Dira mengusap wajahnya begitu Ethan pergi. Jantungnya masih berdentam mengerikan bahkan setelah kepergian pria itu. Ia menarik napas dalam berkali-kali untuk menenangkan syarafnya yang tegang.
Ia dan Etahn belum bercerai? Bagaimana bisa? Bukankah pengacaranya waktu itu mengatakan kalau Ethan setuju dan sudah menandatanganinya? Lalu kenapa pria itu bilang mereka masih suami istri? Selama 5 tahun bersembunyi dari pria itu nyatanya tidak membuat perasaannya terhadap ayah putranya berubah. Dira menyentuh dadanya, tepat di mana jantungnya berada. Bahkan sekarang ia masih menginginkan Ethan dan merindukan pria itu. Ia masih begitu muda ketika memutuskan untuk menikah dengan Ethan. Dulu dunianya berwarna dan penuh tawa, tapi itu sebelum ia menyadari kalau hubungannya dengan Ethan sangat rapuh dan dangkal. Ia menginginkan cinta, tapi pria itu tidak dan yang lebih buruk… Dira mengusir bayangan mengerikan itu dari benaknya. Tidak ada gunanya mengingat kembali luka yang membuatnya memilih menjauh dan menghilang. Semua sudah berlalu. Dira tidak menemukan ada kebaikan jika mengingat alasan yang membuatnya meninggalkan pria itu. Dan sekarang ada Noah. Putra mereka yang cerdas dan menggemaskan. Ia memang salah karena menyembunyikan kehadiran putra mereka, tapi Dira tidak pernah mengerti kenapa Ethan harus semarah itu? Sejak dulu Ethan tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada anak kecil. Malah ia melihat reaksi Ethan terhadap anak kecil cukup kaku dan berjarak. Dira belum pernah melihat Ethan senang dengan kehadiran anak kecil. Tapi bukan berarti itu bisa dijadikan alasan untuk menyembunyikan Noah. Dira mengusap sudut matanya. Dan sekarang ia harus bersiap menghadapi kemarahan dan kebencian pria itu. “Mommy!” Teriakan bernada protes itu menarik Dira ke dunia nyata. Ia memperbaiki ekspresi wajahnya sebelum menemui putranya yang sekarang menatap televisi dengan wajah bosan. “’Hai Sayang,” ucapnya lembut, mengecup puncak kepala putranya. “Aku akan berjaga di depan.” Gen melenggang pergi, meninggalkan Dira dengan putranya. “Terima kasih Gen, aku akan menyusul setelah menidurkannya.” Dira menunggu sampai Gen menghilang dari pandangan sebelum kembali memusatkan perhatian pada putra kecilnya, replika dari Ethan. “Sekarang waktunya tidur siang, Sayang.” “Bagaimana dengan kartunnya, Mommy?” Dira menggendong putranya dan membawanya ke kamar. “Kan tadi sudah ditemani sama Mbak Gen, sekarang waktunya istirahat.” “Apa Mommy akan membacakan Noah dongeng?” “Tentu saja.” Dira ikut berbaring di samping putranya. Ia menarik buku yang ada di samping ranjang dan mulai membacakan cerita untuk putranya. *** Tidak ada tanda-tanda kedatangan Ethan dan Dira mulai gelisah karenanya. Apa pria itu menyerah? Dira sangat meragukannya. Sebagai pebisnis Ethan orang yang ambisius dan penuh tekad dan ia ragu pria itu akan menyerah semudah itu. Lalu kenapa sampai sekarang Ethan tidak menunjukkan diri? Dira menatap jam dinding di tokonya. Masih jam 10 pagi, mungkin saja Ethan belum bangun? Tidak adanya tindakan pria itu justru membuat tingkat kegelisannya semakin memuncak. Dira membersihkan tokonya hanya kerana ia butuh melakukan sesuatu. “Dira.” Seruan itu membuatnya berbalik. “Bu Hani,” serunya, menatap wanita pemilik gedung yang ia sewa dengan keheranan. “Bagaimana tokomu? Baik-baik saja semua?” Dira mengangguk. “Sejauh ini sudah lumayan. Apa Ibu datang hanya untuk menanyakan hal itu?” tanyanya memastikan. Dira sudah membayar sewa selama 1 tahun penuh. Rasanya tidak mungkin wanita paruh baya itu datang untuk menagihnya. “Bisa kita bicara di dalam?” Meski bingung Dira mengangguk. Ia membawa induk semangnya duduk di salah satu kursi yang ia sediakan bagi para pembeli. “Apa teradi sesuatu?” tanyanya begitu keduanya duduk nyaman. Bu Hani yang biasanya selalu ramah dan berkepribadian menyenangkan itu tampak gelisah dan tidak nyaman. Lipatan di kening Dira melebar melihatnya. Ada yang salah, pikirnya. “Kurasa kalian harus pindah dari sini.” Dira mengerjap, yakin pendengarannya bermasalah. “Apa Bu?” tanyanya memastikan. Bu Hani mendongak, kali ini memberanikan diri menatap wajah Dira. “Seseorang sudah membeli gedung ini, Dira dan dia ingin penghuni lama yang berarti kalian angkat kaki dari tempat ini secepatnya. Paling lambat besok.” Dira berdiri, syok mendengarnya. “Saya sudah membayar biaya sewa ini selama setahun,” pekiknya terkejut. “Dan ini belum setahun,” tambahnya. “Aku tahu, itu sebabnya aku akan mengembalikan semua uangmu, Dira. Semuanya.” “Kenapa tiba-tiba?” tanyanya bingung. Membayangkan mereka harus pergi dari tempat ini sudah cukup membuatnya panik dan sekarang bukan hanya pergi Dira juga harus segera menemukan tempat jika tidak ingin hidup menggelendang. Dira memijit pelipisnya, mencoba menenangkan diri meski rasanya mustahil. Ia dan putranya menyukai tempat ini, pikirnya sedih. Di sini nyaman dan sepi, suasana yang benar-benar ia butuhkan. “Ada seorang pembeli yang tertarik dengan gedung ini, dia membelinya dengan sangat mahal dan aku langsung menyetujuinya. Bagaimana pun aku membutuhkan uang itu. Kau tahu sendiri, anakku sebentar lagi akan masuk perguruan tinggi. Kami butuh uang untuk biaya sekolah dan lainnya.” Dira tidak benar-benar mendengarkannya. Membayangkan harus angkat kaki sudah cukup membuatnya kalang kabut. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Sebua ide tiba-tiba terbesit di benaknya. Dira menatap induk semangnya lekat. “Siapa yang membeli gedung ini?” tanyanya. Mungkin ia bisa minta tolong pada pemilik baru yang sekarang agar memberi mereka sedikit waktu sampai ia menemukan tempat yang cocok. “Dia…” Suara mobil yang meraung membuat keduanya menoleh. Dira bahkan tidak perlu mengangkat kepala untuk mencari tahu siapa pemilik mobil tersebut. Hanya satu orang yang memiliki mobil mahal di tempat kumuh ini. Dira menahan napas saat melihat Ethan keluar mobil dengan penuh gaya. Kekuasaan dan keangkuhan memancar dari tubuhnya seperti lampu jalan. Ethan adalah satu dari sedikit pria yang bisa membuat seseorang merasa terintimidasi hanya dengan menatapnya. Jantungnya yang malang bahkan tidak bisa menyelamatkannya. Tapi kata-kata berikutnya yang ia dengar membuat kemarahannya tersulut. “Pria itu yang membeli gadung ini Dira. Namanya Ethan.” Tidak mungkin!Dira berusaha menahan lontaran kasar yang sudah ada di ujung lidahnya. Kemarahan yang ia rasakan rasanya cukup untuk membuatnya kehilangan kendali. Dira menarik napas panjang dan dalam.Jadi inilah balas dendam yang ingin di lakukan olehnya, pikir Dira getir. Kenapa hal itu bahkan tidak mengejutkannya? Dira mengikuti setiap langkah Ethan lewat tatapan matanya. Laki-laki itu tampil bak penguasa. Begitu angkuh dan penuh percaya diri.Bu Hani berdiri, menyambut kedatangan Ethan bagai menyambut rombongan presiden. Dira mendengus. Ethan memang bisa membuat orang-orang mau melakukan apa yang dia ingin orang lain lakukan.Bukankah itu juga yang terjadi padamu?“Selamat datang Pak Ethan, apa Anda datang untuk melihat gedung ini? saya sudah memberitahu—“Ethan mengangkat satu tangannya. “Jika diizinkan saya ingin bicara dengan penghuni lama gedung ini,” ucap Ethan dingin. Pria itu masih marah padanya. Itu jelas.Bu Hani mengerjap, tampak tersinggung karena ucapannya di potong, tapi dia berhasi
Ethan meneguk minumannya banyak-banyak. Bagian dari dirinya yang selama ini ia abaikan atau bahkan tidak ia ketahui ia miliki, mengatakan kalau tindakannya benar-benar kejam dan tidak berperasaan, tapi sisi lain yang selama ini membuatnya bertahan menghadapi orang-orang yang hanya tahu bagaimana memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi dengan puas menyetujui tindakannya.Lima tahun!Selama 5 tahun wanita itu membohonginya? Ethan tidak memedulikan saat Dira menghilang. Benar, ia pernah mencari wanita itu selama beberapa waktu, tapi akhirnya ia sadar, wanita yang memutuskan untuk melarikan diri tidak berhak mendapatkan perhatiannya. Wanita itu ingin pergi, maka Ethan akan melepasakannya.Semudah itu.Sampai akhirnya ia tahu alasan dibalik kaburnya Dira. Untuk menyembunyikan putra mereka. Ahli warisnya! Kemarahan yang ia rasakan begitu besar hingga membuatnya merasa tercekik.Ethan belum pernah semarah ini seumur hidupnya. Fakta Dira mampu menyembunyikan rahasia sebesar itu hanya
“Tapi kita tidak…maksudku kita sudah bercerai, Ethan. Kita tidak mungkin tinggal bersama.”Ethan mengangkat satu alisnya. “Mungkin kau lupa kalau aku belum menandatangani surat perceraian kita yang berarti secara hukum kau masih istriku.”Dira terdiam mendengar pernyataan itu. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Sanggupkah ia mempertaruhkan hatinya sekali lagi demi putra mereka? Ini bukan solusi yang ia bayangkan akan terjadi, tapi jalan apa lagi yang tersisa untuknya? Jika ia menolak usulan Ethan sudah pasti pria itu akan berusaha memisahkannya dari Noah, tapi jika ia menerimanya… besar kemungkinan ia akan kembali terluka. Dira memejamkan matanya erat.“Kurasa kau tidak perlu mencemaskan apa pun. Kita akan tinggal di rumah yang sama tidak lebih, jadi jangan membuang tenagamu untuk memikirkan apa yang tidak akan terjadi.”Ucapan itu dikatakan dengan nada merendahkan yang nyaris membuat Dira ingin membalas. Alih-alih menunjukkan kalau kata-kata Ethan melukainya Dira mengangkat dagunya
“Mommy! Mommy! Lihat, ada pohon jeruk.” Noah berseru dengan penuh semangat sembari menunjuk-nunjuk pohon jeruk yang mereka lihat sepanjang perjalanan menuju vila.Dira mengelus rambut cokelat gelap putranya. “Kau menyukainya?”Noah mengangguk antusias. “Kita akan tinggal di sini Mommy?”Dira bisa melihat kilau di mata putranya saat menanyakan pertanyaan itu, membuat perasaannya terjun bebas. Tenggorokannya tiba-tiba tersekat. “Ya, kita akan tinggal di sini. Kau menyukai ide itu?”“Noah bisa memetik jeruk itu langsung?”“Tentu saja bisa.” Ethan mengambil alih situasi. Ia menoleh ke kursi belakang. Senyumnya melebar.“Kita bahkan bisa memeras jeruk di sana dan langsung meminumnya.”Prospek itu sepertinya berhasil membuat bocah 4 tahun itu tertarik. Jika sebelumnya Noah memperlakukan Ethan seperti orang lain yang harus diwaspadai kali ini bocah tampan itu melupakannya. Tatapan matanya yang berbinar bersibobrok dengan mata biru Ethan yang anehnya sekali ini terlihat hangat.“Tapi, bagaima
Dan Ethan benar-benar memperlakukan dirinya seperti pelayan pribadi pria itu, bukan ibu dari putra mereka atau bahkan wanita yang masih berstatus sebagai istrinya. Ia harus menyiapkan segala keperluannya, termasuk membangunkan dan menyiapkan sarapan. Dira melakukan pekerjaannya dengan baik—atau sebaik yang bisa ia lakukan—karena tidak ingin memberikan Ethan kesempatan untuk mengkritiknya. Meski begitu, Dira tidak bisa mengenyahkan perasaan bahwa ia merasa terganggu dengan perubahan situasi di antara mereka.Sikap Ethan sama sekali tidak melunak. Pria itu masih bersikap dingin padanya seakan Dira harus melakukan penebusan dosa atas kebohongan yang ia lakukan dan Dira berusaha menerimanya atau setidaknya mencoba. Ia tidak ingin menunjukkan kalau perlakuan Ethan menyakitinya. Inilah yang ia inginkan. Seperti ini Ethan tidak akan punya kendali atas dirinya.Siapa yang coba kau bohongi?Sayangnya keputusan itu menjadi bumerang untuknya. Ethan memanfaatkan setiap kesempatan saat dirinya sed
Dira tidak langsung menjawab, hanya terus berdiri, menatap Ethan yang kelihatannya tidak mungkin lebih marah lagi. Ketegangan yang memancar dari tubuhnya membuat ketakutan mengaliri pembuluh darahnya. Dira menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk yang terburuk.“Aku… menduganya. Aku belum benar-benar memeriksanya saat itu, tapi aku punya dugaan kuat kalau—“Ethan tertawa mencemooh. Tatapannya begitu dingin hingga Dira yakin seandainya tatapan bisa membunuh saat ini ia pasti mati terkapar di lantai yang dingin.“Ethan, aku…”“Hentikan, Dira. Aku tidak ingin mendengar apa pun dari mulutmu!" bentaknya keras. Ethan memejamkan mata sesaat, seolah berusaha mengumpulkan ketenangan dirinya kembali."Aku tidak pernah menyesali apa pun seumur hidupku, tapi sekarang… aku benar-benar menyesali keputusan karena pernah menikahi wanita sepertimu. Kau benar-benar picik,” ucapnya penuh benci.Setelah mengatakan kalimat yang membuat Dira terguncang hingga ia bahkan tidak sanggup bersuara, Ethan ber
Laut Mediterania membentang luas di hadapannya, membingkai pulau Corfu yang hijau dengan air jernih kebiruan yang memantulkan cahaya matahari siang. Angin berembus, menerbangkan rambutnya ke segala arah, tapi Dira sama sekali tidak berusaha untuk memperbaikinya. Hatinya gundah. Tidak, kata itu tidak tepat. Ia gelisah membayangkan perbincangan apa yang akan mereka lakukan nantinya. Ethan bilang ini tentang hak asuh anak. Kenapa mereka membutuhkan perjanjian untuk mengasuh Noah? Pemikiran itu sama sekali tidak membuatnya tenang.Ombak Mediterania berkilauan di bawah sinar matahari, menciptakan kilauan bagai permata yang menggoda untuk tenggelam dalam keindahan pulau Corfu. Di sekeliling mereka, tebing hijau Corfu berdiri megah, anggun, dan abadi, kontras dengan ketidakpastian masa depan mereka.Sekali lagi Dira menghela napas. Apa yang ia lakukan di sini? Sekarang ia mulai bertanya-tanya, apa ini hal yang benar untuk dilakukan?“Mam…”Dira mendesah sebelum berbalik. Ia sudah tahu bahkan
Ethan sedang sibuk bermain dengan Noah di tepi yacht, mengajari putranya melempar umpan kecil ke laut saat suara langkah lembut dari dek membuatnya menoleh. Begitu mata birunya menangkap sosok Dira, waktu seakan berhenti. Di hadapannya, Dira berdiri dalam balutan bikini hitam yang memeluk setiap lekuk tubuhnya dengan sempurna, hanya diselumuti kaftan transparan yang nyaris tidak menutupi apa pun.Alis hitam Ethan berkerut, rahangnya mengeras. Ini bukan Dira yang ia kenal beberapa hari terakhir—dan ia tahu, wanita itu melakukannya dengan sengaja.Sialan.Amarah bergolak dalam dadanya, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tetapi juga karena disekitar mereka ada pengawal yang bisa melihatnya dengan jelas.Dira mengangkat dagunya sedikit, seolah menantang, mengirimkan sinyal yang membuat darah Ethan mendidih. Ia tahu Dira mencoba menguji batas kesabarannya. Amarahnya tersulut, bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakan Dira, tapi karena reaski tubuhnya atas pakaian p
“Jangan mengulangi itu lagi, Dira, kau hampir membuatku terkena serangan jantung.”“Maaf,” ucapnya mencoba terdengar menyesal, tapi Ethan tahu ia sama sekali tidak menyesal melakukannya. Ia meringis saat merasakan kakinya berdenyut menyakitkan. Sial, ternyata rasanya benar-benar sakit. Saat pandangannya bersibobrok dengan Ethan, pria itu sedang menatapnya dengan kedua alis terangkat. Tatapannya seolah mengatakan “Kau seharusnya tahu kalau ini akan terjadi.”“Aku melihatnya tergelincir, Ethan. Aku tidak mungkin hanya melihat dan menontonnya. Dia hanya anak kecil,” ujarnya mencoba membela diri.“Lain kali, sebelum mencoba menolong orang lain, pastikan orang yang kau tolong benar-benar membutuhkan bantuanmu. Dari yang kulihat anak itu hanya bermain-main dan ingin mengerjai orang tuanya.”Wajah Dira memerah karena malu. Itu benar. Anak yang ia tolong karena ia pikir tergelincir ternyata hanya berpura-pura terjatuh untuk menarik perhatian orang tuanya. Sekarang rasa sakit di pergelangan ka
Ethan meletakkan tangan di lutut Dira. “Ada banyak hal yang terjadi itu benar. Ada banyak kenangan yang dilupakan itu juga benar, Angel, tapi bukan berarti kau menyedihkan seperti yang kau pikirkan.” “Apa aku melupakan sesuatu yang penting? Apa kita…” ujar Dira seolah tidak mendengarkan ucapan Ethan. Dira menelan ludah. “Kita tidak… maksudku… apa selama lima tahun kita…” Dira mengedarkan pandangan seperti orang yang sedang mencari petunjuk. Ethan tahu apa yang sedang dicari istrinya, tapi ia menolak mengatakannya. Nanti, jika waktunya tepat Dira sendiri yang akan menemukan jawabannya. “Jawaban dari pertanyaan itu ada di sini,” dengan lembut Ethan menyentuh dada Dira, tepat di mana jantungnya berdetak. “Dan di sini.” lanjut Ethan saat menyentuh kepala Dira. “Suatu hari nanti kau akan mengingatnya, tapi tidak perlu memasakan diri, Angel. Kita akan melakukannya dengan pelan-pelan.” “Banyak hal yang bisa terjadi selama lima tahun Ethan.” “Aku tahu.” “Dan menyadari kalau aku tidak
Pertanyaan itu seharusnya tidak mengejutkan karena bagaimana pun Ethan sudah mengantisipasinya. Suatu saat Dira pasti akan menyadarinya. Ia tidak bisa menyembunyikan hal itu selamanya. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Banyak perubahan yang bisa terjadi dalam waktu itu. Meski begitu, tetap saja Ethan tidak menyangka Dira akan menyadarinya secepat ini. “Kapan kau menyadarinya?” Dira mengubah posisinya. Ia duduk menyamping agar bisa melihat Ethan sepenuhnya. “Dalam perjalanan kemari. Ada banyak hal yang telah berubah begitu aku sadar. Selain itu… aku melihat kalender.” Ethan mengumpat dalam hati. Tentu saja Dira akan melakukannya. “Mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi?” dira menatap Ethan dengan alis terangkat. Ethan berdeham sebelum menjawab, seolah ia sedang memilah kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. “Ada insiden yang membuatmu kehilangan sebagian ingatanmu. Dokter menyebutnya amnesia disosiatif.” “Insiden? Semacam kecelakaan?” Dira menarik ponsel dari meja.
“Terima kasih!” Ethan mengedikkan bahunya. “Bukan masalah. Sekarang berikan laptopnya karena aku harus bekerja.” Dira menyipitkan matanya. “Bukan untuk memesan tiket?” Ethan tertawa. “Tentu saja aku juga akan memesan tiket. Kita hanya 2 hari di sini. Bagaimana pun, lebih cepat memesan tiket lebih baik untuk kita. Lagipula, Riko harus diberi pekerjaan.” “Riko? Siapa Riko?” Ethan mengutuk dirinya sendiri setelah Dira bertanya. “Sekretarisku,” balasnya pendek. Dira mengangkat bahunya, menyerahkan laptop milik Ethan. “Silakan bekerja Tuan, sementara kau berkutat dengan benda menyedihkan itu, aku akan melihat apa yang bisa dimasak. Kau mau apa? Meski tidak terlalu ahli, beberapa masakanku patut diacungi jempol.” Tatapan mata Ethan melembut. “Buatlah kejutan untukku.” *** Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Ethan berjalan ke dapur, langkahnya nyaris tenggelam oleh alunan lembut lagu Perfect dari Ed Sheeran yang mengalun dari speaker kecil di sudut ruangan. Suara lembut mengi
“Ethan, kita baru saja sampai di tempat ini. Kita tidak bisa pergi begitu saja,” ujar Dira begitu mereka masuk ke dalam rumah. “Sebenarnya bisa. Kita hanya perlu naik kapal feri, pergi ke stasiun Hallstatt Bahnhof lalu ke stasiun Attanang yang akan membawa kita ke Wina setelah itu—“ “Aku tidak mau dengar!” potong Dira sambil menutup telinga dengan kedua tangannya. Matanya melebar karena kesal. “Sebenarnya apa yang salah? Sebelumnya kita baik-baik saja di tempat ini, lalu tiba-tiba kau ingin pergi dari sini. Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada menyelidik. Keinginan untuk pergi secepatnya dari tempat ini terasa menggelikan. Dorongan apa yang mendasari keinginan itu? Dira berusaha mencari alasannya dan satu-satunya kesimpulan yang bisa ia dapatkan adalah… “Apa ini karena anak-anak itu?” tebaknya. Ethan berubah setelah bertemu anak-anak tadi, tapi tidak mungkin itu alasannya 'kan? Ethan memunggunginya. Suaminya yang tampan dan misterius kini sedang berkutat dengan laptopnya.
“Leo, pastikan dia tidak pernah hilang dari pandanganmu. Sekali aku menemukannya, aku tidak akan melepaskannya dan saat itu terjadi, kau tahu apa yang akan kulakukan. Aku tidak akan meminta izinmu untuk itu.” Ethan memastikan poselnya tepat saat suara Dira terdengar. “Aku mau keluar.” Ethan menatap keluar lewat jendela besar rumah mereka. Ketidaksetujuan terang-terangn terlihat di wajahnya yang tampan dan mulai ditumbuhi rambut halus. “Suhu di luaran saat ini -4°C, Dira. Kau akan membuat dirimu sendiri kedinginan.” Dira mengikuti arah pandang Ethan. “Ini bukan musim dingin pertamaku, Ethan. Aku bisa menghadapinya. Ingat, aku pernah mengalami yang lebih buruk dari ini.” “Kau baru keluar dari rumah sakit, Dira. Aku tidak mau kau sakit dan jangan coba-coba me—“ Ethan belum menyelesaikan kata-katanya saat Dira berlari keluar dengan tawanya yang renyah. Ia melemparkan tatapan penuh arti pada Ethan sebelum menarik pintu dan menutupnya. Ethan mendesah panjang, memilih untuk menyerah.
Pagi pertama di Hallstatt terasa begitu tenang. Udara dingin menusuk kulit, namun keindahan tempat itu seolah menghangatkan hati Dira. Senyum simpul bermain di wajahnya mana kala sepasang visual tajamnya menatap lurus ke depan. Ia berdiri di balkon rumah mereka, memandangi pemandangan menakjubkan di depannya. Danau yang tenang memantulkan bayangan pegunungan berselimut salju, sementara rumah-rumah bergaya tradisional Austria berdiri anggun di sekelilingnya. Perjalanan selama 7 jam lebih terbayarkan dengan keindahan yang menyambut mereka. Rumah mereka terbuat dari kayu dengan jendela besar yang menghadap langsung ke danau. Dira menyentuh bingkai jendela, merasakan tekstur kayu tua yang kokoh. Ada sesuatu yang menenangkan dari tempat ini—seolah membawa kehangatan meski berada di tengah dinginnya musim salju. “Indah sekali,” gumamnya tanpa sadar. Keindahan tempat ini tak terbantahkan, tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa janggal. Mengapa mereka tiba-tiba pindah ke sini? Ethan pri
Seolah mendengar pertanyaannya, tiba-tiba tubuh Dira bergerak pelan. Kelopak matanya bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan. Ethan segera bangkit dari kursinya, mendekat dengan hati-hati. “Dira…” panggil Ethan lembut, menahan napasnya sejenak, menatap Dira penuh harap. Dira menoleh perlahan ke arah suara itu, wajahnya terlihat bingung dan lemah. Dia mengerjap beberapa kali, berusaha memahami di mana dia berada. Pandangannya menyapu ruangan putih itu, hingga akhirnya bertemu dengan wajah Ethan yang menatapnya dengan wajah campuran rasa lega dan kecemasan. “Ethan…” bisik Dira pelan, suaranya serak. Ethan yang tidak bisa menahan kelegaan yang menyelubunginya menunduk untuk mencium kening istrinya. Setelahnya ia mendaratkan kecupan singkat di bibir tipis Dira yang dingin. “Aku mencemaskanmu,” bisiknya parau. Dira menoleh, terlihat bingung, seolah pernyataan Ethan terlalu sulit untuk dicerna. Tautan alisnya menyatu. “Kenapa aku di rumah sakit? Bagaimana dengan pesta pernikahan
Ethan berdiri di luar ruang rumah sakit tempat Dira dirawat. Suasana di sekitar rumah sakit terasa begitu sepi, begitu pekat dengan aroma kesedihan. Ethan berkali-kali mengusap belakang kepalanya, merasa lemah sekaligus frustrasi. Perasaan kosong dalam dirinya begitu menguasai. Duka karena kehilangan putranya menggegogoti jiwanya. Ia sungguh berharap semua tragedi ini hanya mimpi buruk, tapi aroma obat-obatan dan tubuh Dira yang masih terbaring di rumah sakit dengan keras menamparnya, menariknya pada realita yang sama sekali tidak siap ia hadapi. Di hadapannya, dua polisi berdiri tegak, wajah mereka tampak serius saat memeriksa dokumen dan mencatat keterangan dari Ethan. Polisi pertama, seorang pria paruh baya, bertanya dengan lembut, berusaha tidak menambah beban berat yang harus ditanggung Ethan. “Saudara Ethan, kami telah menemukan bukti yang cukup kuat mengenai keterlibatan Brianna dan Eri dalam kejadian ini. Mereka akan segera ditangkap. Segera, kami akan menetapkan mereka dala