Saat sampai rumah, Rindi tak bersemangat untuk memasak. Ia hanya mengambil kacang panjang yang ada di kulkas hasil panennya sendiri ia akan menumisnya dengan tempe.
Siang ini dan nanti sore akan makan pakai menu itu sedangkan ikan asin akan ia masak besok pagi untuk sarapan. Sedangkan di luar rumah Tina merengek minta jajan karena dari tadi pagi ia belum jajan. Alhasil Reva harus minta uang sama Ibunya yang, padahal ia ingin marah sama sang ibu. "Bu, Tina minta beli jajan," ucap Reva saat menemui ibunya. Rindi hanya diam saja tetapi ia menyodorkan uang dua ribu untuk Reva sisa belanjanya tadi. Reva menerima begitu saja tanpa peduli dengan wajah sang ibu yang terlihat masam. "Ayo beli jajan, tapi jalan kaki ya. Kakak capek kalau harus gendong kamu," ujar Reva. "Asyik..." seru Tina kegirangan. Reva dan Tina menuju warungnya Aris yang tak jauh dari rumahnya. "Sana mau beli apa??" Sampai di warung Reva meminta sang adik memilih jajan. "Mau beli apa, Tin??" Sapa Aris. "Beli jajan, Mbak," balas Reva. "Kemarin pagi siapa yang datang ke rumahmu, Rev, apa pacarmu??" Celutak Karti ibunya Aris yang tinggal serumah dengan Aris. "Temanku, Mbokdhe," balas Reva santai. "Masak pacarmu banyak sekali, Rev, tiap hari kok gonta ganti lelaki yang datang," seru Karti. "Cuma temen, Dhe, aku nggak punya pacar." Reva begitu santai dalam menanggapi, ia sudah terbiasa mendapat pertanyan macam itu dari tetangganya ia pikir tetangganya memang selalu iri dan julid. "Masak temannya laki semua, Rev, nggak ada yang cewek sih??" Sahut Aris. Deg!!! Reva baru menyadari kalau selama ini yang datang ke rumahnya hanyalah teman cowok tak ada satupun teman cewek yang bermain. Ada, tapi dulu waktu ia masih sekolah itu pun kalau hanya ada keperluan. "Ini permennya satu aja, Tin, uangnya nggak cukup." Reva mengembalikan satu jajan yang diambil adiknya. "Berapa, Mbak Aris??" tanya Reva sembari memperlihatkan jajan yang ada ditangan sang adik. Aris melihat sejenak, "Hemm... dua ribu." Reva menyodorkan uang yang di bawanya lalu mengajak sang adik untuk segera pulang. Karena ia merasa tatapan Aris dan Ibunya terasa berbeda. Jadi ia tak nyaman dan lebih baik menghindar dari pada dicecar banyak pertanyaan dan dicemoh. "Ehh...." Reva terkejut saat ia membalikkan tubuhnya ternyata menabrak seseorang. "Mas Nathan," ucap Reva sangat lirih namun Nathan masih bisa mendengar. Nathan mengedipkan sebelah matanya membuat jantung Reva berdebar. Reva hanya tersenyum tak berani menyapa. "Rokoknya, Ris, biasa." Nathan terlihat buru-buru ia segera membayarnya dan menerima kembalian. Reva sengaja memperlambat jalannya ia berharap Nathan segera menyusul dan bisa pulang bersama. "Jajan apa nih," ujar Nathan saat langkahnya sudah sejajar dengan Reva. "Tina tuh yang jajan, aku mana dikasih," balas Reva menoleh ke arah Nathan. Mereka saling memandang dan langkahnya saling terhenti. "Kamu marah, Dek, sama aku??" tanya Nathan. "Marah?? Nggak kok," balas Reva. "Aku kira kamu marah karena nggak ada hubungin aku atau sekedar chatt. Malam itu kamu pasti di marahin orang tuamu kan??" tanya Nathan. "Maafin aku ya, gara-gara aku maksa kamu buat ketemuan malah kamu di marahin orang tuamu. Hubungan kita pasti terancam," imbuh Nathan. "Nggak apa-apa kok, Mas, hubungan kita ya tetap sembunyi-sembuyi lah," sahut Reva. "Sepertinya aku nggak bisa bebas nyapa kamu lagi deh, aku nggak enak sama orang tuamu." Tatapan Nathan tak mau beralih dari Reva. Mereka seakan-akan saling memancarkan sebuah kerinduan. "Aduh, kakak, sakit...!!" teriak Tina yang sudah berjalan jauh dari mereka. "Tina!! Makanya dong, jangan lari-larian. Jatuh kan," ucap Reva segera menghampiri adiknya. "Berdarah, sakit," rengek Tina dengan menutupi lukanya di lutut. "Mana yang sakit, nggak papa ini lecet dikit. Dah ayo bangun, jalan lagi," ucap Reva setelah membuka lutut Tina yang di tutup dengan telapak tanggannya sendiri. "Nggak mau, ini sakit aku nggak bisa jalan." Tina malah menangis semakin keras. "Alah manja, gitu doang kok." Sungut Reva. "Ayo gendong mas Nathan aja ya. Nanti sampai rumah diobatin," ujar Nathan. Ia mengambil Tina yang tak menolak tawarannya. Saat itu juga jajan Tina berjatuhan. Reva memunguti jajan itu dan membawanya, sedangkan Nathan sudah menggendong Tina. Mereka jalan beriringan padahal sebentar lagi mereka sampai rumah. "Kamu itu lho jahat bener sama adiknya, adiknya jatuh kesakitan bukannya di gendong malah di bilang manja. Anak kecil kan memang begitu," ujar Nathan menasehati kekasihnya. "Tapi aku kan juga mau di gendong, nggak Tina mulu yang di gendong," sungut Reva. "Kamu mau aku gendong??" "Dih apaan sih," Mereka tertawa bersama sedangkan Tina masih terisak di gendongan Nathan. "Nathan, kamu ngapain di situ. Pulang!!" teriak Siti dari teras rumahnya. Ia tak suka anaknya ketawa ketiwi sama Reva. "Ibu ngapain sih, gitu aja kok teriak-teriak nyuruh pulang," ucap Nathan dengan kesal. "Sudah, Mas, kamu pulang aja. Biar Tina aku gendong, makasih ya," balas Reva. Ia tak enak hati dengan tatapan Tumini yang terlihat garang melihat anaknya bersama dirinya. "Nathan, pulang!!" teriak Siti lagi ia melotot dan berkacak pinggang karena putranya tak kunjung mengidahkan teriakannya. "Aku pulang dulu ya, Sayang," ucap Nathan. Reva hanya mengangguk dan membalas senyuman Nathan. Nathan memberikan Tina kepada Reva lalu segera melangkah menuju rumahnya. Ia sangat heran dengan Ibunya tak biasa Siti bersikap seperti itu bahkan meneriakinya segala. Reva menghela napas ia merasa tak enak dengan sikap Siti barusan, tanpa mau mengambil hati ia juga segera menuju rumahnya dengan menggendong sang adik. Namun, Reva merasa ada yang aneh. Biasanya, meski tidak menyukai hubungannya dengan Nathan, Ibu Nathan tidak pernah sekeras ini. Apakah ada sesuatu yang terjadi? Di sisi lain, Nathan menatap punggung ibunya dengan alis berkerut. Ada ketakutan dalam sorot mata Siti, bukan sekadar kemarahan biasa. Sesuatu sedang terjadi. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya. Dan Reva belum siap jika harus kehilangan Nathan. **** Bagaimana nasib kisah cinta Bulan dan Bintang selanjutnya ya???Hari-hari terus berlalu, Reva dan Nathan menjalani hubungan dengan tersembunyi, namun komunikasi merak tetap lancar. Hingga tiba waktunya pergantian tahun pun telah tiba."Dek, malam tahun baru ke alun-alun yuk." Nathan mengirim pesan pada Reva. Ia sudah sibuk mencari cara dari jauh-jauh hari untuk bisa membawa Reva ke luar rumah."Aku harus alasan apa, Mas, sama Ibu dan Bapak??" Reva mengirim pesan balasan, ia benar-benar tak bisa menjahui Nathan meski sebisa mungkin dia menghidarinya justru semakin kuat rasa cinta dan rindunya kepada Nathan."Gimana ya, Dek, aku juga bingung. Padahal aku udah jauh-jauh hari nyari cara biar kamu bisa keluar, tapi sampai sekarang belum ketemu. Aku malah semakin pusing," ujar Nathan.Kini mereka sedang melakukan panggilan vidio call, mereka tak lagi bisa bertemu karena Siti mengawasi Nathan sangat ketat. Ia tak mengijinkan Nathan sama sekali untuk bertemu Reva.Reva terkekeh ia tak percaya Nathan sudah merencanakan ini semua dari jauh hari, " Masak sih
Malam pergantian tahun begitu riuh. Reva, yang baru pertama kali lepas dari aturan ketat rumah, takjub melihat betapa ramainya perbatasan kota. Apalagi, artis viral Denny Cicak turut diundang, membuat penggemarnya berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru kecamatan dan kabupaten."Ini lebih dari ekspektasiku, Fit. Ternyata semeriah ini, ya," gumam Reva."Ini belum seberapa, Mbak. Nanti kalau kembang api sudah dinyalakan, pasti lebih ramai lagi," balas Fitri sambil menggendong putranya."Wah, aku makin tak sabar," Reva semakin bersemangat."Bunda beli itu," Salmi menunjuk sebuah makanan khas turkey."Mbak Reva, aku mau kesana. Salmi minta kebab," ucap Fitri."Aku nunggu di sini aja deh," balas Reva. Sedangkan Faiz dan Dani sudah maju ke depan untuk menyaksikan dangdut.Di sekitar mereka, suara musik dangdut menggelegar. Faiz dan Dani sudah maju ke depan, menikmati hiburan. Sementara itu, Fitri dan Reva memilih tetap di belakang, menghindari desakan orang banyak, apalagi Fitri mem
Pesta kembang api telah selesai, begitu pula dengan hiburan dangdut yang menemani malam. Para pengunjung mulai membubarkan diri dan beranjak dari halaman alun-alun.Nathan kembali berkumpul dengan teman-temannya. Mereka semua tampak menggandeng pasangan masing-masing.Di tangan mereka telah ada berbagai jajanan seperti jagung bakar, telur gulung, takoyaki, papeda, es teh, dan lainnya."Mari makan!" seru Panji dengan wajah sumringah. Tanpa ragu, ia langsung duduk di tanah dan membuka plastik makanannya."Kamu tuh ya, kalau ada yang gratisan selalu paling cepat geraknya," celutuk Agung, mengingat Panji sebelumnya mengaku kehabisan uang dan tidak membeli apa pun."Ya, jelas dong," balas Panji tanpa rasa bersalah.Mereka semua duduk lesehan di tanah, membentuk lingkaran tanpa alas apa pun, menikmati makanan yang mereka beli. Rendi terlihat membawa banyak telur gulung, sedangkan Agung membawa cireng sambal. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini mereka menikmati malam tanpa minuman
Jalan Raya Pemisah Cinta "Sudah mulai belajar jadi liar, ya?!" Suara Rindi melengking di ambang pintu kamar Reva. "Sudah Ibu bilang berapa kali, kamu itu nggak boleh berhubungan sama Nathan! Ingat, Nduk, kita ini orang nggak punya, sedangkan orang tua Nathan orang berada. Ibu nggak mau kamu jadi hinaan mereka kalau sampai kamu menikah sama Nathan!" Suara Rindi sudah mulai serak, dia sudah mulai menangis. Dan air mata yang sejak tadi Reva tahan-tahan akhirnya tumpah juga. Reva menangis dalam diam diatas bantal.Pintu kamar yang tak terkunci membuat Rindi dengan mudah menerobos masuk. Wajahnya merah padam menahan amarah.Reva hanya bisa menangis, hatinya masih bergetar setelah dipaksa pulang oleh sang Bapak. Ia baru saja pulang setelah diam-diam bertemu Nathan. Namun, rencana pertemuan itu gagal sempurna karena mereka tertangkap basah."Sudah banyak yang datang ingin melamarmu, tapi kamu selalu menolak! Kenapa justru kamu diam-diam menjalin hubungan sama Nathan?" Suara Rindi mulai ber
Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan.Reva terbangun karena suara orang berbicara di luar kamarnya. Biasanya, bapak dan ibunya sudah membangunkannya sejak subuh. Tapi kali ini, tidak ada suara yang memanggilnya, tidak ada ketukan di pintu kamarnya.Ia melirik jam dinding. Setengah enam.Jantungnya mencelos. Sudah nyaris kesiangan.Reva bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Setelah itu, ia berdiri di ruang tengah, siap menunaikan salat subuh.Tapi suara sinis tiba-tiba menyelusup ke telinganya."Oalah, anak perawan jam segini baru bangun? Baru mau salat subuh?"Reva menoleh, mendapati Imam—kakak sepupunya—menatapnya dengan seringai usil."Lihat jam, udah hampir jam enam. Salatmu itu nggak bakal diterima," lanjut Imam, tertawa mengejek.Reva mengembuskan napas kasar. "Nyebelin banget sih, Mas! Pagi-pagi udah di sini, mau minta sarapan?!"Imam terkekeh, tapi Reva tak lagi memperdulikannya. Ia segera masuk ke ruang salat, buru-buru melaksanakan kewajibannya
Seiring berjalannya waktu, Rindi pulang dari rumah majikannya dan melihat ada sepeda motor yang tidak dikenalnya terparkir di depan rumah. Ia masuk lewat pintu belakang, mengintip dari dapur. Suara tawa lelaki terdengar di dalam rumahnya."Ibu sudah pulang?" tanya Reva saat Rindi melepas sepatu."Heemmm..." jawab Rindi dengan deheman singkat."Ada temanku yang main, Bu, tapi mereka belum dijamu. Aku mau beli ke warung, tapi nggak ada uang. Boleh minta duit?" tanya Reva, mencoba memohon."Nggak boleh," jawab Rindi tegas.Selama Reva lulus sekolah, ada saja teman lelaki Reva yang datang bahkan selalu berbeda-beda orang. Rindi sampai malu diomongin para tetangga."Anakmu lho, Rin, laris manis setiap hari kok ada saja lelaki yang datang." Pertanyaan itu sering Rindi temui setelah ada lelaki yang bertamu. Ia yakin setelah ini para tetangga pasti akan berkomentar lagi.Rindi segera masuk kamar mandi untuk mandi, karena ia sudah tahu siapa yang datang, jadi tak perlu penasaran lagi.Setelah
Pesta kembang api telah selesai, begitu pula dengan hiburan dangdut yang menemani malam. Para pengunjung mulai membubarkan diri dan beranjak dari halaman alun-alun.Nathan kembali berkumpul dengan teman-temannya. Mereka semua tampak menggandeng pasangan masing-masing.Di tangan mereka telah ada berbagai jajanan seperti jagung bakar, telur gulung, takoyaki, papeda, es teh, dan lainnya."Mari makan!" seru Panji dengan wajah sumringah. Tanpa ragu, ia langsung duduk di tanah dan membuka plastik makanannya."Kamu tuh ya, kalau ada yang gratisan selalu paling cepat geraknya," celutuk Agung, mengingat Panji sebelumnya mengaku kehabisan uang dan tidak membeli apa pun."Ya, jelas dong," balas Panji tanpa rasa bersalah.Mereka semua duduk lesehan di tanah, membentuk lingkaran tanpa alas apa pun, menikmati makanan yang mereka beli. Rendi terlihat membawa banyak telur gulung, sedangkan Agung membawa cireng sambal. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini mereka menikmati malam tanpa minuman
Malam pergantian tahun begitu riuh. Reva, yang baru pertama kali lepas dari aturan ketat rumah, takjub melihat betapa ramainya perbatasan kota. Apalagi, artis viral Denny Cicak turut diundang, membuat penggemarnya berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru kecamatan dan kabupaten."Ini lebih dari ekspektasiku, Fit. Ternyata semeriah ini, ya," gumam Reva."Ini belum seberapa, Mbak. Nanti kalau kembang api sudah dinyalakan, pasti lebih ramai lagi," balas Fitri sambil menggendong putranya."Wah, aku makin tak sabar," Reva semakin bersemangat."Bunda beli itu," Salmi menunjuk sebuah makanan khas turkey."Mbak Reva, aku mau kesana. Salmi minta kebab," ucap Fitri."Aku nunggu di sini aja deh," balas Reva. Sedangkan Faiz dan Dani sudah maju ke depan untuk menyaksikan dangdut.Di sekitar mereka, suara musik dangdut menggelegar. Faiz dan Dani sudah maju ke depan, menikmati hiburan. Sementara itu, Fitri dan Reva memilih tetap di belakang, menghindari desakan orang banyak, apalagi Fitri mem
Hari-hari terus berlalu, Reva dan Nathan menjalani hubungan dengan tersembunyi, namun komunikasi merak tetap lancar. Hingga tiba waktunya pergantian tahun pun telah tiba."Dek, malam tahun baru ke alun-alun yuk." Nathan mengirim pesan pada Reva. Ia sudah sibuk mencari cara dari jauh-jauh hari untuk bisa membawa Reva ke luar rumah."Aku harus alasan apa, Mas, sama Ibu dan Bapak??" Reva mengirim pesan balasan, ia benar-benar tak bisa menjahui Nathan meski sebisa mungkin dia menghidarinya justru semakin kuat rasa cinta dan rindunya kepada Nathan."Gimana ya, Dek, aku juga bingung. Padahal aku udah jauh-jauh hari nyari cara biar kamu bisa keluar, tapi sampai sekarang belum ketemu. Aku malah semakin pusing," ujar Nathan.Kini mereka sedang melakukan panggilan vidio call, mereka tak lagi bisa bertemu karena Siti mengawasi Nathan sangat ketat. Ia tak mengijinkan Nathan sama sekali untuk bertemu Reva.Reva terkekeh ia tak percaya Nathan sudah merencanakan ini semua dari jauh hari, " Masak sih
Saat sampai rumah, Rindi tak bersemangat untuk memasak. Ia hanya mengambil kacang panjang yang ada di kulkas hasil panennya sendiri ia akan menumisnya dengan tempe. Siang ini dan nanti sore akan makan pakai menu itu sedangkan ikan asin akan ia masak besok pagi untuk sarapan.Sedangkan di luar rumah Tina merengek minta jajan karena dari tadi pagi ia belum jajan. Alhasil Reva harus minta uang sama Ibunya yang, padahal ia ingin marah sama sang ibu."Bu, Tina minta beli jajan," ucap Reva saat menemui ibunya.Rindi hanya diam saja tetapi ia menyodorkan uang dua ribu untuk Reva sisa belanjanya tadi. Reva menerima begitu saja tanpa peduli dengan wajah sang ibu yang terlihat masam."Ayo beli jajan, tapi jalan kaki ya. Kakak capek kalau harus gendong kamu," ujar Reva."Asyik..." seru Tina kegirangan.Reva dan Tina menuju warungnya Aris yang tak jauh dari rumahnya. "Sana mau beli apa??" Sampai di warung Reva meminta sang adik memilih jajan."Mau beli apa, Tin??" Sapa Aris."Beli jajan, Mbak,"
Seiring berjalannya waktu, Rindi pulang dari rumah majikannya dan melihat ada sepeda motor yang tidak dikenalnya terparkir di depan rumah. Ia masuk lewat pintu belakang, mengintip dari dapur. Suara tawa lelaki terdengar di dalam rumahnya."Ibu sudah pulang?" tanya Reva saat Rindi melepas sepatu."Heemmm..." jawab Rindi dengan deheman singkat."Ada temanku yang main, Bu, tapi mereka belum dijamu. Aku mau beli ke warung, tapi nggak ada uang. Boleh minta duit?" tanya Reva, mencoba memohon."Nggak boleh," jawab Rindi tegas.Selama Reva lulus sekolah, ada saja teman lelaki Reva yang datang bahkan selalu berbeda-beda orang. Rindi sampai malu diomongin para tetangga."Anakmu lho, Rin, laris manis setiap hari kok ada saja lelaki yang datang." Pertanyaan itu sering Rindi temui setelah ada lelaki yang bertamu. Ia yakin setelah ini para tetangga pasti akan berkomentar lagi.Rindi segera masuk kamar mandi untuk mandi, karena ia sudah tahu siapa yang datang, jadi tak perlu penasaran lagi.Setelah
Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan.Reva terbangun karena suara orang berbicara di luar kamarnya. Biasanya, bapak dan ibunya sudah membangunkannya sejak subuh. Tapi kali ini, tidak ada suara yang memanggilnya, tidak ada ketukan di pintu kamarnya.Ia melirik jam dinding. Setengah enam.Jantungnya mencelos. Sudah nyaris kesiangan.Reva bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Setelah itu, ia berdiri di ruang tengah, siap menunaikan salat subuh.Tapi suara sinis tiba-tiba menyelusup ke telinganya."Oalah, anak perawan jam segini baru bangun? Baru mau salat subuh?"Reva menoleh, mendapati Imam—kakak sepupunya—menatapnya dengan seringai usil."Lihat jam, udah hampir jam enam. Salatmu itu nggak bakal diterima," lanjut Imam, tertawa mengejek.Reva mengembuskan napas kasar. "Nyebelin banget sih, Mas! Pagi-pagi udah di sini, mau minta sarapan?!"Imam terkekeh, tapi Reva tak lagi memperdulikannya. Ia segera masuk ke ruang salat, buru-buru melaksanakan kewajibannya
Jalan Raya Pemisah Cinta "Sudah mulai belajar jadi liar, ya?!" Suara Rindi melengking di ambang pintu kamar Reva. "Sudah Ibu bilang berapa kali, kamu itu nggak boleh berhubungan sama Nathan! Ingat, Nduk, kita ini orang nggak punya, sedangkan orang tua Nathan orang berada. Ibu nggak mau kamu jadi hinaan mereka kalau sampai kamu menikah sama Nathan!" Suara Rindi sudah mulai serak, dia sudah mulai menangis. Dan air mata yang sejak tadi Reva tahan-tahan akhirnya tumpah juga. Reva menangis dalam diam diatas bantal.Pintu kamar yang tak terkunci membuat Rindi dengan mudah menerobos masuk. Wajahnya merah padam menahan amarah.Reva hanya bisa menangis, hatinya masih bergetar setelah dipaksa pulang oleh sang Bapak. Ia baru saja pulang setelah diam-diam bertemu Nathan. Namun, rencana pertemuan itu gagal sempurna karena mereka tertangkap basah."Sudah banyak yang datang ingin melamarmu, tapi kamu selalu menolak! Kenapa justru kamu diam-diam menjalin hubungan sama Nathan?" Suara Rindi mulai ber