Jalan Raya Pemisah Cinta
"Wis mulai belajar nakal, to?!" Suara Rindi melengking dari ambang pintu kamar Reva. Tangannya mencengkeram daun pintu erat, tubuhnya sedikit bergetar menahan amarah. "Sudah Ibu bilang, kamu itu nggak boleh hubung-hubungan sama Nathan! Kamu pikir kamu siapa? Dia itu anak orang kaya, Reva! Nduk, Ibu ini nggak mau kamu ngelakoni urip sengsara! Ibu nggak mau kamu dihinak-hinakan keluargane Nathan!" Napas Rindi mulai tersengal. Suaranya parau karena terlalu banyak berteriak. Tapi kali ini, bukan hanya dia yang menangis. Reva juga sudah tak sanggup lagi menahan air matanya. Isaknya tertahan di balik bantal, tubuhnya gemetar. Pintu kamar yang tak terkunci membuat Rindi dengan mudah menerobos masuk. Matanya merah, napasnya naik-turun, tanda emosinya sudah di ubun-ubun. "Wis pirang-pirang wong teko melamar kamu! Tapi kamu nolak kabeh! Ngene iki jebule alesane?!" Reva semakin menggigit bibirnya, mencoba menahan sesak di dadanya yang makin menjadi-jadi. Karena aku cinta, Bu! Aku sayang Mas Nathan! Tapi kata-kata itu hanya berputar di dalam kepalanya. Ia tak berani mengucapkannya. Sejak masih kelas dua SMA, sudah banyak orang datang melamarnya. Mereka bahkan rela menunggu sampai ia lulus sekolah. Waktu itu, Prabu—bapaknya—menolak dengan alasan Reva harus fokus belajar. Tapi begitu ia lulus, malah makin banyak yang datang. Giliran Reva yang menolak. Bukan karena ia tak ingin menikah. Bukan. Tapi karena hatinya sudah penuh oleh satu nama, Nathan. Saat itu, ibunya masih mendukungnya. Tapi ternyata bukan karena ia memahami perasaan putrinya. Rindi hanya ingin Reva tetap di rumah, tetap bisa mengurus Liana, adiknya, supaya ia bisa lebih leluasa bekerja di kebun. Namun, semua berubah sejak Rindi tahu Reva menjalin hubungan dengan Nathan. "Ibu sudah bilang, kamu sama Nathan itu nggak mungkin! Hubungan kalian cuma bakal medot dalan!" Reva semakin mengepalkan tangan di balik selimut. Hatinya terasa ngilu. "Reva, Nduk ... dengarkan Ibu, lelakimu itu harus yang jelas! Kamu itu kembang desa, masih ranum, masih seger. Banyak kumbang kepengin nyedot nektarmu!" Rindi menghela napas panjang. "Ibu takut, Nduk ... takut Nathan itu cuma main-main. Lelaki itu nggak bawa aib, tapi perempuan? Sekali jatuh, seumur hidup bakal dicap jelek!" Reva terisak. Tangannya mengepal, berusaha menahan luka yang makin dalam di hatinya. "Tolong, Reva. Lepaskan Nathan. Ojo nganti kedhisikan petaka! Ibu nggak pengin kamu ngalami nasib sengsara!" Semua terasa samar setelah itu. Reva tak lagi mendengar ocehan ibunya. Dadanya sudah terlalu penuh, kepalanya berat. Perlahan, matanya menutup. --- Saat ia terbangun, jam di ponselnya menunjukkan pukul tiga dini hari. Reva buru-buru mengecek notifikasi. Hatinya berharap ada pesan dari Nathan—setidaknya menanyakan keadaannya setelah tertangkap basah. Tapi layar ponsel tetap sepi. Tak ada satu pun pesan masuk. Hatinya mulai sesak. Mas Nathan nggak nyari aku? Nggak khawatir aku dimarahi? Reva menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang mulai menyusup ke dalam dadanya. Rasa sakit yang baru, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Jangan-jangan, Mas Nathan memang nggak sekeras itu memperjuangkanku? Tangannya gemetar saat meletakkan ponsel di samping bantal. Matanya masih sembab, tapi pikirannya justru semakin terang. Apa ibu benar? Apa aku memang harus mengakhiri semuanya? Reva menarik napas dalam, tapi dadanya tetap terasa berat. Ia membalikkan badan, menatap langit-langit kamar yang gelap. Di luar, suara jangkrik bersahut-sahutan, sesekali terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya atau mungkin hatinya yang terlalu gaduh? Ia mengeratkan selimut ke tubuhnya, tapi dinginnya tetap menelusup hingga ke tulang. Matanya menatap lurus ke arah ponsel yang kini tergeletak di sampingnya. Tiba-tiba, muncul keinginan untuk mengirim pesan Nathan. ‘Kalau dia nggak hubungi aku, kenapa aku nggak hubungi dia dulu?’ Tapi jari-jarinya hanya diam, tak berani menekan ikon chatt. Ada rasa gengsi yang menahannya, sekaligus ketakutan kalau Nathan benar-benar tak ingin berbicara dengannya. Pikiran itu membuat matanya kembali panas. Ia menarik selimut sampai menutupi wajahnya, berusaha menahan isakan yang hampir lolos. Kalau aku WA dia, terus dia nggak balas gimana? Atau malah jawabnya dingin? Tiba-tiba, ia teringat kejadian tadi sore. Bagaimana ayahnya menyeretnya pulang dengan wajah penuh amarah. Bagaimana ibunya memakinya habis-habisan, seolah ia telah melakukan dosa besar. "Kamu itu seperti kembang yang baru mekar. Masih ranum, segar. Makanya banyak kumbang datang mendekat, ingin menghisap nektarmu. Ibu takut, Nduk. Takut Nathan hanya ingin menghisapmu lalu pergi…" Kata-kata ibunya kembali terngiang. Membuat hatinya semakin nyeri. Jangan-jangan … benar kata Ibu? Jangan-jangan, aku memang cuma mainan buat Nathan? Reva menggeleng, menepis pikiran itu. Tapi semakin ia mencoba menolaknya, semakin kuat suara itu menggema di kepalanya. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya lagi. Kali ini bukan untuk mengecek pesan, tapi untuk melihat foto Nathan. Ia membuka galeri, menelusuri foto-foto mereka berdua yang dulu diambil diam-diam. Ada yang di bawah pohon jambu, ada yang di pinggir sawah saat Nathan membawanya naik motor. Reva tersenyum kecil melihat salah satu foto Nathan yang candid, wajahnya tampak serius saat mengikat tali sepatunya. Dulu, ia merasa dunia ini hanya milik mereka berdua. Tapi sekarang? Dunia terasa terlalu besar. Dan Nathan terasa terlalu jauh. Air matanya jatuh tanpa suara. Di luar, azan Subuh berkumandang. Membelah keheningan. Reva menutup galeri ponselnya, lalu bangkit dari tempat tidur. Mungkin, ini pertanda. Mungkin, ini waktunya dia benar-benar melepaskan Nathan. Tapi, bisakah ia melakukannya? ---Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Reva terbangun karena suara orang berbicara di luar kamarnya. Biasanya, bapak dan ibunya sudah membangunkannya sejak subuh. Tapi kali ini, tidak ada suara yang memanggilnya, tidak ada ketukan di pintu kamarnya. Ia melirik jam dinding. Setengah enam. Jantungnya mencelos. Sudah nyaris kesiangan. Reva bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Setelah itu, ia berdiri di ruang tengah, siap menunaikan salat subuh. Tapi suara sinis tiba-tiba menyelusup ke telinganya. "Oalah, anak perawan jam segini baru bangun? Baru mau salat subuh?" Reva menoleh, mendapati Imam—kakak sepupunya—menatapnya dengan seringai usil. "Lihat jam, udah hampir jam enam. Salatmu itu nggak bakal diterima," lanjut Imam, tertawa mengejek. Reva mengembuskan napas kasar. "Nyebelin banget sih, Mas! Pagi-pagi udah di sini, mau minta sarapan?!" Imam terkekeh, tapi Reva tak lagi memperdulikannya. Ia segera masuk ke ruang salat, buru-buru melaks
Langkah Rindi terhenti di depan rumah. Sebuah motor asing terparkir di sana. Dahinya mengernyit. Bukan motor tetangga, bukan pula milik saudara. Dengan gerakan hati-hati, ia masuk lewat pintu belakang, mengintip dari dapur. Suara tawa lelaki terdengar dari dalam rumahnya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Sudah bisa ia tebak, pasti Reva lagi-lagi menerima tamu lelaki. "Ibu sudah pulang?" tanya Reva saat Rindi melepas sepatu dengan gerakan sedikit kasar. "Heemmm..." jawab Rindi, malas meladeni. "Ada temanku yang main, Bu, tapi mereka belum dijamu. Aku mau beli ke warung, tapi nggak ada uang. Boleh minta duit?" Reva memasang wajah memohon, berharap ibunya luluh. "Nggak boleh!" jawab Rindi tegas tanpa kompromi. Sudah bukan sekali dua kali Reva membawa teman lelaki ke rumah. Selalu berbeda orang, berganti-ganti seperti baju. Rindi sampai malu diomongin para tetangga. "Anakmu lho, Rin, laris manis. Setiap hari kok ada saja lelaki yang datang." Rasanya telinganya sudah panas mendengar
Saat sampai rumah, Rindi tak bersemangat untuk memasak. Ia hanya mengambil kacang panjang yang ada di kulkas hasil panennya sendiri ia akan menumisnya dengan tempe. Siang ini dan nanti sore akan makan pakai menu itu sedangkan ikan asin akan ia masak besok pagi untuk sarapan.Sedangkan di luar rumah Tina merengek minta jajan karena dari tadi pagi ia belum jajan. Alhasil Reva harus minta uang sama Ibunya yang, padahal ia ingin marah sama sang ibu."Bu, Tina minta beli jajan," ucap Reva saat menemui ibunya.Rindi hanya diam saja tetapi ia menyodorkan uang dua ribu untuk Reva sisa belanjanya tadi. Reva menerima begitu saja tanpa peduli dengan wajah sang ibu yang terlihat masam."Ayo beli jajan, tapi jalan kaki ya. Kakak capek kalau harus gendong kamu," ujar Reva."Asyik..." seru Tina kegirangan.Reva dan Tina menuju warungnya Aris yang tak jauh dari rumahnya. "Sana mau beli apa??" Sampai di warung Reva meminta sang adik memilih jajan."Mau beli apa, Tin??" Sapa Aris."Beli jajan, Mbak,"
Hari-hari terus berlalu, Reva dan Nathan menjalani hubungan dengan tersembunyi, namun komunikasi merak tetap lancar. Hingga tiba waktunya pergantian tahun pun telah tiba."Dek, malam tahun baru ke alun-alun yuk." Nathan mengirim pesan pada Reva. Ia sudah sibuk mencari cara dari jauh-jauh hari untuk bisa membawa Reva ke luar rumah."Aku harus alasan apa, Mas, sama Ibu dan Bapak??" Reva mengirim pesan balasan, ia benar-benar tak bisa menjahui Nathan meski sebisa mungkin dia menghidarinya justru semakin kuat rasa cinta dan rindunya kepada Nathan."Gimana ya, Dek, aku juga bingung. Padahal aku udah jauh-jauh hari nyari cara biar kamu bisa keluar, tapi sampai sekarang belum ketemu. Aku malah semakin pusing," ujar Nathan.Kini mereka sedang melakukan panggilan vidio call, mereka tak lagi bisa bertemu karena Siti mengawasi Nathan sangat ketat. Ia tak mengijinkan Nathan sama sekali untuk bertemu Reva.Reva terkekeh ia tak percaya Nathan sudah merencanakan ini semua dari jauh hari, " Masak sih
Malam pergantian tahun begitu riuh. Reva, yang baru pertama kali lepas dari aturan ketat rumah, takjub melihat betapa ramainya perbatasan kota. Apalagi, artis viral Denny Cicak turut diundang, membuat penggemarnya berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru kecamatan dan kabupaten."Ini lebih dari ekspektasiku, Fit. Ternyata semeriah ini, ya," gumam Reva."Ini belum seberapa, Mbak. Nanti kalau kembang api sudah dinyalakan, pasti lebih ramai lagi," balas Fitri sambil menggendong putranya."Wah, aku makin tak sabar," Reva semakin bersemangat."Bunda beli itu," Salmi menunjuk sebuah makanan khas turkey."Mbak Reva, aku mau kesana. Salmi minta kebab," ucap Fitri."Aku nunggu di sini aja deh," balas Reva. Sedangkan Faiz dan Dani sudah maju ke depan untuk menyaksikan dangdut.Di sekitar mereka, suara musik dangdut menggelegar. Faiz dan Dani sudah maju ke depan, menikmati hiburan. Sementara itu, Fitri dan Reva memilih tetap di belakang, menghindari desakan orang banyak, apalagi Fitri mem
Pesta kembang api telah selesai, begitu pula dengan hiburan dangdut yang menemani malam. Para pengunjung mulai membubarkan diri dan beranjak dari halaman alun-alun.Nathan kembali berkumpul dengan teman-temannya. Mereka semua tampak menggandeng pasangan masing-masing.Di tangan mereka telah ada berbagai jajanan seperti jagung bakar, telur gulung, takoyaki, papeda, es teh, dan lainnya."Mari makan!" seru Panji dengan wajah sumringah. Tanpa ragu, ia langsung duduk di tanah dan membuka plastik makanannya."Kamu tuh ya, kalau ada yang gratisan selalu paling cepat geraknya," celutuk Agung, mengingat Panji sebelumnya mengaku kehabisan uang dan tidak membeli apa pun."Ya, jelas dong," balas Panji tanpa rasa bersalah.Mereka semua duduk lesehan di tanah, membentuk lingkaran tanpa alas apa pun, menikmati makanan yang mereka beli. Rendi terlihat membawa banyak telur gulung, sedangkan Agung membawa cireng sambal. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini mereka menikmati malam tanpa minuman
"Istighfar, Bu, istighfar. Kasihan Reva." Prabu memeluk tubuh sang istri dan berusaha menenangkannya, lalu membawanya menjauh dari Reva."Kalau kamu sudah tidak bisa dibilangi dan tidak mau menurut sama Ibu, berarti kamu sudah menganggap kami tidak ada. Lebih baik kamu pergi dari rumah ini! Pergi! Jangan pernah tampakkan wajahmu di depan Ibu lagi! Dasar anak sialan! Cepat pergi!" Rindi benar-benar dikuasai oleh amarahnya.Reva yang tidak mau membuat ibunya terus-menerus kecewa akhirnya memutuskan untuk mengemas pakaian dan bersiap pergi, meski ia tak tahu harus ke mana."Reva, kamu mau ke mana, Nduk?" tanya Prabu ketika kembali ke kamar Reva."Bapak, maafkan aku. Aku selalu membuat kalian kecewa. Aku akan pergi sesuai perintah Ibu. Sekali lagi, maafkan aku. Aku belum bisa membuat kalian bahagia, justru selalu membuat kalian malu dan bersedih," balas Reva dengan air mata yang terus mengalir di kedua pipinya."Cepat pergi, anak si
"Mas Nathan, kamu nggak turun? Ayo turun," ajak Kinez, menghampiri Nathan yang tak kunjung keluar dari mobil.Dengan malas, akhirnya Nathan membuka pintu dan keluar. Namun, tanpa ia sangka, Kinez berani bergelayut manja di lengannya."Kamu ngapain, Nez? Malu, tahu! Dilihat orang," ujar Nathan, melepas pegangan tangan Kinez."Kenapa harus malu, Mas? Anak muda wajar dong seperti ini," balas Kinez, tampak kecewa dengan penolakan Nathan.Kinez kesal karena Nathan tak merespons. Bibirnya mengerucut, membuat lelaki itu semakin malas menatapnya.---"Kita sarapan di sini dulu, ya. Nanti baru kita keliling lihat pantai," ujar Siti sambil menggelar karpet, dibantu oleh Kinez."Anak pintar, tanpa diminta sudah peka," puji Siti, yang dibalas senyuman oleh Kinez.Mereka mulai sarapan dengan bekal masakan Siti yang beragam. Nandra dan Suri sudah lebih dulu menyomot makanan kesukaan mereka."Nathan tuh
“Kita duduk di sini saja. Di sana itu khusus untuk orang-orang kaya, biasanya ruangan privat, jadi memang disediakan bagi yang mau membayar mahal. Kalau di sini untuk kalangan menengah ke bawah, kita bebas, apalagi kita juga bisa menikmati alunan musik,” ujar Nathan. “Kamu kenapa, Dek? Kok banyak diam? Apa kamu nggak suka tempat ini? Kalau kamu nggak suka, kita bisa cari tempat lain," tawar Nathan sebab ia melihat sang kekasih yang hanya diam bahkan seperti tak nyaman.Seketika Reva tersadar dari lamunannya dan mengalihkan fokusnya pada lelaki di hadapannya kembali.“Enggak kok, Mas. Aku suka tempatnya,” balas Reva sambil tersenyum. “Aku diam bukan karena nggak suka, tapi aku kagum banget sama tempat ini. Mungkin kamu udah terbiasa ya datang ke tempat kayak gini. Kalau aku, ini baru pertama kali. Jadi aku kelihatan katrok, ya?”Nathan tertawa kecil. Tak lama kemudian pelayan datang menghampiri mereka. Nathan memesan makanan dan menawari Reva untuk memilih menu yang diinginkannya. Nam
"Silakan adukan sama tantemu, aku nggak takut! Jangan mentang-mentang kamu keponakan Bu Sarah, terus bisa berbuat seenaknya. Aku di sini bayar, bukan numpang, jadi aku nggak bakal takut! Lagi pula, aku bukan kerja jadi wanita panggilan. Aku kerja di restoran bakso Dua Putra, yang di seberang mal itu!" ujar Reva dengan tegas, menyebutkan tempat kerjanya.Meysa tertawa meremehkan."Elo pikir gue percaya? Cewek kampung kayak elo, cuma lulusan SMA, bisa kerja di restoran mewah? Paling-paling juga cuma jadi tukang bersih-bersih atau cuci piring.""Iya! Memang kenapa kalau aku cuma jadi tukang bersih-bersih? Yang penting kerjaanku halal! Nggak kayak kamu, bisanya cuma halo Mama, halo Papa—minta ini itu. Meski aku anak orang nggak punya, setidaknya aku masih punya harga diri. Dan bisa nikmatin segala sesuatu dari hasil keringat sendiri tuh rasanya spesial banget! Jadi daripada ngurusin hidup orang lain yang nggak penting, mending kamu pakai waktumu buat hal yang bermanfaat. Biar kamu bisa ba
Seusai salat Magrib, Reva baru saja diantarkan Nathan pulang ke kosannya. Nathan ingin menemui Bu Sarah, dan Reva berinisiatif untuk memanggilkannya."Aku ke atas dulu, naruh barang-barang ini sebentar. Nanti aku panggilkan Bu Sarah," ujar Reva berpamitan."Iya, Sayang. Aku tunggu, ya. Semoga masih ada kamar kosong, biar aku nggak jauh dari kamu," balas Nathan penuh harap."Amin. Bentar, ya," sahut Reva sambil tersenyum.Reva berjalan masuk ke halaman kos, sementara Nathan menunggu di luar gerbang. Selama menunggu, Nathan tak henti-hentinya menatap punggung sang kekasih."Mas, udah yuk. Rumah Bu Sarah ada di sebelah sana, jadi motornya bawa ke sana aja, ya," ujar Reva, menunjuk ke arah barat setelah kembali."Iya," balas Nathan singkat.Setibanya di rumah Bu Sarah, Reva menghampiri Pak Beni, penjaga keamanan rumah tersebut, dan menanyakan keberadaan Bu Sarah. Namun, ternyata Bu Sarah sedang berada di luar kota dan belum pulang."Oh, begitu ya, Pak. Saya mau tanya, apa masih ada kamar
"Iya, Bu, aku juga nggak nyangka. Pokoknya aku nggak mau buru-buru punya anak. Aku mau bersenang-senang dulu dengan hartanya Mas Nathan," ucap Kinez, bibirnya melengkung dalam senyum penuh kemenangan."Iya, itu harus! Dan jangan lupa, kamu harus selalu mengajak Ibu serta adikmu. Kamu harus bisa menguras harta orang tua Nathan dan membalikkan nama semua harta mereka menjadi milikmu dan milik Ibu," balas Yati, suaranya dipenuhi ambisi. Kinez mengangguk yakin. "Itu pasti, Bu. Aku janji akan membuat Ibu bahagia.""Pintar! Anak Ibu memang benar-benar cerdas," puji sang Ibu dengan senyum lebar."Kurang ajar!! Dasar manusia jahanam!!" teriak Siti.Tanpa aba-aba, plak!! plak!! Dua tamparan mendarat di pipi Yati. Suara benturan telapak tangan dengan kulit menggema di ruangan. Yati tersentak, kepalanya menoleh ke samping akibat kerasnya tamparan."Awww! Lepasin! Sakit!!" jerit Yati, berusaha melepaskan diri.Kinez hanya menangis ketakutan, tubuhnya gemetar melihat ibunya diamuk Siti dengan br
Seketika semua orang memandang ke arah Nandra yang melongo. Ada yang merasa kasihan, sementara yang lain hanya bisa geleng-geleng kepala."Ya sudah kalau begitu, ayo segera berangkat! Tunggu apalagi?" seru Parto dengan semangat."I-iya, ayo semuanya berangkat. Nandra, cepat! Kasihan mereka yang sudah menunggu lama," ujar Jeki.Namun, bukannya bergegas, Nandra justru memprotes. "Bapak, kenapa nggak minta persetujuanku dulu? Aku nggak mau, ya, nikah sekarang! Apalagi sama Kinez! Kalau Bapak mau, Bapak aja yang nikah sama Kinez!""Heh! Jangan ngadi-ngadi kamu, Le! Bapak itu sudah punya Ibu! Bisa-bisanya kamu nyuruh Bapak menikahi Kinez!" seru Siti geram."Ya sudah, kalau gitu jangan paksa aku!" balas Nandra keras kepala.Ibu dan anak itu kini saling beradu pandang dengan sengit. Dalam hati, Nandra merasa seperti berada di posisi Nathan yang selalu menurut dan tak pernah membantah, sehingga mendapat lebih banyak kasih sayang dari ora
Tanpa aba-aba, Siti mendorong tubuh Rindi dengan kasar."Bu, awas!!" seru beberapa orang saat Rindi kehilangan keseimbangan.Tangannya refleks memeluk Tina lebih erat, melindungi gadis kecilnya agar tidak terjatuh. Wajahnya memucat, napasnya memburu."Astaghfirullah, Siti! Kamu sudah gila?!" suara Jeki meledak, membuat ruangan semakin sunyi.Di luar, beberapa tetangga mulai berkumpul, penasaran dengan kegaduhan yang terjadi. Mereka berbisik-bisik, membahas kaburnya Nathan yang kini menjadi perbincangan seluruh kampung.Angin siang bertiup pelan, menggoyangkan daun-daun di halaman. Namun, hawa di dalam rumah tetap terasa panas, bukan karena cuaca, tetapi karena emosi yang semakin membara.Rumah Jeki semakin riuh. Bisikan para tetangga semakin kencang, membentuk lingkaran gosip yang mengelilingi keluarga itu. Wajah-wajah penuh rasa ingin tahu menatap Rindi yang masih berdiri di tempatnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Suasana Panik di Rumah Jeki"Mungkin dia lagi di kamar mandi, atau keluar sebentar. Memangnya kamu udah mencarinya?" tanya salah satu kerabat yang lain.Siti menggeleng. "Aku cuma lihat di kamarnya, nggak sempat cari ke tempat lain."Kakak Jeki, Warsih, yang mendengar kegaduhan itu langsung berseru lantang, "Coba cari lagi! Kalian yang di luar ada lihat Nathan nggak?"Sekejap suasana berubah semakin riuh. Semua orang yang ada di rumah mulai berhamburan ke luar, mencari Nathan di setiap sudut rumah dan halaman."Nathan...!!""Nathan...!!!""Kamu di mana, Nathan? Kita semua udah siap, tinggal nunggu kamu aja!"Beberapa tamu yang baru datang ikut kebingungan melihat keluarga Jeki berteriak-teriak mencari seseorang. Para tetangga yang sedang berkumpul di depan rumah pun mulai ikut mencari, memeriksa ke pekarangan, ke belakang rumah, bahkan ke jalanan sekitar.Di tengah kekacauan itu, Suri—adik Nathan—berlar
Nathan membawa Reva keluar dari area restoran. Sejak bertemu kekasihnya, ia sampai lupa kalau perutnya sudah lama meronta minta diisi."Sayang, kita beli makan dulu, ya? Aku laper banget, dari pagi belum makan," ucap Nathan sambil mengelus perutnya. Ia tahu betul akibat telat makan bisa bikin tubuhnya drop. Sekarang hatinya sudah lega setelah berhasil kabur dari rumah dan bertemu Reva. Baginya, ini anugerah luar biasa. Ia harus tetap sehat agar bisa terus menjaga gadisnya."Mau, tapi aku nggak punya uang," sahut Reva polos.Nathan terkekeh, lalu mengacak pelan rambut Reva. "Yang ngajak kan aku, jadi ya aku yang bayar, Sayang. Masa iya aku suruh kamu bayar sendiri? Aku ini pacar kamu, lho."Reva tersenyum. "Ya udah deh, makasih ya.""Iya, Sayang."Nathan menoleh ke kanan dan kiri, mencari tempat makan yang nyaman, bersih, dan nggak terlalu ramai."Mas, kelewat! Tadi ada kedai penjual nasi, lho," ujar Reva sambil menepuk p
"Duh, Rev, kok elo nolak tawaran Pak Aaris sih? Harusnya elo terima aja. Lumayan kan, dapat tumpangan gratis daripada jalan kaki mulu. Gue nggak nyangka, lho, Pak Aaris nawarin elo pulang bareng. Di dalam tadi kalian ngobrolin apa aja sih? Gue kepo," ujar Keysa dengan antusias."Nggak lah, Kak, aku nggak enak sama Pak Aaris. Tadi kita nggak ngobrolin apa-apa kok, cuma bahas soal hadiah dan aku ngucapin terima kasih. Udah gitu doang," balas Reva, berusaha menutupi kegugupannya."Elo pakai pelet apa sih sampai Pak Aaris bisa nyantol sama elo?" Nita menyela dengan nada geram, matanya menatap tajam ke arah Reva.Reva hanya tersenyum tipis, sudah mulai terbiasa dengan sikap Nita yang selalu sinis padanya."Udah nyadar belum kalau Pak Aaris nggak pernah ngelirik elo, Nit? Justru malah nyantol sama Reva yang orang baru! Kesaing, kan? Kasihan!" ledek Keysa sambil tertawa kecil."Udah, kalian nggak usah ngomongin Pak Aaris terus. Ntar kuping Pak A