“Tapi kita tidak…maksudku kita sudah bercerai, Ethan. Kita tidak mungkin tinggal bersama.”
Ethan mengangkat satu alisnya. “Mungkin kau lupa kalau aku belum menandatangani surat perceraian kita yang berarti secara hukum kau masih istriku.” Dira terdiam mendengar pernyataan itu. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Sanggupkah ia mempertaruhkan hatinya sekali lagi demi putra mereka? Ini bukan solusi yang ia bayangkan akan terjadi, tapi jalan apa lagi yang tersisa untuknya? Jika ia menolak usulan Ethan sudah pasti pria itu akan berusaha memisahkannya dari Noah, tapi jika ia menerimanya… besar kemungkinan ia akan kembali terluka. Dira memejamkan matanya erat. “Kurasa kau tidak perlu mencemaskan apa pun. Kita akan tinggal di rumah yang sama tidak lebih, jadi jangan membuang tenagamu untuk memikirkan apa yang tidak akan terjadi.” Ucapan itu dikatakan dengan nada merendahkan yang nyaris membuat Dira ingin membalas. Alih-alih menunjukkan kalau kata-kata Ethan melukainya Dira mengangkat dagunya tinggi-tinggi. “Baik, aku akan pergi bersamamu jika itu solusi yang bisa kau tawarkan.” “Tentu saja. Bukankah sudah kukatakan aku bisa berkompromi jika menyangkut tentang putraku. Sejauh menyangkut putraku, aku tidak akan bertindak egois.” “Putra kita.” Dira meletakkan gelasnya di atas meja. “Sebaiknya aku pergi.” Ethan mengangguk. “Kurasa lebih baik kalau aku mengantarmu pulang.” “Menurutku itu bukan ide yang bagus.” Tapi seperti biasa, Ethan bukan orang yang mau mendengarkan orang lain. Laki-laki itu sudah menghilang dibalik kamar kemudian muncul dengan kunci mobil di tangannya. “Ayo.” Dira menghembuskan napasnya kasar. Ethan tidak terbiasa dibantah, ujarnya mengingatkan dirinya sendiri. Mereka masuk ke mobil sport merah milik Ethan yang terlalu mencolok di lingkungan yang terlalu sederhana. Keheningan yang tercipta membuat suasana di dalam mobil terasa tidak nyaman. Dira berkali-kali melirik Ethan lewat ekor matanya. Pria itu fokus menyetir. “Maafkan aku,” gumam Dira tiba-tiba. Ethan tidak menjawab selama beberapa saat lamanya. “Untuk? Karena membohongiku atau karena pergi dariku, yang mana yang harus kumaafkan?” Dira sudah akan mengatakan kalau ia tidak menyesal memutuskan untuk pergi meski alasannya sama sekali tidak seperti yang diduga Ethan, tapi ia berhasil menahan diri di saat terakhir. Ia tidak ingin memancing kemarahan Ethan karena hal itu hanya akan membuat mereka berdua terlibat konfrontasi tanpa henti. Dan ia sudah cukup lelah mengalami hari-hari yang berat tanpa Ethan harus menambahnya. “Karena membohongimu.” Etahn meliriknya sekilas. Tidak mengatakan apa pun. Jadi seperti itu, pikirnya muram. Ethan sepertinya masih belum bisa memaafkannya. Dira memiringkan tubuhnya agar Ethan tidak melihatnya menangis. Andai saja Ethan tahu apa yang sudah ia lewati selama 5 tahun yang rasanya sangat sulit. Pergi dari kehidupan pria itu tidaklah mudah, tapi Dira tahu hanya itu satu-satunya cara agar ia bisa melanjutkan hidup. *** “Kau… mau masuk?” Tawaran itu setengah hati tentu saja. Ia hanya ingin bersikap sopan dan sepertinya Ethan mengetahui hal itu karena pria itu menggelengkan kepala. “Sudah malam, kalian juga harus berkemas. Aku akan pergi.” “Tunggu Ethan!” serunya, menghentikan Ethan tepat sebelum pria itu masuk ke mobil. “Apa?” “Kita… maksudku tempat yang akan kita datangi, rumah yang…” Ethan mendesah. “Kau tahu rumah yang mana Dira atau seharusnya kau tahu.” dan tanpa banyak basa-basi lagi Ethan masuk ke mobil dan melajukan kendaraan tersebut menembus jalannan gelap. Mereka akan ke sana, pikirnya panik. Rumah yang menyimpan terlalu banyak kenangan yang ingin ia lupakan. Apa Ethan tidak merasakan hal yang sama? Tidakkah kenangan-kenangan yang ada di rumah itu mengganggunya? Rumah itu dulunya adalah tempatnya pulang, tapi kemudian ia menyadari perasaan itu tidak timbal balik hinnga akhirnya ia memutuskan pergi sebelum terluka lebih dalam. Dira membuang napas kasar. Jika Ethan tidak terganggu dengan hal itu, mungkin juga bisa melakukan hal yang sama. Siapa yang coba kau bohongi? Ia membuka pintu dan melihat pengasuh separuh waktu putranya hendak berkemas untuk pulang. “Apa benar yang dikatakan Bu Hani kalau kalian akan pergi?” Gen terlihat sedih dan merana dan sejujurnya Dira juga. Begitu menemukan tempat ini Dira merasakan kenyamanan yang sudah lama tidak ia temukan. Di sini, tidak seorang pun yang mengenalinya dan itu sesuatu yang ia butuhkan. “Ya, aku memang akan pergi.” “Berapa lama?” Dira mencengkeram tepi bajunya. “Aku tidak tahu.” Itu bukan pertanyaan yang bisa dijawab dengan mudah. Gadis remaja itu mengangguk mengerti. Dira mendekat, mencengkeram bahunya. “Terima kasih karena telah merawat Noah selama ini. Kau seperti keluarga bagiku, Gen. Noah sudah menganggapmu sebagai kakaknya.” Gen mendongak, matanya berkaca-kaca. “Kuharap suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi.” Dira mengangguk. Ia mengharapkan hal yang sama. “Kenapa mendadak?” tanya Gen sesaat kemudian. “Noah akan bertemu dengan ayahnya.” Mendengar hal itu kedua mata Gen membulat. “Noah… akan bertemu dengan ayahnya?” Dira mengangguk. “’Apa mungkin… apa mungkin pria yang tadi mengantarmu adalah…” Gen terlihat seolah-olah dia akan pingsan dan itu pasti sesuatu yang lucu seandainya saja situasi tidak serumit sekarang. “Ya, pria yang mengantarku adalah ayah Noah yang juga suamiku.” Rasanya aneh menyebut Ethan sebagai suaminya setelah sekian lama ia menganggap pria itu tidak lagi menjadi bagian dari hidupnya. “Kenapa dia baru muncul sekarang? Memangnya selama ini dia di mana?” Dira tersenyum lebut. Ia menjauh dan memilih mengalihkan pembicaraan. “Kalau kau tidak keberatan, maukah kau membantuku berkemas? Ouh iya, semua benda yang ada di rumah ini akan menjadi milikmu. Aku hanya akan membawa sedikit.” Gen teragagap. “Kau… serius?” “Tentu saja. Selama ini kau selalu baik padaku dan Noah.” “Sebaliknya, kalianlah yang baik padaku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya aku tidak bertemu kalian. Aku suka bekerja padamu Dira, aku jadi memiliki sesuatu untuk dilakukan alih-alih hanya diam dan menerima semuanya dengan tangan terangkat.” Ucapan itu bagaikan sambaran petir bagi Dira. Itulah yang dulu ia lakukan. Menerima apa pun yang diberikan Ethan. Ia hanya mengenakan pakaian yang disukai Ethan. Memakan makanan yang disiapkan pria itu padanya tanpa perlu repot-repot menanyakan keinginannya. Berdandan setiap kalia pria itu mengajaknya keluar tidak peduli ia suka atau tidak. Dulu seperti itulah hidupnya. Didikte untuk melakukan sesuatu. Tapi kali ini Dira tidak akan membiarkan Ethan melakukan itu padanya. Kali ini ialah yang akan memegang kendali atas hidupnya sendiri. Ia tidak akan membiarkan kekuasaan Ethan mengontrol kehidupannya. Tidak lagi. Dan untuk itu ia perlu melakukan semacam perjanjian dengan Ethan. Perjanjian yang akan menjamin hak-hak pribadinya juga kendali atas hidupnya sendiri. “Oh, aku lupa mengatakan sesuatu. Ada paket untukmu.” Paket? “Ada di atas meja ruang tamu. Seseorang mengantarnya saat kau pergi.” Dira berjalan ke ruang tamu dan melihat kotak kecil dibungkus plastik kado berwarna putih teronggok di atas meja. Penasaran, Dira membuka untuk melihat isinya. Sebuah cincin. Cincin berlian putih besar dengan ukiran E&D di dalamnya. Cincin pernikahannya dengan Ethan. Kerongkongan Dira tercekat. Sebelum ia sempat menelaah lebih jauh telepon rumahnya berbunyi. Dira duduk di sofa dan mengangkatnya. “Kau sudah menerimanya?” Dira tidak perlu bertanya karena tahu apa yang dimaksud Ethan. “Ya,” balasnya menatap cincin pernikahan mereka dengan hati terpilin. “Bagus, kuharap cincin itu masih bisa dipakai, jika tidak kita akan membeli cincin lainnya.” Semudah itu. Bagi Ethan cincin pernikahan mereka hanya ukiran batu yang dipoles, tidak ada artinya sama sekali. Seperti dirinya bagi pria itu. Karena takut akan menangis, Dira mematikan teleponnya. Kenapa 5 tahun perpisahan mereka yang menyakitkan tidak juga mengubah perasaannya terhadap pria itu?“Mommy! Mommy! Lihat, ada pohon jeruk.” Noah berseru dengan penuh semangat sembari menunjuk-nunjuk pohon jeruk yang mereka lihat sepanjang perjalanan menuju vila.Dira mengelus rambut cokelat gelap putranya. “Kau menyukainya?”Noah mengangguk antusias. “Kita akan tinggal di sini Mommy?”Dira bisa melihat kilau di mata putranya saat menanyakan pertanyaan itu, membuat perasaannya terjun bebas. Tenggorokannya tiba-tiba tersekat. “Ya, kita akan tinggal di sini. Kau menyukai ide itu?”“Noah bisa memetik jeruk itu langsung?”“Tentu saja bisa.” Ethan mengambil alih situasi. Ia menoleh ke kursi belakang. Senyumnya melebar.“Kita bahkan bisa memeras jeruk di sana dan langsung meminumnya.”Prospek itu sepertinya berhasil membuat bocah 4 tahun itu tertarik. Jika sebelumnya Noah memperlakukan Ethan seperti orang lain yang harus diwaspadai kali ini bocah tampan itu melupakannya. Tatapan matanya yang berbinar bersibobrok dengan mata biru Ethan yang anehnya sekali ini terlihat hangat.“Tapi, bagaima
Dan Ethan benar-benar memperlakukan dirinya seperti pelayan pribadi pria itu, bukan ibu dari putra mereka atau bahkan wanita yang masih berstatus sebagai istrinya. Ia harus menyiapkan segala keperluannya, termasuk membangunkan dan menyiapkan sarapan. Dira melakukan pekerjaannya dengan baik—atau sebaik yang bisa ia lakukan—karena tidak ingin memberikan Ethan kesempatan untuk mengkritiknya. Meski begitu, Dira tidak bisa mengenyahkan perasaan bahwa ia merasa terganggu dengan perubahan situasi di antara mereka.Sikap Ethan sama sekali tidak melunak. Pria itu masih bersikap dingin padanya seakan Dira harus melakukan penebusan dosa atas kebohongan yang ia lakukan dan Dira berusaha menerimanya atau setidaknya mencoba. Ia tidak ingin menunjukkan kalau perlakuan Ethan menyakitinya. Inilah yang ia inginkan. Seperti ini Ethan tidak akan punya kendali atas dirinya.Siapa yang coba kau bohongi?Sayangnya keputusan itu menjadi bumerang untuknya. Ethan memanfaatkan setiap kesempatan saat dirinya sed
Dira tidak langsung menjawab, hanya terus berdiri, menatap Ethan yang kelihatannya tidak mungkin lebih marah lagi. Ketegangan yang memancar dari tubuhnya membuat ketakutan mengaliri pembuluh darahnya. Dira menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk yang terburuk.“Aku… menduganya. Aku belum benar-benar memeriksanya saat itu, tapi aku punya dugaan kuat kalau—“Ethan tertawa mencemooh. Tatapannya begitu dingin hingga Dira yakin seandainya tatapan bisa membunuh saat ini ia pasti mati terkapar di lantai yang dingin.“Ethan, aku…”“Hentikan, Dira. Aku tidak ingin mendengar apa pun dari mulutmu!" bentaknya keras. Ethan memejamkan mata sesaat, seolah berusaha mengumpulkan ketenangan dirinya kembali."Aku tidak pernah menyesali apa pun seumur hidupku, tapi sekarang… aku benar-benar menyesali keputusan karena pernah menikahi wanita sepertimu. Kau benar-benar picik,” ucapnya penuh benci.Setelah mengatakan kalimat yang membuat Dira terguncang hingga ia bahkan tidak sanggup bersuara, Ethan ber
Laut Mediterania membentang luas di hadapannya, membingkai pulau Corfu yang hijau dengan air jernih kebiruan yang memantulkan cahaya matahari siang. Angin berembus, menerbangkan rambutnya ke segala arah, tapi Dira sama sekali tidak berusaha untuk memperbaikinya. Hatinya gundah. Tidak, kata itu tidak tepat. Ia gelisah membayangkan perbincangan apa yang akan mereka lakukan nantinya. Ethan bilang ini tentang hak asuh anak. Kenapa mereka membutuhkan perjanjian untuk mengasuh Noah? Pemikiran itu sama sekali tidak membuatnya tenang.Ombak Mediterania berkilauan di bawah sinar matahari, menciptakan kilauan bagai permata yang menggoda untuk tenggelam dalam keindahan pulau Corfu. Di sekeliling mereka, tebing hijau Corfu berdiri megah, anggun, dan abadi, kontras dengan ketidakpastian masa depan mereka.Sekali lagi Dira menghela napas. Apa yang ia lakukan di sini? Sekarang ia mulai bertanya-tanya, apa ini hal yang benar untuk dilakukan?“Mam…”Dira mendesah sebelum berbalik. Ia sudah tahu bahkan
Ethan sedang sibuk bermain dengan Noah di tepi yacht, mengajari putranya melempar umpan kecil ke laut saat suara langkah lembut dari dek membuatnya menoleh. Begitu mata birunya menangkap sosok Dira, waktu seakan berhenti. Di hadapannya, Dira berdiri dalam balutan bikini hitam yang memeluk setiap lekuk tubuhnya dengan sempurna, hanya diselumuti kaftan transparan yang nyaris tidak menutupi apa pun.Alis hitam Ethan berkerut, rahangnya mengeras. Ini bukan Dira yang ia kenal beberapa hari terakhir—dan ia tahu, wanita itu melakukannya dengan sengaja.Sialan.Amarah bergolak dalam dadanya, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tetapi juga karena disekitar mereka ada pengawal yang bisa melihatnya dengan jelas.Dira mengangkat dagunya sedikit, seolah menantang, mengirimkan sinyal yang membuat darah Ethan mendidih. Ia tahu Dira mencoba menguji batas kesabarannya. Amarahnya tersulut, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tapi karena reaski tubuhnya atas pakaian p
“Tidak, aku mau Mommy. Mommy!” Teriakan itu membuat Ethan dan Dira berpandangan dan dalam hitungan detik keduanya sudah berpisah. Dira buru-buru mengenakan kemeja Ethan kemudian bergegas keluar untuk menemui putranya. Begitu pintu terbuka Dira melihat Noah yang sedang meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pengasuhnya. “Noah!” Anak kecil itu menoleh, tangisnya pecah saat berlari dan masuk ke dalam pelukan Dira. “Mommy di sini, Sayang. Tenanglah, oke?” ucapnya lembut, mengelus-elus pundak putranya untuk menanangkannya. Ia menatap wanita paruh baya itu dengan wajah penuh tanya. “Noah ingin bertemu denganmu, tapi karena… karena sepertinya kalian sibuk….” Pengasuh itu tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang merah padam menahan malu telah memberitahukan Dira apa maksud ucapan wanita itu. Dira mengumpat dalam hati. Ethan membuat mereka menjadi tontonan. Laki-laki itu benar-benar telah mempermalukannya dan bukan hanya itu… Ethan juga berusaha melucuti perasaanny
Ethan memicingkan matanya. “Aku tidak akan menunggu selamanya, Dira. Lakukan atau aku yang ambil alih dan saat itu terjadi jangan salahkan aku kalau kau tidak akan menyukai metodenya.” Ancaman tersirat dibalik kata-kata itu menyulut emosinya. “Jangan coba-coba mengancamku,” ucapnya mendidih. “Aku akan mengatakannya saat waktunya tepat.” “Lakukan sebelum kita pulang karena aku tidak akan menunggu lebih lama dari itu. Sebentar lagi akan ada pesta penyambutan untuk Noah. Aku akan mengumumkan keberadaannya. Orang-orang harus tahu dia keturunan sekaligus pewaris Alexander.” Dira mengerjap. “Maksudmu, kau akan mengumumkan pada seluruh dunia kalau Noah putra kita?” bisiknya dengan suara tercekik. “Kenapa itu membuatmu terkejut?” “Karena aku tidak berpikir ada manfaat dari melakukan hal itu,” tukasnya jengkel. Dira memijit pelipisnya. “Kalau kau melakukannya… wartawan akan mulai mencaritahu, mereka akan mengorek informasi. Bagaimana kau akan memberitahu media tentang keberadaanku selama
Ethan menatap Noah, bocah kecil berusia empat tahun yang berdiri di hadapannya. Anak itu tampak begitu polos dengan mata bulat dan rambut cokelatnya yang ikal. Ada jeda di mana Ethan hanya menatapnya, seolah sedang mencoba menyelami sosok mungil yang baru saja dikenalnya.Dira berdiri tak jauh, mengamati mereka berdua dengan dada yang terasa sesak. Ekspresi di wajah Ethan tampak begitu tenang, seperti biasanya—tetapi Dira bisa melihat kilatan emosi yang sulit di tutupi di mata biru lautnya.Ethan berjongkok, sejajar dengan Noah.“Beberapa orang tua mengatakan kau mirip sekali denganku saat aku seusiamu,” ucap Ethan parau.“Benarkah?”Ethan mengangguk, tiba-tiba merasa kesulitan bersuara. “Sangat mirip, kau mau tahu kenapa?” Jantung Dira berdebar kencang saat menunggu respon putra mereka. Telapak tangannya berkeringat. Putra mereka memang cerdas yang terkadang justru membuat Dira kerepotan. Anehnya selama ini Noah tidak pernah sekalipun mempertanyakan keberadaan ayahnya—hingga saat in
Ethan berdiri terpaku di depan toko peralatan bayi seperti orang tersesat, matanya menyapu setiap sudut etalase yang dipenuhi berbagai barang berwarna-warni untuk kebutuhan bayi. Meski sudah membaca buku tentang kebutuhan bayi dan mencaritahu segalanya, ada perasaan aneh yang merayap dalam dirinya. Perasaan yang sulit ia definisikan—campuran antara keterkejutan, antusiasme, dan sedikit kegugupan, merasa seolah memasuki dunia yang benar-benar asing. Sekilas, ia melihat anak kecil yang sedang merengek dan meraung pada orang tuanya sambil menunjuk-nunjuk barang yang ada di etalase. Dulu pemandangan itu pasti membuatnya bergidik dan menjauh. Sekarang… ia tidak sabar untuk menghadapi situasi yang sama. Tanpa sadar sudut mulutnya terangkat. “Ethan?” Suara Dira menyadarkannya. Istrinya menatapnya dengan alis bertaut, mungkin heran melihatnya hanya berdiri di sana tanpa bergerak. Ethan mengangkat bahu, lalu meraih keranjang belanja. “Ayo masuk dan membeli semua yang dibutuhkan Dut-d
“Aku mencintaimu.” Kedua kelopak matanya terangkat, sebentuk senyum tipis terukir di wajahnya yang cantik. Ia mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan sepasang mata sebiru kristal yang paling ia sukai di dunia ini. “Kau bilang apa?” tanyanya serak, khas orang baru bangun tidur. Dira mengangkat sedikit kepalanya, menggunakan lengan Ethan sebagai bantal saat menunggu pria itu bersuara. Tentu saja ia mendengar apa yang dikatakan Ethan, ia hanya suka mendengar kata-kata itu keluar dari bibir suaminya. Ethan mendekat, menempelkan hidung mereka. “Aku mencintaimu, agape mou.” “Sekarang lebih mudah bagimu mengatakannya, ya ‘kan?” Ethan tertawa rendah. Memang, rasanya jauh lebih mudah mengatakannya sekarang. Setelah apa yang mereka lalui, rasanya penting mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Ketakutan itu masih ada, jauh bersembunyi dalam dirinya, tapi sekarang jauh lebih mudah menghadapinya setelah semua yang terjadi. Setelah menyadari bahwa cinta sungguh bisa memberikan kekuatan ya
Dira menyeringai, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada foto yang ada di dekat komputer suaminya. Foto pernikahan mereka—atau lebih tepat disebut pembaruan janji pernikahan. Mereka melakukannya di sebuah pulau kecil. Ia mengenakan gaun koktail sederhana sementara Ethan mengenakan celana selutut dan kemeja yang lengannya digulung sampai di atas siku. Benar-benar sederhana, tapi hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. “Aku suka foto itu,” komentarnya. Ethan mengikuti arah pandang istrinya. “Aku juga, terutama karena setelah itu aku membuatmu tidak mengenakan apa pun selama berhari-hari,” balasnya bangga, menunjukkan seringai nakalnya. Dira tertawa. “Kau membuat bikiniku rusak, sekalian saja tidak usah memakainya.” Ethan menarik lembut lengan istrinya dan membawanya duduk di atas pangkuannya. “Ethan! Menurutku kau tidak bisa melakukannya. Aku pasti sangat berat sekarang.” Ethan mengabaikannya. “Menurutmu, berapa peluang yang kudapatkan untuk membuatm
Dira berdiri di tengah ruang utama Flour & Figs sambil tersenyum tipis, matanya mengamati setiap sudut toko dengan seksama. Aroma kayu yang masih baru bercampur dengan wangi lembut vanilla dari lilin aroma terapi yang sengaja dinyalakan untuk memberikan kesan hangat. Dinding kaca besar di sisi kanan toko memberikan pemandangan langsung ke arah laut yang membentang luas, dengan ombak tenang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Rak-rak kayu yang dipasang di sepanjang dinding telah tertata rapi dengan toples berisi aneka kue kering dan roti. Meja-meja bundar kecil dan kursi anyaman ditempatkan di dekat jendela, menawarkan tempat duduk yang sempurna bagi pelanggan yang ingin menikmati kue dan minuman sambil menatap hamparan laut. Beberapa tanaman hijau dalam pot keramik tersebar di beberapa sudut, menambah nuansa alami dan menenangkan—konsep yang sejak dulu ia inginkan. Dira berjalan perlahan ke arah dapur, tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Kehamilann
Dira berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumah mereka sambil mengigit jarinya. Sudah dua jam berlalu, tapi sampai sekarang Ethan belum juga menghubunginya. Kenapa Ethan belum menghubunginya? Ia sudah mencoba menghubungi suaminya, tapi hasilnya nihil.Mungkin Ethan terlalu sibuk sampai tidak lupa waktu? Atau mungkin saja sinyal membuat sambungannya tidak terhubung.“Ma’am.”Sapaan itu hampir membuatnya melompat. Ia menghela napas, menatap pengurus rumahnya. “Ada apa, Marta?”“Ma’am ada Riko di depan pintu, katanya ingin menemui Anda. Ini mendesak.”Untuk apa sekretaris Ethan ingin menemuinya? Mengabaikan gemuruh yang berdentam dalam dadanya, Dira bergerak cepat untuk menemui pria itu. Riko berdiri di ujung pintu, tampak seperti orang tersesat. Wajahnya pucat dengan kedua tangan yang terlipat seperti orang yang sedang berdoa.Dira menarik kepalanya, berusaha melihat ke belakang pria itu, dan ia tidak melihat keberadaan Ethan.“Riko.”Pria itu membelalak, terkejut karena kehadirannya ya
Leo tertawa seakan pertanyaan Dira benar-benar konyol. “Cinta? Aku pernah mencintainya, tapi dia membuang perasaan itu seolah itu tidak berharga, tidak berarti,” balasnya pahit. “Baginya, dendam lebih penting daripada suami yang mencintainya dan anak-anak yang menyayanginya.” Dira tiba-tiba teringat wajah Brianna saat ia menyinggung tentang anak di depan wanita itu. Brianna menyayangi anak-anaknya. Ia bisa melihatnya. Sayangnya, dendamnya seperti yang dikatakan Leo membuatnya melupakan perasaan itu. Dira melirik Ethan lewat bulu matanya. Mungkin mereka bisa memberikan kesempatan pada Shelen? Bagaimana pun, wanita itu membutuhkan dukungan orang-orang yang mengasihinya. “Tidak!” Dira tertegun mendengar jawaban tegas Ethan. Suaminya menoleh, membalas tatapannya. “Aku tahu apa yang kau pikirkan Angel, tapi jawabannya, tidak.” “Tapi…” Ethan menggenggam tangan istrinya. “Terlepas dari apa yang dialaminya, dia ikut andil dalam kejahatan yang direncanakan Brianna. Ya, aku tahu
“Belum menyerah tentang Shelen? Maksudnya? Seharusnya dia mencemaskan Brianna bukan Shelen,” celutuk Dira keheranan saat mereka dalam perjalanan ke ruangan suaminya. Istrinya kan Brianna bukan Shelen, kenapa pria itu justru mencemaskan saudara kembar istrinya? Dira menggerakkan kepalanya ke samping, sama sekali tidak memahami apa yang sedang terjadi. Saat ia mendongak, suaminya tersenyum penuh arti, seolah pria itu mengetahui sesuatu yang tidak ia ketahui. Mungkinkah? “Kau tahu sesuatu kan?” tebaknya. “Bukankah alasannya sudah jelas?” cengiran suaminya semakin lebar. “Apanya yang sudah jelas?” Belum sempat Ethan membalas, Riko mendekat melihat kedatangan mereka. “Sir, Ma’am,” sapanya sopan. Ethan menganguk singkat. “Dia ada di dalam?” Riko kembali mengangguk. “Seperti yang Anda perintahkan, Sir. Beliau baru saja masuk ke dalam.” Benar saja, saat mereka masuk, sosok Leo yang sedang duduk menyilangkan kakinya menjadi pemandangan yang menyambut mereka. Pembawaannya yang
Pukul tiga pagi, Dira terbangun dengan mual yang menggelegak di perutnya. Bukan sekadar rasa tidak nyaman, melainkan gelombang muntah yang tak tertahankan. Ia bergegas ke kamar mandi. Isi perutnya yang kosong hanya menghasilkan cairan asam yang membakar tenggorokannya, membuat matanya berair. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi dahinya. Napasnya tersengal, seolah paru-parunya pun ikut tercekik oleh rasa mual yang tak kunjung reda. Dira memejamkan mata, berusaha mengatur napasnya. Setiap harinya semakin buruk saja, pikirnya. Ethan terbangun karena suara isakan lirihnya. Pria itu langsung bangkit dari tempat tidur dan menyusul Dira ke kamar mandi. Begitu melihat istrinya terhuyung di depan wastafel kecemasan seketika mencengkeram dadanya. “Dira…” suaranya serak karena kantuk yang masih menggantung, tapi kepanikan nyata dalam suaranya. Ia berlutut di samping Dira, mengusap punggung wanita itu dengan lembut sambil membisikkan kata-kata penghiburan yang terasa hampa di tengah se
“Angel…” Ethan menggenggam tangan istrinya erat. “Saat kau hamil, aku ikut andil dalam prosesnya. Bagaimana pun, aku masih ingat saat bolaku menendang masuk ke dalam…” Dira melotot, tapi Ethan mengabaikannya. “Itu berarti aku juga akan ikut andil dalam setiap perjalanan yang harus kau dan putri kecil kita hadapi nantinya,” lanjutnya. “Kau yakin sekali kalau anak kita perempuan.” Ethan menyeringai. “Feeling seorang ayah banyak benarnya.” Dira memutar matanya. “Kau tidak keberatan kalau aku jadi gendut?” Ethan mendesah, tahu kalau jawabannya amat penting bagi Dira. Wanita hamil memang sangat sensitif dan perasa. Terima kasih pada buku-buku ibu hamil yang sudah sangat membantunya. “Sama sekali tidak masalah, tidak, sebelum kau berpikir kalau aku mengatakannya untuk menghiburmu, kau harus ingat kalau aku bukan seseorang yang akan mengatakan sesuatu untuk menyenangkan orang lain. Kau mengenalku, Angel.” Dira mengigit bibir bawahnya—yang langsung berefek pada pusat gairahnya. Siala