Damian menarik tangan Keisha keluar dari bar ‘Salvastone’ tanpa perkataan apa pun. Keisha sangat bingung, tetapi dia menurut dengan patuh saat Damian memakaikan helmet lalu mengangkatnya naik ke atas motor sport miliknya.
Damian menyalakan motor sportnya dengan bunyi mesin yang menggelegar, lalu mereka berdua melaju di jalan menuju pantai.
Keisha duduk di belakang, memeluk pinggang Damian erat-erat. Hembusan angin laut mulai terasa saat motor semakin mendekati pantai, tapi yang paling terasa oleh Keisha adalah debar jantungnya yang semakin kencang. Tangannya sedikit gemetar, bukan hanya karena angin, tapi karena kedekatan dengan Damian yang sedang memboncengnya.
Keisha mengenal Damian sebagai 'Top spending' di bar tempat mereka bekerja. Tentu saja tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka menjadi pacarnya walau dia tahu Damian suka bergonta-ganti pasangan.
Keisha memeluk tubuh penuh otot sempurna itu dengan erat. Sepanjang perjalanan, keduanya tetap hening, membiarkan suara deru mesin dan angin menjadi satu-satunya pengiring perjalanan mereka.
Ketika sampai di pinggir pantai, Damian mematikan mesin, dan suara ombak yang tenang mulai menggantikan bisingnya jalan. Mereka turun dari motor, berdiri berhadapan tanpa kata.
Setelah keheningan yang seolah abadi, Damian akhirnya berkata, "Maafkan aku."
Keisha hanya menatapnya dan masih bingung. Masih belum mengerti apa yang sedang terjadi.
Kedua matanya menatap Damian yang sedang memasukkan cincin tadi ke sebuah kalung lalu mengalungkannya kembali ke lehernya sendiri, seakan mengunci sesuatu yang pernah ada.
"Uhm, milik kekasihmu?" tanya Keisha dengan ragu. Damian menoleh sambil memegang cincin yang sedang bergantung di lehernya. Pria itu memilih diam lalu melihat ke arah pantai.
Kalung dengan cincin yang tergantung di lehernya seolah menandakan masa lalu yang belum sepenuhnya hilang.
Keisha berdiri mematung, angin pantai yang sejuk membelai lembut wajahnya, namun pikirannya dipenuhi kebingungan dan pertanyaan yang menumpuk.
"Milik mendiang Ibuku," kata Damian sesaat setelah keheningan yang terasa abadi, suaranya rendah dan berat, bercampur dengan deru ombak yang menerpa pantai.
Keisha terdiam, mencoba menghubungkan peristiwa semalam dengan kata-kata Damian yang baru saja ia dengar.
Cincin itu—cincin yang ia kira milik seorang wanita lain, ternyata menyimpan cerita yang jauh lebih dalam. Keisha mengerjapkan matanya berulang kali, perasaannya campur aduk.
"Aku minta maaf atas apa yang terjadi tadi malam, apakah masih terasa sakit?"
Perkataan Damian membuat Keisha semakin bingung, tetapi kepala Keisha berputar cepat. Mengenai cincin yang dimiliki Savanah dan ternyata adalah milik pria tampan yang sedang berdiri di hadapannya saat ini. Apa yang terjadi semalam? Keisha berusaha mencerna dengan cepat.
"Uhm, sedikit. Sungguh memalukan, a-aku..." Keisha kehilangan kata-kata. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi apa yang harus dijawabnya? Rasa sakit yang disebut Damian, apakah ia benar-benar terluka, atau ada makna lain? Sementara otaknya berusaha mencari jawaban, Damian kembali berbicara, kali ini lebih pelan namun sangat jelas.
"Aku akan menikah, tapi-" Damian menoleh sekali ke arah Keisha. Keisha segera mengedipkan matanya berulang kali dan terpaku, melihat ketampanan Damian di antara angin-angin sepoi yang menyibak rambut pria itu.
"Aku akan memberikan perhatianku kepadamu," lanjut Damian, kembali menatap kosong. Kedua tangannya dimasukkan ke kantongnya.
Keisha tercengang, mengigit bibirnya sendiri. Nafasnya terhenti sejenak saat mendengar kata-kata itu.
Ternyata Damian adalah pria yang sebentar lagi akan menikah, mengatakan hal itu dengan begitu tenang, seperti pernyataannya bukan sesuatu yang berat. Keisha menatap Damian, ketampanannya terasa semakin tajam di antara hembusan angin yang lembut menyapu rambutnya.
Keisha merasa ingin sekali memiliki pria tampan yang tajir ini, melebihi apa pun saat ini.
"Apakah aku akan menjadi simpananmu?" tanya Keisha tiba-tiba, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Ia sendiri terkejut dengan pertanyaannya yang terdengar bodoh, namun dia sungguh tidak tahu harus bagaimana melanjutkan cerita sesuai dengan apa yang Damian inginkan.
Semuanya bercampur dengan kebingungan yang belum terurai olehnya.
Damian menoleh tajam, ekspresinya berubah. Ada sesuatu yang terlihat jelas di matanya—bukan kemarahan, tapi lebih ke kesedihan dan penyesalan. "Bukan. Kau lebih dari itu."
"Siapa namamu?" tanya Damian sesaat kemudian.
"Keisha." Keisha mengulurkan tangannya tetapi Damian hanya menatap tangan yang terulur itu dan mengernyitkan alis. Damian merasa, seharusnya tangan mungil perempuan yang dia cekal semalam itu berbekas.
Namun, dia merasa terlalu arogan untuk menanyakan lebih lanjut. "Panggil aku Damian."
Usai mengatakan demikian, Damian kembali naik ke motor sportnya. "Naiklah, aku akan mengantarmu kembali ke bar," ucapnya sambil menyodorkan helmet kepada Keisha yang menerimanya dengan enggan.Dalam hati, Keisha berharap lebih. Namun saat motor sport itu dilajukan membelah jalan raya, Damian melanjutkan kalimatnya, "mulai sekarang, kamu adalah wanitaku, Keisha. Jangan pernah menipuku atau kamu akan menyesali semua yang sudah kita alami.""Huh?" Keisha merasa bingung mendengar perkataan Damian yang dibarengi dengan suara deru arus jalan raya. Namun, perkataan bahwa dia menjadi wanita Damian, membuat hatinya berbunga-bunga.Keisha tersenyum dan mempererat pelukan tangannya di pinggang Damian. Walau pun dia tahu, bahwa pria itu akan menikah, namun siapa pun tidak akan menolak seorang Taipan Kaya.Tiba-tiba Keisha teringat Savanah dan cincin yang menjadi miliknya. "Damian, apakah kamu mengenal Savanah?""Savanah?" ulang Damian. Tentu saja dia mengenal Savanah. Gadis lusuh itu yang akan me
Belum sempat Savanah menjawab perkataan Damian, ponselnya tiba-tiba berdering. Layar menunjukkan nama "Penjara"."Maaf, saya harus menjawab ini," ucap Savanah dengan canggung.Dia segera melangkah lebih jauh sambil menempelkan ponsel di telinganya."Dengan Nona Savanah.""Saya sendiri, ada apa?""Nona Savanah, kami dari petugas penjara mengabarkan bahwa Ibu Anda baru saja pingsan," sahut suara di seberang dengan tegas."Apa?!" Savanah membeku seketika dan tubuhnya langsung terasa lemas. Dia menggenggam erat ponselnya, otaknya berputar-putar di antara rasa takut, cemas, dan tak berdaya."B-bagaimana keadaannya sekarang?" Suaranya terpecah dan terdengar parau dan hampir tidak terdengar."Kami sudah memanggil tim medis, tetapi untuk tindakan medis lebih lanjut, kami butuh izin dari pihak keluarga," lanjut suara di seberang."Saya akan ke sana sekarang juga," sahut Savanah sambil berlari kembali ke arah Damian. Detik itu juga, air mata mulai menggenang di kedua matanya. Jantungnya berdet
Savanah meneguk salivanya sendiri dan tetap melanjutkan langkah kakinya walau sedikit merasa terganggu karena Damian sangat tampan.'Pria ini tidak banyak berkata-kata, tetapi dia tampan. Namun, bagaimana bila pria ini mengetahui bahwa dia bukan seorang wanita suci lagi dan bagaimana hubungannya dengan Keisha?' Savanah tidak hentinya memutar pemikirannya sembari melangkah menuju ke ruangan medis, di mana sang ibu dirawat.Perjalanan menuju ke ruang medis terasa seperti seumur hidup bagi Savanah dan tanpa sadar, dia mengenggam lengan Damian semakin erat sampai pria itu mengetahui tingkat kecemasan dari wanita di sampingnya tersebut.Saat memasuki klinik penjara, mata Savanah langsung mencari sosok ibunya. Dan di sanalah dia, terbaring lemah di ranjang, dengan beberapa perawat berdiri di sekelilingnya.“Ibu!” Savanah langsung berlari ke sisi ranjang, memegang tangan ibunya yang dingin. Damian mengikuti dari belakang, mengamati dalam diam dan wajah yang datar.Suzie Brown membuka matany
Savanah tentu saja merasa terpuruk dengan apa yang dikatakan oleh Damian, tetapi sejauh ini, pria itu sudah menunjukkan kekuasaannya dan bahwa kalimatnya adalah mutlak.Dia bukan seseorang yang mampu untuk melawan takdir.Beberapa saat kemudian, sang ibu didorong keluar dari ruangan dengan kursi roda. Wajahnya tampak pucat, bibirnya kering, dan napasnya tersengal.Savanah bergegas dan berlari mendekat, menatap ibunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca."Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanyanya dengan suara bergetar, hatinya diliputi rasa takut yang mendalam.Seorang Dokter yang berdiri di samping kursi roda menatap Savanah dengan penuh simpati. "Keadaannya stabil untuk saat ini, tapi dia perlu beristirahat dan mendapatkan perawatan lebih lanjut.""Ibu Anda mengalami kurang nutrisi dan kesehatannya akan memburuk apabila tidak mendapat perawatan dengan baik. Kami akan mengirim hasil darah ke laboratorium dan menunggu hasilnya. Silakan menyelesaikan administrasinya terlebih dahulu. Permi
Tanpa mengatakan sepatah kata, Damian mengeluarkan dompetnya. mengeluarkan sebuah kartu tipis berwarna hitam lalu menyodorkannya kepada Savanah."Ini seharusnya cukup," ucapnya singkat.Bapak kost segera meraih kartu tipis itu, "wah, kau dapat pacar kaya! Ini kartu platinum!"Savanah menoleh cepat, matanya melebar. "Damian, kamu nggak perlu...""Berisik!" potong Bram, suaranya tetap tenang namun tegas. "Temui Ayah dan lakukan tugasmu besok!"Usai mengatakan demikian, Damian menekan laju gas motornya dan pergi meninggalkan rumah tersebut."Ayahnya? Kamu melayani Ayahnya?"Savanah memalingkan wajah lalu melangkah menuju ke kantor di mana perlu dilakukan pengesekkan kartu, "cepat proses. Aku sudah lelah sekali dan jangan tanya apa pun!"Sementara Damian melajukan motornya bukan menuju ke rumah, melainkan kembali ke bar Salvastone. Pria itu ingin membuktikan sesuatu.Sesampainya di depan gedung bar Salvastone yang penuh dengan lampu warna-warni. Damian masuk dengan wajah yang datar.Auran
“Kamu mencariku?” Suara Keisha terdengar merdu. Wanita itu muncul dari belakang kerumunan pegawai wanita yang melihat kejadian di dalam ruangan kerja.“Keisha, ikut aku!” perintah Damian sambil menarik Keisha tetapi Keisha menolak dengan halus, “tunggu, Damian, Aku tidak bisa. Hari ini aku harus bekerja atau aku bisa dipecat!”Damian terdiam di tempatnya dan menatap tajam ke arah Keisha. “Damian, aku…”Tanpa banyak bicara, Damian kembali menarik Keisha dan saat ini, wanita itu tidak berdaya untuk menolak sama sekali.Dengan patuh, Keisha mengikuti Damian menuju ke parkiran motor dan pada saat Damian menyodorkan helmnya, wanita itu juga patuh. Antara takut dan juga canggung, di duduk di belakang Damian.
“Yo yo yo, lihat siapa yang berteriak dengan lantang di sini dan tidak menjaga sikapnya, apakah mereka datang untuk meminta sedekah?” Suara dari bibinya, Angeli Brown terdengar menyakitkan di telinga mereka. Wanita berpenampilan elegan itu melangkah dari dalam rumah ke luar halaman dengan sebuah payung yang dipegang oleh seorang pelayan kecil di sampingnya.“Angeli, panggil suamimu. Kita harus membahas kepemilikan rumah ini!” imbuh Suzie Brown dengan nada tinggi. Mereka mulai kepanasan karena terik matahari berada tepat di atas mereka.“Oh, rupanya Iparku yang tersayang sudah keluar dari penjara? Untuk apa? Aku percaya izinmu hanya sementara bukan? Aahh, aku tahu, untuk menghadiri pernikahan putrimu yang katanya sudah dijual kepada Taipan kaya.”“A-apa?!” Suzie B
"Baik, Bu.""Pak, tolong antar kami ke kost saya saja," perintah Savanah sesaat kemudian.Mobil dilajukan menuju ke kos-kosan Savanah. Pada saat sampai di depan gerbang kost, Bapak Pemilik kost menatap mereka dengan pandangan curiga."Ini siapa dan mengapa kalian basah seperti ini? Aku baru siap mengepel ruangan!"Dengan ketus, Savanah segera memberikan uang berwarna merah sebanyak dua lembar kepada pria gempal itu sehingga pria juga langsung diam.Sampai di dalam kamar kostnya, Savanah segera memberikan handuk kepada sang ibu dan juga baju ganti."Bu, gantilah pakaian. Aku akan merebus air untuk mandi Ibu," ucap Savanah sambil lalu dan mulai sibuk memasak air.