Share

Bab 3. Keluarga Taipan Kaya

Savanah terduduk di lantai belakang pintu dengan tubuh bergetar memeluk dirinya sendiri dan menangis.

Sesaat kemudian, dia merasa harus segera mandi dan mempersiapkan diri untuk jamuan makan siang di rumah Taipan kaya yang menjodohkan putra tunggalnya.

Savanah membuka pakaiannya perlahan. Semua tubuhnya penuh dengan bekas cumbuan. Savanah menegadahkan kepalanya dan melihat pantulan lehernya di cermin.

"Ini harus ditutup. A-aku harus memakai syal."

Setengah jam kemudian, Savanah sudah berada di tengah jalan menuju tempat makan siang keluarga calon suaminya.

Dengan kecepatan stabil, Savanah menekan gas pada sepeda motor tua miliknya untuk menuju ke perumahan Citraland Main City.

"Blok DD nomor 8," gumamnya sambil melihat ke kiri dan ke kanan. 

Savanah sudah sampai di persimpangan saat tiba-tiba sebuah motor sport berwarna kuning hampir menabraknya. "Eh!"

Citt!

Bang!

Sepeda motor milik Savanah terjatuh dan lututnya terantuk ke aspal yang keras.

"Aarghh!" Savanah memekik kesakitan, terengah-engah keluar dari sepeda motor yang menimpa kakinya. Matanya terpaku pada pemilik motor sport kuning yang hampir saja menabraknya.

Pemuda itu, dengan helm hitam mengkilap dan jaket kulit, turun dari motor dengan gerakan santai seakan tak peduli pada apa yang baru saja terjadi.

"Apa kau gila?! Hampir saja kau menabrakku!" ucap Savanah, suaranya penuh amarah dan gemetar.

Pemuda itu melepaskan helmnya, memperlihatkan rambut hitam yang acak-acakan namun entah kenapa terlihat menawan. Matanya, tajam dan dalam, menatap Savanah dengan sedikit kejengkelan bercampur kebingungan.

"Tidak perlu berlebihan," balasnya dengan nada dingin.

Savanah semakin naik darah. "Kau pikir ini berlebihan? Aku bisa saja terluka atau lebih buruk lagi! Kau hanya seenaknya mengendarai motor tanpa peduli pada orang lain!"

Pemuda itu mendekat, memandang sepeda motor Savanah yang tergeletak di jalan dengan knalpot yang masih mengeluarkan asap tipis tanpa berkata apa pun.

Savanah mendengus marah. "Kau pikir aku peduli tentang motorku? Aku lebih peduli tentang keselamatanku, kau sombong!"

Senyum tipis muncul di sudut bibir pemuda itu. "Sombong? Nama yang menarik. Mungkin kau perlu mengenal siapa aku sebelum berani berkata seperti itu."

Savanah melipat tangan di dada, menantang. "Dan siapa kau? Pangeran motor sport yang merasa dunia ini miliknya?"

Pemuda itu tertawa singkat, menahan tawa yang terdengar hampir mengejek. "Damian," katanya akhirnya, "Damian Pangestu."

Savanah mengangkat alis lalu menggelengkan kepalanya yang masih memakai helm. "Belum pernah dengar dan aku tidak peduli siapa kau atau keluargamu!"

Damian menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Savanah mendekat, jaraknya hanya sejengkal dari pria itu.

Tubuh Savanah yang setinggi 168 cm harus mendongkakkan kepalanya agar bisa menatap pria itu. Tiba-tiba sebuah perasaan aneh berdesir di dada Savanah, mengingat kejadian subuh tadi saat kesuciannya direngut. Wangi pria ini sangat ia kenal...

Savanah mundur selangkah tiba-tiba dan hampir terjatuh. Dengan sigap, Damian menahan pinggangnya yang ramping.

"Eh!" Savanah tersadar dan bayangan pria misterius itu semakin jelas. Dia segera menepis tangan yang memegangnya dengan kasar.

"Lepaskan tangan kotormu!" pekik Savanah.

Damian terdiam, menatap Savanah dengan mata yang sedikit menyipit, mencoba memahami sosok keras kepala di depannya. "Baiklah," katanya akhirnya, "Jika itu yang kau pikirkan. Tapi bila kau ingin memerasku, maka lupakan. Karena kulihat, kamu tidak mengalami kesakitan apa pun!"

"Permisi!" Damian memakai helm hitam full face miliknya lalu kembali naik ke motornya.

Savanah menatap tajam, tidak berniat mundur sedikit pun. "Dan pria sombong sepertinya selalu merasa benar! Pergilah, aku tidak butuh uangmu!"

Damian menyalakan motornya, suara deru mesinnya memecah ketenangan jalan. Lalu, dengan satu gerakan cepat, dia melesat pergi, meninggalkan Savanah yang masih berdiri dengan napas terengah.

Savanah mendengus, menatap punggung motor Damian yang semakin menjauh. "Pria berengsek!" gumamnya, sambil menahan napas.

Jantungnya masih berdetak kencang, campuran antara ketakutan dan kemarahan. Namun di balik semua itu, ada perasaan lain yang diam-diam menyelinap ke dalam hatinya — perasaan penasaran yang tidak bisa ia kendalikan.

Savanah masih berusaha menenangkan amarahnya saat dia berhasil memarkirkan sepeda motornya di depan rumah besar yang dituju.

Rumah itu sangat megah, hampir seperti istana, dengan gerbang besi hitam yang tinggi dan halaman luas yang dihiasi taman indah. Beberapa mobil mewah terparkir di depannya, membuat sepeda motor tua milik Savanah tampak sangat tidak cocok di sana.

Seorang pelayan menghampirinya dengan sikap sopan, "Nona Savanah? Silakan ikut saya, Tuan Pangestu menunggu di ruang makan."

"Pangestu?" Savanah mengernyitkan alisnya dan debaran jantungnya mulai berpacu dengan kencang. Dia baru saja bertemu dengan seseorang dengan kata 'Pangestu' di belakang namanya.

Savanah mengikuti pelayan. Sesampainya di ruang makan, dia semakin terpana. Meja makan panjang dari kayu mahoni gelap, dilapisi kain putih dan dihiasi dengan bunga segar serta peralatan makan perak.

Jason Pangestu, seorang pria paruh baya dengan rambut kelabu dan wajah tegas namun ramah, berdiri di ujung meja. Senyumnya hangat, tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya yang tajam. "Selamat datang, Nona Savanah," sapanya. "Senang bertemu denganmu."

Savanah mencoba tersenyum sopan dan lega, masih merasa sedikit canggung di tengah kemewahan ini. Setidaknya pria itu tidak sama dengan pria muda yang hampir menabraknya tadi. "Terima kasih, Tuan Pangestu," balasnya.

Namun, sebelum dia sempat mengatakan lebih, Jason melanjutkan, "Aku ingin memperkenalkan seseorang kepadamu." Dia melambaikan tangannya ke arah pria yang baru saja masuk dan berada di belakang Savanah.

Savanah memutar tubuhnya, dan seketika wajahnya memucat. Mata mereka bertemu, dan dunia seperti berhenti sejenak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status