Para santri berjalan beriringan menuju masjid. Di sepanjang jalan, Ali melihat santri-santri lain yang berbondong-bondong menuju tempat yang sama. Semua dengan langkah tenang dan penuh keyakinan.Setibanya di masjid, Ali dan Rafiq mengambil tempat di saf tengah. Ketika imam mulai mengucapkan takbir, Ali merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Suasana khusyuk di masjid itu sangat berbeda dengan apa yang pernah ia rasakan. Setiap gerakan, setiap doa, terasa begitu khidmat.Setelah salat selesai, Ali terdiam sejenak. Ia menatap langit-langit masjid yang dihiasi ornamen kaligrafi indah. Ada ketenangan yang mengalir dalam dirinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Rafiq mendekat dan tersenyum. “Bagaimana, Ali? Apa kamu udah mulai merasakan sesuatu yang berbeda?”Ali mengangguk perlahan. “Gue enggak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi... ya, ada sesuatu yang... damai.”Rafiq tertawa kecil. “Itulah yang dirasakan kebanyakan orang saat pertama kali tinggal di sini. Lingkungan i
Jalan Raya Pemisah Cinta "Wis mulai belajar nakal, to?!" Suara Rindi melengking dari ambang pintu kamar Reva. Tangannya mencengkeram daun pintu erat, tubuhnya sedikit bergetar menahan amarah. "Sudah Ibu bilang, kamu itu nggak boleh hubung-hubungan sama Nathan! Kamu pikir kamu siapa? Dia itu anak orang kaya, Reva! Nduk, Ibu ini nggak mau kamu ngelakoni urip sengsara! Ibu nggak mau kamu dihinak-hinakan keluargane Nathan!" Napas Rindi mulai tersengal. Suaranya parau karena terlalu banyak berteriak. Tapi kali ini, bukan hanya dia yang menangis. Reva juga sudah tak sanggup lagi menahan air matanya. Isaknya tertahan di balik bantal, tubuhnya gemetar. Pintu kamar yang tak terkunci membuat Rindi dengan mudah menerobos masuk. Matanya merah, napasnya naik-turun, tanda emosinya sudah di ubun-ubun. "Wis pirang-pirang wong teko melamar kamu! Tapi kamu nolak kabeh! Ngene iki jebule alesane?!" Reva semakin menggigit bibirnya, mencoba menahan sesak di dadanya yang makin menjadi-jadi.
Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Reva terbangun karena suara orang berbicara di luar kamarnya. Biasanya, bapak dan ibunya sudah membangunkannya sejak subuh. Tapi kali ini, tidak ada suara yang memanggilnya, tidak ada ketukan di pintu kamarnya. Ia melirik jam dinding. Setengah enam. Jantungnya mencelos. Sudah nyaris kesiangan. Reva bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Setelah itu, ia berdiri di ruang tengah, siap menunaikan salat subuh. Tapi suara sinis tiba-tiba menyelusup ke telinganya. "Oalah, anak perawan jam segini baru bangun? Baru mau salat subuh?" Reva menoleh, mendapati Imam—kakak sepupunya—menatapnya dengan seringai usil. "Lihat jam, udah hampir jam enam. Salatmu itu nggak bakal diterima," lanjut Imam, tertawa mengejek. Reva mengembuskan napas kasar. "Nyebelin banget sih, Mas! Pagi-pagi udah di sini, mau minta sarapan?!" Imam terkekeh, tapi Reva tak lagi memperdulikannya. Ia segera masuk ke ruang salat, buru-buru melaks
Langkah Rindi terhenti di depan rumah. Sebuah motor asing terparkir di sana. Dahinya mengernyit. Bukan motor tetangga, bukan pula milik saudara. Dengan gerakan hati-hati, ia masuk lewat pintu belakang, mengintip dari dapur. Suara tawa lelaki terdengar dari dalam rumahnya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Sudah bisa ia tebak, pasti Reva lagi-lagi menerima tamu lelaki. "Ibu sudah pulang?" tanya Reva saat Rindi melepas sepatu dengan gerakan sedikit kasar. "Heemmm..." jawab Rindi, malas meladeni. "Ada temanku yang main, Bu, tapi mereka belum dijamu. Aku mau beli ke warung, tapi nggak ada uang. Boleh minta duit?" Reva memasang wajah memohon, berharap ibunya luluh. "Nggak boleh!" jawab Rindi tegas tanpa kompromi. Sudah bukan sekali dua kali Reva membawa teman lelaki ke rumah. Selalu berbeda orang, berganti-ganti seperti baju. Rindi sampai malu diomongin para tetangga. "Anakmu lho, Rin, laris manis. Setiap hari kok ada saja lelaki yang datang." Rasanya telinganya sudah panas mendengar
Saat sampai rumah, Rindi tak bersemangat untuk memasak. Ia hanya mengambil kacang panjang yang ada di kulkas hasil panennya sendiri ia akan menumisnya dengan tempe. Siang ini dan nanti sore akan makan pakai menu itu sedangkan ikan asin akan ia masak besok pagi untuk sarapan.Sedangkan di luar rumah Tina merengek minta jajan karena dari tadi pagi ia belum jajan. Alhasil Reva harus minta uang sama Ibunya yang, padahal ia ingin marah sama sang ibu."Bu, Tina minta beli jajan," ucap Reva saat menemui ibunya.Rindi hanya diam saja tetapi ia menyodorkan uang dua ribu untuk Reva sisa belanjanya tadi. Reva menerima begitu saja tanpa peduli dengan wajah sang ibu yang terlihat masam."Ayo beli jajan, tapi jalan kaki ya. Kakak capek kalau harus gendong kamu," ujar Reva."Asyik..." seru Tina kegirangan.Reva dan Tina menuju warungnya Aris yang tak jauh dari rumahnya. "Sana mau beli apa??" Sampai di warung Reva meminta sang adik memilih jajan."Mau beli apa, Tin??" Sapa Aris."Beli jajan, Mbak,"
Hari-hari terus berlalu, Reva dan Nathan menjalani hubungan dengan tersembunyi, namun komunikasi merak tetap lancar. Hingga tiba waktunya pergantian tahun pun telah tiba."Dek, malam tahun baru ke alun-alun yuk." Nathan mengirim pesan pada Reva. Ia sudah sibuk mencari cara dari jauh-jauh hari untuk bisa membawa Reva ke luar rumah."Aku harus alasan apa, Mas, sama Ibu dan Bapak??" Reva mengirim pesan balasan, ia benar-benar tak bisa menjahui Nathan meski sebisa mungkin dia menghidarinya justru semakin kuat rasa cinta dan rindunya kepada Nathan."Gimana ya, Dek, aku juga bingung. Padahal aku udah jauh-jauh hari nyari cara biar kamu bisa keluar, tapi sampai sekarang belum ketemu. Aku malah semakin pusing," ujar Nathan.Kini mereka sedang melakukan panggilan vidio call, mereka tak lagi bisa bertemu karena Siti mengawasi Nathan sangat ketat. Ia tak mengijinkan Nathan sama sekali untuk bertemu Reva.Reva terkekeh ia tak percaya Nathan sudah merencanakan ini semua dari jauh hari, " Masak sih
Malam pergantian tahun begitu riuh. Reva, yang baru pertama kali lepas dari aturan ketat rumah, takjub melihat betapa ramainya perbatasan kota. Apalagi, artis viral Denny Cicak turut diundang, membuat penggemarnya berbondong-bondong datang dari berbagai penjuru kecamatan dan kabupaten."Ini lebih dari ekspektasiku, Fit. Ternyata semeriah ini, ya," gumam Reva."Ini belum seberapa, Mbak. Nanti kalau kembang api sudah dinyalakan, pasti lebih ramai lagi," balas Fitri sambil menggendong putranya."Wah, aku makin tak sabar," Reva semakin bersemangat."Bunda beli itu," Salmi menunjuk sebuah makanan khas turkey."Mbak Reva, aku mau kesana. Salmi minta kebab," ucap Fitri."Aku nunggu di sini aja deh," balas Reva. Sedangkan Faiz dan Dani sudah maju ke depan untuk menyaksikan dangdut.Di sekitar mereka, suara musik dangdut menggelegar. Faiz dan Dani sudah maju ke depan, menikmati hiburan. Sementara itu, Fitri dan Reva memilih tetap di belakang, menghindari desakan orang banyak, apalagi Fitri mem
Pesta kembang api telah selesai, begitu pula dengan hiburan dangdut yang menemani malam. Para pengunjung mulai membubarkan diri dan beranjak dari halaman alun-alun.Nathan kembali berkumpul dengan teman-temannya. Mereka semua tampak menggandeng pasangan masing-masing.Di tangan mereka telah ada berbagai jajanan seperti jagung bakar, telur gulung, takoyaki, papeda, es teh, dan lainnya."Mari makan!" seru Panji dengan wajah sumringah. Tanpa ragu, ia langsung duduk di tanah dan membuka plastik makanannya."Kamu tuh ya, kalau ada yang gratisan selalu paling cepat geraknya," celutuk Agung, mengingat Panji sebelumnya mengaku kehabisan uang dan tidak membeli apa pun."Ya, jelas dong," balas Panji tanpa rasa bersalah.Mereka semua duduk lesehan di tanah, membentuk lingkaran tanpa alas apa pun, menikmati makanan yang mereka beli. Rendi terlihat membawa banyak telur gulung, sedangkan Agung membawa cireng sambal. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini mereka menikmati malam tanpa minuman
Para santri berjalan beriringan menuju masjid. Di sepanjang jalan, Ali melihat santri-santri lain yang berbondong-bondong menuju tempat yang sama. Semua dengan langkah tenang dan penuh keyakinan.Setibanya di masjid, Ali dan Rafiq mengambil tempat di saf tengah. Ketika imam mulai mengucapkan takbir, Ali merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Suasana khusyuk di masjid itu sangat berbeda dengan apa yang pernah ia rasakan. Setiap gerakan, setiap doa, terasa begitu khidmat.Setelah salat selesai, Ali terdiam sejenak. Ia menatap langit-langit masjid yang dihiasi ornamen kaligrafi indah. Ada ketenangan yang mengalir dalam dirinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Rafiq mendekat dan tersenyum. “Bagaimana, Ali? Apa kamu udah mulai merasakan sesuatu yang berbeda?”Ali mengangguk perlahan. “Gue enggak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi... ya, ada sesuatu yang... damai.”Rafiq tertawa kecil. “Itulah yang dirasakan kebanyakan orang saat pertama kali tinggal di sini. Lingkungan i
Langkah-langkah santri bergegas melewatinya, beberapa mengobrol santai, yang lain membawa kitab di tangan mereka. Sebagian santri memandangnya sekilas, tetapi tak ada yang menyapanya. Ali merasa benar-benar sendirian.Sebuah suara lembut tiba-tiba membuyarkan lamunannya.“Assalamualaikum, akhi,” seorang santri dengan wajah ramah berdiri di sampingnya, tersenyum hangat. “Kamu baru datang, ya?”Ali menoleh, sedikit terkejut, tapi segera membalas salam itu. “Waalaikumsalam... Iya, gue baru tiba. Nama gue Ali.”Santri itu mengulurkan tangannya meski nampak canggung terhadap Ali. “Aku Rafiq. Santri di sini sudah dua tahun. Selamat datang di Pesantren Darul Hikmah.”Ali menjabat tangan Rafiq dengan canggung. “Terima kasih,” jawabnya singkat.“Pasti masih kaget, ya? Baru pertama kali ke pesantren?” tanya Rafiq sambil melihat ekspresi Ali yang masih bingung.Ali mengangguk. “Iya, gue belum pernah ke tempat seperti ini. Semuanya... terasa begitu sepi dan berbeda.”Rafiq tertawa kecil. “Awalnya
Semalam, Ali sulit memejamkan mata. Pikirannya terus berkecamuk, membayangkan bagaimana kehidupan di pesantren yang akan segera dijalaninya. Pagi ini, ia harus berangkat, meski hatinya penuh dengan pertanyaan. Mengapa Papa dan Mama begitu memaksanya untuk pergi ke pesantren?"Mama sama Papa enggak nganterin aku?" tanya Ali saat melihat kedua orang tuanya juga bersiap tetapi dengan mobil yang berbeda."Tidak, Sayang, Mama dan Papa ada urusan yang tidak bisa di tinggalkan. Kamu berangkat sama pak Anwar ya," balas sang Reva.Brak!Ali membanting tasnya ke tanah dengan penuh emosi. Kekecewaannya terhadap orang tua yang dianggapnya tidak pernah memahami perasaannya meledak."Ali, kamu mau ke mana? Ali, kembali!" pekik Nathan dari teras rumah, suaranya menggema, penuh kekhawatiran.Ali berhenti sejenak, lalu berbalik dengan mata yang berkaca-kaca, emosinya tak bisa lagi dibendung."Ali enggak mau ke pesantren! Mama sama Papa enggak pernah peduli sama Ali. Kalau kalian enggak peduli, biarkan
RPCT Season 2 Judul: Gus Itu Ternyata Preman Tokoh: Aliyansyah Haidar Asykar, Reva Mazaya Al Khalifi, Nathan Alfa , Nisa, Aisyah, Zahra, Kiyai Zubair, Mauty dan masih banyak lagi. Genre: Campuran Sinopsis: Ali seorang preman dipaksa masuk pesantren oleh kedua orang tuanya tanpa diberi tahu alasan dan tujuannya. Sehingga mereka terkesan menyembunyikan sesuatu. Di pesantren Ali pun diberi amanah untuk meneruskan memimpin pesantren sehingga menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Bagaimana sikap Ali? Apakah ia mampu mengemban tanggung jawab yang berat dan mempersatukan keutuhan pesantren? Lalu sebenarnya apa alasan dibalik orang tuanya menginginkan Ali masuk di pesantren? $$$$$$$$ Judul Bab : Gadis Taruhan "Ayo ikut gue," ucap pemuda itu singkat, masih dengan helm full-face dan jaket bergambar kepala singa yang menjadi identitas kelompoknya. Mata tajamnya menatap gadis berambut panjang yang berdiri gugup di sampingnya. Tanpa berkata sepatah pun, gadis itu melangkah pelan da
"Mau gue banting hpnya sekalian elo atau nurut!!" Karena Kinez terus memberontak, Eko meminta tetangganya untuk memegangi Kinez agar Nathan bisa mengambil sidik jari Kinez.Dengan kekuatan maksimal Kinez tetap memberontak, karena yang memegang dirinya orang banyak akhirnya Nathan bisa mendapatkan sidik jari Kinez dan hp itu bisa terbuka.Nathan menjelajahi galeri dan ternyata foto-foto menjijikkan itu ia temukan di folder tersembunyi."Lepasin, jangan buka hp-ku sembarangan. Itu privasi!!" Teriak Kinez. Ia tidak bisa melawan orang-orang yang memeganginya."Ckk. Elo mau menipu banyak orang!! Jelas-jelas ini vidio editan. Dan foto aslinya masih ada!!" Nathan yang pernah bekerja di alat elektronik tentu saja paham dengan hp dan semacamnya."Kalian lihat ini, ini foto aslinya. Dia sama lelaki lain dan in
Agung, Thomas, Rendi, dan Panji kini bekerja sebagai karyawan Nathan. Dan mereka di minta Nathan untuk mengelola restoran selama dirinya pulang kampung.Perjalanan selama enam jam di tempuh menggunakan travel. Reva dan Nathan sengaja menyewa trevel untuk mengantarkan mereka pulang, mereka juga membawa banyak barang untuk oleh-oleh di kampung.Travel sudah berhenti di depan rumah Reva, siang ini kebetulan Prabu dan Rindi sedang ada di rumah mereka merasa heran saat ada mobil travel berhenti di depan rumahnya.Orang-orang yang sedang mengghibah di rumah Ibunya Eko yang tak jauh dari rumah Reva juga ikut melihat.Reva dan Nathan sengaja turun bersamaan, membuat orang berlari menghampiri mereka.Orang desa mangga tak ada yang mengenali Reva namun mereka masih bisa mengenali Nathan."Wooy... Nathan pulang.
Empat tahun telah berlalu, di kampung, tepatnya di desa mangga.Kinez yang baru saja pulang dari perantauan mendatangi rumah Jeki dengan keadaan perut yang sudah membuncit."Assalamu'alaikum, Budhe, Pakdhe," sapa Kinez berdiri di ambang pintu rumah Jeki yang terbuka.Jeki dan Siti yang sedang menonton tv menatap Kinez melotot, sorot mata mereka tertuju pada perut Kinez yang membuncit."Hiks, hiks, mas Nathan jahat, Budhe. Di kota aku bertemu mas Nathan dia janji mau menikahiku dan merayu aku untuk melayaninya sebagai bukti kalau aku benar-benar mencintainya. Hasil hubungan kami membuahkan janin di perutku, tetapi mas Nathan nggak mau bertanggung jawab dia nggak mau menikahiku. Mas Nathan mencari target wanita baru di kota," ujar Kinez bersimpuh di kaki Siti dengan menangis."Apa?!!!" Siti berteriak kaget."Bantu aku, Budhe, untuk ngomong sama Mas Nathan agar mau mengakui kala
Di tengah perjalanan Nathan sengaja menarik pedal remnya mendadak membuat Reva maju memeluknya. Kini ia bisa merasakan tubuh hangat Reva di punggungnya, tangan Reva yang ada di pinggangnya ia lingkarkan di perutnya sekarang ia bisa merasakan pelukan Reva lagi.Tanpa rencana Nathan membelokkan sepeda motornya memasuki halaman cafe. "Kita ngobrol sambil ngopi ya," ujar Nathan menarik tangan Reva yang sudah ia genggam.Nathan memesan dua kopi capuccino latte dan kentang goreng sebagai cemilannya, tak berapa lama pesanan itu akhirnya datang."Dek, selama tujuh bulan aku mencarimu. Maafkan aku karena tak percaya dengan ucapanmu. Aku memang bodoh mendahulukan emosiku dari pada akal sehat, kamu mau kan kita memperbaiki hubungan kita lagi??" Tanya Nathan."Apa kamu mau menungguku, Mas, maksudnya kamu nggak akan buru-buru merecoki aku untuk nikah m
"Baiklah kalau begitu, oh ya maaf kalau boleh tahu dengan Kakak siapa ya??" tanya karyawan itu."Saya Paijo," balas Nathan.Seketika wajah karyawan itu pun berubah. "Paijo??" Ulangnya."Iya, kenapa?? Itu nama pemberian orang tuaku looh," ujar Nathan menahan senyum."Heee... Nggak apa-apa, Kak, kakak kan keren saya kira namanya siapa gitu," balas wanita itu mengangguk dan tersenyum."Ya sudah kalau gitu silakan duduk di sana ya," imbuh wanita itu memerintahkan Nathan untuk duduk di loby."Baiklah terima kasih," balas Nathan.Sembari menunggu Nathan melihat-lihat foto Reva yang ada di katalog di atas meja. Ia tak pernah menyangka kalau Reva bisa sebagus itu saat berpose dalam foto sudah seperti model yang jam terbangnya tinggi.Nathan benar-benar sudah tak sabar menunggu Reva.Satu jam kemudian samar-samar Nathan mendengar orang yang sedang mengobrol.