Damian. Pria yang tadi hampir menabraknya, kini berdiri di hadapannya dengan mengenakan kemeja putih bersih dan jas formal, rambutnya yang tadi acak-acakan kini tertata rapi. Sebuah senyuman tipis bermain di bibirnya, jelas menikmati keterkejutan yang terlukis di wajah Savanah.
"Inilah putraku, Damian Pangestu," kata Jason, dengan bangga. "Dan, dia adalah calon suamimu."
Savanah merasa kakinya melemas. Seolah disambar petir, mulutnya sedikit terbuka tanpa kata-kata keluar. "A-apa?" gumamnya, hampir tidak terdengar.
Damian tersenyum, menatap Savanah dengan tatapan yang merendahkan. "Ternyata bertemu denganmu lagi, Savanah," ucapnya dengan nada yang licik, seolah menikmati setiap detik kebingungannya.
Savanah berusaha keras menguasai diri, menenangkan amarah dan keterkejutannya. "Calon suami?" ulangnya, suaranya sedikit bergetar lalu menelan salivanya yang terasa seperti batu kecil.
Jason menatapnya dengan tenang. "Asisten saya sudah membahas semua detailnya untuk Anda, bukan?"
Savanah tergagap, "tapi, dia-, ini-. Uhm, Tidak ada foto!"
Damian duduk di samping Jason, sang ayah dan menyandarkan diri di kursinya dengan enggan, matanya masih terpaku pada Savanah, seolah menantang. "Kurasa, kita memang sudah ditakdirkan untuk bertemu, Nona Keras Kepala," sindirnya.
Savanah merasakan panas di wajahnya, antara marah dan malu. "Tidak mungkin!" serunya, hampir tak percaya. "Aku... aku tidak setuju dengan ini!"
Jason menatap Savanah dengan senyuman tenang. "Aku mengerti jika kau kaget, Savanah. Tapi, kuharap kau bisa mempertimbangkannya lebih dulu. Ini adalah kesempatan baik untuk kedua keluarga kita."
Damian hanya tersenyum lebih lebar, jelas menikmati kekacauan ini. "Yah, aku rasa kita punya banyak waktu untuk membahas ini, bukan?" katanya, dengan nada penuh ironi.
"Ayah benar-benar ingin menjadikan nona lusuh itu sebagai Nyonya Muda keluarga ini?" Damian melemparkan tatapan merendahkan ke arah Savanah dan menelusuri setiap detail penampilannya.
"Layakkah?" lanjutnya dengan senyuman tipis.
Savanah merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ini akan menjadi jauh lebih sulit daripada yang dia bayangkan.
"A-aku datang, untuk membatalkan perjodohan ini, Tuan!" serunya dengan lantang.
"Nona Savanah?!" Jason Pangestu mendelik seketika, menatap ke arah Savanah. Ditatap dengan begitu intens Membuat Savanah tersentak dan mundur beberapa langkah karena terkejut.
Namun, Jason segera melembutkan tatapannya kembali, "Maaf, Nona. Sepertinya beberapa waktu lalu kita sudah sepakat. Tapi, kenapa tiba-tiba berubah?"
Jason mengganti posisi duduk di kursinya dan menatap lurus ke arah Savanah.
Sambil menundukkan kepalanya, Savanah melanjutkan kalimatnya, "Sa-saya sudah mendapatkan pinjaman dan saya akan mentransfer kembali semua uang sudah Anda berikan sebagai mahar."
Damian tersenyum senang. Kini, ia tidak perlu repot-repot memohon pada ayahnya untuk tidak menikahi wanita di depannya ini.
"Mohon batalkan pernikahan ini!" ucap Savanah, membuat Jason menegang dari tempat duduknya.
Savanah menatap Damian yang tengah ikut menatapnya sambil menyunggingkan bibirnya. Seketika ia teringat, Damian adalah top spender di bar tempatnya bekerja.
Sebagai bentuk penghargaan, biasanya para spenders di bar tempatnya bekerja akan menampilkan nama para top spenders untuk menciptakan rasa gengsi di antara mereka.
Namun, sayangnya tidak ada yang pernah melebihi sejumlah uang yang Damian keluarkan di bar tersebut.
"Dad, sudah dengar permintaan wanita lusuh ini? Semua ini hanya membuang-buang waktuku!"
Sambil mengambil serbet untuk mengelap mulutnya, Damian seketika bangkit untuk pergi dari sana.
"Aku akan per..."
"Damian!" panggil Jason dengan suara berat.
"Kalau kau juga ikut membatalkan pernikahan ini, maka Ayah akan menyumbangkan semua kekayaan milikmu kepada Yayasan Sosial Pangestu."
Damian seketika membeku di tempatnya berdiri saat ini.
"Dan kamu, Savanah. Duduklah dan nikmati makan siang ini. Kamu tahu bahwa kamu tidak bisa membatalkan apa pun karena kamu sudah menandatangani perjanjian. Kita bisa membahas detailnya."
Perkataannya singkat dan tegas, membuat kedua insan berlainan jenis itu terdiam seolah-olah vonis sudah dijatuhkan begitu saja.
Ruangan itu seketika menjadi sunyi setelah kata-kata Jason bergema di udara, terpapar ketegangan yang terasa hampir bisa dipotong dengan pisau.
Damian mengepalkan tangan dan mengeraskan rahangnya, jelas tidak senang dengan ancaman dari ayahnya.
Savanah, di sisi lain, merasakan campuran amarah, ketidakberdayaan, dan ketakutan yang bercampur aduk di dalam dadanya.
Sialnya, dia benar-benar tidak membaca isi kontrak yang diberikan oleh asisten Jason. Dia bahkan tidak membaca nama calon suaminya yang tertera di sana.
Dia hanya fokus untuk mendapatkan sejumlah uang yang sangat besar untuk membayar kompensasi agar ibunya bisa segera keluar dari penjara.
Pelayan segera masuk dengan sopan, menaruh piring-piring dengan berbagai macam hidangan yang mewah di atas meja. Aroma makanan yang lezat memenuhi ruangan, tetapi tidak ada yang tampak bernafsu untuk makan.
Savanah duduk dengan kaku, tangannya mengepal di pangkuannya. Dia merasa seperti boneka yang sedang dimainkan dalam skenario yang tak pernah ia bayangkan.
Sementara Damian, dengan tatapan tajam dan sengit itu, menatap Savanah dari ujung rambut sampai ujung kaki, seakan tak percaya wanita lusuh di depannya akan menjadi istrinya kelak.
Jason, yang duduk di ujung meja, mencoba mencairkan suasana. “Baiklah, makanlah,” katanya, mengambil pisau dan garpu, mulai memotong potongan daging steak di piringnya dengan tenang. “Kita semua di sini karena ada alasan yang lebih besar dari sekadar perbedaan kecil di antara kita.”
Sesekali Jason melirik Damian dengan pandangan tajam, tapi tidak berkata apa-apa. Sementara Savanah hanya menundukkan kepalanya, matanya menatap kosong ke piringnya. Dia tahu bahwa apa pun yang dikatakannya saat ini tidak akan mengubah keputusan yang sudah diambil.
Ketegangan semakin meningkat saat Damian menaruh garpu dengan keras di atas meja, bunyi keras yang memecahkan keheningan. "Aku tidak percaya kita harus berpura-pura seperti ini," katanya, suaranya dingin seperti es. "Dad, ini semua lelucon bagiku."
Jason tetap tenang, menyeka mulutnya dengan serbet. “Kamu tahu, Damian, ini bukan lelucon. Ini adalah kenyataan. Dan aku tidak ingin mendengar lagi keberatanmu.”Damian mendengus, tapi memilih untuk tidak melawan lebih jauh. Dia mengangkat gelas dan meneguk anggur di dalamnya sampai habis lalu menatap Savanah yang masih diam. "Dan kau?" tanyanya tiba-tiba, nadanya mengejek. "Apa kau akan duduk di sini selamanya dengan ekspresi ketakutan itu, atau setidaknya berpura-pura menikmati makanan ini?"Savanah mengangkat matanya, tatapannya tajam. "A-aku." Savanah tidak berani melanjutkan kalimatnya. Ketakutannya kembali mencuat tatkala Damian menatapnya dengan tajam.Di benaknya, berputar pikiran kalut tentang cara bagaimana menjelaskan kondisi yang menimpanya sekarang. Dia bukan seorang gadis yang suci lagi!Damian tertawa kecil, tapi tawa itu tanpa kegembiraan. Jason memotong pembicaraan mereka, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Cukup," ujarnya. "Kita di sini untuk membicarakan masa
Damian menarik tangan Keisha keluar dari bar ‘Salvastone’ tanpa perkataan apa pun. Keisha sangat bingung, tetapi dia menurut dengan patuh saat Damian memakaikan helmet lalu mengangkatnya naik ke atas motor sport miliknya.Damian menyalakan motor sportnya dengan bunyi mesin yang menggelegar, lalu mereka berdua melaju di jalan menuju pantai.Keisha duduk di belakang, memeluk pinggang Damian erat-erat. Hembusan angin laut mulai terasa saat motor semakin mendekati pantai, tapi yang paling terasa oleh Keisha adalah debar jantungnya yang semakin kencang. Tangannya sedikit gemetar, bukan hanya karena angin, tapi karena kedekatan dengan Damian yang sedang memboncengnya.Keisha mengenal Damian sebagai 'Top spending' di bar tempat mereka bekerja. Tentu saja tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka menjadi pacarnya walau dia tahu Damian suka bergonta-ganti pasangan.Keisha memeluk tubuh penuh otot sempurna itu dengan erat. Sepanjang perjalanan, keduanya tetap hening, membiarkan suara deru mes
Usai mengatakan demikian, Damian kembali naik ke motor sportnya. "Naiklah, aku akan mengantarmu kembali ke bar," ucapnya sambil menyodorkan helmet kepada Keisha yang menerimanya dengan enggan.Dalam hati, Keisha berharap lebih. Namun saat motor sport itu dilajukan membelah jalan raya, Damian melanjutkan kalimatnya, "mulai sekarang, kamu adalah wanitaku, Keisha. Jangan pernah menipuku atau kamu akan menyesali semua yang sudah kita alami.""Huh?" Keisha merasa bingung mendengar perkataan Damian yang dibarengi dengan suara deru arus jalan raya. Namun, perkataan bahwa dia menjadi wanita Damian, membuat hatinya berbunga-bunga.Keisha tersenyum dan mempererat pelukan tangannya di pinggang Damian. Walau pun dia tahu, bahwa pria itu akan menikah, namun siapa pun tidak akan menolak seorang Taipan Kaya.Tiba-tiba Keisha teringat Savanah dan cincin yang menjadi miliknya. "Damian, apakah kamu mengenal Savanah?""Savanah?" ulang Damian. Tentu saja dia mengenal Savanah. Gadis lusuh itu yang akan me
Belum sempat Savanah menjawab perkataan Damian, ponselnya tiba-tiba berdering. Layar menunjukkan nama "Penjara"."Maaf, saya harus menjawab ini," ucap Savanah dengan canggung.Dia segera melangkah lebih jauh sambil menempelkan ponsel di telinganya."Dengan Nona Savanah.""Saya sendiri, ada apa?""Nona Savanah, kami dari petugas penjara mengabarkan bahwa Ibu Anda baru saja pingsan," sahut suara di seberang dengan tegas."Apa?!" Savanah membeku seketika dan tubuhnya langsung terasa lemas. Dia menggenggam erat ponselnya, otaknya berputar-putar di antara rasa takut, cemas, dan tak berdaya."B-bagaimana keadaannya sekarang?" Suaranya terpecah dan terdengar parau dan hampir tidak terdengar."Kami sudah memanggil tim medis, tetapi untuk tindakan medis lebih lanjut, kami butuh izin dari pihak keluarga," lanjut suara di seberang."Saya akan ke sana sekarang juga," sahut Savanah sambil berlari kembali ke arah Damian. Detik itu juga, air mata mulai menggenang di kedua matanya. Jantungnya berdet
Savanah meneguk salivanya sendiri dan tetap melanjutkan langkah kakinya walau sedikit merasa terganggu karena Damian sangat tampan.'Pria ini tidak banyak berkata-kata, tetapi dia tampan. Namun, bagaimana bila pria ini mengetahui bahwa dia bukan seorang wanita suci lagi dan bagaimana hubungannya dengan Keisha?' Savanah tidak hentinya memutar pemikirannya sembari melangkah menuju ke ruangan medis, di mana sang ibu dirawat.Perjalanan menuju ke ruang medis terasa seperti seumur hidup bagi Savanah dan tanpa sadar, dia mengenggam lengan Damian semakin erat sampai pria itu mengetahui tingkat kecemasan dari wanita di sampingnya tersebut.Saat memasuki klinik penjara, mata Savanah langsung mencari sosok ibunya. Dan di sanalah dia, terbaring lemah di ranjang, dengan beberapa perawat berdiri di sekelilingnya.“Ibu!” Savanah langsung berlari ke sisi ranjang, memegang tangan ibunya yang dingin. Damian mengikuti dari belakang, mengamati dalam diam dan wajah yang datar.Suzie Brown membuka matany
Savanah tentu saja merasa terpuruk dengan apa yang dikatakan oleh Damian, tetapi sejauh ini, pria itu sudah menunjukkan kekuasaannya dan bahwa kalimatnya adalah mutlak.Dia bukan seseorang yang mampu untuk melawan takdir.Beberapa saat kemudian, sang ibu didorong keluar dari ruangan dengan kursi roda. Wajahnya tampak pucat, bibirnya kering, dan napasnya tersengal.Savanah bergegas dan berlari mendekat, menatap ibunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca."Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanyanya dengan suara bergetar, hatinya diliputi rasa takut yang mendalam.Seorang Dokter yang berdiri di samping kursi roda menatap Savanah dengan penuh simpati. "Keadaannya stabil untuk saat ini, tapi dia perlu beristirahat dan mendapatkan perawatan lebih lanjut.""Ibu Anda mengalami kurang nutrisi dan kesehatannya akan memburuk apabila tidak mendapat perawatan dengan baik. Kami akan mengirim hasil darah ke laboratorium dan menunggu hasilnya. Silakan menyelesaikan administrasinya terlebih dahulu. Permi
Tanpa mengatakan sepatah kata, Damian mengeluarkan dompetnya. mengeluarkan sebuah kartu tipis berwarna hitam lalu menyodorkannya kepada Savanah."Ini seharusnya cukup," ucapnya singkat.Bapak kost segera meraih kartu tipis itu, "wah, kau dapat pacar kaya! Ini kartu platinum!"Savanah menoleh cepat, matanya melebar. "Damian, kamu nggak perlu...""Berisik!" potong Damian, suaranya tetap tenang namun tegas. "Temui Ayah dan lakukan tugasmu besok!"Usai mengatakan demikian, Damian menekan laju gas motornya dan pergi meninggalkan rumah tersebut."Ayahnya? Kamu melayani Ayahnya?"Savanah memalingkan wajah lalu melangkah menuju ke kantor di mana perlu dilakukan pengesekkan kartu, "cepat proses. Aku sudah lelah sekali dan jangan tanya apa pun!"Sementara Damian melajukan motornya bukan menuju ke rumah, melainkan kembali ke bar Salvastone. Pria itu ingin membuktikan sesuatu.Sesampainya di depan gedung bar Salvastone yang penuh dengan lampu warna-warni. Damian masuk dengan wajah yang datar.Aura
“Kamu mencariku?” Suara Keisha terdengar merdu. Wanita itu muncul dari belakang kerumunan pegawai wanita yang melihat kejadian di dalam ruangan kerja.“Keisha, ikut aku!” perintah Damian sambil menarik Keisha tetapi Keisha menolak dengan halus, “tunggu, Damian, Aku tidak bisa. Hari ini aku harus bekerja atau aku bisa dipecat!”Damian terdiam di tempatnya dan menatap tajam ke arah Keisha. “Damian, aku…”Tanpa banyak bicara, Damian kembali menarik Keisha dan saat ini, wanita itu tidak berdaya untuk menolak sama sekali.Dengan patuh, Keisha mengikuti Damian menuju ke parkiran motor dan pada saat Damian menyodorkan helmnya, wanita itu juga patuh. Antara takut dan juga canggung, di duduk di belakang Damian.
Savanah terkejut, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara lebih lanjut dengan menutup mulutnya sendiri. Pelukan Damian terasa kuat, seperti ada magnet yang membuatnya tak bisa melepaskan diri.“Jangan pergi,” gumam Damian dalam tidurnya. Suaranya berat tapi lembut, seperti seseorang yang berbicara dari dalam mimpi. Savanah bisa merasakan napas hangat pria itu di lehernya, membuat tubuhnya kaku.Savanah ingin menanyakan siapa yang dimaksud Damian, apakah Keisha, atau Sarah? Atau wanita lain? Damian selalu berganti pasangan, jadi Savanah tidak bisa menebak siapa yang sedang berada dalam mimpi pria itu saat ini.“Damian,” bisiknya, mencoba membangunkan pria itu dengan pelan. Namun Damian hanya merapatkan pelukannya, membuat Savanah semakin sulit untuk bergerak.Hati Savanah mulai berpacu kencang karena sepertinya pria itu tidak benar-benar sedang bermimpi."Damian,
Damian menghirup aroma rambut Savanah, aroma lembut dan segar yang terasa menenangkan. Ia memejamkan matanya, membiarkan semua beban hari itu memudar. Pelukan itu tidak berisi gairah, melainkan sebuah permintaan diam-diam untuk kedamaian.“Aku hanya ingin seperti ini sebentar,” bisik Damian, suaranya serak.Savanah tetap diam, membiarkan Damian memeluknya lebih erat. Ia merasakan dada pria itu naik turun dengan napas yang berat, dan hatinya tergerak sedikit. Namun, tidak boleh ada simpati, pikirnya. Ia tidak boleh melupakan rencana yang sudah ia susun sejak awal.Savanah menatap sekilas wajah Damian yang tertunduk di bahunya. Betapa lemahnya pria ini, pikirnya. Damian mungkin kuat di mata orang lain, tapi di balik itu, ia adalah seseorang yang tersesat dalam kekacauan hidupnya sendiri. Malam ini, Damian hanya mencari ketenangan—dan sayangnya, ia menemukannya di tempat yang salah.Ti
“Di ruang baca, Tuan Damian,” jawab pelayan itu. Damian mengangguk dan berjalan pelan ke arah yang ditunjukkan.Savanah duduk di sofa ruang baca dan memegang sebuah buku, malam itu dia mengenakan piyama satin berwarna krem dengan rambut yang dibiarkan tergerai, terlihat sangat menawan di mata Damian.Ia menatap Damian yang masuk tanpa berkata-kata, hanya mengangkat alisnya seolah bertanya mengapa pria itu datang."Mengapa kamu belum tidur, apakah sedang menungguku?" Damian sengaja menganggu Savanah dengan pertanyaan tersebut.Savanah tersenyum kecil lalu menjawab dengan enteng, "Kamu tidak biasanya pulang malam-malam begini, hmm, lebih tepatnya dini hari seperti ini, jadi bagaimana kamu mengatakan bahwa aku sedang menunggumu?” balasnya dengan santai sembari meletakkan buku yang tadi ia baca.Damian tidak menjawab langsung. Ia duduk di sofa di hadapan Savanah, menghela napas p
“Keisha, aku tidak akan meninggalkanmu. Tapi aku tidak bisa mengabaikan Sarah. Dia membutuhkan bantuan, dan aku merasa itu adalah tanggung jawabku," lanjut Damian.Keisha mengangguk kecil, menahan air matanya. “Aku tidak pernah melarangmu membantu. Tapi aku tidak ingin rasa bersalah itu menghancurkan hubungan kita.”"Aku cemburu, Damian." Kedua mata Keisha berkaca-kaca.Sarah hanya bisa memandang Damian dengan tatapan terluka. “Ternyata... Kamu tidak akan pernah benar-benar memahamiku, Damian,” katanya lirih. “Dan kamu tidak pernah benar-benar peduli.”Keisha merasa kesal mendengar perkataan Sarah. Dia lalu menggenggam tangan Damian erat-erat. “Ayo pulang. Sarah butuh dokter, bukan kamu.”Keisha menoleh ke arah Sarah dengan tatapan tajam lalu melanjutkan kalimatnya, "bila perlu, dokter penyakit mental!"Da
Damian tidak sanggup memberi penjelasan dan hanya bisa menepis tangan Sarah yang masih memeluknya dengan lembut."Lepaskan sebentar, aku akan menceritakannya kepadamu nanti," ucap Damian dengan lembut."Damian," panggil Sarah, masih merasa tidak tega dan berusaha merenggek dengan manja.Keisha memperhatikan adegan itu dengan perasaan bercampur aduk. Emosinya sudah naik sampai ke keningnya. Tentu saja dia cemburu!Nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.Damian berdiri, tapi Sarah masih mencengkeram lengannya. Sarah segera menoleh ke arah Keisha dan bertanya, "Keisha? Siapa kamu bagi Damian? Jangan kamu merebutnya dariku lagi.Damian segera melepaskan tangan Sarah lalu memegang lengan Keisha, "Ini... ini bukan seperti yang kamu pikirkan," katanya buru-buru.Keisha menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya penuh kecurigaan. “Bukan seper
“Dari mana kamu mendapatkan ini?” tanya Keisha tajam, berusaha menutupi emosinya.Savanah mengangkat bahu. “Seorang teman yang bekerja di rumah sakit mengirimkannya padaku. Katanya, Damian berlari ke sana seperti pahlawan di film, mencoba menyelamatkan Sarah yang ingin melompat dari gedung. Oh, sangat dramatis, bukan?”"Aah, sepertinya saya harus memberitahumu bahwa kamu juga bisa melihatnya di internet. Hari ini cukup viral si Damian dan Sarah," lanjut Savanah lalu terkekeh pelan. Dia merasa sangat menikmati reaksi Keisha yang terkejut secara terus menerus.Keisha mengalihkan pandangannya dari layar, tapi gambar itu sudah terukir di pikirannya. Hatinya berkecamuk, antara percaya pada Damian atau membiarkan keraguan merasuki pikirannya. Ia bisa menyimpulkan bahwa Sarah menyukai Damian, bahkan mungkin lebih dari sekadar menyukai. Tapi Damian... apakah ia benar-benar akan mengkhianati cinta mereka?
"Nak, Damian. Tolonglah, jaga putri kami satu-satunya. Kalau pun kamu tidak mencintainya, tetaplah di sisinya sementara waktu. Bila kamu pergi, aku takut... dia akan berulah lagi seperti itu lagi dan anakku... hiks, sungguh malang nasibmu karena mencintai pria yang hanya memandang ke arah sepupuku."Damian hanya bisa mengangguk dan menatap Sarah yang sedang tidur dengan wajah datar. Dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dia lakukan selain membiarkan semua suasana menjadi tenang kembali.Sementara di kantor Damian. Keisha duduk gelisah di sofa, menunggu kedatangan Damian dengan ponsel di tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Damian, tapi pria itu tidak menjawab. Ini bukan kebiasaan Damian. Biasanya, ia akan selalu mengabari atau bahkan datang menjemputnya pulang kerja, meski hujan sekalipun. Tapi malam ini, tidak ada pesan, tidak ada panggilan, hanya kesunyian yang membuat hati Keisha semakin kalut."Apaka
Beberapa orang yang menyaksikan ikut merasakan apa penderitaan Sarah dan menilai Damian hanya memandangnya rendahan lalu melukai wanita itu dengan pemberian uang yang cukup banyak.Damian menggeleng perlahan. “Sarah, aku tidak bisa memperbaiki semuanya dengan cara itu. Aku tahu aku telah salah. Aku tahu kecelakaan itu mengubah hidupmu, dan aku menyesal. Tapi aku tidak bisa memaksakan cinta.”"Kamu benar-benar mencintai sepupuku? Bahkan dengan masa lalunya yang buruk itu? Apa kurangnya diriku, Damian?""K-kamu, salah paham, aku..." Damian tidak sanggup meneruskan kata-katanya, dia melirik beberapa ponsel yang mengarah kepadanya. Jika dia menyebutkan nama Keisha saat ini, maka wanita yang tidak punya hubungan apa-apa itu akan kembali terlibat.“Kalau begitu, apa gunanya aku hidup?” tanya Sarah, matanya berkaca-kaca.“Aku bahkan tidak bisa berjalan seperti dulu. Aku
"Maaf, ini dari Rumah Sakit Sentosa. Kami ingin menyampaikan bahwa baru saja pasien atas nama Sarah Brown memberikan ancaman bahwa dia akan melompat dari gedung paling atas di rumah sakit kami, dan semua itu hanya bisa dicegah dengan adanya keberadaan Anda. Apakah Anda bisa kembali ke Rumah Sakit untuk memberikan pertolongan kepada saudari Sarah?""A-apa?!"Damian terkejut mendengar apa yang disampaikan karena wanita itu benar-benar sudah nekad dan bahkan tidak menghargai nyawa miliknya."Baik, saya segera kembali ke Rumah Sakit."Usai menutup ponselnya, Damian segera melajukan motornya dengan panik kembali ke Rumah Sakit. Dia bahkan tidak sanggup menanggapi hujan yang mulai turun.Tidak lama kemudian, Damian berdiri di atap gedung dengan tubuh basah kuyup oleh hujan. Di hadapannya, Sarah Brown berdiri di tepi gedung, tampak seperti bayangan masa lalu yang tidak pernah berhenti menghantuinya. Matanya merah, entah karena hujan atau tangis. Tubuhnya