“Dira, istrimu, dia berhasil ditemukan.”
Ethan mematung. Mendengar nama itu disebutkan hanya membuat kemarahannya tersulut. Ia mengangkat kepala, menatap pengacaranya dengan mata menyipit. “Kalian berhasil menemukannya?” tanyanya ragu. Selama 5 tahun menghilang tiba-tiba saja wanita itu muncul? Bagian dirinya yang selalu bersikap sinis dengan kejam mengatakan kalau sesuatu pasti terjadi. Dira menghilang dan itu keputusannya, Ethan sama sekali tidak berminat mencarinya. Untuk apa? untuk memberi wanita itu kepuasan karena berhasil membuatnya bertekuk lutut? Itu tidak akan pernah terjadi. “Ingat pabrik roti yang waktu itu kita kunjungi?” Ethan mengangguk kaku. Beberapa waktu lalu ia memang mengunjungi pabrik roti yang baru saja resmi didirikan. Tempatnya di pelosok, jauh dari kehidupan perkotaan. Bukan pilihan yang akan dibuat siapapun yang terbiasa dengan kehidupan kota dan ia tahu Dira bukan wanita yang terbiasa dengan kehidupan desa. “Dia ada di sana.” “Dia apa?” tanyanya, memastikan pendengarannya tidak bermasalah. Jack mengangguk, meyakinkan keraguan Ethan. “Dia ada di sana Ethan, tinggal di sebuah ruko sederhana bertingkat dua yang dijadikan sebagai tepat tinggal sekaligus tempat usaha.” Ethan terhenyak di kursinya. Jadi wanita itu sengaja menghilang demi tinggal di pedesaan? Itu keputusan yang buruk dan sama sekali tidak seperti Dira. Ethan mengusap-usap dagunya. Kenapa? Pertanyaan itu menari-nari di kepalanya dan tanpa mampu mencegah kemarahan menggelegak memenuhi darahnya. Harga dirinya terluka. Setelah semua yang ia lakukan untuknya, wanita itu membalas kebaikannya dengan pengkhianatan dan jika Dira pikir ia akan memaafkan dan melupakan semua penghinaan yang dilakukanya, Dira jelas tidak mengenalnya dengan baik. “Kenapa dia tinggal di sana?” Jack menyuarakan apa yang sekarang bersarang di benaknya. “Maksudku, dia benar-benar tahu memilih tempat untuk menghilang. Kita mencari semua tempat yang mungkin dikunjunginya kecuali tempat kumuh dan terpencil seperti itu. Siapa sangka,” gumam Jack mengangkat kedua tangannya ke udara. “Aku ingin lokasinya, Jack,” ucap Ethan setelah hening beberapa saat. Jack menatapnya dengan alis melengkung. “Tentu, tapi boleh aku bertanya apa yang akan kau lakukan begitu berhasil menemukannya?” “Ouh, itu sesuatu yang tidak ingin kau ketahui, percayalah,” seringai Ethan. Ia berjalan keluar meninggalkan Jack yang melongo. *** “Ini lezat sekali Mbak, bahkan lebih lezat dari toko kue yang baru saja berdiri itu.” Dira tertawa renyah mendengarnya. “Aku senang ada yang menganggap seperti itu,” ujarnya dengan mata berbinar. Dira mulai memajang kue-kue yang baru dikeluarkan dari pemanggang dan menyusunnya rapi dalam etalase. Aroma yang membuat air liur meleleh dalam sekejap memenuhi ruangan. “Kubilang juga apa, tangan Mbak itu ajaib. Gen heran, bagaimana bisa Mbak membuat kue selezat ini padahal tidak pernah sekolah secara khusus. Apa itu yang dinamakan bakat alami?” Dira mengulum senyum. Ia mungkin tidak pernah mengikuti sekolah resmi secara khusus, tapi tahun-tahun penuh kesepian yang dilaluinya telah membuka pikirannya. Ia harus melakukan sesuatu sebelum menjadi gila dan saat itu pilihannya jatuh pada kursus memasak. Dira belajar langsung dari ahli terbaiknya meski keputusan itu akhirnya menjadi perdebatan panjang yang hanya menjelaskan betapa berbedanya mereka berdua. “Mbak melamun lagi.” Dira tersentak, ia memaksa senyumnya. “Tolong ambil kue-kue yang ada di dapur. Kurasa hari ini kita akan sibuk melayani pelanggan jika yang kau katakan benar,” ujarnya menggoda, membuat gadis remaja itu tertawa. “Siap Bos!” “Terima kasih, Gen.” Dira kembali sibuk dengan pekerjaannya. Ia begitu terhanyut dalam kegiatannya sampai-sampai tidak mendengar suara mobil yang meraum dan saat ia menyadarinya semua sudah terlambat. Dira mengeluarkan suara tercekik saat menyadari siapa pemilik mobil sport merah yang berhenti tepat di depan tokonya. Waktu seolah berhenti. Udara seolah ditarik paksa dari paru-parunya. “Jadi kehidupan seperti inikah yang kau inginkan begitu meninggalkanku?” Dira nyaris menjerit. Wajahnya pucat pasi mana kala sepasang visual tajamnya menatap nanar tubuh tinggi berotot dengan wajah teramat tampan dan tatapan tajam mengintimidasi itu berjalan ke arahnya. Tubuhnya bereaksi terhadap kehadiran pria itu, tapi Dira mengusirnya dengan ganas. Sejak dulu yang diinginkan pria itu hanyalah hubungan fisik, tidak lebih. Baginya Dira tidak lebih dari seorang istri pajangan yang sesekali harus ditunjukkan. Mengabaikan detak jantungnya yang berdentam mengerikan Dira memasang wajah dinginnya. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuh saat memaksa bibirnya terbuka. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya ketus. “Kau tidak mungkin datang hanya untuk menemui mantan istrimu bukan?” Ethan tersenyum, tapi senyum itu tidak menyentuh matanya. Mata yang dulu selalu berhasil membuat Dira terpesona. “Apa kau tidak merindukan suamimu ini, Sayang?” “Kau bukan suamiku, kita sudah bercerai!” Semua keriangan yang mewarnai wajah Ethan menguap. Matanya berkilat-kilat. “Kau masih istriku entah kau menyukainya atau tidak!” “Tidak, pengacaraku sudah—“ Ethan mengibas tangannya acuh. “Tidak ada perceraian selama aku belum menandatangani suratnya.” Kemarahan dengan mudah menguasai Dira. Selama 5 tahun dia berusaha bangkit dan menata hidupnya yang hancur. Tidak mudah, tapi Dira berhasil bertahan. Jadi, dia tidak akan pernah membiarkan dominasi pria itu kembali menguasainya. “Aku bukan istrimu, aku hanya porselen yang sesekali kau hias dan kau gunakan dan aku sudah muak dengan peran itu jadi sebaiknya kau pergi dari sini!” Ketakutan merambati pembuluh darahnya saat ingat rahasia yang dengan sengaja ia sembunyikan. Dira mulai berdoa dalam hati semoga Ethan tidak akan pernah mengetahuinya. Namun, alam seolah berkonspirasi mengejeknya karena rahasia yang ia sembunyikan mendadak menunjukkan diri. “Mommy!” Tiba-tiba sepasang tangan mungil sudah memeluk erat kakinya. Mengabaikan tatapan tajam yang ditunjukkan Ethan Dira berhasil menunduk dan tersenyum pada putranya. “Hai Sayang, Mommy sedang punya tamu apa kau mau bermain bersama auntie Gen sebentar?” Gadis itu muncul, tersenyum pada Noah. “Ayo, Noah, ada kue lezat menunggumu.” Ethan memandang Noah dan melihat mata biru itu membelalak. Ia tidak harus menunduk untuk mengetahui kalau sekarang mata polos putranya juga pasti tengah menatap Ethan dengan mata biru yang persis sama. Ethan menatap Noah untuk waktu yang terasa selamanya. Dia mengerutkan dahi terlihat seolah-olah ditinju... terlihat kebingungan, kemudian dia memandang Dira mulai mencerna situasi yang terjadi. Mata Dira terpejam, wajahnya sepucat mayat. Panik. Bersalah. Dalam sekejap, sesuatu di mata Ethan berubah menjadi dingin dan Dira pun tahu kalau pria itu tahu.Tatapan Ethan begitu tajam sampai-sampai Dira bisa merasakan lututnya tiba-tiba goyah. Ia harus berpegangan pada kusen pintu agar tidak jatuh. “Katakan Dira, bukan kebetulan anak itu bermata biru dan bukan kebetulan jika anak itu berumur 4 tahun!” Dira tersentak mendengar kemarahan mendidih Ethan. Mata birunya begitu gelap seolah Ethan ingin menelannya hidup-hidup. Dira memejamkan mata. Ia tahu rahasia ini tidak mungkin bertahan selamanya, tapi ia tidak pernah menduga bahwa pria itu akan tahu dengan cara seperti ini. “Se-sebaiknya kita bicara di dalam.” Ethan sudah akan menolak. Namun, di detik terakhir ia berjalan mengikuti wanita itu. Rasanya seolah ada yang ingin meledak dalam dirinya. Kenyataan yang baru saja ia temukan berhasil menguras habis kesabarannya. Kedua tangannya terkepal erat saat Dira membawa Ethan menuju dapur. “Biarkan pintunya tetap terbuka!” tekannya dengan gigi gemertak. “Tapi…” “Kubilang biarkan pintunya tetap terbuka!” Dira mendesah, menuruti keinginan
Dira mengusap wajahnya begitu Ethan pergi. Jantungnya masih berdentam mengerikan bahkan setelah kepergian pria itu. Ia menarik napas dalam berkali-kali untuk menenangkan syarafnya yang tegang.Ia dan Etahn belum bercerai? Bagaimana bisa? Bukankah pengacaranya waktu itu mengatakan kalau Ethan setuju dan sudah menandatanganinya? Lalu kenapa pria itu bilang mereka masih suami istri?Selama 5 tahun bersembunyi dari pria itu nyatanya tidak membuat perasaannya terhadap ayah putranya berubah. Dira menyentuh dadanya, tepat di mana jantungnya berada. Bahkan sekarang ia masih menginginkan Ethan dan merindukan pria itu. Ia masih begitu muda ketika memutuskan untuk menikah dengan Ethan. Dulu dunianya berwarna dan penuh tawa, tapi itu sebelum ia menyadari kalau hubungannya dengan Ethan sangat rapuh dan dangkal. Ia menginginkan cinta, tapi pria itu tidak dan yang lebih buruk…Dira mengusir bayangan mengerikan itu dari benaknya. Tidak ada gunanya mengingat kembali luka yang membuatnya memilih menja
Dira berusaha menahan lontaran kasar yang sudah ada di ujung lidahnya. Kemarahan yang ia rasakan rasanya cukup untuk membuatnya kehilangan kendali. Dira menarik napas panjang dan dalam.Jadi inilah balas dendam yang ingin di lakukan olehnya, pikir Dira getir. Kenapa hal itu bahkan tidak mengejutkannya? Dira mengikuti setiap langkah Ethan lewat tatapan matanya. Laki-laki itu tampil bak penguasa. Begitu angkuh dan penuh percaya diri.Bu Hani berdiri, menyambut kedatangan Ethan bagai menyambut rombongan presiden. Dira mendengus. Ethan memang bisa membuat orang-orang mau melakukan apa yang dia ingin orang lain lakukan.Bukankah itu juga yang terjadi padamu?“Selamat datang Pak Ethan, apa Anda datang untuk melihat gedung ini? saya sudah memberitahu—“Ethan mengangkat satu tangannya. “Jika diizinkan saya ingin bicara dengan penghuni lama gedung ini,” ucap Ethan dingin. Pria itu masih marah padanya. Itu jelas.Bu Hani mengerjap, tampak tersinggung karena ucapannya di potong, tapi dia berhasi
Ethan meneguk minumannya banyak-banyak. Bagian dari dirinya yang selama ini ia abaikan atau bahkan tidak ia ketahui ia miliki, mengatakan kalau tindakannya benar-benar kejam dan tidak berperasaan, tapi sisi lain yang selama ini membuatnya bertahan menghadapi orang-orang yang hanya tahu bagaimana memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi dengan puas menyetujui tindakannya.Lima tahun!Selama 5 tahun wanita itu membohonginya? Ethan tidak memedulikan saat Dira menghilang. Benar, ia pernah mencari wanita itu selama beberapa waktu, tapi akhirnya ia sadar, wanita yang memutuskan untuk melarikan diri tidak berhak mendapatkan perhatiannya. Wanita itu ingin pergi, maka Ethan akan melepasakannya.Semudah itu.Sampai akhirnya ia tahu alasan dibalik kaburnya Dira. Untuk menyembunyikan putra mereka. Ahli warisnya! Kemarahan yang ia rasakan begitu besar hingga membuatnya merasa tercekik.Ethan belum pernah semarah ini seumur hidupnya. Fakta Dira mampu menyembunyikan rahasia sebesar itu hanya
“Tapi kita tidak…maksudku kita sudah bercerai, Ethan. Kita tidak mungkin tinggal bersama.”Ethan mengangkat satu alisnya. “Mungkin kau lupa kalau aku belum menandatangani surat perceraian kita yang berarti secara hukum kau masih istriku.”Dira terdiam mendengar pernyataan itu. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Sanggupkah ia mempertaruhkan hatinya sekali lagi demi putra mereka? Ini bukan solusi yang ia bayangkan akan terjadi, tapi jalan apa lagi yang tersisa untuknya? Jika ia menolak usulan Ethan sudah pasti pria itu akan berusaha memisahkannya dari Noah, tapi jika ia menerimanya… besar kemungkinan ia akan kembali terluka. Dira memejamkan matanya erat.“Kurasa kau tidak perlu mencemaskan apa pun. Kita akan tinggal di rumah yang sama tidak lebih, jadi jangan membuang tenagamu untuk memikirkan apa yang tidak akan terjadi.”Ucapan itu dikatakan dengan nada merendahkan yang nyaris membuat Dira ingin membalas. Alih-alih menunjukkan kalau kata-kata Ethan melukainya Dira mengangkat dagunya
“Mommy! Mommy! Lihat, ada pohon jeruk.” Noah berseru dengan penuh semangat sembari menunjuk-nunjuk pohon jeruk yang mereka lihat sepanjang perjalanan menuju vila.Dira mengelus rambut cokelat gelap putranya. “Kau menyukainya?”Noah mengangguk antusias. “Kita akan tinggal di sini Mommy?”Dira bisa melihat kilau di mata putranya saat menanyakan pertanyaan itu, membuat perasaannya terjun bebas. Tenggorokannya tiba-tiba tersekat. “Ya, kita akan tinggal di sini. Kau menyukai ide itu?”“Noah bisa memetik jeruk itu langsung?”“Tentu saja bisa.” Ethan mengambil alih situasi. Ia menoleh ke kursi belakang. Senyumnya melebar.“Kita bahkan bisa memeras jeruk di sana dan langsung meminumnya.”Prospek itu sepertinya berhasil membuat bocah 4 tahun itu tertarik. Jika sebelumnya Noah memperlakukan Ethan seperti orang lain yang harus diwaspadai kali ini bocah tampan itu melupakannya. Tatapan matanya yang berbinar bersibobrok dengan mata biru Ethan yang anehnya sekali ini terlihat hangat.“Tapi, bagaima
Dan Ethan benar-benar memperlakukan dirinya seperti pelayan pribadi pria itu, bukan ibu dari putra mereka atau bahkan wanita yang masih berstatus sebagai istrinya. Ia harus menyiapkan segala keperluannya, termasuk membangunkan dan menyiapkan sarapan. Dira melakukan pekerjaannya dengan baik—atau sebaik yang bisa ia lakukan—karena tidak ingin memberikan Ethan kesempatan untuk mengkritiknya. Meski begitu, Dira tidak bisa mengenyahkan perasaan bahwa ia merasa terganggu dengan perubahan situasi di antara mereka.Sikap Ethan sama sekali tidak melunak. Pria itu masih bersikap dingin padanya seakan Dira harus melakukan penebusan dosa atas kebohongan yang ia lakukan dan Dira berusaha menerimanya atau setidaknya mencoba. Ia tidak ingin menunjukkan kalau perlakuan Ethan menyakitinya. Inilah yang ia inginkan. Seperti ini Ethan tidak akan punya kendali atas dirinya.Siapa yang coba kau bohongi?Sayangnya keputusan itu menjadi bumerang untuknya. Ethan memanfaatkan setiap kesempatan saat dirinya sed
Dira tidak langsung menjawab, hanya terus berdiri, menatap Ethan yang kelihatannya tidak mungkin lebih marah lagi. Ketegangan yang memancar dari tubuhnya membuat ketakutan mengaliri pembuluh darahnya. Dira menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk yang terburuk.“Aku… menduganya. Aku belum benar-benar memeriksanya saat itu, tapi aku punya dugaan kuat kalau—“Ethan tertawa mencemooh. Tatapannya begitu dingin hingga Dira yakin seandainya tatapan bisa membunuh saat ini ia pasti mati terkapar di lantai yang dingin.“Ethan, aku…”“Hentikan, Dira. Aku tidak ingin mendengar apa pun dari mulutmu!" bentaknya keras. Ethan memejamkan mata sesaat, seolah berusaha mengumpulkan ketenangan dirinya kembali."Aku tidak pernah menyesali apa pun seumur hidupku, tapi sekarang… aku benar-benar menyesali keputusan karena pernah menikahi wanita sepertimu. Kau benar-benar picik,” ucapnya penuh benci.Setelah mengatakan kalimat yang membuat Dira terguncang hingga ia bahkan tidak sanggup bersuara, Ethan ber
Ethan berdiri terpaku di depan toko peralatan bayi seperti orang tersesat, matanya menyapu setiap sudut etalase yang dipenuhi berbagai barang berwarna-warni untuk kebutuhan bayi. Meski sudah membaca buku tentang kebutuhan bayi dan mencaritahu segalanya, ada perasaan aneh yang merayap dalam dirinya. Perasaan yang sulit ia definisikan—campuran antara keterkejutan, antusiasme, dan sedikit kegugupan, merasa seolah memasuki dunia yang benar-benar asing. Sekilas, ia melihat anak kecil yang sedang merengek dan meraung pada orang tuanya sambil menunjuk-nunjuk barang yang ada di etalase. Dulu pemandangan itu pasti membuatnya bergidik dan menjauh. Sekarang… ia tidak sabar untuk menghadapi situasi yang sama. Tanpa sadar sudut mulutnya terangkat. “Ethan?” Suara Dira menyadarkannya. Istrinya menatapnya dengan alis bertaut, mungkin heran melihatnya hanya berdiri di sana tanpa bergerak. Ethan mengangkat bahu, lalu meraih keranjang belanja. “Ayo masuk dan membeli semua yang dibutuhkan Dut-d
“Aku mencintaimu.” Kedua kelopak matanya terangkat, sebentuk senyum tipis terukir di wajahnya yang cantik. Ia mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan sepasang mata sebiru kristal yang paling ia sukai di dunia ini. “Kau bilang apa?” tanyanya serak, khas orang baru bangun tidur. Dira mengangkat sedikit kepalanya, menggunakan lengan Ethan sebagai bantal saat menunggu pria itu bersuara. Tentu saja ia mendengar apa yang dikatakan Ethan, ia hanya suka mendengar kata-kata itu keluar dari bibir suaminya. Ethan mendekat, menempelkan hidung mereka. “Aku mencintaimu, agape mou.” “Sekarang lebih mudah bagimu mengatakannya, ya ‘kan?” Ethan tertawa rendah. Memang, rasanya jauh lebih mudah mengatakannya sekarang. Setelah apa yang mereka lalui, rasanya penting mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Ketakutan itu masih ada, jauh bersembunyi dalam dirinya, tapi sekarang jauh lebih mudah menghadapinya setelah semua yang terjadi. Setelah menyadari bahwa cinta sungguh bisa memberikan kekuatan ya
Dira menyeringai, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada foto yang ada di dekat komputer suaminya. Foto pernikahan mereka—atau lebih tepat disebut pembaruan janji pernikahan. Mereka melakukannya di sebuah pulau kecil. Ia mengenakan gaun koktail sederhana sementara Ethan mengenakan celana selutut dan kemeja yang lengannya digulung sampai di atas siku. Benar-benar sederhana, tapi hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. “Aku suka foto itu,” komentarnya. Ethan mengikuti arah pandang istrinya. “Aku juga, terutama karena setelah itu aku membuatmu tidak mengenakan apa pun selama berhari-hari,” balasnya bangga, menunjukkan seringai nakalnya. Dira tertawa. “Kau membuat bikiniku rusak, sekalian saja tidak usah memakainya.” Ethan menarik lembut lengan istrinya dan membawanya duduk di atas pangkuannya. “Ethan! Menurutku kau tidak bisa melakukannya. Aku pasti sangat berat sekarang.” Ethan mengabaikannya. “Menurutmu, berapa peluang yang kudapatkan untuk membuatm
Dira berdiri di tengah ruang utama Flour & Figs sambil tersenyum tipis, matanya mengamati setiap sudut toko dengan seksama. Aroma kayu yang masih baru bercampur dengan wangi lembut vanilla dari lilin aroma terapi yang sengaja dinyalakan untuk memberikan kesan hangat. Dinding kaca besar di sisi kanan toko memberikan pemandangan langsung ke arah laut yang membentang luas, dengan ombak tenang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Rak-rak kayu yang dipasang di sepanjang dinding telah tertata rapi dengan toples berisi aneka kue kering dan roti. Meja-meja bundar kecil dan kursi anyaman ditempatkan di dekat jendela, menawarkan tempat duduk yang sempurna bagi pelanggan yang ingin menikmati kue dan minuman sambil menatap hamparan laut. Beberapa tanaman hijau dalam pot keramik tersebar di beberapa sudut, menambah nuansa alami dan menenangkan—konsep yang sejak dulu ia inginkan. Dira berjalan perlahan ke arah dapur, tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Kehamilann
Dira berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumah mereka sambil mengigit jarinya. Sudah dua jam berlalu, tapi sampai sekarang Ethan belum juga menghubunginya. Kenapa Ethan belum menghubunginya? Ia sudah mencoba menghubungi suaminya, tapi hasilnya nihil.Mungkin Ethan terlalu sibuk sampai tidak lupa waktu? Atau mungkin saja sinyal membuat sambungannya tidak terhubung.“Ma’am.”Sapaan itu hampir membuatnya melompat. Ia menghela napas, menatap pengurus rumahnya. “Ada apa, Marta?”“Ma’am ada Riko di depan pintu, katanya ingin menemui Anda. Ini mendesak.”Untuk apa sekretaris Ethan ingin menemuinya? Mengabaikan gemuruh yang berdentam dalam dadanya, Dira bergerak cepat untuk menemui pria itu. Riko berdiri di ujung pintu, tampak seperti orang tersesat. Wajahnya pucat dengan kedua tangan yang terlipat seperti orang yang sedang berdoa.Dira menarik kepalanya, berusaha melihat ke belakang pria itu, dan ia tidak melihat keberadaan Ethan.“Riko.”Pria itu membelalak, terkejut karena kehadirannya ya
Leo tertawa seakan pertanyaan Dira benar-benar konyol. “Cinta? Aku pernah mencintainya, tapi dia membuang perasaan itu seolah itu tidak berharga, tidak berarti,” balasnya pahit. “Baginya, dendam lebih penting daripada suami yang mencintainya dan anak-anak yang menyayanginya.” Dira tiba-tiba teringat wajah Brianna saat ia menyinggung tentang anak di depan wanita itu. Brianna menyayangi anak-anaknya. Ia bisa melihatnya. Sayangnya, dendamnya seperti yang dikatakan Leo membuatnya melupakan perasaan itu. Dira melirik Ethan lewat bulu matanya. Mungkin mereka bisa memberikan kesempatan pada Shelen? Bagaimana pun, wanita itu membutuhkan dukungan orang-orang yang mengasihinya. “Tidak!” Dira tertegun mendengar jawaban tegas Ethan. Suaminya menoleh, membalas tatapannya. “Aku tahu apa yang kau pikirkan Angel, tapi jawabannya, tidak.” “Tapi…” Ethan menggenggam tangan istrinya. “Terlepas dari apa yang dialaminya, dia ikut andil dalam kejahatan yang direncanakan Brianna. Ya, aku tahu
“Belum menyerah tentang Shelen? Maksudnya? Seharusnya dia mencemaskan Brianna bukan Shelen,” celutuk Dira keheranan saat mereka dalam perjalanan ke ruangan suaminya. Istrinya kan Brianna bukan Shelen, kenapa pria itu justru mencemaskan saudara kembar istrinya? Dira menggerakkan kepalanya ke samping, sama sekali tidak memahami apa yang sedang terjadi. Saat ia mendongak, suaminya tersenyum penuh arti, seolah pria itu mengetahui sesuatu yang tidak ia ketahui. Mungkinkah? “Kau tahu sesuatu kan?” tebaknya. “Bukankah alasannya sudah jelas?” cengiran suaminya semakin lebar. “Apanya yang sudah jelas?” Belum sempat Ethan membalas, Riko mendekat melihat kedatangan mereka. “Sir, Ma’am,” sapanya sopan. Ethan menganguk singkat. “Dia ada di dalam?” Riko kembali mengangguk. “Seperti yang Anda perintahkan, Sir. Beliau baru saja masuk ke dalam.” Benar saja, saat mereka masuk, sosok Leo yang sedang duduk menyilangkan kakinya menjadi pemandangan yang menyambut mereka. Pembawaannya yang
Pukul tiga pagi, Dira terbangun dengan mual yang menggelegak di perutnya. Bukan sekadar rasa tidak nyaman, melainkan gelombang muntah yang tak tertahankan. Ia bergegas ke kamar mandi. Isi perutnya yang kosong hanya menghasilkan cairan asam yang membakar tenggorokannya, membuat matanya berair. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi dahinya. Napasnya tersengal, seolah paru-parunya pun ikut tercekik oleh rasa mual yang tak kunjung reda. Dira memejamkan mata, berusaha mengatur napasnya. Setiap harinya semakin buruk saja, pikirnya. Ethan terbangun karena suara isakan lirihnya. Pria itu langsung bangkit dari tempat tidur dan menyusul Dira ke kamar mandi. Begitu melihat istrinya terhuyung di depan wastafel kecemasan seketika mencengkeram dadanya. “Dira…” suaranya serak karena kantuk yang masih menggantung, tapi kepanikan nyata dalam suaranya. Ia berlutut di samping Dira, mengusap punggung wanita itu dengan lembut sambil membisikkan kata-kata penghiburan yang terasa hampa di tengah se
“Angel…” Ethan menggenggam tangan istrinya erat. “Saat kau hamil, aku ikut andil dalam prosesnya. Bagaimana pun, aku masih ingat saat bolaku menendang masuk ke dalam…” Dira melotot, tapi Ethan mengabaikannya. “Itu berarti aku juga akan ikut andil dalam setiap perjalanan yang harus kau dan putri kecil kita hadapi nantinya,” lanjutnya. “Kau yakin sekali kalau anak kita perempuan.” Ethan menyeringai. “Feeling seorang ayah banyak benarnya.” Dira memutar matanya. “Kau tidak keberatan kalau aku jadi gendut?” Ethan mendesah, tahu kalau jawabannya amat penting bagi Dira. Wanita hamil memang sangat sensitif dan perasa. Terima kasih pada buku-buku ibu hamil yang sudah sangat membantunya. “Sama sekali tidak masalah, tidak, sebelum kau berpikir kalau aku mengatakannya untuk menghiburmu, kau harus ingat kalau aku bukan seseorang yang akan mengatakan sesuatu untuk menyenangkan orang lain. Kau mengenalku, Angel.” Dira mengigit bibir bawahnya—yang langsung berefek pada pusat gairahnya. Siala