"kok bisa Bu?" tanya Zahra dengan wajah terkejut. "yang namanya ikatan batin ibu dan anak pasti ada Ra," ucap Ahmad. Zahra kembali memeluk ibunya, Naima terus menatap ke arah Zahra. "kalau Mamah masih ada, Mungkin aku akan mendapatkan pelukan sehangat itu," gumam Naima dalam hati."Zahra tidak percaya, kata Mas Nazar benar-benar mencintai Zahra Bu. Mas Nazar sampai rela mengorbankan dirinya demi menyelamatkan Zahra," ucap Zahra lagi.Hanum dan Ahmad terenyuh hatinya, ternyata cinta Nazar begitu besar terhadap anaknya. "bolehkah ibu bertanya nak?" tanya Hanum.terlihat Zahra menganggukan kepalanya. "siapakah suami kamu sebenarnya? Apakah memang Nazar itu seorang pemulung?" tanya Hanum sambil menatap ke arah Zahra. "biar Naima yang menjelaskan," jawab Zahra.Naima langsung tersenyum ke arah orang tuanya Zahra, lalu Naima berbicara. "Maafkan kalau selama ini Mas Nazar menyembunyikan identitas sebenarnya. sebenarnya Mas Nazar sedang menyelidiki Siapa yang telah membunuh orang tua k
"Zia!" Dilan terus berteriak memanggil istrinya, tapi tidak sedikitpun Zia menghiraukan teriakan Dilan. "lihat bagaimana tingkah istri kamu itu! kamu sudah dibutakan sama cinta! sampai lupa sama kedua orang tuamu!" sentak ibu Dilan."kamu jangan sampai lupa kebaikan jasa orang tua! ingat kamu itu dilahirkan dan dibesarkan sama siapa!" tambah Ayah Dilan. Dilan cuma bisa diam, lalu berjalan menuju kamar untuk mengambil dompetnya."uang buat siapa Mas?" katanya Zia dengan tatapan tajam.Dilan tidak menjawab sedikitpun. "Mas!" bentak Zia."kedua orang tuaku membutuhkan! kamu diam Zia!" balas Dilan sengit.sontak Zia langsung melebarkan matanya. "kamu berani membentak ku! cuma gara-gara orang tuamu!""Zia! Dia itu orang tuaku! aku berkewajiban menolong mereka! kamu diam!" suara Dilan menggelegar di kamar ini. Dilan buru-buru keluar dari kamar, wajahnya terlihat emosi."ini uang yang Ibu perlukan, Maaf baru segini," ucap Dilan sambil mengulurkan uang. uang itu langsung disambar sama i
"Mas," mulut Zahra terus saja memanggil Nazar yang masih terbaring, di ruang ICU. Zahra hanya bisa menatapnya dari luar jendela kaca. perasaan Zahra bercampur aduk, hatinya terus berdoa, agar Nazar cepat sadar dari komanya. "Mas, bangunlah. Apakah mas tidak sayang sama aku lagi? Apakah mas tidak ingat saat masa-masa indah yang kita lewati bersama, walaupun lewat perkenalan yang singkat. Mas, bangunlah, hanya engkau milik aku satu-satunya saat ini. Apakah mas tidak mau bersama dengan aku lagi? kita bangun keluarga bahagia Mas, kita punya anak, seperti keluarga yang lainnya," celoteh Zahra dalam hati. matanya terus menatap ke arah Nazar.mata Zahra sampai terlihat bengkak, karena air matanya terus saja menetes. kedua orang tua Zahra masih duduk di sofa, mereka terus berdoa untuk kesembuhan menantunya. "nyonya, makanlah dulu. jaga kesehatan nyonya," ucap mbok Minah yang baru datang. Zahra menoleh ke arah Mbok Minah. sebenarnya Zahra malas untuk melakukan aktivitas, walaupun cuma seke
"nyonya, silakan masuk dulu," salah seorang suster langsung menyuruh Zahra untuk. Tapi sebelumnya Zahra memakai baju khusus untuk masuk ke ruangan suaminya. "Tuan Nazar terlihat menggerakkan jari tangannya, tolong nyonya, Anda di sini dulu. Siapa tahu kehadiran Anda bisa membuat Tuan Nazar cepat tersadar dari komanya," ucap dokter itu dengan suara pelan. hati Zahra sedikit bahagia mendengar keterangan dari dokter, setidaknya Nazar mulai ada kemajuan. "silakan Nyonya, bila mau berbicara sebentar. coba ajak interaksi sedikit, Siapa tahu Tuan Nazar merespon, karena biasanya orang-orang terdekat yang bisa memberikan semangat," ucap dokter itu. Zahra menyeka buliran bening yang mengalir di pipinya. Zahra langsung memegang dengan penuh kelembutan, telapak tangan suaminya. tangan Nazar tidak terpasang selang infus, langsung ditempelkan ke pipi Zahra. "mas, bangun sayang. masih ingatkah dengan aku istrimu Mas, kita melewati hari-hari yang begitu indah. Apakah Mas mau melupakan
di saat Ahmad mendapatkan kabar bahagia, Nazar menantunya sudah sadar dari komanya. tiba-tiba mendengar kabar dari rumah, kalau anak bungsunya mengambil sesuatu dari kamar pribadi mereka. "ada apa lagi dengan si Zia, Bu" tanya Ahmad dengan kesal. "ibu juga tidak tahu pak. aduh anak ini benar-benar membuat kesal," jawab Hanum dengan wajah jengkel. mereka saat ini sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah, setelah berpamitan sama Zahra dan Nazar. tiba di rumah, Hanum dan Ahmad buru-buru keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. "maafkan saya pak, Bu," ucap bibik dengan wajah panik, mungkin bibi takut disalahkan. "tidak apa-apa bi, saya masuk ke kamar dulu ya," jawab Ahmad. Hanum yang masuk duluan ke kamar tidur, langsung membuka lemari bajunya. "ayah!!!," teriak Hanum, saat melihat kotak perhiasan, yang berisi uang, hilang satu gepok. Hanum menyimpan tiga gepok uang yang berwarna merah. Ahmad datang tergopoh-gopoh, dan langsung masuk ke dalam kamar tidur. "
Fatih langsung diserahkan ke pihak kepolisian sama anak buah Nazar. dengan menyerahkan bukti-bukti yang mereka miliki saat ini. salah seorang anggota kepolisian juga, sengaja menyamar untuk menangkap komplotan Fatih. "aku tidak bersalah!" teriak Fatih. rupanya Fatih belum menerima kenyataan, kalau dirinya sudah tertangkap. "tenang saudara Fatih, kalau Anda memang tidak bersalah. coba tenangkan diri Anda, kecuali kalau Anda memang bersalah dan tidak mau menerima kesalahan yang anda perbuat," kata polisi dengan tenang. Fatih langsung diam, hatinya mengakui kalau dirinya memang bersalah. tapi Fatih setidaknya ingin terbebas dari hukuman, dan penjara yang siap menampung dirinya. Fatih sekarang berada di balik jeruji besi, menyesal pun tiada guna. kasus pembunuhan dan penculikan terhadap keluarga Nazar, yang dia perbuat. "keluarkan Aku dari sini! aku akan sewa pengacara termahal! hingga aku akan terbebas!" teriak Fatih sambil memukul jeruji besi. di dalam penjara itu a
"Eh Naima," Zahra langsung lihat ke arah adik iparnya yang baru datang. Naima langsung berpelukan dengan Zahra, walaupun mereka baru saling mengenal. tapi Naima begitu cocok dengan Zahra. "bagaimana keadaan Mas Nazar?" tanya Zahra sambil meraih tangan Nazar, lalu diciumnya dengan takjim. "Alhamdulillah kondisi Mas Nazar semakin hari semakin membaik," Zahra yang menjawab. "syukurlah Mbak, aku senang sekali mendengarnya. jujur saja, Aku ingin cepat-cepat menggendong keponakan," ucap Naima polos. mata Nazar langsung melotot ke arah adiknya. "lah, jangan melotot seperti itu, kan.....kan...." seloroh Naima. "yang namanya orang sudah menikah, pasti punya anak dong. biar rumah nanti terasa ramai," lanjut Naima lagi. "kamu ngomong apaan sih dek?" tanya Zahra sambil berjalan ke arah sofa. "ya ngomongin ponakan dong," jawab Naima sambil melihat ke arah Zahra. "entar kalau Mas sudah sembuh, Mas kerja keras lagi untuk bikin keponakan. biar kamu nanti ada yang ngerecokin," uc
"Tuh lihat istri mu Dilan. dia itu pamer inilah itulah. dia tidak tahu hutang kamu. aku merasa gimana ya sama istri kamu," ucap Adi. Dilan memandang foto istrinya lalu menscroll satu persatu. Zia wajahnya tampak happy banget tidak menunjukkan bahwa mereka sedang ada masalah besar. "sebagai seorang suami, kamu harus bersikap tegas terhadap istri sendiri. bisa-bisa kamu diinjak-injak sama si Zia. Dia memang anak orang kaya, Tapi Tidak sepantasnya bersikap demikian. Iya enak-enakan healing bersama teman-temannya, sedangkan kamu banting tulang mencari uang demi membayar hutang-hutangmu," panjang lebar Adi berbicara sama Dilan. Dilan cuma bisa menghela nafasnya, dadanya terasa sesak, memang benar apa yang dikatakan Adi. Zia tidak mau terlibat masalah hutang yang sedang dihadapinya. "Maaf bukannya aku ingin terlibat masalah pribadi rumah tangga kamu. cuma aku kasihan, gaji kamu sebanyak itu sia-sia. tapi aku berdoa, semoga saja kamu bisa menyelesaikan masalah hutang-hutang kamu secepat