Savanah mencoba melawan, tetapi kekuatan Damian terlalu besar. Bibir pria itu sudah mencium lehernya dengan rakus, kembali lagi meninggalkan jejak merah yang tidak mungkin disembunyikan.Gigitannya yang intens terasa seperti tanda kepemilikan yang ingin ia tunjukkan kepada dunia. Tangannya memeras bagian depan Savanah dengan kuat sehingga Savanah merasa kesakitan.“Damian, berhenti!” Savanah memohon, suaranya gemetar. “Ini terlalu banyak. Cukup!”Namun, Damian tidak mendengarkan. Tubuhnya terus menekan tubuh Savanah, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa wanita itu tidak pernah lupa siapa yang memiliki dirinya sepenuhnya."Damian, ini menyakitkanku!" teriak Savanah, berusaha melepaskan diri dari tangan Damian yang menyakiti beberapa bagian sensitif miliknya.Dengan cepat, Damian membuka kemeja tidurnya sehingga bagian depannya terekspos dengan indah dan Damian segera melahapnya denga
Damian menyebut tanggalnya, dan Savanah membekap mulutnya sendiri. Hatinya berdebar keras."Damian… itu aku. Aku juga berada di sana malam itu. Aku… aku merasa semuanya begitu aneh, tapi aku ingat. Aku mengalami pelecehan. Lalu Roni mengaku bahwa dia yang melakukannya. Tanggal dan harinya sama! Itu aku.""Kau?""Keisha tidak hadir di malam itu, dia mengambil shift pagi!" pekik Savanah tak percaya.Damian menatapnya dengan penuh kebingungan. "Apa? Savanah, maksudmu…""Ya," potong Savanah dengan tegas. "Wanita itu adalah aku. Aku bahkan memiliki bukti. Petugas sekuriti yang berjaga malam itu melihat kita. Dia mencatat bahwa aku masuk ke ruang ganti untuk mengambil sesuatu. Selain itu, aku menemukan cincin di kantung kemeja kerjaku. Lalu Keisha merampasnya dan saat itu kamu datang lalu...""Astaga!" Savanah menutup bibirnya dengan tangan, dia baru mengerti bahwa Damian mengira Keisha adalah wanit
Savanah tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih memerah. “Ya, Damian. Kau tidak melepaskanku bahkan sesudah berulang kali kamu mendapatkan pelepasan, dan aku… aku tidak bisa mengatakan tidak. Aku tanpa sadar sudah mencintaimu, bahkan saat itu.”Damian menarik napas panjang, rasa bersalah yang selama ini menghantui dirinya perlahan menghilang, digantikan oleh kelegaan dan kebahagiaan yang tak terkira.“Aku bodoh,” katanya dengan suara rendah. “Aku membiarkan Keisha memanipulasiku dengan kebohongannya, sementara wanita yang aku cari selama ini adalah kamu, istriku sendiri.”Savanah menggeleng. “Semua sudah berlalu, Damian. Yang penting sekarang adalah kita tahu kebenarannya.”Damian kembali memeluk Savanah, membiarkan air mata kecil jatuh di pipinya. “Aku mencintaimu, Savanah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita lagi. Kamu ad
"Lepaskan! Apa yang kamu—"Savanah tercekik oleh rasa sakit dan keterkejutan. Ia berusaha meronta, tetapi cengkeraman pria mabuk itu semakin erat, menekan lengannya hingga nyaris mati rasa.Kegelapan di sekelilingnya semakin pekat, seperti menekan napasnya. Tubuh bagian bawah mereka menempel dan Savanah merasakan kengerian yang tidak dapat dicegahnya."Tolong..., hentikan!" serunya, berusaha mengumpulkan kekuatan. Ia mencoba menendang kaki pria itu, tetapi tubuhnya yang menempel di meja membuatnya kesulitan, pria itu merapatkan tubuhnya untuk menahan perlawanan Savannah.Savanah yang merupakan petugas kebersihan di sebuah bar mewah, tengah mengakhiri shift malam yang ia lakukan.Namun, di ruang tempat loker yang telah gelap itu, tiba-tiba seorang pria misterius menarik tubuhnya!Savanah bisa merasakan hembusan napas pria asing itu di belakang lehernya, panas dan tergesa-gesa. "Kamu wangi sekali," bisiknya dengan nada yang tajam dan mengancam.Savanah berusaha meronta dan berbalik.Pla
Savanah berdiri di depan kantor sipir penjara dengan keringat yang membasahi keningnya dan wajahnya terlihat sedikit pucat dengan napas yang menderu. Dia terlambat! Waktu berkunjung sudah selesai."Tolong, izinkan aku melihat Ibuku sebentar," ucap Savanah sambil menyodorkan sedikit uang kepada sipir penjara tersebut.Sipir penjara melirik Savanah dengan tatapan dingin. Sebuah syal murahan berwarna merah diikatkan pada leher Savanah, membuat penampilan wanita itu terlihat kacau. Tidak ada yang tahu, Savanah mengikat lehernya untuk menutupi bekas cumbuan yang dia dapatkan."Baiklah. Kamu punya dua menit."Savanah menaikkan kedua jarinya dengan senyum manis, "Dua menit cukup. Terima Kasih."Sambil menahan nyeri pada perutnya karena dia belum memakan apa pun sedari pagi. Waktu perjalanan dari bar tempat dia bekerja ke penjara adalah dua jam. Dia tidak mungkin sempat untuk sarapan.Savanah mengikuti langkah sipir penjara menuju ke ruang temu lalu duduk dengan sabar.Tidak lama kemudian, Su
Savanah terduduk di lantai belakang pintu dengan tubuh bergetar memeluk dirinya sendiri dan menangis.Sesaat kemudian, dia merasa harus segera mandi dan mempersiapkan diri untuk jamuan makan siang di rumah Taipan kaya yang menjodohkan putra tunggalnya.Savanah membuka pakaiannya perlahan. Semua tubuhnya penuh dengan bekas cumbuan. Savanah menegadahkan kepalanya dan melihat pantulan lehernya di cermin."Ini harus ditutup. A-aku harus memakai syal."Setengah jam kemudian, Savanah sudah berada di tengah jalan menuju tempat makan siang keluarga calon suaminya.Dengan kecepatan stabil, Savanah menekan gas pada sepeda motor tua miliknya untuk menuju ke perumahan Citraland Main City."Blok DD nomor 8," gumamnya sambil melihat ke kiri dan ke kanan. Savanah sudah sampai di persimpangan saat tiba-tiba sebuah motor sport berwarna kuning hampir menabraknya. "Eh!"Citt! Bang!Sepeda motor milik Savanah terjatuh dan lututnya terantuk ke aspal yang keras."Aarghh!" Savanah memekik kesakitan, teren
Damian. Pria yang tadi hampir menabraknya, kini berdiri di hadapannya dengan mengenakan kemeja putih bersih dan jas formal, rambutnya yang tadi acak-acakan kini tertata rapi. Sebuah senyuman tipis bermain di bibirnya, jelas menikmati keterkejutan yang terlukis di wajah Savanah."Inilah putraku, Damian Pangestu," kata Jason, dengan bangga. "Dan, dia adalah calon suamimu."Savanah merasa kakinya melemas. Seolah disambar petir, mulutnya sedikit terbuka tanpa kata-kata keluar. "A-apa?" gumamnya, hampir tidak terdengar.Damian tersenyum, menatap Savanah dengan tatapan yang merendahkan. "Ternyata bertemu denganmu lagi, Savanah," ucapnya dengan nada yang licik, seolah menikmati setiap detik kebingungannya.Savanah berusaha keras menguasai diri, menenangkan amarah dan keterkejutannya. "Calon suami?" ulangnya, suaranya sedikit bergetar lalu menelan salivanya yang terasa seperti batu kecil.Jason menatapnya dengan tenang. "Asisten saya sudah membahas semua detailnya untuk Anda, bukan?"Savanah
Jason tetap tenang, menyeka mulutnya dengan serbet. “Kamu tahu, Damian, ini bukan lelucon. Ini adalah kenyataan. Dan aku tidak ingin mendengar lagi keberatanmu.”Damian mendengus, tapi memilih untuk tidak melawan lebih jauh. Dia mengangkat gelas dan meneguk anggur di dalamnya sampai habis lalu menatap Savanah yang masih diam. "Dan kau?" tanyanya tiba-tiba, nadanya mengejek. "Apa kau akan duduk di sini selamanya dengan ekspresi ketakutan itu, atau setidaknya berpura-pura menikmati makanan ini?"Savanah mengangkat matanya, tatapannya tajam. "A-aku." Savanah tidak berani melanjutkan kalimatnya. Ketakutannya kembali mencuat tatkala Damian menatapnya dengan tajam.Di benaknya, berputar pikiran kalut tentang cara bagaimana menjelaskan kondisi yang menimpanya sekarang. Dia bukan seorang gadis yang suci lagi!Damian tertawa kecil, tapi tawa itu tanpa kegembiraan. Jason memotong pembicaraan mereka, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Cukup," ujarnya. "Kita di sini untuk membicarakan masa
Savanah tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih memerah. “Ya, Damian. Kau tidak melepaskanku bahkan sesudah berulang kali kamu mendapatkan pelepasan, dan aku… aku tidak bisa mengatakan tidak. Aku tanpa sadar sudah mencintaimu, bahkan saat itu.”Damian menarik napas panjang, rasa bersalah yang selama ini menghantui dirinya perlahan menghilang, digantikan oleh kelegaan dan kebahagiaan yang tak terkira.“Aku bodoh,” katanya dengan suara rendah. “Aku membiarkan Keisha memanipulasiku dengan kebohongannya, sementara wanita yang aku cari selama ini adalah kamu, istriku sendiri.”Savanah menggeleng. “Semua sudah berlalu, Damian. Yang penting sekarang adalah kita tahu kebenarannya.”Damian kembali memeluk Savanah, membiarkan air mata kecil jatuh di pipinya. “Aku mencintaimu, Savanah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita lagi. Kamu ad
Damian menyebut tanggalnya, dan Savanah membekap mulutnya sendiri. Hatinya berdebar keras."Damian… itu aku. Aku juga berada di sana malam itu. Aku… aku merasa semuanya begitu aneh, tapi aku ingat. Aku mengalami pelecehan. Lalu Roni mengaku bahwa dia yang melakukannya. Tanggal dan harinya sama! Itu aku.""Kau?""Keisha tidak hadir di malam itu, dia mengambil shift pagi!" pekik Savanah tak percaya.Damian menatapnya dengan penuh kebingungan. "Apa? Savanah, maksudmu…""Ya," potong Savanah dengan tegas. "Wanita itu adalah aku. Aku bahkan memiliki bukti. Petugas sekuriti yang berjaga malam itu melihat kita. Dia mencatat bahwa aku masuk ke ruang ganti untuk mengambil sesuatu. Selain itu, aku menemukan cincin di kantung kemeja kerjaku. Lalu Keisha merampasnya dan saat itu kamu datang lalu...""Astaga!" Savanah menutup bibirnya dengan tangan, dia baru mengerti bahwa Damian mengira Keisha adalah wanit
Savanah mencoba melawan, tetapi kekuatan Damian terlalu besar. Bibir pria itu sudah mencium lehernya dengan rakus, kembali lagi meninggalkan jejak merah yang tidak mungkin disembunyikan.Gigitannya yang intens terasa seperti tanda kepemilikan yang ingin ia tunjukkan kepada dunia. Tangannya memeras bagian depan Savanah dengan kuat sehingga Savanah merasa kesakitan.“Damian, berhenti!” Savanah memohon, suaranya gemetar. “Ini terlalu banyak. Cukup!”Namun, Damian tidak mendengarkan. Tubuhnya terus menekan tubuh Savanah, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa wanita itu tidak pernah lupa siapa yang memiliki dirinya sepenuhnya."Damian, ini menyakitkanku!" teriak Savanah, berusaha melepaskan diri dari tangan Damian yang menyakiti beberapa bagian sensitif miliknya.Dengan cepat, Damian membuka kemeja tidurnya sehingga bagian depannya terekspos dengan indah dan Damian segera melahapnya denga
Tanpa tujuan yang jelas, Roni berjalan hingga sampai di sebuah taman kecil yang sepi. Ia duduk di bangku kayu yang teduh di bawah pohon besar, menundukkan kepala sambil memandangi tanah.Seorang ibu dengan anak kecil lewat di depannya, suara tawa anak itu membuat hati Roni terasa semakin hancur. Ia membayangkan seperti apa rasanya jika ia yang berada di tempat Damian—memiliki Savanah dan seorang anak bersama, membangun keluarga kecil yang bahagia.Namun, bayangan itu hanya membuatnya semakin sadar bahwa semua itu adalah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan."Itu bukan anakku juga, Roni... kamu hanya terlalu berharap," gumamnya sambil tertawa lepas.Roni meraih sebotol air yang ia bawa, meneguknya dengan cepat. Tangannya bergetar, dan tanpa sadar, ia memukul bangku kayu di sebelahnya dengan keras.“Bodoh,” gumamnya."Sungguh bodoh!"“Bodoh karena berpikir aku punya kesempatan.”Roni menunduk, kedua tangannya menutupi wajahnya. Air mata yang selama ini ia tahan mulai mengalir,
Roni mengepalkan tangannya, tetapi ia tetap diam, meskipun tubuhnya jelas menunjukkan ketegangan yang luar biasa.“Savanah masih sehebat dulu,” lanjut Damian dengan nada yang dibuat seolah-olah ia hanya sedang bercakap-cakap santai. “Kami bahkan mengulangnya beberapa kali sampai dia minta ampun. Tubuhnya semakin montok sekarang, mungkin karena dia sedang hamil anakku. Tapi kau tahu? Itu justru membuatnya semakin nikmat.”Roni terdiam dan mengetatkan rahangnya.Kata-kata Damian menghantam Roni seperti pukulan bertubi-tubi. Ia menatap Savanah dengan mata yang penuh luka, tetapi wanita itu hanya bisa menunduk, tidak mampu menghadapi tatapannya.“Kau tahu tentang kehamilannya?” tanya Roni akhirnya, suaranya rendah tetapi penuh dengan rasa kecewa.Damian tersenyum kecil. “Tentu saja. Anak ini milikku, dan aku akan memastikan bahwa dia tumbuh dengan kedua orang tuanya yang lengkap. Jadi, apa yang tersisa untukmu, Roni?”Roni terdiam. Pertanyaan itu menusuk hatinya lebih dalam daripada yang
Damian menatap tubuh Savanah dengan tatapan penuh kekaguman. “Kamu semakin padat, Savanah,” bisiknya dengan suara rendah yang menggoda. “Itu membuatku semakin ingin menempel terus padamu.”Savanah mencoba menghindar, tetapi Damian sudah mendekapnya erat, membuatnya tidak memiliki ruang untuk bergerak. Ia mencium leher Savanah perlahan, meninggalkan jejak kecil yang membuat wanita itu merasa tubuhnya memanas lagi.“Damian, sudahlah,” rengek Savanah dengan suara bergetar. “Kita sudah melakukannya berkali-kali. Aku lapar…”Namun, Damian tidak berhenti. Bibirnya terus menjelajahi tubuh Savanah, memberikan tanda-tanda percintaan yang ia tahu tidak akan mudah hilang. Setiap jejak yang ia tinggalkan terasa seperti pernyataan kepemilikan, seolah-olah ia ingin dunia tahu bahwa Savanah adalah miliknya, tidak ada yang lain.“Damian,” desah Savanah, mencoba menarik diri, tetapi tubuhnya sendiri mulai menyerah pada kehangatan yang diberikan pria itu.“Aku hanya ingin memastikan,” bisik Damian samb
“Ini anakku?” tanya Damian lagi, suaranya lebih tegas kali ini.Savanah mengalihkan pandangannya, tidak bisa menatap langsung ke mata Damian. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya akhirnya menjawab segalanya.“Ya, Damian. Ini anakmu.”Damian terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. Hatinya dipenuhi dengan emosi yang bercampur aduk—kebahagiaan, keterkejutan, dan rasa bersalah. Ia tahu bahwa segalanya akan berubah mulai sekarang, tetapi ia juga tahu satu hal dengan pasti: ia tidak akan pernah meninggalkan Savanah dan anak mereka lagi.Damian berdiri mematung di depan pintu kamar mandi, matanya terpaku pada Savanah yang masih terlihat pucat. Wajahnya berubah—dari keterkejutan menjadi kebahagiaan yang begitu besar, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan selama ini.Savanah melangkah keluar dari kamar mandi dan mengabaikan tatapan penuh selidik dari Damian. D
"Ugh... Damian. J-jangan," rintih Savanah dengan rasa geli nikmat dan tubuh yang mulai bereaksi atas sentuhan maskulin dari prianya.“Savanah, aku mencintaimu,” bisik Damian sambil mengelus pipi Savanah, menatap kedua mata beningnya dalam-dalam.Savanah tidak menjawab. Ia hanya menatap Damian dengan mata yang berkaca-kaca, perasaannya bercampur aduk antara marah, rindu, dan cinta yang masih ada di sudut hatinya.Pernyataan cinta yang tidak pernah dia dapatkan selama ini dan saat ini pria itu mengatakannya dalam moment yang tidak dapat dia tolak. Tubuhnya tidak berkuasa menolak atas cumbuan yang diberikan Damian.Saat Damian menundukkan tubuhnya dan mencium leher Savanah lalu menggigitnya dengan lembut, wanita itu tidak bisa lagi melawan perasaannya. Tangannya bergerak memeluk Damian, membiarkannya mengambil alih pagi itu dengan sentuhan yang penuh gairah."Pelankan, Damian," desis Savanah, mengingat dengan
“Tidak,” jawab Damian dengan suara rendah, memeluknya lebih erat. “Aku tidak bisa, Savanah. Aku butuh ini. Aku butuh kau.”Savanah terdiam sejenak, tubuhnya kaku dalam pelukan Damian. Namun, ia tidak bisa mengabaikan detak jantung Damian yang terasa di dadanya, seolah-olah pria itu benar-benar takut kehilangannya.“Aku tidak akan melakukan apa-apa,” kata Damian pelan. “Aku hanya ingin berada di dekatmu. Tolong, jangan usir aku.”Savanah merasa hatinya mulai bergetar. Ia tahu bahwa Damian memiliki cara untuk membuatnya merasa lemah, meskipun ia berusaha keras untuk tetap kuat. Namun, ia juga tahu bahwa jika ia membiarkan ini terus terjadi, ia akan semakin sulit melepaskan diri dari Damian.“Damian, aku…” Savanah mencoba berkata sesuatu, tetapi kata-katanya terhenti.Damian mengangkat wajahnya sedikit, menatap mata