Share

Bab 5. Cincin

Jason tetap tenang, menyeka mulutnya dengan serbet. “Kamu tahu, Damian, ini bukan lelucon. Ini adalah kenyataan. Dan aku tidak ingin mendengar lagi keberatanmu.”

Damian mendengus, tapi memilih untuk tidak melawan lebih jauh. Dia mengangkat gelas dan meneguk anggur di dalamnya sampai habis lalu menatap Savanah yang masih diam. 

"Dan kau?" tanyanya tiba-tiba, nadanya mengejek. "Apa kau akan duduk di sini selamanya dengan ekspresi ketakutan itu, atau setidaknya berpura-pura menikmati makanan ini?"

Savanah mengangkat matanya, tatapannya tajam. "A-aku." Savanah tidak berani melanjutkan kalimatnya. Ketakutannya kembali mencuat tatkala Damian menatapnya dengan tajam.

Di benaknya, berputar pikiran kalut tentang cara bagaimana menjelaskan kondisi yang menimpanya sekarang. Dia bukan seorang gadis yang suci lagi!

Damian tertawa kecil, tapi tawa itu tanpa kegembiraan. Jason memotong pembicaraan mereka, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Cukup," ujarnya.

"Kita di sini untuk membicarakan masa depan, bukan untuk bertengkar seperti anak kecil. Kalian berdua perlu belajar untuk saling memahami."

"Savanah, kalian akan hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Saya sudah memutuskan demikian. Mengenai uang muka, tidak usah dikembalikan lagi. Karena ini sudah sebuah kesepakatan mutlak," lanjutnya.

Makan siang itu terus berlangsung dalam keheningan yang dingin. Masing-masing dari mereka tenggelam dalam pikirannya sendiri, mempertimbangkan langkah selanjutnya. 

Savanah merasa perutnya bergejolak, bukan karena makanan, tetapi karena perasaan terperangkap dalam situasi yang tidak diinginkannya. Damian tampaknya berusaha keras menahan komentar sarkastis yang ingin dilontarkannya.

Pelayan datang lagi, menuangkan anggur ke dalam gelas mereka, seakan-akan tidak menyadari ketegangan di ruangan itu. Jason melanjutkan makannya dengan santai, seolah-olah ini adalah makan siang yang biasa.

Namun, bagi Savanah dan Damian, makan siang ini bukan hanya sekedar makan. Ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih rumit dan sulit diprediksi, seperti badai yang datang tanpa peringatan, membawa serta rahasia dan dendam yang belum sepenuhnya terungkap.

"Pernikahan kalian akan dilangsungkan tiga hari lagi. Pergilah memilih pakaian pengantin!"

"TIGA HARI!" Damian dan Savanah berseru secara bersamaan karena terkejut.

Jason berdiri dengan elegan setelah menyeka mulutnya. "Bersiaplah!" Seusai mengatakan demikian, dia meninggalkan ruangan itu.

Damian menatap Savanah dengan wajah penuh kebencian. Menyadari hal itu, Savanah juga ikut berdiri dan membungkukkan tubuhnya. "Permisi, saya akan kembali ke tempat kerja saya!"

Savanah segera berlari keluar dari mansion itu dan memacu sepeda motor tuanya menuju ke bar tempat dia bekerja.

***

"Kau terlambat lagi!" sapa Keisha Manson sambil berkacak pinggang di dekat loker.

Savanah muak melihat keberadaan senior yang suka bertutur kata tajam tersebut. Dia hanya fokus untuk menukar pakaian dan ingin segera membersihkan ruangan karaoke sebelum pelanggan tiba.

Tiba-tiba tangannya tidak sengaja merogoh kantong bajunya dan menemukan cincin yang asing baginya. "Ini..."

Belum sempat dia mengatakan apa pun, Keisha yang kebetulan melihat cincin mewah itu langsung merebut dan memakainya. "Hei!" pekik Savanah.

"Wah, sekarang sudah mulai beli perhiasan mahal ya? Apa ini pemberian pria-pria hidung belang yang menyewamu?"

Namun, Keisha sudah buru-buru keluar dari ruangan karyawan dengan setengah berlari kecil dan mengejek Savanah.

"Kembalikan!" pekik Savanah.

Saat Keisha keluar dari ruangan, dia menubruk tubuh Damian yang berada di sana secara tiba-tiba. Cincin yang dipegangnya terjatuh dan berguling di lantai.

Damian membungkuk dan memungut cincin itu lalu menatap Keisha dengan sorot mata yang tajam dan penuh tanya. "Ternyata cincin ini berada di tanganmu," katanya dengan nada suara rendah, namun penuh arti.

Keisha tertegun, senyum perlahan memudar. "Ini... ini hanya kebetulan," jawabnya terbata-bata, mencoba mengalihkan pandangannya dari tatapan Damian yang menusuk. 

Keisha terpana dengan ketampanan pria berjaket kulit yang berdiri di hadapannya. "Aku hanya ..."

Namun, belum sempat dia mengatakan apapun, Damian sudah menarik tangannya keluar dari ruangan pekerja tersebut. “Eh!”

Melihat pemandangan itu, Savanah tertegun melihat pria yang ia kenal sebagai calon suaminya itu menarik tangan Keisha. Dia sendiri tidak mengerti bagaimana cincin itu bisa berada di kantungnya

Namun, tindakan Damian yang menarik Keisha begitu saja membuat dadanya tak nyaman.

"Seenaknya menarik perempuan lain. Apakah dia pacar Keisha?" Savanah berharap sebuah jawaban tetapi di sana hanya ada dirinya seorang dengan sebuah gagang sapu yang dipegangnya.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Layar ponselnya menunjukkan nama "Pinjol". Savanah mengembuskan napas dengan kesal lalu menekan tombol jawaban.

"Maaf, tidak jadi pinjam uang. Saya sudah mendapatkan pinjaman dari tempat lain," ucap Savanah setengah berbohong.

"Wah, tidak bisa. Uang sudah ditranfer ke rekeningmu. Silakan periksa dan lakukan pembayaran sesuai persyaratan."

"Tapi ini, saya tidak jadi meminjam. Apakah bisa ditransfer kembali?"

Keheningan sesaat sebelum pihak dari seberang menjawab, "Bisa. Transfer kembali ke rekening yang akan saya berikan. Tetapi jangan memberitahukan kepada siapa pun. Karena saya hanya membantumu."

"B-baik. Saya akan kirim nanti setelah pulang dari bekerja."

"Eh, tidak bisa. Justru kamu harus ke ATM sekarang dan mengirimnya segera sebelum penagihan mulai diproses berdasarkan jatuh tempo!"

Tanpa curiga, Savanah pun menganggukkan kepalanya, "Baiklah. Saya akan ke ATM. Tunggu!"

Panggilan diputuskan. Pria gempal di ujung panggilan tersenyum dengan penuh misteri. Jambang tipis yang tidak beraturan dan mengelilingi bibirnya yang berwarna kehitaman menambah penampilan ala premannya.

"Gadis bodoh yang sangat cantik," gumamnya sambil melihat ke layar ponselnya. Foto Savanah terlihat lugu tapi mempersona karena dia memang sangat cantik dengan kulit putih dan senyum yang sederhana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status