Jason tetap tenang, menyeka mulutnya dengan serbet. “Kamu tahu, Damian, ini bukan lelucon. Ini adalah kenyataan. Dan aku tidak ingin mendengar lagi keberatanmu.”
Damian mendengus, tapi memilih untuk tidak melawan lebih jauh. Dia mengangkat gelas dan meneguk anggur di dalamnya sampai habis lalu menatap Savanah yang masih diam.
"Dan kau?" tanyanya tiba-tiba, nadanya mengejek. "Apa kau akan duduk di sini selamanya dengan ekspresi ketakutan itu, atau setidaknya berpura-pura menikmati makanan ini?"
Savanah mengangkat matanya, tatapannya tajam. "A-aku." Savanah tidak berani melanjutkan kalimatnya. Ketakutannya kembali mencuat tatkala Damian menatapnya dengan tajam.
Di benaknya, berputar pikiran kalut tentang cara bagaimana menjelaskan kondisi yang menimpanya sekarang. Dia bukan seorang gadis yang suci lagi!
Damian tertawa kecil, tapi tawa itu tanpa kegembiraan. Jason memotong pembicaraan mereka, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Cukup," ujarnya.
"Kita di sini untuk membicarakan masa depan, bukan untuk bertengkar seperti anak kecil. Kalian berdua perlu belajar untuk saling memahami."
"Savanah, kalian akan hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Saya sudah memutuskan demikian. Mengenai uang muka, tidak usah dikembalikan lagi. Karena ini sudah sebuah kesepakatan mutlak," lanjutnya.
Makan siang itu terus berlangsung dalam keheningan yang dingin. Masing-masing dari mereka tenggelam dalam pikirannya sendiri, mempertimbangkan langkah selanjutnya.
Savanah merasa perutnya bergejolak, bukan karena makanan, tetapi karena perasaan terperangkap dalam situasi yang tidak diinginkannya. Damian tampaknya berusaha keras menahan komentar sarkastis yang ingin dilontarkannya.
Pelayan datang lagi, menuangkan anggur ke dalam gelas mereka, seakan-akan tidak menyadari ketegangan di ruangan itu. Jason melanjutkan makannya dengan santai, seolah-olah ini adalah makan siang yang biasa.
Namun, bagi Savanah dan Damian, makan siang ini bukan hanya sekedar makan. Ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih rumit dan sulit diprediksi, seperti badai yang datang tanpa peringatan, membawa serta rahasia dan dendam yang belum sepenuhnya terungkap.
"Pernikahan kalian akan dilangsungkan tiga hari lagi. Pergilah memilih pakaian pengantin!"
"TIGA HARI!" Damian dan Savanah berseru secara bersamaan karena terkejut.
Jason berdiri dengan elegan setelah menyeka mulutnya. "Bersiaplah!" Seusai mengatakan demikian, dia meninggalkan ruangan itu.
Damian menatap Savanah dengan wajah penuh kebencian. Menyadari hal itu, Savanah juga ikut berdiri dan membungkukkan tubuhnya. "Permisi, saya akan kembali ke tempat kerja saya!"
Savanah segera berlari keluar dari mansion itu dan memacu sepeda motor tuanya menuju ke bar tempat dia bekerja.
***
"Kau terlambat lagi!" sapa Keisha Manson sambil berkacak pinggang di dekat loker.
Savanah muak melihat keberadaan senior yang suka bertutur kata tajam tersebut. Dia hanya fokus untuk menukar pakaian dan ingin segera membersihkan ruangan karaoke sebelum pelanggan tiba.
Tiba-tiba tangannya tidak sengaja merogoh kantong bajunya dan menemukan cincin yang asing baginya. "Ini..."
Belum sempat dia mengatakan apa pun, Keisha yang kebetulan melihat cincin mewah itu langsung merebut dan memakainya. "Hei!" pekik Savanah.
"Wah, sekarang sudah mulai beli perhiasan mahal ya? Apa ini pemberian pria-pria hidung belang yang menyewamu?"
Namun, Keisha sudah buru-buru keluar dari ruangan karyawan dengan setengah berlari kecil dan mengejek Savanah.
"Kembalikan!" pekik Savanah.
Saat Keisha keluar dari ruangan, dia menubruk tubuh Damian yang berada di sana secara tiba-tiba. Cincin yang dipegangnya terjatuh dan berguling di lantai.
Damian membungkuk dan memungut cincin itu lalu menatap Keisha dengan sorot mata yang tajam dan penuh tanya. "Ternyata cincin ini berada di tanganmu," katanya dengan nada suara rendah, namun penuh arti.
Keisha tertegun, senyum perlahan memudar. "Ini... ini hanya kebetulan," jawabnya terbata-bata, mencoba mengalihkan pandangannya dari tatapan Damian yang menusuk.
Keisha terpana dengan ketampanan pria berjaket kulit yang berdiri di hadapannya. "Aku hanya ..."
Namun, belum sempat dia mengatakan apapun, Damian sudah menarik tangannya keluar dari ruangan pekerja tersebut. “Eh!”
Melihat pemandangan itu, Savanah tertegun melihat pria yang ia kenal sebagai calon suaminya itu menarik tangan Keisha. Dia sendiri tidak mengerti bagaimana cincin itu bisa berada di kantungnya
Namun, tindakan Damian yang menarik Keisha begitu saja membuat dadanya tak nyaman.
"Seenaknya menarik perempuan lain. Apakah dia pacar Keisha?" Savanah berharap sebuah jawaban tetapi di sana hanya ada dirinya seorang dengan sebuah gagang sapu yang dipegangnya.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Layar ponselnya menunjukkan nama "Pinjol". Savanah mengembuskan napas dengan kesal lalu menekan tombol jawaban.
"Maaf, tidak jadi pinjam uang. Saya sudah mendapatkan pinjaman dari tempat lain," ucap Savanah setengah berbohong.
"Wah, tidak bisa. Uang sudah ditranfer ke rekeningmu. Silakan periksa dan lakukan pembayaran sesuai persyaratan."
"Tapi ini, saya tidak jadi meminjam. Apakah bisa ditransfer kembali?"
Keheningan sesaat sebelum pihak dari seberang menjawab, "Bisa. Transfer kembali ke rekening yang akan saya berikan. Tetapi jangan memberitahukan kepada siapa pun. Karena saya hanya membantumu."
"B-baik. Saya akan kirim nanti setelah pulang dari bekerja."
"Eh, tidak bisa. Justru kamu harus ke ATM sekarang dan mengirimnya segera sebelum penagihan mulai diproses berdasarkan jatuh tempo!"
Tanpa curiga, Savanah pun menganggukkan kepalanya, "Baiklah. Saya akan ke ATM. Tunggu!"
Panggilan diputuskan. Pria gempal di ujung panggilan tersenyum dengan penuh misteri. Jambang tipis yang tidak beraturan dan mengelilingi bibirnya yang berwarna kehitaman menambah penampilan ala premannya.
"Gadis bodoh yang sangat cantik," gumamnya sambil melihat ke layar ponselnya. Foto Savanah terlihat lugu tapi mempersona karena dia memang sangat cantik dengan kulit putih dan senyum yang sederhana.
Damian menarik tangan Keisha keluar dari bar ‘Salvastone’ tanpa perkataan apa pun. Keisha sangat bingung, tetapi dia menurut dengan patuh saat Damian memakaikan helmet lalu mengangkatnya naik ke atas motor sport miliknya.Damian menyalakan motor sportnya dengan bunyi mesin yang menggelegar, lalu mereka berdua melaju di jalan menuju pantai.Keisha duduk di belakang, memeluk pinggang Damian erat-erat. Hembusan angin laut mulai terasa saat motor semakin mendekati pantai, tapi yang paling terasa oleh Keisha adalah debar jantungnya yang semakin kencang. Tangannya sedikit gemetar, bukan hanya karena angin, tapi karena kedekatan dengan Damian yang sedang memboncengnya.Keisha mengenal Damian sebagai 'Top spending' di bar tempat mereka bekerja. Tentu saja tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka menjadi pacarnya walau dia tahu Damian suka bergonta-ganti pasangan.Keisha memeluk tubuh penuh otot sempurna itu dengan erat. Sepanjang perjalanan, keduanya tetap hening, membiarkan suara deru mes
Usai mengatakan demikian, Damian kembali naik ke motor sportnya. "Naiklah, aku akan mengantarmu kembali ke bar," ucapnya sambil menyodorkan helmet kepada Keisha yang menerimanya dengan enggan.Dalam hati, Keisha berharap lebih. Namun saat motor sport itu dilajukan membelah jalan raya, Damian melanjutkan kalimatnya, "mulai sekarang, kamu adalah wanitaku, Keisha. Jangan pernah menipuku atau kamu akan menyesali semua yang sudah kita alami.""Huh?" Keisha merasa bingung mendengar perkataan Damian yang dibarengi dengan suara deru arus jalan raya. Namun, perkataan bahwa dia menjadi wanita Damian, membuat hatinya berbunga-bunga.Keisha tersenyum dan mempererat pelukan tangannya di pinggang Damian. Walau pun dia tahu, bahwa pria itu akan menikah, namun siapa pun tidak akan menolak seorang Taipan Kaya.Tiba-tiba Keisha teringat Savanah dan cincin yang menjadi miliknya. "Damian, apakah kamu mengenal Savanah?""Savanah?" ulang Damian. Tentu saja dia mengenal Savanah. Gadis lusuh itu yang akan me
Belum sempat Savanah menjawab perkataan Damian, ponselnya tiba-tiba berdering. Layar menunjukkan nama "Penjara"."Maaf, saya harus menjawab ini," ucap Savanah dengan canggung.Dia segera melangkah lebih jauh sambil menempelkan ponsel di telinganya."Dengan Nona Savanah.""Saya sendiri, ada apa?""Nona Savanah, kami dari petugas penjara mengabarkan bahwa Ibu Anda baru saja pingsan," sahut suara di seberang dengan tegas."Apa?!" Savanah membeku seketika dan tubuhnya langsung terasa lemas. Dia menggenggam erat ponselnya, otaknya berputar-putar di antara rasa takut, cemas, dan tak berdaya."B-bagaimana keadaannya sekarang?" Suaranya terpecah dan terdengar parau dan hampir tidak terdengar."Kami sudah memanggil tim medis, tetapi untuk tindakan medis lebih lanjut, kami butuh izin dari pihak keluarga," lanjut suara di seberang."Saya akan ke sana sekarang juga," sahut Savanah sambil berlari kembali ke arah Damian. Detik itu juga, air mata mulai menggenang di kedua matanya. Jantungnya berdet
Savanah meneguk salivanya sendiri dan tetap melanjutkan langkah kakinya walau sedikit merasa terganggu karena Damian sangat tampan.'Pria ini tidak banyak berkata-kata, tetapi dia tampan. Namun, bagaimana bila pria ini mengetahui bahwa dia bukan seorang wanita suci lagi dan bagaimana hubungannya dengan Keisha?' Savanah tidak hentinya memutar pemikirannya sembari melangkah menuju ke ruangan medis, di mana sang ibu dirawat.Perjalanan menuju ke ruang medis terasa seperti seumur hidup bagi Savanah dan tanpa sadar, dia mengenggam lengan Damian semakin erat sampai pria itu mengetahui tingkat kecemasan dari wanita di sampingnya tersebut.Saat memasuki klinik penjara, mata Savanah langsung mencari sosok ibunya. Dan di sanalah dia, terbaring lemah di ranjang, dengan beberapa perawat berdiri di sekelilingnya.“Ibu!” Savanah langsung berlari ke sisi ranjang, memegang tangan ibunya yang dingin. Damian mengikuti dari belakang, mengamati dalam diam dan wajah yang datar.Suzie Brown membuka matany
Savanah tentu saja merasa terpuruk dengan apa yang dikatakan oleh Damian, tetapi sejauh ini, pria itu sudah menunjukkan kekuasaannya dan bahwa kalimatnya adalah mutlak.Dia bukan seseorang yang mampu untuk melawan takdir.Beberapa saat kemudian, sang ibu didorong keluar dari ruangan dengan kursi roda. Wajahnya tampak pucat, bibirnya kering, dan napasnya tersengal.Savanah bergegas dan berlari mendekat, menatap ibunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca."Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanyanya dengan suara bergetar, hatinya diliputi rasa takut yang mendalam.Seorang Dokter yang berdiri di samping kursi roda menatap Savanah dengan penuh simpati. "Keadaannya stabil untuk saat ini, tapi dia perlu beristirahat dan mendapatkan perawatan lebih lanjut.""Ibu Anda mengalami kurang nutrisi dan kesehatannya akan memburuk apabila tidak mendapat perawatan dengan baik. Kami akan mengirim hasil darah ke laboratorium dan menunggu hasilnya. Silakan menyelesaikan administrasinya terlebih dahulu. Permi
Tanpa mengatakan sepatah kata, Damian mengeluarkan dompetnya. mengeluarkan sebuah kartu tipis berwarna hitam lalu menyodorkannya kepada Savanah."Ini seharusnya cukup," ucapnya singkat.Bapak kost segera meraih kartu tipis itu, "wah, kau dapat pacar kaya! Ini kartu platinum!"Savanah menoleh cepat, matanya melebar. "Damian, kamu nggak perlu...""Berisik!" potong Bram, suaranya tetap tenang namun tegas. "Temui Ayah dan lakukan tugasmu besok!"Usai mengatakan demikian, Damian menekan laju gas motornya dan pergi meninggalkan rumah tersebut."Ayahnya? Kamu melayani Ayahnya?"Savanah memalingkan wajah lalu melangkah menuju ke kantor di mana perlu dilakukan pengesekkan kartu, "cepat proses. Aku sudah lelah sekali dan jangan tanya apa pun!"Sementara Damian melajukan motornya bukan menuju ke rumah, melainkan kembali ke bar Salvastone. Pria itu ingin membuktikan sesuatu.Sesampainya di depan gedung bar Salvastone yang penuh dengan lampu warna-warni. Damian masuk dengan wajah yang datar.Auran
“Kamu mencariku?” Suara Keisha terdengar merdu. Wanita itu muncul dari belakang kerumunan pegawai wanita yang melihat kejadian di dalam ruangan kerja.“Keisha, ikut aku!” perintah Damian sambil menarik Keisha tetapi Keisha menolak dengan halus, “tunggu, Damian, Aku tidak bisa. Hari ini aku harus bekerja atau aku bisa dipecat!”Damian terdiam di tempatnya dan menatap tajam ke arah Keisha. “Damian, aku…”Tanpa banyak bicara, Damian kembali menarik Keisha dan saat ini, wanita itu tidak berdaya untuk menolak sama sekali.Dengan patuh, Keisha mengikuti Damian menuju ke parkiran motor dan pada saat Damian menyodorkan helmnya, wanita itu juga patuh. Antara takut dan juga canggung, di duduk di belakang Damian.
“Yo yo yo, lihat siapa yang berteriak dengan lantang di sini dan tidak menjaga sikapnya, apakah mereka datang untuk meminta sedekah?” Suara dari bibinya, Angeli Brown terdengar menyakitkan di telinga mereka. Wanita berpenampilan elegan itu melangkah dari dalam rumah ke luar halaman dengan sebuah payung yang dipegang oleh seorang pelayan kecil di sampingnya.“Angeli, panggil suamimu. Kita harus membahas kepemilikan rumah ini!” imbuh Suzie Brown dengan nada tinggi. Mereka mulai kepanasan karena terik matahari berada tepat di atas mereka.“Oh, rupanya Iparku yang tersayang sudah keluar dari penjara? Untuk apa? Aku percaya izinmu hanya sementara bukan? Aahh, aku tahu, untuk menghadiri pernikahan putrimu yang katanya sudah dijual kepada Taipan kaya.”“A-apa?!” Suzie B