“Mommy! Mommy! Lihat, ada pohon jeruk.” Noah berseru dengan penuh semangat sembari menunjuk-nunjuk pohon jeruk yang mereka lihat sepanjang perjalanan menuju vila.
Dira mengelus rambut cokelat gelap putranya. “Kau menyukainya?” Noah mengangguk antusias. “Kita akan tinggal di sini Mommy?” Dira bisa melihat kilau di mata putranya saat menanyakan pertanyaan itu, membuat perasaannya terjun bebas. Tenggorokannya tiba-tiba tersekat. “Ya, kita akan tinggal di sini. Kau menyukai ide itu?” “Noah bisa memetik jeruk itu langsung?” “Tentu saja bisa.” Ethan mengambil alih situasi. Ia menoleh ke kursi belakang. Senyumnya melebar. “Kita bahkan bisa memeras jeruk di sana dan langsung meminumnya.” Prospek itu sepertinya berhasil membuat bocah 4 tahun itu tertarik. Jika sebelumnya Noah memperlakukan Ethan seperti orang lain yang harus diwaspadai kali ini bocah tampan itu melupakannya. Tatapan matanya yang berbinar bersibobrok dengan mata biru Ethan yang anehnya sekali ini terlihat hangat. “Tapi, bagaimana jika pemiliknya marah?” tanyanya polos. “Aku jamin pemiliknya tidak akan marah. Kau tahu Noah selain memetik jeruk kita bahkan bisa berenang dan bermain bola di sini. Apa kau menyukai ide itu?” Ethan mewujudkan semua impian masa kecil anak-anak dalam satu paket mewah yang menyenangkan, pikir Dira getir. Ia membuang muka, merasa disingkikirkan hanya dalam hitungan detik. Akan seperti inikah yang terjadi? Ethan menawarkan segalanya—segala yang selama ini tidak sanggup ia berikan pada putra mereka untuk memenangkan hatinya? Pemikiran itu membuat dadanya sesak. Anak-anak mungkin sulit didekati, tapi ketika hati mereka tersentuh maka mereka akan menawarkan kebahagiaan murni tanpa sedikitpun tipu daya. Untungnya perjalanan tidak menyenangkan itu tidak berlangsung lama. Mobil berhenti di depan sebuah vila besar yang dikelilingi pepohonan hijau nan rindang. Ada halaman luas dan taman buatan di bagian depan. Dira melihat jalan setapak berkerikil yang seingatnya membawa penghuninya menuju kolam renang. Sejauh mata memandang mmereka dikelilingi lautan. Lautan biru keperakan yang berkilauan seperti permata. Dira membuka pintu dan menarik putranya keluar. Ia bersyukur dengan kacamata juga topi yang ia kenakan. Ini membuatnya tidak terlihat seperti yang ia inginkan. “Ayo, aku akan menunjuk kamar kalian.” Dira tanpa sadar mendesah lega. Ia sempat takut kalau mereka akan tidur di kamar yang sama. Syukurlah, sepertinya Ethan memiliki pemikiran yang sama dengannya. Mereka berjalan menyusuri lorong panjang sementara lewat sudut matanya ia melihat para pelayan mengangkat koper mereka. Dira mengedarkan pandangan. Rumah ini masih sama seperti terakhir kali ia datang. Tidak ada yang berubah kecuali foto pernikahan mereka kini sudah menghilang. “Ini kamarmu, kau menyukainya?” Dira tercengang, bukan hanya luasnya yang membuatnya terkejut, tapi bagaimana Ethan mendesign kamar untuk putra mereka dengan begitu teliti dan tentu saja sesuai dengan selera anak-anak berusia 4 tahun. Ada begitu banyak mainan dan juga buku bergambar. Dira tersekat. Gambaran ini membuat semua usahanya untuk memberikan yang terbaik bagi putranya terdengar menyedihkan. Ia memang tidak bisa memberikan yang terbaik, tapi Dira memastikan ia selalu membuat putranya bahagia. “Apa aku boleh menunggangnya?” seru Noah menunjuk mainan kuda-kudaan yang diletakkan di sudut kamar. Ethan tersenyum mengangguk. “Untuk itulah mainan itu ada di sana. Kau bisa bermain sepuasnya. Semua ini milikmu sekarang.” “Milikku?” bocah 4 tahun itu sepertinya kesusahan mengeluarkan kata-kata. “Milikmu yang bebas kau gunakan sepuasnya.” “Tapi bagaimana jika ada anak lain yang datang dan merebutnya?” wajahnya cemberut menggemaskan. Ethan menekuk lututnya. “Bagaimana kalau kita berdua memastikan tidak ada anak yang boleh memasuki kamar ini, kau setuju?” Noah mengangguk antusias sampai Dira takut kepalanya sakit. “Aku akan mengantar Mommy ke kamarnya, kau bisa menunggu di sini sebentar?” “Okke dokkeey!” “Mommy akan segera kembali, setelah itu kau harus istirahat, oke?” Noah mengangguk sebelum berlari menuju mainannya. Seorang wanita tua bergegas masuk begitu Dira dan Ethan bergerak keluar. “Siapa wanita itu?” tanya Dira penasaran saat mereka melanjutkan perjalanan. “Pengasuh Noah.” Pengasuh? “Apa maksudmu pengasuh Noah? Aku tidak butuh pengasuh, aku bisa mengurus putraku sendiri!” geramnya. Ethan membuka pintu kamar yang ada di samping kamar Noah. “Aku tidak bilang kalau kau tidak bisa mengurusnya Dira, tapi kau jelas butuh tenaga bantuan, apa kau sudah pernah melihat dirimu sendiri? Dan dia bukan putramu, dia putra kita.” Pertanyaan menohok itu membuatnya terdiam. Menjadi orang tua tunggal sekaligus menjadi pencari nafkah bukanlah hal yang mudah, ia tidak pernah benar-benar punya waktu untuk mengurus dirinya sendiri dan Dira pikir itu tidak perlu. Buat apa? Ia tidak punya seseorang yang ingin ia bahagiakan dengan penampilannya. Baginya memastikan kebahagiaan Noah lebih penting daripada memerhatikan penampilannya. “Aku tahu aku jelek, tapi kau tidak perlu membuatnya sejelas itu,” bentaknya kesal. Mata Ethan menyipit. “Jangan menggunakan nada itu padaku. Aku tidak bilang kau jelek karena kau masih secantik yang kuingat, yang ingin kukatakan adalah terkadang kau butuh waktu untuk dirimu sendiri dan itu tidak akan bisa terjadi kalau kau hanya memusatkan perhatian pada putra kita. Kau butuh istirahat.” Perhatian itu meskipun tidak disengaja membuat dadanya menghangat, tapi Dira mengusirnya dengan ganas. Tidak lagi ia akan terjebak dalam pusaran perasaan yang hanya akan memberinya rasa sakit. “Ini kamar kita. Kuharap kau menyukainya.” Dira mengerjap. “Kamar kita? Kupikir… kupikir…” otaknya mendadak lumpuh. “Kau pikir apa Dira? Bahwa kita akan tidur di kamar yang berbeda? Sampai kapan? Sampai salah satu di antara kita menyerah?” tantang Ethan. “Ta-tapi….” “Aku tahu aku tidak bisa memercayaimu karena kau pernah mengkhianatiku, tapi seperti yang kukatakan demi putra kita aku bisa berkompromi.” Kedua tangan Dira terkepal. “Aku tidak pernah mengkhianatimu. Kau yang mengkhianatiku.” Ethan menoleh, tatapannya sama sekali tidak memberi Dira petunjuk tentang apa yang sedang dipikirkan pria itu dan hal itu hanya semakin menambah kemarahan Dira. Sejak dulu Ethan selalu menutup diri padanya. Hubungan yang mereka miliki hanya melibatkan fisik, tidak lebih. “Aku punya permintaan,” ucap Dira memecah kebekuan di antara mereka. Ethan melipat tangan di depan dadanya, menunggu Dira melanjutkan. “Aku ingin bekerja.” “Kau apa?” Suara Ethan terdengar berbahaya, tapi Dira tidak akan mundur. Ia tidak mau terjebak dalam kekuasaan pria itu lagi. “Aku bisa bekerja di rumah ini sebagai tukang masak atau tukang bersih-bersih, apa pun. Kupikir hanya itulah yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu karena mengizinkanku tinggal gratis di rumahmu.” Ethan mengusap dagunya. “Kau… sejak dulu selalu tahu bagaimana menentangku, bukan?” Dira tidak menjawab. “Kau ingin jadi pelayan di rumah ini?” seringai Ethan menjadi kejam. “Maka sejak sekarang kau adalah pelayan di rumah ini, Dira persis seperti yang kau inginkan. Kau akan melayani semua keperluanku. Apa pun yang kuinginkan.” “Bukan seperti itu maksudku!” Ethan berjalan mendekat dengan setiap inci tubuhnya meneriakkan kata “berbahaya”. Tatapan matanya yang tajam tampak kejam dan bengis. Dira mengepalkan tangannya erat, berusaha mempertahankan ketenangannya dibawah tatapan Ethan yang begitu mengintimidasi. Pengaruh kehadiran pria itu pada dirinya… masih membuatnya takut dan ia benar-benar tidak ingin Ethan tahu dan menyadarinya. “Kau ingin bekerja dan kau mendapatkannya. Itulah yang akan kau lakukan Dira, menjadi pelayanku, persis seperti yang kau inginkan. Mungkin kau mau menjadi pelayan juga di atas ranjangku?” Tangan Dira terangkat, tapi Ethan lebih dahulu menangkupnya sebelum tangan itu mendarat di wajahnya. Ethan menunduk, wajahnya begitu dekat dengan wajah Dira sampai-sampai panas napas pria itu menyapu wajah Dira. Seringai yang muncul sesudahnya membuat Dira merasa seakan sedang berhadapan dengan iblis. “Jangan memainkan permainan berbahaya saat kau tahu kau akan kalah di dalamnya. Kita berdua tahu kau menginginkanku, bukan begitu Dira?”Dan Ethan benar-benar memperlakukan dirinya seperti pelayan pribadi pria itu, bukan ibu dari putra mereka atau bahkan wanita yang masih berstatus sebagai istrinya. Ia harus menyiapkan segala keperluannya, termasuk membangunkan dan menyiapkan sarapan. Dira melakukan pekerjaannya dengan baik—atau sebaik yang bisa ia lakukan—karena tidak ingin memberikan Ethan kesempatan untuk mengkritiknya. Meski begitu, Dira tidak bisa mengenyahkan perasaan bahwa ia merasa terganggu dengan perubahan situasi di antara mereka.Sikap Ethan sama sekali tidak melunak. Pria itu masih bersikap dingin padanya seakan Dira harus melakukan penebusan dosa atas kebohongan yang ia lakukan dan Dira berusaha menerimanya atau setidaknya mencoba. Ia tidak ingin menunjukkan kalau perlakuan Ethan menyakitinya. Inilah yang ia inginkan. Seperti ini Ethan tidak akan punya kendali atas dirinya.Siapa yang coba kau bohongi?Sayangnya keputusan itu menjadi bumerang untuknya. Ethan memanfaatkan setiap kesempatan saat dirinya sed
Dira tidak langsung menjawab, hanya terus berdiri, menatap Ethan yang kelihatannya tidak mungkin lebih marah lagi. Ketegangan yang memancar dari tubuhnya membuat ketakutan mengaliri pembuluh darahnya. Dira menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk yang terburuk.“Aku… menduganya. Aku belum benar-benar memeriksanya saat itu, tapi aku punya dugaan kuat kalau—“Ethan tertawa mencemooh. Tatapannya begitu dingin hingga Dira yakin seandainya tatapan bisa membunuh saat ini ia pasti mati terkapar di lantai yang dingin.“Ethan, aku…”“Hentikan, Dira. Aku tidak ingin mendengar apa pun dari mulutmu!" bentaknya keras. Ethan memejamkan mata sesaat, seolah berusaha mengumpulkan ketenangan dirinya kembali."Aku tidak pernah menyesali apa pun seumur hidupku, tapi sekarang… aku benar-benar menyesali keputusan karena pernah menikahi wanita sepertimu. Kau benar-benar picik,” ucapnya penuh benci.Setelah mengatakan kalimat yang membuat Dira terguncang hingga ia bahkan tidak sanggup bersuara, Ethan ber
Laut Mediterania membentang luas di hadapannya, membingkai pulau Corfu yang hijau dengan air jernih kebiruan yang memantulkan cahaya matahari siang. Angin berembus, menerbangkan rambutnya ke segala arah, tapi Dira sama sekali tidak berusaha untuk memperbaikinya. Hatinya gundah. Tidak, kata itu tidak tepat. Ia gelisah membayangkan perbincangan apa yang akan mereka lakukan nantinya. Ethan bilang ini tentang hak asuh anak. Kenapa mereka membutuhkan perjanjian untuk mengasuh Noah? Pemikiran itu sama sekali tidak membuatnya tenang.Ombak Mediterania berkilauan di bawah sinar matahari, menciptakan kilauan bagai permata yang menggoda untuk tenggelam dalam keindahan pulau Corfu. Di sekeliling mereka, tebing hijau Corfu berdiri megah, anggun, dan abadi, kontras dengan ketidakpastian masa depan mereka.Sekali lagi Dira menghela napas. Apa yang ia lakukan di sini? Sekarang ia mulai bertanya-tanya, apa ini hal yang benar untuk dilakukan?“Mam…”Dira mendesah sebelum berbalik. Ia sudah tahu bahkan
Ethan sedang sibuk bermain dengan Noah di tepi yacht, mengajari putranya melempar umpan kecil ke laut saat suara langkah lembut dari dek membuatnya menoleh. Begitu mata birunya menangkap sosok Dira, waktu seakan berhenti. Di hadapannya, Dira berdiri dalam balutan bikini hitam yang memeluk setiap lekuk tubuhnya dengan sempurna, hanya diselumuti kaftan transparan yang nyaris tidak menutupi apa pun.Alis hitam Ethan berkerut, rahangnya mengeras. Ini bukan Dira yang ia kenal beberapa hari terakhir—dan ia tahu, wanita itu melakukannya dengan sengaja.Sialan.Amarah bergolak dalam dadanya, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tetapi juga karena disekitar mereka ada pengawal yang bisa melihatnya dengan jelas.Dira mengangkat dagunya sedikit, seolah menantang, mengirimkan sinyal yang membuat darah Ethan mendidih. Ia tahu Dira mencoba menguji batas kesabarannya. Amarahnya tersulut, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tapi karena reaski tubuhnya atas pakaian p
“Tidak, aku mau Mommy. Mommy!” Teriakan itu membuat Ethan dan Dira berpandangan dan dalam hitungan detik keduanya sudah berpisah. Dira buru-buru mengenakan kemeja Ethan kemudian bergegas keluar untuk menemui putranya. Begitu pintu terbuka Dira melihat Noah yang sedang meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pengasuhnya. “Noah!” Anak kecil itu menoleh, tangisnya pecah saat berlari dan masuk ke dalam pelukan Dira. “Mommy di sini, Sayang. Tenanglah, oke?” ucapnya lembut, mengelus-elus pundak putranya untuk menanangkannya. Ia menatap wanita paruh baya itu dengan wajah penuh tanya. “Noah ingin bertemu denganmu, tapi karena… karena sepertinya kalian sibuk….” Pengasuh itu tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang merah padam menahan malu telah memberitahukan Dira apa maksud ucapan wanita itu. Dira mengumpat dalam hati. Ethan membuat mereka menjadi tontonan. Laki-laki itu benar-benar telah mempermalukannya dan bukan hanya itu… Ethan juga berusaha melucuti perasaanny
Ethan memicingkan matanya. “Aku tidak akan menunggu selamanya, Dira. Lakukan atau aku yang ambil alih dan saat itu terjadi jangan salahkan aku kalau kau tidak akan menyukai metodenya.” Ancaman tersirat dibalik kata-kata itu menyulut emosinya. “Jangan coba-coba mengancamku,” ucapnya mendidih. “Aku akan mengatakannya saat waktunya tepat.” “Lakukan sebelum kita pulang karena aku tidak akan menunggu lebih lama dari itu. Sebentar lagi akan ada pesta penyambutan untuk Noah. Aku akan mengumumkan keberadaannya. Orang-orang harus tahu dia keturunan sekaligus pewaris Alexander.” Dira mengerjap. “Maksudmu, kau akan mengumumkan pada seluruh dunia kalau Noah putra kita?” bisiknya dengan suara tercekik. “Kenapa itu membuatmu terkejut?” “Karena aku tidak berpikir ada manfaat dari melakukan hal itu,” tukasnya jengkel. Dira memijit pelipisnya. “Kalau kau melakukannya… wartawan akan mulai mencaritahu, mereka akan mengorek informasi. Bagaimana kau akan memberitahu media tentang keberadaanku selama
Ethan menatap Noah, bocah kecil berusia empat tahun yang berdiri di hadapannya. Anak itu tampak begitu polos dengan mata bulat dan rambut cokelatnya yang ikal. Ada jeda di mana Ethan hanya menatapnya, seolah sedang mencoba menyelami sosok mungil yang baru saja dikenalnya.Dira berdiri tak jauh, mengamati mereka berdua dengan dada yang terasa sesak. Ekspresi di wajah Ethan tampak begitu tenang, seperti biasanya—tetapi Dira bisa melihat kilatan emosi yang sulit di tutupi di mata biru lautnya.Ethan berjongkok, sejajar dengan Noah.“Beberapa orang tua mengatakan kau mirip sekali denganku saat aku seusiamu,” ucap Ethan parau.“Benarkah?”Ethan mengangguk, tiba-tiba merasa kesulitan bersuara. “Sangat mirip, kau mau tahu kenapa?” Jantung Dira berdebar kencang saat menunggu respon putra mereka. Telapak tangannya berkeringat. Putra mereka memang cerdas yang terkadang justru membuat Dira kerepotan. Anehnya selama ini Noah tidak pernah sekalipun mempertanyakan keberadaan ayahnya—hingga saat in
situasi pengiriman ke Amerika Selatan minggu ini? Ada hambatan yang signifikan?” tanya Ethan tanpa basa-basi saat mata birunya yang tajam mengamati satu persatu anggota stafnya. Di hadapannya, terdapat layar digital yang menampilkan data kinerja perusahaan, grafik pendapatan, serta laporan cuaca terbaru yang memengaruhi jalur pelayaran. Dimitris, kepala operasional yang sudah bekerja selama 20 tahun di industri perkapalan, mengangguk dan membuka laptopnya. “Ada sedikit keterlambatan di Terusan Panama, Sir. Kapal Poseidon tertahan hampir 2 hari akibat antrian panjang yang tidak terduga. Namun, tim kami sudah berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk mempercepat proses.” Ethan mendengarkan dengan serius, jarinya mengetuk meja dengan ritme teratur yang nyaris tidak terdengar. “Pastikan tidak ada penundaan tambahan. Jika perlu, alokasikan kapal tambahan dari Yunani untuk mengejar keterlambatan. Aku tidak ingin ada keluhan masuk minggu ini.” Dimitris mengangguk patuh. “Akan segera
“Jangan mengulangi itu lagi, Dira, kau hampir membuatku terkena serangan jantung.”“Maaf,” ucapnya mencoba terdengar menyesal, tapi Ethan tahu ia sama sekali tidak menyesal melakukannya. Ia meringis saat merasakan kakinya berdenyut menyakitkan. Sial, ternyata rasanya benar-benar sakit. Saat pandangannya bersibobrok dengan Ethan, pria itu sedang menatapnya dengan kedua alis terangkat. Tatapannya seolah mengatakan “Kau seharusnya tahu kalau ini akan terjadi.”“Aku melihatnya tergelincir, Ethan. Aku tidak mungkin hanya melihat dan menontonnya. Dia hanya anak kecil,” ujarnya mencoba membela diri.“Lain kali, sebelum mencoba menolong orang lain, pastikan orang yang kau tolong benar-benar membutuhkan bantuanmu. Dari yang kulihat anak itu hanya bermain-main dan ingin mengerjai orang tuanya.”Wajah Dira memerah karena malu. Itu benar. Anak yang ia tolong karena ia pikir tergelincir ternyata hanya berpura-pura terjatuh untuk menarik perhatian orang tuanya. Sekarang rasa sakit di pergelangan ka
Ethan meletakkan tangan di lutut Dira. “Ada banyak hal yang terjadi itu benar. Ada banyak kenangan yang dilupakan itu juga benar, Angel, tapi bukan berarti kau menyedihkan seperti yang kau pikirkan.” “Apa aku melupakan sesuatu yang penting? Apa kita…” ujar Dira seolah tidak mendengarkan ucapan Ethan. Dira menelan ludah. “Kita tidak… maksudku… apa selama lima tahun kita…” Dira mengedarkan pandangan seperti orang yang sedang mencari petunjuk. Ethan tahu apa yang sedang dicari istrinya, tapi ia menolak mengatakannya. Nanti, jika waktunya tepat Dira sendiri yang akan menemukan jawabannya. “Jawaban dari pertanyaan itu ada di sini,” dengan lembut Ethan menyentuh dada Dira, tepat di mana jantungnya berdetak. “Dan di sini.” lanjut Ethan saat menyentuh kepala Dira. “Suatu hari nanti kau akan mengingatnya, tapi tidak perlu memasakan diri, Angel. Kita akan melakukannya dengan pelan-pelan.” “Banyak hal yang bisa terjadi selama lima tahun Ethan.” “Aku tahu.” “Dan menyadari kalau aku tidak
Pertanyaan itu seharusnya tidak mengejutkan karena bagaimana pun Ethan sudah mengantisipasinya. Suatu saat Dira pasti akan menyadarinya. Ia tidak bisa menyembunyikan hal itu selamanya. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Banyak perubahan yang bisa terjadi dalam waktu itu. Meski begitu, tetap saja Ethan tidak menyangka Dira akan menyadarinya secepat ini. “Kapan kau menyadarinya?” Dira mengubah posisinya. Ia duduk menyamping agar bisa melihat Ethan sepenuhnya. “Dalam perjalanan kemari. Ada banyak hal yang telah berubah begitu aku sadar. Selain itu… aku melihat kalender.” Ethan mengumpat dalam hati. Tentu saja Dira akan melakukannya. “Mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi?” dira menatap Ethan dengan alis terangkat. Ethan berdeham sebelum menjawab, seolah ia sedang memilah kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. “Ada insiden yang membuatmu kehilangan sebagian ingatanmu. Dokter menyebutnya amnesia disosiatif.” “Insiden? Semacam kecelakaan?” Dira menarik ponsel dari meja.
“Terima kasih!” Ethan mengedikkan bahunya. “Bukan masalah. Sekarang berikan laptopnya karena aku harus bekerja.” Dira menyipitkan matanya. “Bukan untuk memesan tiket?” Ethan tertawa. “Tentu saja aku juga akan memesan tiket. Kita hanya 2 hari di sini. Bagaimana pun, lebih cepat memesan tiket lebih baik untuk kita. Lagipula, Riko harus diberi pekerjaan.” “Riko? Siapa Riko?” Ethan mengutuk dirinya sendiri setelah Dira bertanya. “Sekretarisku,” balasnya pendek. Dira mengangkat bahunya, menyerahkan laptop milik Ethan. “Silakan bekerja Tuan, sementara kau berkutat dengan benda menyedihkan itu, aku akan melihat apa yang bisa dimasak. Kau mau apa? Meski tidak terlalu ahli, beberapa masakanku patut diacungi jempol.” Tatapan mata Ethan melembut. “Buatlah kejutan untukku.” *** Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Ethan berjalan ke dapur, langkahnya nyaris tenggelam oleh alunan lembut lagu Perfect dari Ed Sheeran yang mengalun dari speaker kecil di sudut ruangan. Suara lembut mengi
“Ethan, kita baru saja sampai di tempat ini. Kita tidak bisa pergi begitu saja,” ujar Dira begitu mereka masuk ke dalam rumah. “Sebenarnya bisa. Kita hanya perlu naik kapal feri, pergi ke stasiun Hallstatt Bahnhof lalu ke stasiun Attanang yang akan membawa kita ke Wina setelah itu—“ “Aku tidak mau dengar!” potong Dira sambil menutup telinga dengan kedua tangannya. Matanya melebar karena kesal. “Sebenarnya apa yang salah? Sebelumnya kita baik-baik saja di tempat ini, lalu tiba-tiba kau ingin pergi dari sini. Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada menyelidik. Keinginan untuk pergi secepatnya dari tempat ini terasa menggelikan. Dorongan apa yang mendasari keinginan itu? Dira berusaha mencari alasannya dan satu-satunya kesimpulan yang bisa ia dapatkan adalah… “Apa ini karena anak-anak itu?” tebaknya. Ethan berubah setelah bertemu anak-anak tadi, tapi tidak mungkin itu alasannya 'kan? Ethan memunggunginya. Suaminya yang tampan dan misterius kini sedang berkutat dengan laptopnya.
“Leo, pastikan dia tidak pernah hilang dari pandanganmu. Sekali aku menemukannya, aku tidak akan melepaskannya dan saat itu terjadi, kau tahu apa yang akan kulakukan. Aku tidak akan meminta izinmu untuk itu.” Ethan memastikan poselnya tepat saat suara Dira terdengar. “Aku mau keluar.” Ethan menatap keluar lewat jendela besar rumah mereka. Ketidaksetujuan terang-terangn terlihat di wajahnya yang tampan dan mulai ditumbuhi rambut halus. “Suhu di luaran saat ini -4°C, Dira. Kau akan membuat dirimu sendiri kedinginan.” Dira mengikuti arah pandang Ethan. “Ini bukan musim dingin pertamaku, Ethan. Aku bisa menghadapinya. Ingat, aku pernah mengalami yang lebih buruk dari ini.” “Kau baru keluar dari rumah sakit, Dira. Aku tidak mau kau sakit dan jangan coba-coba me—“ Ethan belum menyelesaikan kata-katanya saat Dira berlari keluar dengan tawanya yang renyah. Ia melemparkan tatapan penuh arti pada Ethan sebelum menarik pintu dan menutupnya. Ethan mendesah panjang, memilih untuk menyerah.
Pagi pertama di Hallstatt terasa begitu tenang. Udara dingin menusuk kulit, namun keindahan tempat itu seolah menghangatkan hati Dira. Senyum simpul bermain di wajahnya mana kala sepasang visual tajamnya menatap lurus ke depan. Ia berdiri di balkon rumah mereka, memandangi pemandangan menakjubkan di depannya. Danau yang tenang memantulkan bayangan pegunungan berselimut salju, sementara rumah-rumah bergaya tradisional Austria berdiri anggun di sekelilingnya. Perjalanan selama 7 jam lebih terbayarkan dengan keindahan yang menyambut mereka. Rumah mereka terbuat dari kayu dengan jendela besar yang menghadap langsung ke danau. Dira menyentuh bingkai jendela, merasakan tekstur kayu tua yang kokoh. Ada sesuatu yang menenangkan dari tempat ini—seolah membawa kehangatan meski berada di tengah dinginnya musim salju. “Indah sekali,” gumamnya tanpa sadar. Keindahan tempat ini tak terbantahkan, tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa janggal. Mengapa mereka tiba-tiba pindah ke sini? Ethan pri
Seolah mendengar pertanyaannya, tiba-tiba tubuh Dira bergerak pelan. Kelopak matanya bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan. Ethan segera bangkit dari kursinya, mendekat dengan hati-hati. “Dira…” panggil Ethan lembut, menahan napasnya sejenak, menatap Dira penuh harap. Dira menoleh perlahan ke arah suara itu, wajahnya terlihat bingung dan lemah. Dia mengerjap beberapa kali, berusaha memahami di mana dia berada. Pandangannya menyapu ruangan putih itu, hingga akhirnya bertemu dengan wajah Ethan yang menatapnya dengan wajah campuran rasa lega dan kecemasan. “Ethan…” bisik Dira pelan, suaranya serak. Ethan yang tidak bisa menahan kelegaan yang menyelubunginya menunduk untuk mencium kening istrinya. Setelahnya ia mendaratkan kecupan singkat di bibir tipis Dira yang dingin. “Aku mencemaskanmu,” bisiknya parau. Dira menoleh, terlihat bingung, seolah pernyataan Ethan terlalu sulit untuk dicerna. Tautan alisnya menyatu. “Kenapa aku di rumah sakit? Bagaimana dengan pesta pernikahan
Ethan berdiri di luar ruang rumah sakit tempat Dira dirawat. Suasana di sekitar rumah sakit terasa begitu sepi, begitu pekat dengan aroma kesedihan. Ethan berkali-kali mengusap belakang kepalanya, merasa lemah sekaligus frustrasi. Perasaan kosong dalam dirinya begitu menguasai. Duka karena kehilangan putranya menggegogoti jiwanya. Ia sungguh berharap semua tragedi ini hanya mimpi buruk, tapi aroma obat-obatan dan tubuh Dira yang masih terbaring di rumah sakit dengan keras menamparnya, menariknya pada realita yang sama sekali tidak siap ia hadapi. Di hadapannya, dua polisi berdiri tegak, wajah mereka tampak serius saat memeriksa dokumen dan mencatat keterangan dari Ethan. Polisi pertama, seorang pria paruh baya, bertanya dengan lembut, berusaha tidak menambah beban berat yang harus ditanggung Ethan. “Saudara Ethan, kami telah menemukan bukti yang cukup kuat mengenai keterlibatan Brianna dan Eri dalam kejadian ini. Mereka akan segera ditangkap. Segera, kami akan menetapkan mereka dala