Dira berusaha menahan lontaran kasar yang sudah ada di ujung lidahnya. Kemarahan yang ia rasakan rasanya cukup untuk membuatnya kehilangan kendali. Dira menarik napas panjang dan dalam.
Jadi inilah balas dendam yang ingin di lakukan olehnya, pikir Dira getir. Kenapa hal itu bahkan tidak mengejutkannya? Dira mengikuti setiap langkah Ethan lewat tatapan matanya. Laki-laki itu tampil bak penguasa. Begitu angkuh dan penuh percaya diri. Bu Hani berdiri, menyambut kedatangan Ethan bagai menyambut rombongan presiden. Dira mendengus. Ethan memang bisa membuat orang-orang mau melakukan apa yang dia ingin orang lain lakukan. Bukankah itu juga yang terjadi padamu? “Selamat datang Pak Ethan, apa Anda datang untuk melihat gedung ini? saya sudah memberitahu—“ Ethan mengangkat satu tangannya. “Jika diizinkan saya ingin bicara dengan penghuni lama gedung ini,” ucap Ethan dingin. Pria itu masih marah padanya. Itu jelas. Bu Hani mengerjap, tampak tersinggung karena ucapannya di potong, tapi dia berhasil pulih dengan cepat. “Tentu saja, sebagai pemilik gedung ini kurasa Anda memang ingin bicara dengannya. Kalau begitu permisi.” Bu Hani melempar senyum minta maaf pada Dira sebelum menjauh dan menghilang dari pandangan. “Apa-apaan itu, Ethan? Kurasa kau memiliki terlalu banyak uang daripada akal sehat?” “Tutup mulutmu! Semua ini tidak akan terjadi seandainya kau tidak berbohong. Sekarang terima konsekuensi dari kebohonganmu,” balasnya sinis. Wajah Dira memucat. Ia mencoba mengubah taktik. “Ethan kumohon, jangan melakukan ini.” “Aku tidak akan luluh meski kau menangis darah sekalipun. Kau membohongiku Dira. Bukan hanya satu hari, tapi 5 tahun!” Oh Tuhan! Dira buru-buru menutup pintu tokonya. Toh ia tidak akan bisa berjualan lagi di tempat ini bukan? Pikiran itu membuat perasaannya terjun bebas. “Aku tidak bermaksud membohongimu,” ucapnya lemah, bahkan di telinganya sendiri kalimat itu terdengar menyedihkan. Sorot mata Ethan semakin kejam. “Satu dua hari adalah waktu ketika seseorang tidak bermaksud berbohong. Kau menyembunyikan keberadaan putraku selama 4 tahun. Menurutmu bagaimana perasaanku mengetahui hal itu, Dira?” Dira gemetar disekujur tubuhnya, tapi Ethan sama sekali tidak melunak melihatnya sebaliknya kemarahannya semakin membumbung karena berpikir Dira sengaja melakukan taktik licik itu untuk membuatnya kasihan. Mata biru seterang langit itu mengedarkan pandangan. “Di mana… siapa nama putraku?” “Noah, namanya Noah dan dia bukan putramu, putra kita. Dia sedang bermain dengan Gen. Anak-anak seusianya suka bermain dengan teman sebayanya, Ethan,” jelasnya panjang lebar. Ethan mengedarkan pandangan, perasaan jijik yang terukir di wajahnya yang tampan membuat perut Dira melilit. Yah, tempat ini mungkin bukan yang terbaik tapi inilah tempat yang membuatnya merasa nyaman dan aman. Di sini, tidak ada yang mendikte apa yang harus dan tidak harus ia katakan dan kenakan. “Jadi, kau membiarkan putraku—“ “Putra kita.” “tinggal di tempat kumuh dan miskin ini?” “Ini Tidak kumuh. Tempat ini mungkin sederhana tapi bersih dan nyaman.” “Inilah putraku, pewaris kekayaan Alexander, hidup miskin dan menggelandang.” “Ethan please… tempat ini tidak mewah, tapi aku dan Noah menyukainya.” “Apa kau pernah menanyakan hal itu padanya?” “Apa?” “Itu asumsimu atau putraku benar-benar mengatakan hal itu?” Dira terdiam dan itu memberi Ethan kepuasan. “Dia bahagia di sini,” tambah Dira lemah seolah hal itu bisa membenarkan tindakannya. “Aku ingin kau meninggalkan tempat ini segera.” Detik kalimat itu diucapkan Dira merasa seseorang memukul ulu hatinya dengan kekuatan menakutkan. Matanya melebar panik. “Apa maksudmu?” Wajah Ethan datar tanpa ekspresi saat melanjutkan ucapannya. “Seperti yang dikatakan mantan induk semangmu aku memiliki tempat ini sekarang dan seperti yang juga dia instruksikan kau harus meninggalkan gedung ini selambat-lambatnya besok.” Dira merasa kepalanya berputar-putar. Bumi tempatnya berpijak tiba-tiba saja bergoyang. Ini tidak mungkin! Ethan tidak mungkin melakukan itu padanya. Itu kejam dan dan tidak berperasaan. Saat menatap mata biru yang sewarna dengan lautan itu Dira sama sekali tidak melihat kalau pria itu bercanda. Wajahnya yang datar dan sorot mata penuh kebencian yang terlihat telah membenarkan apa yang dipikirkan oleh Dira. Tubuhnya tiba-tiba gemetar, tapi ia tidak boleh menyerah. Belum. Tidak seorang pun yang bisa mengambil Noah darinya. “Ethan,” ucapnya dengan suara bergetar. “Aku tahu kau membenciku, tapi kau tidak bisa melakukan ini. Bagaimana mungkin kau mengharapkan aku pergi dari sini besok? Ada banyak hal yang perlu kusiapkan. Selain itu Noah akan kebingungan jika tiba-tiba kami pindah dan—“ “Apa yang kau katakan?” potong Ehan. “Tentu saja aku tidak akan membiarkan putraku hidup terlunta-lunta.” “Lantas kenapa…” “Kau yang akan pergi karena aku akan mengambil putraku. Aku yang akan mengasuhnya.” Dira kehilangan kemampuan bicaranya. Selama 5 detik penuh otaknya sama sekali tidak bekerja. Ia menatap Ethan seakan sedang melihat hantu. “Kau apa?” “Aku akan mengambil Noah darimu.” “Kau tidak menginginkannya,” bantah Dira seakan kalimat itu akan membuat Ethan berubah pikiran. Ethan melangkah dengan kekuatan pemangsa hingga Dira mengambil langkah mundur karena ketakutan. Ethan sedikit menunduk agar bisa menatap Dira tepat di matanya. Senyumnya semakin bengis disetiap detiknya. “Dan dari mana kesimpulan lancang itu berasal? Aku akan melawanmu di pengadilan dan memastikan bahkan hakim sekalipun tidak akan memihakmu meski kau ibunya.” Tidak, tidak, tidak. Air matanya tumpah. Ketakutan akan kehilangan Noah membuatnya tidak mampu berpikir. Dira melakukan satu-satunya cara yang ia tahu. Ia berlutut di hadapan Ethan. “Apa yang kau lakukan?” bentak Ethan. “Berdiri, Dira.” Dira menggeleng, air mata mengaburkan pandangannya. “Kumohon, jangan mengambil Noah dari hidupku, dia satu-satunya alasanku hidup. Kalau kau mengambilnya….” “Rasanya sakit bukan membayangkan putramu diambil paksa darimu? Bayangkan bagaimana perasaanku selama 5 tahun kebohongan yang kau ciptakan. Kau merampas kesempatan Noah mengenal ayahnya dan merampas kesempatanku untuk mengenali putraku sendiri. Pernahkah terpikir olehmu kalau Noah pasti bertanya-tanya kenapa dia tidak memiliki ayah seperti anak lainnya? Keegoisanmu telah merampas kesempatan itu dari kami berdua.” “Aku tahu,” bisiknya lemah. Dira pernah mempertanyakan hal itu pada dirinya sendiri dan berjanji kalau suatu saat Noah akan mengetahui siapa ayahnya, tapi mungkin Ethan benar. Ia telah merampas 4 tahun kehidupan Noah mengenal sosok ayahnya. “Kau tahu kenapa aku membeli gedung ini, Dira?” Ethan menunduk sehingga wajah mereka sekarang sejajar. Matanya berkilat-kilat. “Karena aku ingin merampas kesempatan itu darimu. Hakim mana pun tidak akan pernah memenangkan kasus seorang ibu yang berbohong dan tidak mampu menghidupi putranya. Selama 4 tahun kau merampas hak itu dariku, Dira. Sekarang aku yang akan melakukan itu padamu.”Ethan meneguk minumannya banyak-banyak. Bagian dari dirinya yang selama ini ia abaikan atau bahkan tidak ia ketahui ia miliki, mengatakan kalau tindakannya benar-benar kejam dan tidak berperasaan, tapi sisi lain yang selama ini membuatnya bertahan menghadapi orang-orang yang hanya tahu bagaimana memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi dengan puas menyetujui tindakannya.Lima tahun!Selama 5 tahun wanita itu membohonginya? Ethan tidak memedulikan saat Dira menghilang. Benar, ia pernah mencari wanita itu selama beberapa waktu, tapi akhirnya ia sadar, wanita yang memutuskan untuk melarikan diri tidak berhak mendapatkan perhatiannya. Wanita itu ingin pergi, maka Ethan akan melepasakannya.Semudah itu.Sampai akhirnya ia tahu alasan dibalik kaburnya Dira. Untuk menyembunyikan putra mereka. Ahli warisnya! Kemarahan yang ia rasakan begitu besar hingga membuatnya merasa tercekik.Ethan belum pernah semarah ini seumur hidupnya. Fakta Dira mampu menyembunyikan rahasia sebesar itu hanya
“Tapi kita tidak…maksudku kita sudah bercerai, Ethan. Kita tidak mungkin tinggal bersama.”Ethan mengangkat satu alisnya. “Mungkin kau lupa kalau aku belum menandatangani surat perceraian kita yang berarti secara hukum kau masih istriku.”Dira terdiam mendengar pernyataan itu. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Sanggupkah ia mempertaruhkan hatinya sekali lagi demi putra mereka? Ini bukan solusi yang ia bayangkan akan terjadi, tapi jalan apa lagi yang tersisa untuknya? Jika ia menolak usulan Ethan sudah pasti pria itu akan berusaha memisahkannya dari Noah, tapi jika ia menerimanya… besar kemungkinan ia akan kembali terluka. Dira memejamkan matanya erat.“Kurasa kau tidak perlu mencemaskan apa pun. Kita akan tinggal di rumah yang sama tidak lebih, jadi jangan membuang tenagamu untuk memikirkan apa yang tidak akan terjadi.”Ucapan itu dikatakan dengan nada merendahkan yang nyaris membuat Dira ingin membalas. Alih-alih menunjukkan kalau kata-kata Ethan melukainya Dira mengangkat dagunya
“Mommy! Mommy! Lihat, ada pohon jeruk.” Noah berseru dengan penuh semangat sembari menunjuk-nunjuk pohon jeruk yang mereka lihat sepanjang perjalanan menuju vila.Dira mengelus rambut cokelat gelap putranya. “Kau menyukainya?”Noah mengangguk antusias. “Kita akan tinggal di sini Mommy?”Dira bisa melihat kilau di mata putranya saat menanyakan pertanyaan itu, membuat perasaannya terjun bebas. Tenggorokannya tiba-tiba tersekat. “Ya, kita akan tinggal di sini. Kau menyukai ide itu?”“Noah bisa memetik jeruk itu langsung?”“Tentu saja bisa.” Ethan mengambil alih situasi. Ia menoleh ke kursi belakang. Senyumnya melebar.“Kita bahkan bisa memeras jeruk di sana dan langsung meminumnya.”Prospek itu sepertinya berhasil membuat bocah 4 tahun itu tertarik. Jika sebelumnya Noah memperlakukan Ethan seperti orang lain yang harus diwaspadai kali ini bocah tampan itu melupakannya. Tatapan matanya yang berbinar bersibobrok dengan mata biru Ethan yang anehnya sekali ini terlihat hangat.“Tapi, bagaima
Dan Ethan benar-benar memperlakukan dirinya seperti pelayan pribadi pria itu, bukan ibu dari putra mereka atau bahkan wanita yang masih berstatus sebagai istrinya. Ia harus menyiapkan segala keperluannya, termasuk membangunkan dan menyiapkan sarapan. Dira melakukan pekerjaannya dengan baik—atau sebaik yang bisa ia lakukan—karena tidak ingin memberikan Ethan kesempatan untuk mengkritiknya. Meski begitu, Dira tidak bisa mengenyahkan perasaan bahwa ia merasa terganggu dengan perubahan situasi di antara mereka.Sikap Ethan sama sekali tidak melunak. Pria itu masih bersikap dingin padanya seakan Dira harus melakukan penebusan dosa atas kebohongan yang ia lakukan dan Dira berusaha menerimanya atau setidaknya mencoba. Ia tidak ingin menunjukkan kalau perlakuan Ethan menyakitinya. Inilah yang ia inginkan. Seperti ini Ethan tidak akan punya kendali atas dirinya.Siapa yang coba kau bohongi?Sayangnya keputusan itu menjadi bumerang untuknya. Ethan memanfaatkan setiap kesempatan saat dirinya sed
Dira tidak langsung menjawab, hanya terus berdiri, menatap Ethan yang kelihatannya tidak mungkin lebih marah lagi. Ketegangan yang memancar dari tubuhnya membuat ketakutan mengaliri pembuluh darahnya. Dira menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk yang terburuk.“Aku… menduganya. Aku belum benar-benar memeriksanya saat itu, tapi aku punya dugaan kuat kalau—“Ethan tertawa mencemooh. Tatapannya begitu dingin hingga Dira yakin seandainya tatapan bisa membunuh saat ini ia pasti mati terkapar di lantai yang dingin.“Ethan, aku…”“Hentikan, Dira. Aku tidak ingin mendengar apa pun dari mulutmu!" bentaknya keras. Ethan memejamkan mata sesaat, seolah berusaha mengumpulkan ketenangan dirinya kembali."Aku tidak pernah menyesali apa pun seumur hidupku, tapi sekarang… aku benar-benar menyesali keputusan karena pernah menikahi wanita sepertimu. Kau benar-benar picik,” ucapnya penuh benci.Setelah mengatakan kalimat yang membuat Dira terguncang hingga ia bahkan tidak sanggup bersuara, Ethan ber
Laut Mediterania membentang luas di hadapannya, membingkai pulau Corfu yang hijau dengan air jernih kebiruan yang memantulkan cahaya matahari siang. Angin berembus, menerbangkan rambutnya ke segala arah, tapi Dira sama sekali tidak berusaha untuk memperbaikinya. Hatinya gundah. Tidak, kata itu tidak tepat. Ia gelisah membayangkan perbincangan apa yang akan mereka lakukan nantinya. Ethan bilang ini tentang hak asuh anak. Kenapa mereka membutuhkan perjanjian untuk mengasuh Noah? Pemikiran itu sama sekali tidak membuatnya tenang.Ombak Mediterania berkilauan di bawah sinar matahari, menciptakan kilauan bagai permata yang menggoda untuk tenggelam dalam keindahan pulau Corfu. Di sekeliling mereka, tebing hijau Corfu berdiri megah, anggun, dan abadi, kontras dengan ketidakpastian masa depan mereka.Sekali lagi Dira menghela napas. Apa yang ia lakukan di sini? Sekarang ia mulai bertanya-tanya, apa ini hal yang benar untuk dilakukan?“Mam…”Dira mendesah sebelum berbalik. Ia sudah tahu bahkan
Ethan sedang sibuk bermain dengan Noah di tepi yacht, mengajari putranya melempar umpan kecil ke laut saat suara langkah lembut dari dek membuatnya menoleh. Begitu mata birunya menangkap sosok Dira, waktu seakan berhenti. Di hadapannya, Dira berdiri dalam balutan bikini hitam yang memeluk setiap lekuk tubuhnya dengan sempurna, hanya diselumuti kaftan transparan yang nyaris tidak menutupi apa pun.Alis hitam Ethan berkerut, rahangnya mengeras. Ini bukan Dira yang ia kenal beberapa hari terakhir—dan ia tahu, wanita itu melakukannya dengan sengaja.Sialan.Amarah bergolak dalam dadanya, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tetapi juga karena disekitar mereka ada pengawal yang bisa melihatnya dengan jelas.Dira mengangkat dagunya sedikit, seolah menantang, mengirimkan sinyal yang membuat darah Ethan mendidih. Ia tahu Dira mencoba menguji batas kesabarannya. Amarahnya tersulut, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tapi karena reaski tubuhnya atas pakaian p
“Tidak, aku mau Mommy. Mommy!” Teriakan itu membuat Ethan dan Dira berpandangan dan dalam hitungan detik keduanya sudah berpisah. Dira buru-buru mengenakan kemeja Ethan kemudian bergegas keluar untuk menemui putranya. Begitu pintu terbuka Dira melihat Noah yang sedang meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pengasuhnya. “Noah!” Anak kecil itu menoleh, tangisnya pecah saat berlari dan masuk ke dalam pelukan Dira. “Mommy di sini, Sayang. Tenanglah, oke?” ucapnya lembut, mengelus-elus pundak putranya untuk menanangkannya. Ia menatap wanita paruh baya itu dengan wajah penuh tanya. “Noah ingin bertemu denganmu, tapi karena… karena sepertinya kalian sibuk….” Pengasuh itu tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang merah padam menahan malu telah memberitahukan Dira apa maksud ucapan wanita itu. Dira mengumpat dalam hati. Ethan membuat mereka menjadi tontonan. Laki-laki itu benar-benar telah mempermalukannya dan bukan hanya itu… Ethan juga berusaha melucuti perasaanny
“Noah, Mommy minta—“ “Tidak! Noah tidak mau!” Dira memejamkan matanya, berusaha menekan kesabarannya yang semakin menipis. Ini bukan saatnya kehilangan kendali, terutama tidak di hari ini. Dira menghela napas, berusaha menekan kesabarannya. “Sini, biar Mommy kasih tahu sesuatu,” bujuknya lembut, tapi anak kecil itu tetap bergeming, menolak menuruti perintah Dira. Melihat sikap keras kepala putranya, Dira hanya bisa menghela napas sambil berjalan mendekati putranya. Lewat ekor matanya ia melihat Eri memegang pakaian Noah, tapi ia buru-buru menggeleng. Tidak sekarang, gumamnya tanpa suara. Eri mengangguk, kembali menyembunyikan setelan yang dirancang khusus untuk putranya. Dira berjongkok di dekat Noah, kedua tangannya disilangkan di atas lutut. “Apa Noah tahu kalau Daddy menyiapkan baju itu khusus untuk Noah? Kata Daddy, Noah akan terlihat tampan saat memakainya, persis seperti Daddy.” Noah melirik, tatapannya melunak dan Dira tahu ia sudah mendapatkan kuncinya. Dira duduk di l
Dira berdiri di ujung meja panjang dengan blueprint tata letak pesta di hadapannya. Sinar lampu gantung kristal memantulkan kilauan keemasan keseluruh ruangan, namun tidak mampu menghalau kegelisahan yang menggelayut di dadanya. Besok adalah hari besar—pesta untuk memperkenalkan Noah sebagai ahli waris keluarga Alexander, sebuah acara yang bukan hanya menyorot nama keluarga Alexander, tapi juga reputasi Ethan sebagai salah satu pengusaha paling berpengaruh.Dira memegang pena dengan erat, menandai sesuatu di kertasnya sambil berusaha menenangkan napas. Berbagai skenario buruk berputar di benaknya. Makanan salah saji, tamu yang mengeluh atau yang lebih parah, Noah merasa tidak nyaman di tengah perhatian semua orang.“Semua tim siap di lokasi?” tanya Dira, suaranya tegas namun sedikit bergetar.Irene, kepala tim perencana pesta, melangkah maju dengan clipboard di tangan. Wanita itu selalu tampil tenang, seolah setiap masalah adalah bagian dari rencana.“Semua sudah sesuai jadwal, Mrs. A
Di mana Noah, Eri?” tanyanya langsung begitu tiba di rumah. “Apa dia sudah tidur?” Dira melepas sepatunya dan menjinjingnya. Hari ini ia luar biasa kelelahan. Dira tidak pernah menyangka meyiapkan makanan untuk acara pesta ternyata bisa sangat merepotkan dan juga menguras tenaga.Beruntung kepala tim perencana pesta itu bisa bekerja sama dengannya. Dira memijat tengkuknya, yang ia butuhkan sekarang adalah mandi air panas dan tidur. Karena tidak kunjung mendapat jawaban, Dira akhirnya menatap wanita setengah baya itu dengan wajah menuntut.“Kenapa?” tanyanya, tiba-tiba merasa cemas. “Apa terjadi sesuatu?”Eri buru-buru menggeleng. “Tidak, Noah baik-baik saja, hanya saja…” Wanita bersanggul rapi itu terlihat kesulitan berbicara. “Noah sedang merajuk.”“Apa?”“Dia merajuk Dira. Hari ini dia membuat semua orang kelelahan.”Dira meletakkan tas dan juga sepatunya begitu saja mendengar jawaban wanita itu. “Kenapa dia merajuk?”Eri terlihat tidak nyaman. “Dia ingin bertemu denganmu, tapi kare
“Jadilah penanggung jawab makanan di pesta penyambutan Noah. Buktikan kalau kau mampu melakukannya. Anggap saja ini tantangan. Kalau kau berhasil….” Ethan mengangkat bahunya. “Mungkin aku bisa mempertimbangkan sebuah posisi untukmu.”Dira terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Ethan. Saat ia pikir Ethan sama sekali tidak melibatkannya dalam pesta penyambutan putra mereka, sekarang pria itu justru memberikan tanggung jawab padanya sebagai penanggung jawab makanan?Dia tidak melibatkanmu, dia mempekerjakanmu karena kau bersikeras ingin bekerja, itu berbeda.Dewi batinnya menatapnya dengan wajah kasihan.“Kenapa?” tanyanya. “Kenapa aku?”Ethan mengangkat gelas anggurnya, meminum isinya sedikit sebelum menjawab pertanyaan Dira.“Kau bilang ingin bekerja,” jawabnya, menatap Dira seolah Dira mendadak lupa ingatan. “Dan meski aku tidak menyukainya, aku tidak bisa memintamu untuk berhenti. Lagipula, kau pernah punya toko roti, jadi, kenapa tidak?”Dira ingin membuka mulut dan mengatakan mem
"Mommy, Noah mau es krim.” Bocah kecil itu tampak merajuk menatap ibunya. Dia menarik-narik jemari Dira untuk menarik perhatiannya. Dira menoleh, tersenyum tipis.“Bagaimana kalau kita makan es krim setelah Mommy selesai melihat-lihat?” tanyanya lembut.Noah tampak berpikir. Keningnya mengerut dan bibirnya mengerucut lucu, tapi akhirnya anak kecil itu mengangguk. “Okke dokkey, Mommy!”Dira tersenyum lebar, ia mengacak-acak rambut putranya yang langsung mendapatkan protes dari si empunya.“Rambut Noah berantakan Mommy!”Dira tertawa. “Baiklah, anak Mommy yang tampan.”Dira mengedarkan pandangan, menghela napas berat. Sudah 1 jam berlalu, tapi usahanya belum juga membuahkan hasil. Dira datang ke Shopping Center Archive yang ada di Corfu bukan tanpa alasan. Ia tidak ingin membeli apa pun. Ia sedang mencari pekerjaan. Sayangnya, dari semua tempat yang ia coba, tidak ada satu pun yang mau menerimanya.Dira mendesah putus asa. Jika terus seperti ini, tidak banyak pilihan yang tersisa. Mungk
Dira mendengus. “Apa kau benar-benar berpikir kalau aku akan menerima pemberianmu begitu saja? Seperti pengemis? Tidak, terima kasih. Aku punya gaun, aku tidak butuh gaun darimu. Dan untuk menjawab pertanyaanmu, aku tidak menyukai gaun berkilauan.” Ethan menatap Dira skeptis. “Dulu kau menyukainya.” “Itu lima tahun yang lalu, sekarang aku tidak menyukainya,” balasnya keras kepala. Ethan memejamkan mata seperti sedang mengukur kesabarannya. “Dira… pesta ini penting. Aku ingin semuanya sempurna, jadi kuharap kau tidak membuat segala sesuatunya semakin rumit. Apa yang salah dengan gaun itu?” Dira mengangkat dagunya. “Aku tidak menyukainya, titik. Aku punya gaunku sendiri dan tenang saja Mr. Ethan Alexander yang Terhormat, aku tidak akan mempermalukanmu di pestamu itu. Aku menyayangi Noah, membuatnya malu tidak ada dalam daftar keinginku, apa itu membuatmu puas?” “Kau juga menolak penata gaya yang kukirim, kenapa?” tanya Ethan tenang. Suaranya tidak meninggi, tapi justru itu yang me
situasi pengiriman ke Amerika Selatan minggu ini? Ada hambatan yang signifikan?” tanya Ethan tanpa basa-basi saat mata birunya yang tajam mengamati satu persatu anggota stafnya. Di hadapannya, terdapat layar digital yang menampilkan data kinerja perusahaan, grafik pendapatan, serta laporan cuaca terbaru yang memengaruhi jalur pelayaran. Dimitris, kepala operasional yang sudah bekerja selama 20 tahun di industri perkapalan, mengangguk dan membuka laptopnya. “Ada sedikit keterlambatan di Terusan Panama, Sir. Kapal Poseidon tertahan hampir 2 hari akibat antrian panjang yang tidak terduga. Namun, tim kami sudah berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk mempercepat proses.” Ethan mendengarkan dengan serius, jarinya mengetuk meja dengan ritme teratur yang nyaris tidak terdengar. “Pastikan tidak ada penundaan tambahan. Jika perlu, alokasikan kapal tambahan dari Yunani untuk mengejar keterlambatan. Aku tidak ingin ada keluhan masuk minggu ini.” Dimitris mengangguk patuh. “Akan segera
Ethan menatap Noah, bocah kecil berusia empat tahun yang berdiri di hadapannya. Anak itu tampak begitu polos dengan mata bulat dan rambut cokelatnya yang ikal. Ada jeda di mana Ethan hanya menatapnya, seolah sedang mencoba menyelami sosok mungil yang baru saja dikenalnya.Dira berdiri tak jauh, mengamati mereka berdua dengan dada yang terasa sesak. Ekspresi di wajah Ethan tampak begitu tenang, seperti biasanya—tetapi Dira bisa melihat kilatan emosi yang sulit di tutupi di mata biru lautnya.Ethan berjongkok, sejajar dengan Noah.“Beberapa orang tua mengatakan kau mirip sekali denganku saat aku seusiamu,” ucap Ethan parau.“Benarkah?”Ethan mengangguk, tiba-tiba merasa kesulitan bersuara. “Sangat mirip, kau mau tahu kenapa?” Jantung Dira berdebar kencang saat menunggu respon putra mereka. Telapak tangannya berkeringat. Putra mereka memang cerdas yang terkadang justru membuat Dira kerepotan. Anehnya selama ini Noah tidak pernah sekalipun mempertanyakan keberadaan ayahnya—hingga saat in
Ethan memicingkan matanya. “Aku tidak akan menunggu selamanya, Dira. Lakukan atau aku yang ambil alih dan saat itu terjadi jangan salahkan aku kalau kau tidak akan menyukai metodenya.” Ancaman tersirat dibalik kata-kata itu menyulut emosinya. “Jangan coba-coba mengancamku,” ucapnya mendidih. “Aku akan mengatakannya saat waktunya tepat.” “Lakukan sebelum kita pulang karena aku tidak akan menunggu lebih lama dari itu. Sebentar lagi akan ada pesta penyambutan untuk Noah. Aku akan mengumumkan keberadaannya. Orang-orang harus tahu dia keturunan sekaligus pewaris Alexander.” Dira mengerjap. “Maksudmu, kau akan mengumumkan pada seluruh dunia kalau Noah putra kita?” bisiknya dengan suara tercekik. “Kenapa itu membuatmu terkejut?” “Karena aku tidak berpikir ada manfaat dari melakukan hal itu,” tukasnya jengkel. Dira memijit pelipisnya. “Kalau kau melakukannya… wartawan akan mulai mencaritahu, mereka akan mengorek informasi. Bagaimana kau akan memberitahu media tentang keberadaanku selama