“Mommy! Mommy! Lihat, ada pohon jeruk.” Noah berseru dengan penuh semangat sembari menunjuk-nunjuk pohon jeruk yang mereka lihat sepanjang perjalanan menuju vila.
Dira mengelus rambut cokelat gelap putranya. “Kau menyukainya?” Noah mengangguk antusias. “Kita akan tinggal di sini Mommy?” Dira bisa melihat kilau di mata putranya saat menanyakan pertanyaan itu, membuat perasaannya terjun bebas. Tenggorokannya tiba-tiba tersekat. “Ya, kita akan tinggal di sini. Kau menyukai ide itu?” “Noah bisa memetik jeruk itu langsung?” “Tentu saja bisa.” Ethan mengambil alih situasi. Ia menoleh ke kursi belakang. Senyumnya melebar. “Kita bahkan bisa memeras jeruk di sana dan langsung meminumnya.” Prospek itu sepertinya berhasil membuat bocah 4 tahun itu tertarik. Jika sebelumnya Noah memperlakukan Ethan seperti orang lain yang harus diwaspadai kali ini bocah tampan itu melupakannya. Tatapan matanya yang berbinar bersibobrok dengan mata biru Ethan yang anehnya sekali ini terlihat hangat. “Tapi, bagaimana jika pemiliknya marah?” tanyanya polos. “Aku jamin pemiliknya tidak akan marah. Kau tahu Noah selain memetik jeruk kita bahkan bisa berenang dan bermain bola di sini. Apa kau menyukai ide itu?” Ethan mewujudkan semua impian masa kecil anak-anak dalam satu paket mewah yang menyenangkan, pikir Dira getir. Ia membuang muka, merasa disingkikirkan hanya dalam hitungan detik. Akan seperti inikah yang terjadi? Ethan menawarkan segalanya—segala yang selama ini tidak sanggup ia berikan pada putra mereka untuk memenangkan hatinya? Pemikiran itu membuat dadanya sesak. Anak-anak mungkin sulit didekati, tapi ketika hati mereka tersentuh maka mereka akan menawarkan kebahagiaan murni tanpa sedikitpun tipu daya. Untungnya perjalanan tidak menyenangkan itu tidak berlangsung lama. Mobil berhenti di depan sebuah vila besar yang dikelilingi pepohonan hijau nan rindang. Ada halaman luas dan taman buatan di bagian depan. Dira melihat jalan setapak berkerikil yang seingatnya membawa penghuninya menuju kolam renang. Sejauh mata memandang mmereka dikelilingi lautan. Lautan biru keperakan yang berkilauan seperti permata. Dira membuka pintu dan menarik putranya keluar. Ia bersyukur dengan kacamata juga topi yang ia kenakan. Ini membuatnya tidak terlihat seperti yang ia inginkan. “Ayo, aku akan menunjuk kamar kalian.” Dira tanpa sadar mendesah lega. Ia sempat takut kalau mereka akan tidur di kamar yang sama. Syukurlah, sepertinya Ethan memiliki pemikiran yang sama dengannya. Mereka berjalan menyusuri lorong panjang sementara lewat sudut matanya ia melihat para pelayan mengangkat koper mereka. Dira mengedarkan pandangan. Rumah ini masih sama seperti terakhir kali ia datang. Tidak ada yang berubah kecuali foto pernikahan mereka kini sudah menghilang. “Ini kamarmu, kau menyukainya?” Dira tercengang, bukan hanya luasnya yang membuatnya terkejut, tapi bagaimana Ethan mendesign kamar untuk putra mereka dengan begitu teliti dan tentu saja sesuai dengan selera anak-anak berusia 4 tahun. Ada begitu banyak mainan dan juga buku bergambar. Dira tersekat. Gambaran ini membuat semua usahanya untuk memberikan yang terbaik bagi putranya terdengar menyedihkan. Ia memang tidak bisa memberikan yang terbaik, tapi Dira memastikan ia selalu membuat putranya bahagia. “Apa aku boleh menunggangnya?” seru Noah menunjuk mainan kuda-kudaan yang diletakkan di sudut kamar. Ethan tersenyum mengangguk. “Untuk itulah mainan itu ada di sana. Kau bisa bermain sepuasnya. Semua ini milikmu sekarang.” “Milikku?” bocah 4 tahun itu sepertinya kesusahan mengeluarkan kata-kata. “Milikmu yang bebas kau gunakan sepuasnya.” “Tapi bagaimana jika ada anak lain yang datang dan merebutnya?” wajahnya cemberut menggemaskan. Ethan menekuk lututnya. “Bagaimana kalau kita berdua memastikan tidak ada anak yang boleh memasuki kamar ini, kau setuju?” Noah mengangguk antusias sampai Dira takut kepalanya sakit. “Aku akan mengantar Mommy ke kamarnya, kau bisa menunggu di sini sebentar?” “Okke dokkeey!” “Mommy akan segera kembali, setelah itu kau harus istirahat, oke?” Noah mengangguk sebelum berlari menuju mainannya. Seorang wanita tua bergegas masuk begitu Dira dan Ethan bergerak keluar. “Siapa wanita itu?” tanya Dira penasaran saat mereka melanjutkan perjalanan. “Pengasuh Noah.” Pengasuh? “Apa maksudmu pengasuh Noah? Aku tidak butuh pengasuh, aku bisa mengurus putraku sendiri!” geramnya. Ethan membuka pintu kamar yang ada di samping kamar Noah. “Aku tidak bilang kalau kau tidak bisa mengurusnya Dira, tapi kau jelas butuh tenaga bantuan, apa kau sudah pernah melihat dirimu sendiri? Dan dia bukan putramu, dia putra kita.” Pertanyaan menohok itu membuatnya terdiam. Menjadi orang tua tunggal sekaligus menjadi pencari nafkah bukanlah hal yang mudah, ia tidak pernah benar-benar punya waktu untuk mengurus dirinya sendiri dan Dira pikir itu tidak perlu. Buat apa? Ia tidak punya seseorang yang ingin ia bahagiakan dengan penampilannya. Baginya memastikan kebahagiaan Noah lebih penting daripada memerhatikan penampilannya. “Aku tahu aku jelek, tapi kau tidak perlu membuatnya sejelas itu,” bentaknya kesal. Mata Ethan menyipit. “Jangan menggunakan nada itu padaku. Aku tidak bilang kau jelek karena kau masih secantik yang kuingat, yang ingin kukatakan adalah terkadang kau butuh waktu untuk dirimu sendiri dan itu tidak akan bisa terjadi kalau kau hanya memusatkan perhatian pada putra kita. Kau butuh istirahat.” Perhatian itu meskipun tidak disengaja membuat dadanya menghangat, tapi Dira mengusirnya dengan ganas. Tidak lagi ia akan terjebak dalam pusaran perasaan yang hanya akan memberinya rasa sakit. “Ini kamar kita. Kuharap kau menyukainya.” Dira mengerjap. “Kamar kita? Kupikir… kupikir…” otaknya mendadak lumpuh. “Kau pikir apa Dira? Bahwa kita akan tidur di kamar yang berbeda? Sampai kapan? Sampai salah satu di antara kita menyerah?” tantang Ethan. “Ta-tapi….” “Aku tahu aku tidak bisa memercayaimu karena kau pernah mengkhianatiku, tapi seperti yang kukatakan demi putra kita aku bisa berkompromi.” Kedua tangan Dira terkepal. “Aku tidak pernah mengkhianatimu. Kau yang mengkhianatiku.” Ethan menoleh, tatapannya sama sekali tidak memberi Dira petunjuk tentang apa yang sedang dipikirkan pria itu dan hal itu hanya semakin menambah kemarahan Dira. Sejak dulu Ethan selalu menutup diri padanya. Hubungan yang mereka miliki hanya melibatkan fisik, tidak lebih. “Aku punya permintaan,” ucap Dira memecah kebekuan di antara mereka. Ethan melipat tangan di depan dadanya, menunggu Dira melanjutkan. “Aku ingin bekerja.” “Kau apa?” Suara Ethan terdengar berbahaya, tapi Dira tidak akan mundur. Ia tidak mau terjebak dalam kekuasaan pria itu lagi. “Aku bisa bekerja di rumah ini sebagai tukang masak atau tukang bersih-bersih, apa pun. Kupikir hanya itulah yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu karena mengizinkanku tinggal gratis di rumahmu.” Ethan mengusap dagunya. “Kau… sejak dulu selalu tahu bagaimana menentangku, bukan?” Dira tidak menjawab. “Kau ingin jadi pelayan di rumah ini?” seringai Ethan menjadi kejam. “Maka sejak sekarang kau adalah pelayan di rumah ini, Dira persis seperti yang kau inginkan. Kau akan melayani semua keperluanku. Apa pun yang kuinginkan.” “Bukan seperti itu maksudku!” Ethan berjalan mendekat dengan setiap inci tubuhnya meneriakkan kata “berbahaya”. Tatapan matanya yang tajam tampak kejam dan bengis. Dira mengepalkan tangannya erat, berusaha mempertahankan ketenangannya dibawah tatapan Ethan yang begitu mengintimidasi. Pengaruh kehadiran pria itu pada dirinya… masih membuatnya takut dan ia benar-benar tidak ingin Ethan tahu dan menyadarinya. “Kau ingin bekerja dan kau mendapatkannya. Itulah yang akan kau lakukan Dira, menjadi pelayanku, persis seperti yang kau inginkan. Mungkin kau mau menjadi pelayan juga di atas ranjangku?” Tangan Dira terangkat, tapi Ethan lebih dahulu menangkupnya sebelum tangan itu mendarat di wajahnya. Ethan menunduk, wajahnya begitu dekat dengan wajah Dira sampai-sampai panas napas pria itu menyapu wajah Dira. Seringai yang muncul sesudahnya membuat Dira merasa seakan sedang berhadapan dengan iblis. “Jangan memainkan permainan berbahaya saat kau tahu kau akan kalah di dalamnya. Kita berdua tahu kau menginginkanku, bukan begitu Dira?”Dan Ethan benar-benar memperlakukan dirinya seperti pelayan pribadi pria itu, bukan ibu dari putra mereka atau bahkan wanita yang masih berstatus sebagai istrinya. Ia harus menyiapkan segala keperluannya, termasuk membangunkan dan menyiapkan sarapan. Dira melakukan pekerjaannya dengan baik—atau sebaik yang bisa ia lakukan—karena tidak ingin memberikan Ethan kesempatan untuk mengkritiknya. Meski begitu, Dira tidak bisa mengenyahkan perasaan bahwa ia merasa terganggu dengan perubahan situasi di antara mereka.Sikap Ethan sama sekali tidak melunak. Pria itu masih bersikap dingin padanya seakan Dira harus melakukan penebusan dosa atas kebohongan yang ia lakukan dan Dira berusaha menerimanya atau setidaknya mencoba. Ia tidak ingin menunjukkan kalau perlakuan Ethan menyakitinya. Inilah yang ia inginkan. Seperti ini Ethan tidak akan punya kendali atas dirinya.Siapa yang coba kau bohongi?Sayangnya keputusan itu menjadi bumerang untuknya. Ethan memanfaatkan setiap kesempatan saat dirinya sed
Dira tidak langsung menjawab, hanya terus berdiri, menatap Ethan yang kelihatannya tidak mungkin lebih marah lagi. Ketegangan yang memancar dari tubuhnya membuat ketakutan mengaliri pembuluh darahnya. Dira menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk yang terburuk.“Aku… menduganya. Aku belum benar-benar memeriksanya saat itu, tapi aku punya dugaan kuat kalau—“Ethan tertawa mencemooh. Tatapannya begitu dingin hingga Dira yakin seandainya tatapan bisa membunuh saat ini ia pasti mati terkapar di lantai yang dingin.“Ethan, aku…”“Hentikan, Dira. Aku tidak ingin mendengar apa pun dari mulutmu!" bentaknya keras. Ethan memejamkan mata sesaat, seolah berusaha mengumpulkan ketenangan dirinya kembali."Aku tidak pernah menyesali apa pun seumur hidupku, tapi sekarang… aku benar-benar menyesali keputusan karena pernah menikahi wanita sepertimu. Kau benar-benar picik,” ucapnya penuh benci.Setelah mengatakan kalimat yang membuat Dira terguncang hingga ia bahkan tidak sanggup bersuara, Ethan ber
Laut Mediterania membentang luas di hadapannya, membingkai pulau Corfu yang hijau dengan air jernih kebiruan yang memantulkan cahaya matahari siang. Angin berembus, menerbangkan rambutnya ke segala arah, tapi Dira sama sekali tidak berusaha untuk memperbaikinya. Hatinya gundah. Tidak, kata itu tidak tepat. Ia gelisah membayangkan perbincangan apa yang akan mereka lakukan nantinya. Ethan bilang ini tentang hak asuh anak. Kenapa mereka membutuhkan perjanjian untuk mengasuh Noah? Pemikiran itu sama sekali tidak membuatnya tenang.Ombak Mediterania berkilauan di bawah sinar matahari, menciptakan kilauan bagai permata yang menggoda untuk tenggelam dalam keindahan pulau Corfu. Di sekeliling mereka, tebing hijau Corfu berdiri megah, anggun, dan abadi, kontras dengan ketidakpastian masa depan mereka.Sekali lagi Dira menghela napas. Apa yang ia lakukan di sini? Sekarang ia mulai bertanya-tanya, apa ini hal yang benar untuk dilakukan?“Mam…”Dira mendesah sebelum berbalik. Ia sudah tahu bahkan
Ethan sedang sibuk bermain dengan Noah di tepi yacht, mengajari putranya melempar umpan kecil ke laut saat suara langkah lembut dari dek membuatnya menoleh. Begitu mata birunya menangkap sosok Dira, waktu seakan berhenti. Di hadapannya, Dira berdiri dalam balutan bikini hitam yang memeluk setiap lekuk tubuhnya dengan sempurna, hanya diselumuti kaftan transparan yang nyaris tidak menutupi apa pun.Alis hitam Ethan berkerut, rahangnya mengeras. Ini bukan Dira yang ia kenal beberapa hari terakhir—dan ia tahu, wanita itu melakukannya dengan sengaja.Sialan.Amarah bergolak dalam dadanya, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tetapi juga karena disekitar mereka ada pengawal yang bisa melihatnya dengan jelas.Dira mengangkat dagunya sedikit, seolah menantang, mengirimkan sinyal yang membuat darah Ethan mendidih. Ia tahu Dira mencoba menguji batas kesabarannya. Amarahnya tersulut, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tapi karena reaski tubuhnya atas pakaian p
“Tidak, aku mau Mommy. Mommy!” Teriakan itu membuat Ethan dan Dira berpandangan dan dalam hitungan detik keduanya sudah berpisah. Dira buru-buru mengenakan kemeja Ethan kemudian bergegas keluar untuk menemui putranya. Begitu pintu terbuka Dira melihat Noah yang sedang meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pengasuhnya. “Noah!” Anak kecil itu menoleh, tangisnya pecah saat berlari dan masuk ke dalam pelukan Dira. “Mommy di sini, Sayang. Tenanglah, oke?” ucapnya lembut, mengelus-elus pundak putranya untuk menanangkannya. Ia menatap wanita paruh baya itu dengan wajah penuh tanya. “Noah ingin bertemu denganmu, tapi karena… karena sepertinya kalian sibuk….” Pengasuh itu tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang merah padam menahan malu telah memberitahukan Dira apa maksud ucapan wanita itu. Dira mengumpat dalam hati. Ethan membuat mereka menjadi tontonan. Laki-laki itu benar-benar telah mempermalukannya dan bukan hanya itu… Ethan juga berusaha melucuti perasaanny
Ethan memicingkan matanya. “Aku tidak akan menunggu selamanya, Dira. Lakukan atau aku yang ambil alih dan saat itu terjadi jangan salahkan aku kalau kau tidak akan menyukai metodenya.” Ancaman tersirat dibalik kata-kata itu menyulut emosinya. “Jangan coba-coba mengancamku,” ucapnya mendidih. “Aku akan mengatakannya saat waktunya tepat.” “Lakukan sebelum kita pulang karena aku tidak akan menunggu lebih lama dari itu. Sebentar lagi akan ada pesta penyambutan untuk Noah. Aku akan mengumumkan keberadaannya. Orang-orang harus tahu dia keturunan sekaligus pewaris Alexander.” Dira mengerjap. “Maksudmu, kau akan mengumumkan pada seluruh dunia kalau Noah putra kita?” bisiknya dengan suara tercekik. “Kenapa itu membuatmu terkejut?” “Karena aku tidak berpikir ada manfaat dari melakukan hal itu,” tukasnya jengkel. Dira memijit pelipisnya. “Kalau kau melakukannya… wartawan akan mulai mencaritahu, mereka akan mengorek informasi. Bagaimana kau akan memberitahu media tentang keberadaanku selama
“Dira, istrimu, dia berhasil ditemukan.”Ethan mematung. Mendengar nama itu disebutkan hanya membuat kemarahannya tersulut. Ia mengangkat kepala, menatap pengacaranya dengan mata menyipit. “Kalian berhasil menemukannya?” tanyanya ragu. Selama 5 tahun menghilang tiba-tiba saja wanita itu muncul? Bagian dirinya yang selalu bersikap sinis dengan kejam mengatakan kalau sesuatu pasti terjadi. Dira menghilang dan itu keputusannya, Ethan sama sekali tidak berminat mencarinya. Untuk apa? untuk memberi wanita itu kepuasan karena berhasil membuatnya bertekuk lutut? Itu tidak akan pernah terjadi.“Ingat pabrik roti yang waktu itu kita kunjungi?”Ethan mengangguk kaku. Beberapa waktu lalu ia memang mengunjungi pabrik roti yang baru saja resmi didirikan. Tempatnya di pelosok, jauh dari kehidupan perkotaan. Bukan pilihan yang akan dibuat siapapun yang terbiasa dengan kehidupan kota dan ia tahu Dira bukan wanita yang terbiasa dengan kehidupan desa.“Dia ada di sana.”“Dia apa?” tanyanya, memastikan
Tatapan Ethan begitu tajam sampai-sampai Dira bisa merasakan lututnya tiba-tiba goyah. Ia harus berpegangan pada kusen pintu agar tidak jatuh. “Katakan Dira, bukan kebetulan anak itu bermata biru dan bukan kebetulan jika anak itu berumur 4 tahun!” Dira tersentak mendengar kemarahan mendidih Ethan. Mata birunya begitu gelap seolah Ethan ingin menelannya hidup-hidup. Dira memejamkan mata. Ia tahu rahasia ini tidak mungkin bertahan selamanya, tapi ia tidak pernah menduga bahwa pria itu akan tahu dengan cara seperti ini. “Se-sebaiknya kita bicara di dalam.” Ethan sudah akan menolak. Namun, di detik terakhir ia berjalan mengikuti wanita itu. Rasanya seolah ada yang ingin meledak dalam dirinya. Kenyataan yang baru saja ia temukan berhasil menguras habis kesabarannya. Kedua tangannya terkepal erat saat Dira membawa Ethan menuju dapur. “Biarkan pintunya tetap terbuka!” tekannya dengan gigi gemertak. “Tapi…” “Kubilang biarkan pintunya tetap terbuka!” Dira mendesah, menuruti keinginan
Ethan memicingkan matanya. “Aku tidak akan menunggu selamanya, Dira. Lakukan atau aku yang ambil alih dan saat itu terjadi jangan salahkan aku kalau kau tidak akan menyukai metodenya.” Ancaman tersirat dibalik kata-kata itu menyulut emosinya. “Jangan coba-coba mengancamku,” ucapnya mendidih. “Aku akan mengatakannya saat waktunya tepat.” “Lakukan sebelum kita pulang karena aku tidak akan menunggu lebih lama dari itu. Sebentar lagi akan ada pesta penyambutan untuk Noah. Aku akan mengumumkan keberadaannya. Orang-orang harus tahu dia keturunan sekaligus pewaris Alexander.” Dira mengerjap. “Maksudmu, kau akan mengumumkan pada seluruh dunia kalau Noah putra kita?” bisiknya dengan suara tercekik. “Kenapa itu membuatmu terkejut?” “Karena aku tidak berpikir ada manfaat dari melakukan hal itu,” tukasnya jengkel. Dira memijit pelipisnya. “Kalau kau melakukannya… wartawan akan mulai mencaritahu, mereka akan mengorek informasi. Bagaimana kau akan memberitahu media tentang keberadaanku selama
“Tidak, aku mau Mommy. Mommy!” Teriakan itu membuat Ethan dan Dira berpandangan dan dalam hitungan detik keduanya sudah berpisah. Dira buru-buru mengenakan kemeja Ethan kemudian bergegas keluar untuk menemui putranya. Begitu pintu terbuka Dira melihat Noah yang sedang meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pengasuhnya. “Noah!” Anak kecil itu menoleh, tangisnya pecah saat berlari dan masuk ke dalam pelukan Dira. “Mommy di sini, Sayang. Tenanglah, oke?” ucapnya lembut, mengelus-elus pundak putranya untuk menanangkannya. Ia menatap wanita paruh baya itu dengan wajah penuh tanya. “Noah ingin bertemu denganmu, tapi karena… karena sepertinya kalian sibuk….” Pengasuh itu tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang merah padam menahan malu telah memberitahukan Dira apa maksud ucapan wanita itu. Dira mengumpat dalam hati. Ethan membuat mereka menjadi tontonan. Laki-laki itu benar-benar telah mempermalukannya dan bukan hanya itu… Ethan juga berusaha melucuti perasaanny
Ethan sedang sibuk bermain dengan Noah di tepi yacht, mengajari putranya melempar umpan kecil ke laut saat suara langkah lembut dari dek membuatnya menoleh. Begitu mata birunya menangkap sosok Dira, waktu seakan berhenti. Di hadapannya, Dira berdiri dalam balutan bikini hitam yang memeluk setiap lekuk tubuhnya dengan sempurna, hanya diselumuti kaftan transparan yang nyaris tidak menutupi apa pun.Alis hitam Ethan berkerut, rahangnya mengeras. Ini bukan Dira yang ia kenal beberapa hari terakhir—dan ia tahu, wanita itu melakukannya dengan sengaja.Sialan.Amarah bergolak dalam dadanya, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tetapi juga karena disekitar mereka ada pengawal yang bisa melihatnya dengan jelas.Dira mengangkat dagunya sedikit, seolah menantang, mengirimkan sinyal yang membuat darah Ethan mendidih. Ia tahu Dira mencoba menguji batas kesabarannya. Amarahnya tersulut, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tapi karena reaski tubuhnya atas pakaian p
Laut Mediterania membentang luas di hadapannya, membingkai pulau Corfu yang hijau dengan air jernih kebiruan yang memantulkan cahaya matahari siang. Angin berembus, menerbangkan rambutnya ke segala arah, tapi Dira sama sekali tidak berusaha untuk memperbaikinya. Hatinya gundah. Tidak, kata itu tidak tepat. Ia gelisah membayangkan perbincangan apa yang akan mereka lakukan nantinya. Ethan bilang ini tentang hak asuh anak. Kenapa mereka membutuhkan perjanjian untuk mengasuh Noah? Pemikiran itu sama sekali tidak membuatnya tenang.Ombak Mediterania berkilauan di bawah sinar matahari, menciptakan kilauan bagai permata yang menggoda untuk tenggelam dalam keindahan pulau Corfu. Di sekeliling mereka, tebing hijau Corfu berdiri megah, anggun, dan abadi, kontras dengan ketidakpastian masa depan mereka.Sekali lagi Dira menghela napas. Apa yang ia lakukan di sini? Sekarang ia mulai bertanya-tanya, apa ini hal yang benar untuk dilakukan?“Mam…”Dira mendesah sebelum berbalik. Ia sudah tahu bahkan
Dira tidak langsung menjawab, hanya terus berdiri, menatap Ethan yang kelihatannya tidak mungkin lebih marah lagi. Ketegangan yang memancar dari tubuhnya membuat ketakutan mengaliri pembuluh darahnya. Dira menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk yang terburuk.“Aku… menduganya. Aku belum benar-benar memeriksanya saat itu, tapi aku punya dugaan kuat kalau—“Ethan tertawa mencemooh. Tatapannya begitu dingin hingga Dira yakin seandainya tatapan bisa membunuh saat ini ia pasti mati terkapar di lantai yang dingin.“Ethan, aku…”“Hentikan, Dira. Aku tidak ingin mendengar apa pun dari mulutmu!" bentaknya keras. Ethan memejamkan mata sesaat, seolah berusaha mengumpulkan ketenangan dirinya kembali."Aku tidak pernah menyesali apa pun seumur hidupku, tapi sekarang… aku benar-benar menyesali keputusan karena pernah menikahi wanita sepertimu. Kau benar-benar picik,” ucapnya penuh benci.Setelah mengatakan kalimat yang membuat Dira terguncang hingga ia bahkan tidak sanggup bersuara, Ethan ber
Dan Ethan benar-benar memperlakukan dirinya seperti pelayan pribadi pria itu, bukan ibu dari putra mereka atau bahkan wanita yang masih berstatus sebagai istrinya. Ia harus menyiapkan segala keperluannya, termasuk membangunkan dan menyiapkan sarapan. Dira melakukan pekerjaannya dengan baik—atau sebaik yang bisa ia lakukan—karena tidak ingin memberikan Ethan kesempatan untuk mengkritiknya. Meski begitu, Dira tidak bisa mengenyahkan perasaan bahwa ia merasa terganggu dengan perubahan situasi di antara mereka.Sikap Ethan sama sekali tidak melunak. Pria itu masih bersikap dingin padanya seakan Dira harus melakukan penebusan dosa atas kebohongan yang ia lakukan dan Dira berusaha menerimanya atau setidaknya mencoba. Ia tidak ingin menunjukkan kalau perlakuan Ethan menyakitinya. Inilah yang ia inginkan. Seperti ini Ethan tidak akan punya kendali atas dirinya.Siapa yang coba kau bohongi?Sayangnya keputusan itu menjadi bumerang untuknya. Ethan memanfaatkan setiap kesempatan saat dirinya sed
“Mommy! Mommy! Lihat, ada pohon jeruk.” Noah berseru dengan penuh semangat sembari menunjuk-nunjuk pohon jeruk yang mereka lihat sepanjang perjalanan menuju vila.Dira mengelus rambut cokelat gelap putranya. “Kau menyukainya?”Noah mengangguk antusias. “Kita akan tinggal di sini Mommy?”Dira bisa melihat kilau di mata putranya saat menanyakan pertanyaan itu, membuat perasaannya terjun bebas. Tenggorokannya tiba-tiba tersekat. “Ya, kita akan tinggal di sini. Kau menyukai ide itu?”“Noah bisa memetik jeruk itu langsung?”“Tentu saja bisa.” Ethan mengambil alih situasi. Ia menoleh ke kursi belakang. Senyumnya melebar.“Kita bahkan bisa memeras jeruk di sana dan langsung meminumnya.”Prospek itu sepertinya berhasil membuat bocah 4 tahun itu tertarik. Jika sebelumnya Noah memperlakukan Ethan seperti orang lain yang harus diwaspadai kali ini bocah tampan itu melupakannya. Tatapan matanya yang berbinar bersibobrok dengan mata biru Ethan yang anehnya sekali ini terlihat hangat.“Tapi, bagaima
“Tapi kita tidak…maksudku kita sudah bercerai, Ethan. Kita tidak mungkin tinggal bersama.”Ethan mengangkat satu alisnya. “Mungkin kau lupa kalau aku belum menandatangani surat perceraian kita yang berarti secara hukum kau masih istriku.”Dira terdiam mendengar pernyataan itu. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Sanggupkah ia mempertaruhkan hatinya sekali lagi demi putra mereka? Ini bukan solusi yang ia bayangkan akan terjadi, tapi jalan apa lagi yang tersisa untuknya? Jika ia menolak usulan Ethan sudah pasti pria itu akan berusaha memisahkannya dari Noah, tapi jika ia menerimanya… besar kemungkinan ia akan kembali terluka. Dira memejamkan matanya erat.“Kurasa kau tidak perlu mencemaskan apa pun. Kita akan tinggal di rumah yang sama tidak lebih, jadi jangan membuang tenagamu untuk memikirkan apa yang tidak akan terjadi.”Ucapan itu dikatakan dengan nada merendahkan yang nyaris membuat Dira ingin membalas. Alih-alih menunjukkan kalau kata-kata Ethan melukainya Dira mengangkat dagunya
Ethan meneguk minumannya banyak-banyak. Bagian dari dirinya yang selama ini ia abaikan atau bahkan tidak ia ketahui ia miliki, mengatakan kalau tindakannya benar-benar kejam dan tidak berperasaan, tapi sisi lain yang selama ini membuatnya bertahan menghadapi orang-orang yang hanya tahu bagaimana memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi dengan puas menyetujui tindakannya.Lima tahun!Selama 5 tahun wanita itu membohonginya? Ethan tidak memedulikan saat Dira menghilang. Benar, ia pernah mencari wanita itu selama beberapa waktu, tapi akhirnya ia sadar, wanita yang memutuskan untuk melarikan diri tidak berhak mendapatkan perhatiannya. Wanita itu ingin pergi, maka Ethan akan melepasakannya.Semudah itu.Sampai akhirnya ia tahu alasan dibalik kaburnya Dira. Untuk menyembunyikan putra mereka. Ahli warisnya! Kemarahan yang ia rasakan begitu besar hingga membuatnya merasa tercekik.Ethan belum pernah semarah ini seumur hidupnya. Fakta Dira mampu menyembunyikan rahasia sebesar itu hanya