Usai mengatakan demikian, Damian kembali naik ke motor sportnya. "Naiklah, aku akan mengantarmu kembali ke bar," ucapnya sambil menyodorkan helmet kepada Keisha yang menerimanya dengan enggan.
Dalam hati, Keisha berharap lebih. Namun saat motor sport itu dilajukan membelah jalan raya, Damian melanjutkan kalimatnya, "mulai sekarang, kamu adalah wanitaku, Keisha. Jangan pernah menipuku atau kamu akan menyesali semua yang sudah kita alami."
"Huh?" Keisha merasa bingung mendengar perkataan Damian yang dibarengi dengan suara deru arus jalan raya. Namun, perkataan bahwa dia menjadi wanita Damian, membuat hatinya berbunga-bunga.
Keisha tersenyum dan mempererat pelukan tangannya di pinggang Damian. Walau pun dia tahu, bahwa pria itu akan menikah, namun siapa pun tidak akan menolak seorang Taipan Kaya.
Tiba-tiba Keisha teringat Savanah dan cincin yang menjadi miliknya. "Damian, apakah kamu mengenal Savanah?"
"Savanah?" ulang Damian. Tentu saja dia mengenal Savanah. Gadis lusuh itu yang akan menjadi istrinya. Namun, Damian menggeleng pelan, "tidak kenal!"
Mendengar jawaban Damian, Keisha tersenyum puas, "baguslah."
Walau dia merasa ada sebuah misteri yang masih simpang siur, cincin itu dia dapatkan dari Savanah, namun Damian mengakui tidak mengenal wanita itu, maka Keisha merasa posisinya aman untuk sementara waktu.
Dia akan memikirkan lebih lanjut mengenai apa yang harus dia lakukan bila Damian menanyakan mengenai apa yang terjadi semalam.
Motor sport itu sampai di depan bar. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam karena terlihat beberapa pegawai bar keluar untuk membeli makan malam. Bar itu baru buka jadi para pegawai pembersih dizinkan keluar makan malam, termasuk Keisha.
Keisha turun dari motor dan melepas helmetnya. Dia menginginkan agar Damian menawari sebuah makan malam romantis, tetapi lidahnya terasa kelu.
"Hmm, Damian. Apakah kamu terluka semalam?" pancing Keisha, menatap dalam-dalam kedua mata Damian.
Damian juga melakukan hal yang sama, tetapi pria itu merasa sedikit heran karena mata bening yang dia lihat semalam tidak terlihat sama dengan apa yang dimiliki wanita yang berada di hadapannya saat ini.
Damian terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab, "ya. Di pundak. Kukumu..."
"Oh, maafkan aku. Aku-" Keisha segera menyembunyikan jari-jarinya ke belakang karena dia baru saja mengunting kukunya semalam.
Belum sempat Keisha berkata-kata, Damian sudah menyela, "tidak masalah. Apakah kamu terluka?"
"Tidak, aku... hanya sedikit perih," jawab Keisha tanpa sadar karena sudah bisa menebak arah pembicaraan Damian.
"Maafkan, aku sudah-"
Ekor mata Keisha tiba-tiba menangkap bayangan Savanah lewat, dia segera memeluk Damian sehingga Damian berhenti berkata-kata. "Iya, Damian. Kumohon, jangan memperjelas perkataanmu. Ini...ini sungguh memalukan," bisik Keisha di balik daun telinga Damian.
Sementara Savanah mematung, melihat bagaimana Damian dan Keisha saling berpelukan dengan posisi Damian masih duduk di atas motornya.
Beberapa pegawai yang lewat saling berbisik dan melihat ke arah pasangan itu dengan mimik penuh kecemburuan.
"Mesra sekali, pergilah cari kamar kalau sudah tidak tahan," ucap Savanah dengan wajah kesal. Dia bisa menebak bahwa Keisha adalah pacar Damian.
Damian tidak menghiraukan perkataan Savanah dan hanya fokus melihat ke arah Keisha, mengelus pipinya dengan lembut, "masuklah. Nanti malam, aku akan menjemputmu dan mengantarmu pulang."
Keisha mengangguk dengan patuh lalu berlari kecil masuk ke dalam bar dengan hati berbunga-bunga.
Savanah mengeram pelan lalu melangkah melewati motor Damian.Tiba-tiba Damian melajukan gas motornya sehingga hampir menabrak Savanah.
"Eh. Apa maksudmu?!" pekik Savanah, terkejut.
"Naik ke motor. Kita perlu bicara!" Damian menyodorkan helmet dengan tatapan dingin.
Melihat keseriusan Damian, Savanah menerima helmet dengan enggan lalu duduk di atas motor. Dia juga berniat bicara mengenai pernikahan mereka. Dia tahu harus ada kesepakatan karena dia mungkin akan direndahkan akibat malam naas yang dia alami.
Brum!
Motor melesat dengan kencang menjauh dari bar Salvastone. Setengah jam berada di jalanan tanpa tujuan yang jelas membuat Savanah mulai merasa gundah.
"Damian, kita mau ke mana? Waktu istirahatku hanya satu jam dan aku belum makan." Damian tetap diam dan Savanah mulai merasa kesal.
Savanah melirik Damian dengan curiga saat motor berhenti di depan kafe yang sepi. Tatapannya masih dingin dan tidak ada tanda-tanda perbincangan yang diharapkannya akan segera terjadi.
"Makan dulu. Setelah itu, kita bicara."
Savanah menghela napas panjang, mengikuti Damian masuk ke dalam kafe dengan enggan. Damian memilih meja di dekat jendela yang menghadap ke jalan.
Setelah pelayan datang dan mengambil pesanan, Savanah akhirnya memberanikan diri untuk bicara. "Pernikahan kita... apakah itu harus terjadi?"
Damian menatap lurus ke depan, tidak langsung menjawab. Hening beberapa detik sebelum akhirnya ia menghela napas pelan.
"Pernikahan ini," ucap Damian dengan suara datar.
Savanah terdiam dengan hati yang berdebar kencang dan menunggu kelanjutan kalimat Damian.
"Mari menikah dan menjaga batas!"
Belum sempat Savanah menjawab perkataan Damian, ponselnya tiba-tiba berdering. Layar menunjukkan nama "Penjara"."Maaf, saya harus menjawab ini," ucap Savanah dengan canggung.Dia segera melangkah lebih jauh sambil menempelkan ponsel di telinganya."Dengan Nona Savanah.""Saya sendiri, ada apa?""Nona Savanah, kami dari petugas penjara mengabarkan bahwa Ibu Anda baru saja pingsan," sahut suara di seberang dengan tegas."Apa?!" Savanah membeku seketika dan tubuhnya langsung terasa lemas. Dia menggenggam erat ponselnya, otaknya berputar-putar di antara rasa takut, cemas, dan tak berdaya."B-bagaimana keadaannya sekarang?" Suaranya terpecah dan terdengar parau dan hampir tidak terdengar."Kami sudah memanggil tim medis, tetapi untuk tindakan medis lebih lanjut, kami butuh izin dari pihak keluarga," lanjut suara di seberang."Saya akan ke sana sekarang juga," sahut Savanah sambil berlari kembali ke arah Damian. Detik itu juga, air mata mulai menggenang di kedua matanya. Jantungnya berdet
Savanah meneguk salivanya sendiri dan tetap melanjutkan langkah kakinya walau sedikit merasa terganggu karena Damian sangat tampan.'Pria ini tidak banyak berkata-kata, tetapi dia tampan. Namun, bagaimana bila pria ini mengetahui bahwa dia bukan seorang wanita suci lagi dan bagaimana hubungannya dengan Keisha?' Savanah tidak hentinya memutar pemikirannya sembari melangkah menuju ke ruangan medis, di mana sang ibu dirawat.Perjalanan menuju ke ruang medis terasa seperti seumur hidup bagi Savanah dan tanpa sadar, dia mengenggam lengan Damian semakin erat sampai pria itu mengetahui tingkat kecemasan dari wanita di sampingnya tersebut.Saat memasuki klinik penjara, mata Savanah langsung mencari sosok ibunya. Dan di sanalah dia, terbaring lemah di ranjang, dengan beberapa perawat berdiri di sekelilingnya.“Ibu!” Savanah langsung berlari ke sisi ranjang, memegang tangan ibunya yang dingin. Damian mengikuti dari belakang, mengamati dalam diam dan wajah yang datar.Suzie Brown membuka matany
Savanah tentu saja merasa terpuruk dengan apa yang dikatakan oleh Damian, tetapi sejauh ini, pria itu sudah menunjukkan kekuasaannya dan bahwa kalimatnya adalah mutlak.Dia bukan seseorang yang mampu untuk melawan takdir.Beberapa saat kemudian, sang ibu didorong keluar dari ruangan dengan kursi roda. Wajahnya tampak pucat, bibirnya kering, dan napasnya tersengal.Savanah bergegas dan berlari mendekat, menatap ibunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca."Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanyanya dengan suara bergetar, hatinya diliputi rasa takut yang mendalam.Seorang Dokter yang berdiri di samping kursi roda menatap Savanah dengan penuh simpati. "Keadaannya stabil untuk saat ini, tapi dia perlu beristirahat dan mendapatkan perawatan lebih lanjut.""Ibu Anda mengalami kurang nutrisi dan kesehatannya akan memburuk apabila tidak mendapat perawatan dengan baik. Kami akan mengirim hasil darah ke laboratorium dan menunggu hasilnya. Silakan menyelesaikan administrasinya terlebih dahulu. Permi
Tanpa mengatakan sepatah kata, Damian mengeluarkan dompetnya. mengeluarkan sebuah kartu tipis berwarna hitam lalu menyodorkannya kepada Savanah."Ini seharusnya cukup," ucapnya singkat.Bapak kost segera meraih kartu tipis itu, "wah, kau dapat pacar kaya! Ini kartu platinum!"Savanah menoleh cepat, matanya melebar. "Damian, kamu nggak perlu...""Berisik!" potong Damian, suaranya tetap tenang namun tegas. "Temui Ayah dan lakukan tugasmu besok!"Usai mengatakan demikian, Damian menekan laju gas motornya dan pergi meninggalkan rumah tersebut."Ayahnya? Kamu melayani Ayahnya?"Savanah memalingkan wajah lalu melangkah menuju ke kantor di mana perlu dilakukan pengesekkan kartu, "cepat proses. Aku sudah lelah sekali dan jangan tanya apa pun!"Sementara Damian melajukan motornya bukan menuju ke rumah, melainkan kembali ke bar Salvastone. Pria itu ingin membuktikan sesuatu.Sesampainya di depan gedung bar Salvastone yang penuh dengan lampu warna-warni. Damian masuk dengan wajah yang datar.Aura
“Kamu mencariku?” Suara Keisha terdengar merdu. Wanita itu muncul dari belakang kerumunan pegawai wanita yang melihat kejadian di dalam ruangan kerja.“Keisha, ikut aku!” perintah Damian sambil menarik Keisha tetapi Keisha menolak dengan halus, “tunggu, Damian, Aku tidak bisa. Hari ini aku harus bekerja atau aku bisa dipecat!”Damian terdiam di tempatnya dan menatap tajam ke arah Keisha. “Damian, aku…”Tanpa banyak bicara, Damian kembali menarik Keisha dan saat ini, wanita itu tidak berdaya untuk menolak sama sekali.Dengan patuh, Keisha mengikuti Damian menuju ke parkiran motor dan pada saat Damian menyodorkan helmnya, wanita itu juga patuh. Antara takut dan juga canggung, di duduk di belakang Damian.
“Yo yo yo, lihat siapa yang berteriak dengan lantang di sini dan tidak menjaga sikapnya, apakah mereka datang untuk meminta sedekah?” Suara dari bibinya, Angeli Brown terdengar menyakitkan di telinga mereka. Wanita berpenampilan elegan itu melangkah dari dalam rumah ke luar halaman dengan sebuah payung yang dipegang oleh seorang pelayan kecil di sampingnya.“Angeli, panggil suamimu. Kita harus membahas kepemilikan rumah ini!” imbuh Suzie Brown dengan nada tinggi. Mereka mulai kepanasan karena terik matahari berada tepat di atas mereka.“Oh, rupanya Iparku yang tersayang sudah keluar dari penjara? Untuk apa? Aku percaya izinmu hanya sementara bukan? Aahh, aku tahu, untuk menghadiri pernikahan putrimu yang katanya sudah dijual kepada Taipan kaya.”“A-apa?!” Suzie B
"Baik, Bu.""Pak, tolong antar kami ke kost saya saja," perintah Savanah sesaat kemudian. Mobil dilajukan menuju ke kos-kosan Savanah. Pada saat sampai di depan gerbang kost, Bapak Pemilik kost menatap mereka dengan pandangan curiga."Ini siapa dan mengapa kalian basah seperti ini? Aku baru siap mengepel ruangan!"Dengan ketus, Savanah segera memberikan uang berwarna merah sebanyak dua lembar kepada pria gempal itu sehingga pria juga langsung diam.Sampai di dalam kamar kostnya, Savanah segera memberikan handuk kepada sang ibu dan juga baju ganti. "Bu, gantilah pakaian. Aku akan merebus air untuk mandi Ibu," ucap Savanah sambil lalu dan mulai sibuk memasak air.Melihat Savanah yang sibuk lalu lalang, Suzie membuka pembicaraan, "bagaimana Ibu bisa keluar? Apakah ini hanya izin sementara untuk mengikuti pernikahanmu dengan Taipan Kaya seperti yang dikatakan Paman tadi?"Pertanyaan dari sang ibu membuat Savanah menghentikan gerakannya. "Bu, aku... maafkan aku. Anakmu sungguh tidak berb
"Ibu... Ibu!" Savanah mengguncang pelan tubuh sang ibu, tapi ibunya tidak merespons. Rasa takut mendesak di dadanya. Ia tidak bisa lagi menunggu; kondisi ibunya benar-benar memburuk. Tangannya gemetar saat ia mencoba membangunkan sang ibu lagi, namun kali ini lebih kuat."Bu, bangun! Tolong bangun!" panggilnya dengan suara bergetar. Namun tetap tidak ada respon.Savanah segera mengambil ponselnya dan menghubungi nomor darurat. Tangannya gemetar saat ia menjelaskan keadaan ibunya kepada operator, berusaha menahan tangis yang mulai membuncah. Ia merasa tak berdaya melihat ibunya dalam keadaan seperti ini. Semua terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi.Beberapa menit kemudian, terdengar suara sirine ambulans mendekat. Savanah membuka pintu kamar kostnya, matanya basah oleh air mata yang t
Bab 238Saat bulan-bulan berlalu, Damian dan Savanah semakin mantap menghadapi masa depan bersama. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi dengan cinta dan komitmen yang telah mereka bangun, mereka merasa siap untuk menghadapi apa pun yang datang.Pada akhirnya, cinta mereka yang diuji oleh waktu dan rintangan akhirnya menemukan jalannya kembali. Mereka tidak hanya menjadi pasangan suami istri, tetapi juga menjadi keluarga yang utuh, siap menyambut anggota baru yang akan membawa kebahagiaan lebih besar dalam hidup mereka.Malam itu, mereka berdua tertidur dalam pelukan yang tenang tetapi penuh dengan emosi yang belum sepenuhnya terselesaikan.Damian merasa lebih yakin bahwa ia harus melindungi keluarga kecilnya, sementara Savanah berusaha menguatkan dirinya untuk menghadapi masa depan bersama pria yang ia cintai, meskipun penuh dengan tantangan dan keraguan.Dalam keheningan malam, hanya s
"Dia mengandung anakku, dia istriku dan tidak ada bagian darimu di sana! Kau paham?!" Damian mengatakan semua gundahan hatinya dengan suara keras dan tegas.Roni menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Damian, aku tidak ingin membuat masalah. Jika itu yang kau inginkan, aku akan menjauh. Tapi bukan karena aku takut padamu. Aku melakukannya karena aku peduli pada Savanah, dan aku ingin yang terbaik untuknya.”Cuih!Damian membuang salivanya ke samping dengan rasa jijik. "Akhirnya kau paham!""Ingat ucapanmu! Jangan pernah dekat dengannya lagi!"Roni mengangguk perlahan dengan perasaan terpuruk.“Bagus!" lanjut Damian. "Tapi ingat, jika aku melihatmu mendekati istriku lagi, kau tidak akan mendapatkan peringatan kedua.”Dengan itu, Damian berbalik dan meninggalkan gym, meninggalkan Roni dengan wajah penuh kekecewaan dan rasa sakit yang mendalam. Ke
Damian tidak terpengaruh. “Kau bebas mencoba, Keisha. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan keluargaku lagi.”Keisha meninggalkan lokasi pertemuan dengan wajah penuh amarah, tetapi Damian merasa lega. Untuk pertama kalinya, ia merasa telah mengambil kendali penuh atas hidupnya.***Setelah mengetahui kebenaran tentang malam di Salvastone, Damian masih merasakan amarah yang tertahan di dalam dirinya. Ia tidak hanya marah kepada Keisha yang mencoba memanipulasi kenyataan, tetapi juga kepada Roni, pria yang berani mendekati istrinya dan bahkan mengklaim hubungan yang tidak pernah ada.Damian memutuskan untuk menghadapi Roni secara langsung. Ia tahu di mana pria itu biasanya berada—gym kecil di pinggiran kota tempat Roni melatih tubuhnya.Dengan langkah cepat, Damian melajukan motornya ke sana, wajahnya mencerminkan ketegasan dan kemarahan yang ia rasakan.Ketika
Savanah tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih memerah. “Ya, Damian. Kau tidak melepaskanku bahkan sesudah berulang kali kamu mendapatkan pelepasan, dan aku… aku tidak bisa mengatakan tidak. Aku tanpa sadar sudah mencintaimu, bahkan saat itu.”Damian menarik napas panjang, rasa bersalah yang selama ini menghantui dirinya perlahan menghilang, digantikan oleh kelegaan dan kebahagiaan yang tak terkira.“Aku bodoh,” katanya dengan suara rendah. “Aku membiarkan Keisha memanipulasiku dengan kebohongannya, sementara wanita yang aku cari selama ini adalah kamu, istriku sendiri.”Savanah menggeleng. “Semua sudah berlalu, Damian. Yang penting sekarang adalah kita tahu kebenarannya.”Damian kembali memeluk Savanah, membiarkan air mata kecil jatuh di pipinya. “Aku mencintaimu, Savanah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita lagi. Kamu ad
Damian menyebut tanggalnya, dan Savanah membekap mulutnya sendiri. Hatinya berdebar keras."Damian… itu aku. Aku juga berada di sana malam itu. Aku… aku merasa semuanya begitu aneh, tapi aku ingat. Aku mengalami pelecehan. Lalu Roni mengaku bahwa dia yang melakukannya. Tanggal dan harinya sama! Itu aku.""Kau?""Keisha tidak hadir di malam itu, dia mengambil shift pagi!" pekik Savanah tak percaya.Damian menatapnya dengan penuh kebingungan. "Apa? Savanah, maksudmu…""Ya," potong Savanah dengan tegas. "Wanita itu adalah aku. Aku bahkan memiliki bukti. Petugas sekuriti yang berjaga malam itu melihat kita. Dia mencatat bahwa aku masuk ke ruang ganti untuk mengambil sesuatu. Selain itu, aku menemukan cincin di kantung kemeja kerjaku. Lalu Keisha merampasnya dan saat itu kamu datang lalu...""Astaga!" Savanah menutup bibirnya dengan tangan, dia baru mengerti bahwa Damian mengira Keisha adalah wanit
Savanah mencoba melawan, tetapi kekuatan Damian terlalu besar. Bibir pria itu sudah mencium lehernya dengan rakus, kembali lagi meninggalkan jejak merah yang tidak mungkin disembunyikan.Gigitannya yang intens terasa seperti tanda kepemilikan yang ingin ia tunjukkan kepada dunia. Tangannya memeras bagian depan Savanah dengan kuat sehingga Savanah merasa kesakitan.“Damian, berhenti!” Savanah memohon, suaranya gemetar. “Ini terlalu banyak. Cukup!”Namun, Damian tidak mendengarkan. Tubuhnya terus menekan tubuh Savanah, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa wanita itu tidak pernah lupa siapa yang memiliki dirinya sepenuhnya."Damian, ini menyakitkanku!" teriak Savanah, berusaha melepaskan diri dari tangan Damian yang menyakiti beberapa bagian sensitif miliknya.Dengan cepat, Damian membuka kemeja tidurnya sehingga bagian depannya terekspos dengan indah dan Damian segera melahapnya denga
Tanpa tujuan yang jelas, Roni berjalan hingga sampai di sebuah taman kecil yang sepi. Ia duduk di bangku kayu yang teduh di bawah pohon besar, menundukkan kepala sambil memandangi tanah.Seorang ibu dengan anak kecil lewat di depannya, suara tawa anak itu membuat hati Roni terasa semakin hancur. Ia membayangkan seperti apa rasanya jika ia yang berada di tempat Damian—memiliki Savanah dan seorang anak bersama, membangun keluarga kecil yang bahagia.Namun, bayangan itu hanya membuatnya semakin sadar bahwa semua itu adalah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan."Itu bukan anakku juga, Roni... kamu hanya terlalu berharap," gumamnya sambil tertawa lepas.Roni meraih sebotol air yang ia bawa, meneguknya dengan cepat. Tangannya bergetar, dan tanpa sadar, ia memukul bangku kayu di sebelahnya dengan keras.“Bodoh,” gumamnya."Sungguh bodoh!"“Bodoh karena berpikir aku punya kesempatan.”Roni menunduk, kedua tangannya menutupi wajahnya. Air mata yang selama ini ia tahan mulai mengalir,
Roni mengepalkan tangannya, tetapi ia tetap diam, meskipun tubuhnya jelas menunjukkan ketegangan yang luar biasa.“Savanah masih sehebat dulu,” lanjut Damian dengan nada yang dibuat seolah-olah ia hanya sedang bercakap-cakap santai. “Kami bahkan mengulangnya beberapa kali sampai dia minta ampun. Tubuhnya semakin montok sekarang, mungkin karena dia sedang hamil anakku. Tapi kau tahu? Itu justru membuatnya semakin nikmat.”Roni terdiam dan mengetatkan rahangnya.Kata-kata Damian menghantam Roni seperti pukulan bertubi-tubi. Ia menatap Savanah dengan mata yang penuh luka, tetapi wanita itu hanya bisa menunduk, tidak mampu menghadapi tatapannya.“Kau tahu tentang kehamilannya?” tanya Roni akhirnya, suaranya rendah tetapi penuh dengan rasa kecewa.Damian tersenyum kecil. “Tentu saja. Anak ini milikku, dan aku akan memastikan bahwa dia tumbuh dengan kedua orang tuanya yang lengkap. Jadi, apa yang tersisa untukmu, Roni?”Roni terdiam. Pertanyaan itu menusuk hatinya lebih dalam daripada yang
Damian menatap tubuh Savanah dengan tatapan penuh kekaguman. “Kamu semakin padat, Savanah,” bisiknya dengan suara rendah yang menggoda. “Itu membuatku semakin ingin menempel terus padamu.”Savanah mencoba menghindar, tetapi Damian sudah mendekapnya erat, membuatnya tidak memiliki ruang untuk bergerak. Ia mencium leher Savanah perlahan, meninggalkan jejak kecil yang membuat wanita itu merasa tubuhnya memanas lagi.“Damian, sudahlah,” rengek Savanah dengan suara bergetar. “Kita sudah melakukannya berkali-kali. Aku lapar…”Namun, Damian tidak berhenti. Bibirnya terus menjelajahi tubuh Savanah, memberikan tanda-tanda percintaan yang ia tahu tidak akan mudah hilang. Setiap jejak yang ia tinggalkan terasa seperti pernyataan kepemilikan, seolah-olah ia ingin dunia tahu bahwa Savanah adalah miliknya, tidak ada yang lain.“Damian,” desah Savanah, mencoba menarik diri, tetapi tubuhnya sendiri mulai menyerah pada kehangatan yang diberikan pria itu.“Aku hanya ingin memastikan,” bisik Damian samb