan ia tak tahu siapa.
Sambil melirik jam tangannya untuk melihat waktu, dia harus segera tiba di penjara atau masa kunjung sudah selesai. Dia berjanji untuk bertemu dengan ibunya sebelum pukul sembilan.
Savanah segera berlari kecil menuju ke halte bis, tak jauh dari bar tersebut. Dia naik ke dalam bus dengan perasaan lega.
Namun, ada satu hal lagi yang benar-benar mengusik pikirannya. Di dalam bus, ia memandangi pantulan wajahnya di kaca jendela dengan perasaan malu, "Bagaimana jika putra Pak Jason tahu, aku tak lagi suci?"
***
Sementara itu, seorang pria kekar bangun dengan kepala yang berat dan punggung yang nyeri. Sinar matahari sudah menerobos masuk ke dalam ruangan ganti dan membuat dia merasa panas.
Menyadari tubuhnya yang hanya tertutup sebuah kemeja putih miliknya, pria itu memijat keningnya, berusaha mengingat apa yang terjadi.
Lalu, seketika matanya tertuju pada bercak merah yang membuatnya menghela nafas panjang.
"Wanita tadi malam..."
Pria dengan rahang tegas dan dagu yang kuat itu meraba sekitar tengkuk leher dan pundaknya. Luka bekas cakaran dan gigitan malam tadi membekas di sekitar sana, dengan beberapa bercak merah kecil yang telah mengering di lantai.
Namun, semua itu tak ada apa-apanya dibanding perasaan gundah yang sekarang ia rasakan setelah tahu, ia telah kehilangan benda paling berharga yang selama ini ia kenakan.
Benda yang tak mungkin tergantikan oleh apapun!
Ponselnya seketika berbunyi dan nama 'Dad' tertera di layar yang berkedip. Dengan enggan dan helaan napas berat, Pria itu menekan tombol menjawab. "Ya?"
"Mengapa kamu masih belum sampai di mansion? Hari ini adalah acara makan bersama dengan calon istrimu! Keluar dari Bar Salvastone sekarang atau Ayah akan menutupnya hari ini juga!"
Klik!
Panggilan diputuskan secara sepihak. Pria itu menautkan kedua alisnya dengan perasaan kesal.
Dia tidak pernah menyetujui acara makan siang bersama dengan calon istri yang dipilih oleh sang ayah. Apalagi sebuah pernikahan!
Dengan enggan, ia melangkah keluar dari ruangan pekerja. Di luar bar, suasana masih sepi, hanya terlihat beberapa orang wanita pembersih ruangan yang tidak terlihat muda.
Para wanita itu begitu terpesona dengan penampakan pria tersebut. Sayang, ia sama sekali tidak menatap mereka. Pikirannya hanya terfokus pada satu hal.
"Siapa perempuan itu?! Kenapa ayah begitu keras kepala membuatnya jadi istriku?!"
Savanah berdiri di depan kantor sipir penjara dengan keringat yang membasahi keningnya dan wajahnya terlihat sedikit pucat dengan napas yang menderu. Dia terlambat! Waktu berkunjung sudah selesai."Tolong, izinkan aku melihat Ibuku sebentar," ucap Savanah sambil menyodorkan sedikit uang kepada sipir penjara tersebut.Sipir penjara melirik Savanah dengan tatapan dingin. Sebuah syal murahan berwarna merah diikatkan pada leher Savanah, membuat penampilan wanita itu terlihat kacau. Tidak ada yang tahu, Savanah mengikat lehernya untuk menutupi bekas cumbuan yang dia dapatkan."Baiklah. Kamu punya dua menit."Savanah menaikkan kedua jarinya dengan senyum manis, "Dua menit cukup. Terima Kasih."Sambil menahan nyeri pada perutnya karena dia belum memakan apa pun sedari pagi. Waktu perjalanan dari bar tempat dia bekerja ke penjara adalah dua jam. Dia tidak mungkin sempat untuk sarapan.Savanah mengikuti langkah sipir penjara menuju ke ruang temu lalu duduk dengan sabar.Tidak lama kemudian, Su
Savanah terduduk di lantai belakang pintu dengan tubuh bergetar memeluk dirinya sendiri dan menangis.Sesaat kemudian, dia merasa harus segera mandi dan mempersiapkan diri untuk jamuan makan siang di rumah Taipan kaya yang menjodohkan putra tunggalnya.Savanah membuka pakaiannya perlahan. Semua tubuhnya penuh dengan bekas cumbuan. Savanah menegadahkan kepalanya dan melihat pantulan lehernya di cermin."Ini harus ditutup. A-aku harus memakai syal."Setengah jam kemudian, Savanah sudah berada di tengah jalan menuju tempat makan siang keluarga calon suaminya.Dengan kecepatan stabil, Savanah menekan gas pada sepeda motor tua miliknya untuk menuju ke perumahan Citraland Main City."Blok DD nomor 8," gumamnya sambil melihat ke kiri dan ke kanan. Savanah sudah sampai di persimpangan saat tiba-tiba sebuah motor sport berwarna kuning hampir menabraknya. "Eh!"Citt! Bang!Sepeda motor milik Savanah terjatuh dan lututnya terantuk ke aspal yang keras."Aarghh!" Savanah memekik kesakitan, teren
Damian. Pria yang tadi hampir menabraknya, kini berdiri di hadapannya dengan mengenakan kemeja putih bersih dan jas formal, rambutnya yang tadi acak-acakan kini tertata rapi. Sebuah senyuman tipis bermain di bibirnya, jelas menikmati keterkejutan yang terlukis di wajah Savanah."Inilah putraku, Damian Pangestu," kata Jason, dengan bangga. "Dan, dia adalah calon suamimu."Savanah merasa kakinya melemas. Seolah disambar petir, mulutnya sedikit terbuka tanpa kata-kata keluar. "A-apa?" gumamnya, hampir tidak terdengar.Damian tersenyum, menatap Savanah dengan tatapan yang merendahkan. "Ternyata bertemu denganmu lagi, Savanah," ucapnya dengan nada yang licik, seolah menikmati setiap detik kebingungannya.Savanah berusaha keras menguasai diri, menenangkan amarah dan keterkejutannya. "Calon suami?" ulangnya, suaranya sedikit bergetar lalu menelan salivanya yang terasa seperti batu kecil.Jason menatapnya dengan tenang. "Asisten saya sudah membahas semua detailnya untuk Anda, bukan?"Savanah
Jason tetap tenang, menyeka mulutnya dengan serbet. “Kamu tahu, Damian, ini bukan lelucon. Ini adalah kenyataan. Dan aku tidak ingin mendengar lagi keberatanmu.”Damian mendengus, tapi memilih untuk tidak melawan lebih jauh. Dia mengangkat gelas dan meneguk anggur di dalamnya sampai habis lalu menatap Savanah yang masih diam. "Dan kau?" tanyanya tiba-tiba, nadanya mengejek. "Apa kau akan duduk di sini selamanya dengan ekspresi ketakutan itu, atau setidaknya berpura-pura menikmati makanan ini?"Savanah mengangkat matanya, tatapannya tajam. "A-aku." Savanah tidak berani melanjutkan kalimatnya. Ketakutannya kembali mencuat tatkala Damian menatapnya dengan tajam.Di benaknya, berputar pikiran kalut tentang cara bagaimana menjelaskan kondisi yang menimpanya sekarang. Dia bukan seorang gadis yang suci lagi!Damian tertawa kecil, tapi tawa itu tanpa kegembiraan. Jason memotong pembicaraan mereka, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Cukup," ujarnya. "Kita di sini untuk membicarakan masa
Damian menarik tangan Keisha keluar dari bar ‘Salvastone’ tanpa perkataan apa pun. Keisha sangat bingung, tetapi dia menurut dengan patuh saat Damian memakaikan helmet lalu mengangkatnya naik ke atas motor sport miliknya.Damian menyalakan motor sportnya dengan bunyi mesin yang menggelegar, lalu mereka berdua melaju di jalan menuju pantai.Keisha duduk di belakang, memeluk pinggang Damian erat-erat. Hembusan angin laut mulai terasa saat motor semakin mendekati pantai, tapi yang paling terasa oleh Keisha adalah debar jantungnya yang semakin kencang. Tangannya sedikit gemetar, bukan hanya karena angin, tapi karena kedekatan dengan Damian yang sedang memboncengnya.Keisha mengenal Damian sebagai 'Top spending' di bar tempat mereka bekerja. Tentu saja tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka menjadi pacarnya walau dia tahu Damian suka bergonta-ganti pasangan.Keisha memeluk tubuh penuh otot sempurna itu dengan erat. Sepanjang perjalanan, keduanya tetap hening, membiarkan suara deru mes
Usai mengatakan demikian, Damian kembali naik ke motor sportnya. "Naiklah, aku akan mengantarmu kembali ke bar," ucapnya sambil menyodorkan helmet kepada Keisha yang menerimanya dengan enggan.Dalam hati, Keisha berharap lebih. Namun saat motor sport itu dilajukan membelah jalan raya, Damian melanjutkan kalimatnya, "mulai sekarang, kamu adalah wanitaku, Keisha. Jangan pernah menipuku atau kamu akan menyesali semua yang sudah kita alami.""Huh?" Keisha merasa bingung mendengar perkataan Damian yang dibarengi dengan suara deru arus jalan raya. Namun, perkataan bahwa dia menjadi wanita Damian, membuat hatinya berbunga-bunga.Keisha tersenyum dan mempererat pelukan tangannya di pinggang Damian. Walau pun dia tahu, bahwa pria itu akan menikah, namun siapa pun tidak akan menolak seorang Taipan Kaya.Tiba-tiba Keisha teringat Savanah dan cincin yang menjadi miliknya. "Damian, apakah kamu mengenal Savanah?""Savanah?" ulang Damian. Tentu saja dia mengenal Savanah. Gadis lusuh itu yang akan me
Belum sempat Savanah menjawab perkataan Damian, ponselnya tiba-tiba berdering. Layar menunjukkan nama "Penjara"."Maaf, saya harus menjawab ini," ucap Savanah dengan canggung.Dia segera melangkah lebih jauh sambil menempelkan ponsel di telinganya."Dengan Nona Savanah.""Saya sendiri, ada apa?""Nona Savanah, kami dari petugas penjara mengabarkan bahwa Ibu Anda baru saja pingsan," sahut suara di seberang dengan tegas."Apa?!" Savanah membeku seketika dan tubuhnya langsung terasa lemas. Dia menggenggam erat ponselnya, otaknya berputar-putar di antara rasa takut, cemas, dan tak berdaya."B-bagaimana keadaannya sekarang?" Suaranya terpecah dan terdengar parau dan hampir tidak terdengar."Kami sudah memanggil tim medis, tetapi untuk tindakan medis lebih lanjut, kami butuh izin dari pihak keluarga," lanjut suara di seberang."Saya akan ke sana sekarang juga," sahut Savanah sambil berlari kembali ke arah Damian. Detik itu juga, air mata mulai menggenang di kedua matanya. Jantungnya berdet
Savanah meneguk salivanya sendiri dan tetap melanjutkan langkah kakinya walau sedikit merasa terganggu karena Damian sangat tampan.'Pria ini tidak banyak berkata-kata, tetapi dia tampan. Namun, bagaimana bila pria ini mengetahui bahwa dia bukan seorang wanita suci lagi dan bagaimana hubungannya dengan Keisha?' Savanah tidak hentinya memutar pemikirannya sembari melangkah menuju ke ruangan medis, di mana sang ibu dirawat.Perjalanan menuju ke ruang medis terasa seperti seumur hidup bagi Savanah dan tanpa sadar, dia mengenggam lengan Damian semakin erat sampai pria itu mengetahui tingkat kecemasan dari wanita di sampingnya tersebut.Saat memasuki klinik penjara, mata Savanah langsung mencari sosok ibunya. Dan di sanalah dia, terbaring lemah di ranjang, dengan beberapa perawat berdiri di sekelilingnya.“Ibu!” Savanah langsung berlari ke sisi ranjang, memegang tangan ibunya yang dingin. Damian mengikuti dari belakang, mengamati dalam diam dan wajah yang datar.Suzie Brown membuka matany
“Nyonya Savanah,” kata dokter itu dengan suara tenang tetapi penuh kewibawaan. “Kami telah melakukan beberapa tes awal pada ibu Anda. Ada tanda-tanda gangguan pada jantungnya.”Savanah merasa tubuhnya lemas mendengar kata-kata itu. “Gangguan jantung?” ulangnya, hampir tidak percaya walau dia sudah pernah menerima informasi ada masalah jantung dalam pemeriksaan sebelumnya, namun sang dokter tidak menganjurkan tindakan lanjut yang mendadak, hanya bertahap untuk menjalani pengobatan dan beberapa latihan untuk menguatkan jantung.Dokter mengangguk. “Ya, ini bukan sesuatu yang baru. Dari riwayat medisnya, tampaknya beliau sudah pernah mengalami gejala serupa sebelumnya. Hanya saja, kali ini kondisinya lebih serius.”“Seberapa serius?” tanya Savanah, suaranya bergetar.“Kami perlu menjalankan lebih banyak tes untuk memastikan, tetapi saya me
Tapi kenangan itu terasa seperti ilusi sekarang, sesuatu yang tidak pernah benar-benar nyata.“Damian,” Savanah mengelus perutnya sambil menangis tanpa suara, air matanya membasahi bantal.“Kalau saja kau tahu… aku hanya ingin kau ada di sini untukku. Untuk bayi ini. Tapi kau selalu memilih untuk menjauh.”Savanah meremas selimutnya, tubuhnya bergetar karena emosi yang membanjiri dirinya. Ia merasa seperti terperangkap di antara dua dunia.Di satu sisi, ada Roni, pria yang memberinya rasa perlindungan yang belum pernah ia rasakan. Di sisi lain, ada Damian, cinta sejatinya, meskipun cinta itu kini terasa dingin dan jauh.Tangan Savanah kembali menyentuh bibirnya, mengingat ciuman Roni yang penuh gairah. Tapi hatinya menolak untuk menerima kehangatan itu.“Aku mencintai Damian,” bisiknya lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.“Aku
Suzie menghela napas panjang, lalu menatap Roni. “Kau pria yang baik, Roni. Tapi ini bukan waktunya untuk hal seperti ini. Tolong jaga jarak sampai semuanya jelas.”Roni mengangguk patuh. “Saya mengerti, Nyonya. Maafkan saya.”"Baik, kamu boleh pergi," usir Suzie tanpa basa basi."Tapi, dia tidak memiliki pakaian." Savanah berusaha menjelaskan.Suzie mengernyitkan alisnya seolah-olah sedang mengukur tubuh Roni, lalu berkata, "tunggu sebentar."Tidak lama kemudian, Suzie keluar dengan satu stel pakaian. Kaus dan celana pendek karet."Ini milik mendiang Ayahmu, mungkin bisa masuk. Beliau suka memakai pakaian yang ukurannya besar." Suzie menyodorkan pakaian itu kepada Roni seraya mendorongnya agar segera menuju ke kamar mandi untuk memakainya.Tidak lama kemudian, Roni keluar dengan pakaian yang muat di tubuhnya tetapi membuat dia tampak tua.Savanah terkekeh, namun Suzie tidak mengizinkan percakapan lebih lanjut, di
Savanah menggeleng, menatap Roni dengan mata penuh kecemasan. “Kenapa semua ini harus terjadi, Roni? Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan tenang. Kenapa mereka tidak bisa membiarkan aku sendiri?”Roni tidak menjawab seketika. Ia menatap wanita yang tampak begitu rapuh di depannya, lalu berkata dengan nada tegas, “Karena mereka tidak tahu siapa Anda sebenarnya. Mereka hanya percaya pada kebohongan yang dijual oleh orang-orang seperti Sarah.”Savanah menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari badai yang lebih besar."Aku akan membantumu membersihkan bar ini," kata Roni sambil lalu.Malam itu, setelah semua kekacauan di Salvastone, Savanah duduk di kursi bar sambil menatap Roni yang membersihkan dinding kaca dari noda telur busuk. Tubuh pria itu basah oleh cairan telur yang dilemparkan massa, dan aroma menyengat membuat Savanah merasa bersalah.
Beberapa hari kemudian, Savanah tidak menyadari masalah baru mulai mengincarnya lagi.Video siaran langsung Sarah terus menyebar di media sosial. Dengan judul provokatif seperti “Skandal di Rumah Sakit: Sepupu Penghancur Keluarga!”, video itu menarik perhatian ribuan orang. Banyak yang menyaksikan tanpa tahu cerita sebenarnya, tetapi komentar pedas dan kebencian terus mengalir.Savanah jarang melihat sosial media karena kesibukannya.Salvastone Bar, yang baru saja menjadi milik Savanah, mendadak menjadi sasaran kemarahan mereka yang percaya pada cerita Sarah. Komentar-komentar kasar mulai membanjiri akun media sosial bar itu, dan beberapa orang bahkan memutuskan untuk melampiaskan kebencian mereka di dunia nyata.Pagi itu, Savanah sedang berada di ruang administrasi di lantai atas bar, memeriksa dokumen pembukuan yang tertunda. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya meskipun pikirannya masih berat akibat berbagai masala
“Dengar,” potong Roni dengan nada lembut. “Aku tahu ini bukan keputusan yang bisa kau buat dengan mudah. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak menawarkan ini karena rasa kasihan. Aku menawarkan ini karena aku tulus. Karena aku ingin menjadi pria yang bisa kau andalkan.”Savanah menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang berantakan. Ia tahu bahwa Roni adalah pria yang baik, pria yang selalu ada untuknya di saat ia merasa paling terpuruk. Tetapi tawarannya begitu besar, begitu mendadak, hingga ia merasa seolah dunia di sekelilingnya berputar.“Aku tidak tahu apakah aku bisa menerima itu, Roni,” katanya akhirnya dengan suara bergetar. “Aku bahkan belum tahu apa yang harus kulakukan dengan hidupku sendiri. Bagaimana aku bisa membuat keputusan sebesar ini?”Roni menatapnya dengan lembut, tetapi tegas. “Kau tidak perlu memutuskan sekarang, Savanah. Aku hanya ingin kau tahu
Roni menatap Savanah dengan ekspresi lembut, tetapi juga penuh tekad. Ia tahu bahwa ketakutan wanita itu bukanlah sesuatu yang mudah dihapuskan.“Aku mengerti,” katanya pelan. “Baiklah, aku tidak akan mengatakan apa-apa kepada Damian. Ini adalah rahasiamu, dan aku akan menghormatinya.”"Belum saatnya, maksudku, belum saatnya Damian tahu, dia akan tahu nanti, tetapi setelah aku melahirkan anak ini dan mencantumkan nama keluargaku!" tegas Savanah dalam isak tangisnya.Tubuhnya berguncang dalam pelukan Roni."Diamlah, jangan terlalu terbawa emosi. Rahasiamu aman bersamaku, Savanah," hibur Roni.Savanah mengangguk pelan, merasa lega mendengar kata-kata itu. Namun, perasaan bersalah tetap menghantuinya. Ia tahu bahwa Damian, dengan segala kekurangannya, tetap memiliki hak untuk tahu tentang anak mereka. Tetapi rasa takutnya lebih besar daripada rasa bersalah itu.“Terima kasih, Roni,” bisiknya. “Aku tahu aku egois. Tapi ini yang terbaik untuk sekarang.”Roni menepuk bahunya dengan lembut.
“Bu,” kata Savanah lembut, duduk di tepi tempat tidur ibunya. “Ibu harus menjaga diri. Saya tidak bisa kehilangan Ibu. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang saya miliki.”Suzie tersenyum lemah. “Sayang, aku sudah menjalani hidup yang penuh liku. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja.”Mata Savanah memanas mendengar itu. Ia menggenggam tangan ibunya dengan erat, seolah-olah itu bisa mencegah waktu merenggutnya.“Bu, saya akan melakukan apa saja untuk memastikan Ibu sehat kembali,” kata Savanah, suaranya penuh tekad.Suzie memandang putrinya dengan mata lembutlalu menoleh ke arah Roni. Roni mengangguk kecil seolah-olah menjawab tatapan penuh arti dari sang ibu. “Aku tahu kau akan melakukan segalanya untukku, Savanah. Tapi jangan lupa, kau juga harus menjaga dirimu sendiri. Kau memiliki sesuatu yang sangat berharga untuk diperjuangkan.”Savanah menunduk, menyadari apa yang dimaksud ibunya—bayi yang kini tumbuh di dalam kandungannya.“Saya akan melindungi bayi
Ketika Damian dan Keisha berjalan pergi, Savanah membuka botol air mineral yang diberikan Damian, lalu meminumnya perlahan. Ia tahu, air itu tidak akan menghapus luka di hatinya. Tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, meskipun kecil, Damian masih peduli padanya.Namun, kepedulian itu tidak akan pernah cukup untuk memperbaiki apa yang telah hancur di antara mereka."Anakku, bagaimanapun Damian adalah Ayahmu. Nama keluargamu adalah Pangestu dan aku tidak dapat mengubah apa pun," ucap Savanah dengan suara kecil dan terdengar lirih, "tapi, aku akan... memperjuangkanmu supaya bisa bernama Brown."Suara Savanah bergetar.Dia berada sendirian di sana, walaupun ada beberapa perawat yang lalu lalang dalam kesibukan mereka masing-masing, Savanah tidak berdaya untuk menahan tangisannya, menyesali hubungan yang tidak dapat dia kuasai.Setelah hampir satu jam menunggu, pintu ruang periksa terbuka. Suzie keluar dengan wajah tenang, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Savanah