“Tidak, aku mau Mommy. Mommy!” Teriakan itu membuat Ethan dan Dira berpandangan dan dalam hitungan detik keduanya sudah berpisah. Dira buru-buru mengenakan kemeja Ethan kemudian bergegas keluar untuk menemui putranya. Begitu pintu terbuka Dira melihat Noah yang sedang meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pengasuhnya. “Noah!” Anak kecil itu menoleh, tangisnya pecah saat berlari dan masuk ke dalam pelukan Dira. “Mommy di sini, Sayang. Tenanglah, oke?” ucapnya lembut, mengelus-elus pundak putranya untuk menanangkannya. Ia menatap wanita paruh baya itu dengan wajah penuh tanya. “Noah ingin bertemu denganmu, tapi karena… karena sepertinya kalian sibuk….” Pengasuh itu tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang merah padam menahan malu telah memberitahukan Dira apa maksud ucapan wanita itu. Dira mengumpat dalam hati. Ethan membuat mereka menjadi tontonan. Laki-laki itu benar-benar telah mempermalukannya dan bukan hanya itu… Ethan juga berusaha melucuti perasaanny
Ethan memicingkan matanya. “Aku tidak akan menunggu selamanya, Dira. Lakukan atau aku yang ambil alih dan saat itu terjadi jangan salahkan aku kalau kau tidak akan menyukai metodenya.” Ancaman tersirat dibalik kata-kata itu menyulut emosinya. “Jangan coba-coba mengancamku,” ucapnya mendidih. “Aku akan mengatakannya saat waktunya tepat.” “Lakukan sebelum kita pulang karena aku tidak akan menunggu lebih lama dari itu. Sebentar lagi akan ada pesta penyambutan untuk Noah. Aku akan mengumumkan keberadaannya. Orang-orang harus tahu dia keturunan sekaligus pewaris Alexander.” Dira mengerjap. “Maksudmu, kau akan mengumumkan pada seluruh dunia kalau Noah putra kita?” bisiknya dengan suara tercekik. “Kenapa itu membuatmu terkejut?” “Karena aku tidak berpikir ada manfaat dari melakukan hal itu,” tukasnya jengkel. Dira memijit pelipisnya. “Kalau kau melakukannya… wartawan akan mulai mencaritahu, mereka akan mengorek informasi. Bagaimana kau akan memberitahu media tentang keberadaanku selama
Ethan menatap Noah, bocah kecil berusia empat tahun yang berdiri di hadapannya. Anak itu tampak begitu polos dengan mata bulat dan rambut cokelatnya yang ikal. Ada jeda di mana Ethan hanya menatapnya, seolah sedang mencoba menyelami sosok mungil yang baru saja dikenalnya.Dira berdiri tak jauh, mengamati mereka berdua dengan dada yang terasa sesak. Ekspresi di wajah Ethan tampak begitu tenang, seperti biasanya—tetapi Dira bisa melihat kilatan emosi yang sulit di tutupi di mata biru lautnya.Ethan berjongkok, sejajar dengan Noah.“Beberapa orang tua mengatakan kau mirip sekali denganku saat aku seusiamu,” ucap Ethan parau.“Benarkah?”Ethan mengangguk, tiba-tiba merasa kesulitan bersuara. “Sangat mirip, kau mau tahu kenapa?” Jantung Dira berdebar kencang saat menunggu respon putra mereka. Telapak tangannya berkeringat. Putra mereka memang cerdas yang terkadang justru membuat Dira kerepotan. Anehnya selama ini Noah tidak pernah sekalipun mempertanyakan keberadaan ayahnya—hingga saat in
situasi pengiriman ke Amerika Selatan minggu ini? Ada hambatan yang signifikan?” tanya Ethan tanpa basa-basi saat mata birunya yang tajam mengamati satu persatu anggota stafnya. Di hadapannya, terdapat layar digital yang menampilkan data kinerja perusahaan, grafik pendapatan, serta laporan cuaca terbaru yang memengaruhi jalur pelayaran. Dimitris, kepala operasional yang sudah bekerja selama 20 tahun di industri perkapalan, mengangguk dan membuka laptopnya. “Ada sedikit keterlambatan di Terusan Panama, Sir. Kapal Poseidon tertahan hampir 2 hari akibat antrian panjang yang tidak terduga. Namun, tim kami sudah berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk mempercepat proses.” Ethan mendengarkan dengan serius, jarinya mengetuk meja dengan ritme teratur yang nyaris tidak terdengar. “Pastikan tidak ada penundaan tambahan. Jika perlu, alokasikan kapal tambahan dari Yunani untuk mengejar keterlambatan. Aku tidak ingin ada keluhan masuk minggu ini.” Dimitris mengangguk patuh. “Akan segera
Dira mendengus. “Apa kau benar-benar berpikir kalau aku akan menerima pemberianmu begitu saja? Seperti pengemis? Tidak, terima kasih. Aku punya gaun, aku tidak butuh gaun darimu. Dan untuk menjawab pertanyaanmu, aku tidak menyukai gaun berkilauan.” Ethan menatap Dira skeptis. “Dulu kau menyukainya.” “Itu lima tahun yang lalu, sekarang aku tidak menyukainya,” balasnya keras kepala. Ethan memejamkan mata seperti sedang mengukur kesabarannya. “Dira… pesta ini penting. Aku ingin semuanya sempurna, jadi kuharap kau tidak membuat segala sesuatunya semakin rumit. Apa yang salah dengan gaun itu?” Dira mengangkat dagunya. “Aku tidak menyukainya, titik. Aku punya gaunku sendiri dan tenang saja Mr. Ethan Alexander yang Terhormat, aku tidak akan mempermalukanmu di pestamu itu. Aku menyayangi Noah, membuatnya malu tidak ada dalam daftar keinginku, apa itu membuatmu puas?” “Kau juga menolak penata gaya yang kukirim, kenapa?” tanya Ethan tenang. Suaranya tidak meninggi, tapi justru itu yang me
"Mommy, Noah mau es krim.” Bocah kecil itu tampak merajuk menatap ibunya. Dia menarik-narik jemari Dira untuk menarik perhatiannya. Dira menoleh, tersenyum tipis.“Bagaimana kalau kita makan es krim setelah Mommy selesai melihat-lihat?” tanyanya lembut.Noah tampak berpikir. Keningnya mengerut dan bibirnya mengerucut lucu, tapi akhirnya anak kecil itu mengangguk. “Okke dokkey, Mommy!”Dira tersenyum lebar, ia mengacak-acak rambut putranya yang langsung mendapatkan protes dari si empunya.“Rambut Noah berantakan Mommy!”Dira tertawa. “Baiklah, anak Mommy yang tampan.”Dira mengedarkan pandangan, menghela napas berat. Sudah 1 jam berlalu, tapi usahanya belum juga membuahkan hasil. Dira datang ke Shopping Center Archive yang ada di Corfu bukan tanpa alasan. Ia tidak ingin membeli apa pun. Ia sedang mencari pekerjaan. Sayangnya, dari semua tempat yang ia coba, tidak ada satu pun yang mau menerimanya.Dira mendesah putus asa. Jika terus seperti ini, tidak banyak pilihan yang tersisa. Mungk
“Jadilah penanggung jawab makanan di pesta penyambutan Noah. Buktikan kalau kau mampu melakukannya. Anggap saja ini tantangan. Kalau kau berhasil….” Ethan mengangkat bahunya. “Mungkin aku bisa mempertimbangkan sebuah posisi untukmu.”Dira terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Ethan. Saat ia pikir Ethan sama sekali tidak melibatkannya dalam pesta penyambutan putra mereka, sekarang pria itu justru memberikan tanggung jawab padanya sebagai penanggung jawab makanan?Dia tidak melibatkanmu, dia mempekerjakanmu karena kau bersikeras ingin bekerja, itu berbeda.Dewi batinnya menatapnya dengan wajah kasihan.“Kenapa?” tanyanya. “Kenapa aku?”Ethan mengangkat gelas anggurnya, meminum isinya sedikit sebelum menjawab pertanyaan Dira.“Kau bilang ingin bekerja,” jawabnya, menatap Dira seolah Dira mendadak lupa ingatan. “Dan meski aku tidak menyukainya, aku tidak bisa memintamu untuk berhenti. Lagipula, kau pernah punya toko roti, jadi, kenapa tidak?”Dira ingin membuka mulut dan mengatakan mem
Di mana Noah, Eri?” tanyanya langsung begitu tiba di rumah. “Apa dia sudah tidur?” Dira melepas sepatunya dan menjinjingnya. Hari ini ia luar biasa kelelahan. Dira tidak pernah menyangka meyiapkan makanan untuk acara pesta ternyata bisa sangat merepotkan dan juga menguras tenaga.Beruntung kepala tim perencana pesta itu bisa bekerja sama dengannya. Dira memijat tengkuknya, yang ia butuhkan sekarang adalah mandi air panas dan tidur. Karena tidak kunjung mendapat jawaban, Dira akhirnya menatap wanita setengah baya itu dengan wajah menuntut.“Kenapa?” tanyanya, tiba-tiba merasa cemas. “Apa terjadi sesuatu?”Eri buru-buru menggeleng. “Tidak, Noah baik-baik saja, hanya saja…” Wanita bersanggul rapi itu terlihat kesulitan berbicara. “Noah sedang merajuk.”“Apa?”“Dia merajuk Dira. Hari ini dia membuat semua orang kelelahan.”Dira meletakkan tas dan juga sepatunya begitu saja mendengar jawaban wanita itu. “Kenapa dia merajuk?”Eri terlihat tidak nyaman. “Dia ingin bertemu denganmu, tapi kare
“Jangan mengulangi itu lagi, Dira, kau hampir membuatku terkena serangan jantung.”“Maaf,” ucapnya mencoba terdengar menyesal, tapi Ethan tahu ia sama sekali tidak menyesal melakukannya. Ia meringis saat merasakan kakinya berdenyut menyakitkan. Sial, ternyata rasanya benar-benar sakit. Saat pandangannya bersibobrok dengan Ethan, pria itu sedang menatapnya dengan kedua alis terangkat. Tatapannya seolah mengatakan “Kau seharusnya tahu kalau ini akan terjadi.”“Aku melihatnya tergelincir, Ethan. Aku tidak mungkin hanya melihat dan menontonnya. Dia hanya anak kecil,” ujarnya mencoba membela diri.“Lain kali, sebelum mencoba menolong orang lain, pastikan orang yang kau tolong benar-benar membutuhkan bantuanmu. Dari yang kulihat anak itu hanya bermain-main dan ingin mengerjai orang tuanya.”Wajah Dira memerah karena malu. Itu benar. Anak yang ia tolong karena ia pikir tergelincir ternyata hanya berpura-pura terjatuh untuk menarik perhatian orang tuanya. Sekarang rasa sakit di pergelangan ka
Ethan meletakkan tangan di lutut Dira. “Ada banyak hal yang terjadi itu benar. Ada banyak kenangan yang dilupakan itu juga benar, Angel, tapi bukan berarti kau menyedihkan seperti yang kau pikirkan.” “Apa aku melupakan sesuatu yang penting? Apa kita…” ujar Dira seolah tidak mendengarkan ucapan Ethan. Dira menelan ludah. “Kita tidak… maksudku… apa selama lima tahun kita…” Dira mengedarkan pandangan seperti orang yang sedang mencari petunjuk. Ethan tahu apa yang sedang dicari istrinya, tapi ia menolak mengatakannya. Nanti, jika waktunya tepat Dira sendiri yang akan menemukan jawabannya. “Jawaban dari pertanyaan itu ada di sini,” dengan lembut Ethan menyentuh dada Dira, tepat di mana jantungnya berdetak. “Dan di sini.” lanjut Ethan saat menyentuh kepala Dira. “Suatu hari nanti kau akan mengingatnya, tapi tidak perlu memasakan diri, Angel. Kita akan melakukannya dengan pelan-pelan.” “Banyak hal yang bisa terjadi selama lima tahun Ethan.” “Aku tahu.” “Dan menyadari kalau aku tidak
Pertanyaan itu seharusnya tidak mengejutkan karena bagaimana pun Ethan sudah mengantisipasinya. Suatu saat Dira pasti akan menyadarinya. Ia tidak bisa menyembunyikan hal itu selamanya. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Banyak perubahan yang bisa terjadi dalam waktu itu. Meski begitu, tetap saja Ethan tidak menyangka Dira akan menyadarinya secepat ini. “Kapan kau menyadarinya?” Dira mengubah posisinya. Ia duduk menyamping agar bisa melihat Ethan sepenuhnya. “Dalam perjalanan kemari. Ada banyak hal yang telah berubah begitu aku sadar. Selain itu… aku melihat kalender.” Ethan mengumpat dalam hati. Tentu saja Dira akan melakukannya. “Mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi?” dira menatap Ethan dengan alis terangkat. Ethan berdeham sebelum menjawab, seolah ia sedang memilah kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. “Ada insiden yang membuatmu kehilangan sebagian ingatanmu. Dokter menyebutnya amnesia disosiatif.” “Insiden? Semacam kecelakaan?” Dira menarik ponsel dari meja.
“Terima kasih!” Ethan mengedikkan bahunya. “Bukan masalah. Sekarang berikan laptopnya karena aku harus bekerja.” Dira menyipitkan matanya. “Bukan untuk memesan tiket?” Ethan tertawa. “Tentu saja aku juga akan memesan tiket. Kita hanya 2 hari di sini. Bagaimana pun, lebih cepat memesan tiket lebih baik untuk kita. Lagipula, Riko harus diberi pekerjaan.” “Riko? Siapa Riko?” Ethan mengutuk dirinya sendiri setelah Dira bertanya. “Sekretarisku,” balasnya pendek. Dira mengangkat bahunya, menyerahkan laptop milik Ethan. “Silakan bekerja Tuan, sementara kau berkutat dengan benda menyedihkan itu, aku akan melihat apa yang bisa dimasak. Kau mau apa? Meski tidak terlalu ahli, beberapa masakanku patut diacungi jempol.” Tatapan mata Ethan melembut. “Buatlah kejutan untukku.” *** Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Ethan berjalan ke dapur, langkahnya nyaris tenggelam oleh alunan lembut lagu Perfect dari Ed Sheeran yang mengalun dari speaker kecil di sudut ruangan. Suara lembut mengi
“Ethan, kita baru saja sampai di tempat ini. Kita tidak bisa pergi begitu saja,” ujar Dira begitu mereka masuk ke dalam rumah. “Sebenarnya bisa. Kita hanya perlu naik kapal feri, pergi ke stasiun Hallstatt Bahnhof lalu ke stasiun Attanang yang akan membawa kita ke Wina setelah itu—“ “Aku tidak mau dengar!” potong Dira sambil menutup telinga dengan kedua tangannya. Matanya melebar karena kesal. “Sebenarnya apa yang salah? Sebelumnya kita baik-baik saja di tempat ini, lalu tiba-tiba kau ingin pergi dari sini. Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada menyelidik. Keinginan untuk pergi secepatnya dari tempat ini terasa menggelikan. Dorongan apa yang mendasari keinginan itu? Dira berusaha mencari alasannya dan satu-satunya kesimpulan yang bisa ia dapatkan adalah… “Apa ini karena anak-anak itu?” tebaknya. Ethan berubah setelah bertemu anak-anak tadi, tapi tidak mungkin itu alasannya 'kan? Ethan memunggunginya. Suaminya yang tampan dan misterius kini sedang berkutat dengan laptopnya.
“Leo, pastikan dia tidak pernah hilang dari pandanganmu. Sekali aku menemukannya, aku tidak akan melepaskannya dan saat itu terjadi, kau tahu apa yang akan kulakukan. Aku tidak akan meminta izinmu untuk itu.” Ethan memastikan poselnya tepat saat suara Dira terdengar. “Aku mau keluar.” Ethan menatap keluar lewat jendela besar rumah mereka. Ketidaksetujuan terang-terangn terlihat di wajahnya yang tampan dan mulai ditumbuhi rambut halus. “Suhu di luaran saat ini -4°C, Dira. Kau akan membuat dirimu sendiri kedinginan.” Dira mengikuti arah pandang Ethan. “Ini bukan musim dingin pertamaku, Ethan. Aku bisa menghadapinya. Ingat, aku pernah mengalami yang lebih buruk dari ini.” “Kau baru keluar dari rumah sakit, Dira. Aku tidak mau kau sakit dan jangan coba-coba me—“ Ethan belum menyelesaikan kata-katanya saat Dira berlari keluar dengan tawanya yang renyah. Ia melemparkan tatapan penuh arti pada Ethan sebelum menarik pintu dan menutupnya. Ethan mendesah panjang, memilih untuk menyerah.
Pagi pertama di Hallstatt terasa begitu tenang. Udara dingin menusuk kulit, namun keindahan tempat itu seolah menghangatkan hati Dira. Senyum simpul bermain di wajahnya mana kala sepasang visual tajamnya menatap lurus ke depan. Ia berdiri di balkon rumah mereka, memandangi pemandangan menakjubkan di depannya. Danau yang tenang memantulkan bayangan pegunungan berselimut salju, sementara rumah-rumah bergaya tradisional Austria berdiri anggun di sekelilingnya. Perjalanan selama 7 jam lebih terbayarkan dengan keindahan yang menyambut mereka. Rumah mereka terbuat dari kayu dengan jendela besar yang menghadap langsung ke danau. Dira menyentuh bingkai jendela, merasakan tekstur kayu tua yang kokoh. Ada sesuatu yang menenangkan dari tempat ini—seolah membawa kehangatan meski berada di tengah dinginnya musim salju. “Indah sekali,” gumamnya tanpa sadar. Keindahan tempat ini tak terbantahkan, tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa janggal. Mengapa mereka tiba-tiba pindah ke sini? Ethan pri
Seolah mendengar pertanyaannya, tiba-tiba tubuh Dira bergerak pelan. Kelopak matanya bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan. Ethan segera bangkit dari kursinya, mendekat dengan hati-hati. “Dira…” panggil Ethan lembut, menahan napasnya sejenak, menatap Dira penuh harap. Dira menoleh perlahan ke arah suara itu, wajahnya terlihat bingung dan lemah. Dia mengerjap beberapa kali, berusaha memahami di mana dia berada. Pandangannya menyapu ruangan putih itu, hingga akhirnya bertemu dengan wajah Ethan yang menatapnya dengan wajah campuran rasa lega dan kecemasan. “Ethan…” bisik Dira pelan, suaranya serak. Ethan yang tidak bisa menahan kelegaan yang menyelubunginya menunduk untuk mencium kening istrinya. Setelahnya ia mendaratkan kecupan singkat di bibir tipis Dira yang dingin. “Aku mencemaskanmu,” bisiknya parau. Dira menoleh, terlihat bingung, seolah pernyataan Ethan terlalu sulit untuk dicerna. Tautan alisnya menyatu. “Kenapa aku di rumah sakit? Bagaimana dengan pesta pernikahan
Ethan berdiri di luar ruang rumah sakit tempat Dira dirawat. Suasana di sekitar rumah sakit terasa begitu sepi, begitu pekat dengan aroma kesedihan. Ethan berkali-kali mengusap belakang kepalanya, merasa lemah sekaligus frustrasi. Perasaan kosong dalam dirinya begitu menguasai. Duka karena kehilangan putranya menggegogoti jiwanya. Ia sungguh berharap semua tragedi ini hanya mimpi buruk, tapi aroma obat-obatan dan tubuh Dira yang masih terbaring di rumah sakit dengan keras menamparnya, menariknya pada realita yang sama sekali tidak siap ia hadapi. Di hadapannya, dua polisi berdiri tegak, wajah mereka tampak serius saat memeriksa dokumen dan mencatat keterangan dari Ethan. Polisi pertama, seorang pria paruh baya, bertanya dengan lembut, berusaha tidak menambah beban berat yang harus ditanggung Ethan. “Saudara Ethan, kami telah menemukan bukti yang cukup kuat mengenai keterlibatan Brianna dan Eri dalam kejadian ini. Mereka akan segera ditangkap. Segera, kami akan menetapkan mereka dala