di saat Ahmad mendapatkan kabar bahagia, Nazar menantunya sudah sadar dari komanya. tiba-tiba mendengar kabar dari rumah, kalau anak bungsunya mengambil sesuatu dari kamar pribadi mereka. "ada apa lagi dengan si Zia, Bu" tanya Ahmad dengan kesal. "ibu juga tidak tahu pak. aduh anak ini benar-benar membuat kesal," jawab Hanum dengan wajah jengkel. mereka saat ini sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah, setelah berpamitan sama Zahra dan Nazar. tiba di rumah, Hanum dan Ahmad buru-buru keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. "maafkan saya pak, Bu," ucap bibik dengan wajah panik, mungkin bibi takut disalahkan. "tidak apa-apa bi, saya masuk ke kamar dulu ya," jawab Ahmad. Hanum yang masuk duluan ke kamar tidur, langsung membuka lemari bajunya. "ayah!!!," teriak Hanum, saat melihat kotak perhiasan, yang berisi uang, hilang satu gepok. Hanum menyimpan tiga gepok uang yang berwarna merah. Ahmad datang tergopoh-gopoh, dan langsung masuk ke dalam kamar tidur. "
Fatih langsung diserahkan ke pihak kepolisian sama anak buah Nazar. dengan menyerahkan bukti-bukti yang mereka miliki saat ini. salah seorang anggota kepolisian juga, sengaja menyamar untuk menangkap komplotan Fatih. "aku tidak bersalah!" teriak Fatih. rupanya Fatih belum menerima kenyataan, kalau dirinya sudah tertangkap. "tenang saudara Fatih, kalau Anda memang tidak bersalah. coba tenangkan diri Anda, kecuali kalau Anda memang bersalah dan tidak mau menerima kesalahan yang anda perbuat," kata polisi dengan tenang. Fatih langsung diam, hatinya mengakui kalau dirinya memang bersalah. tapi Fatih setidaknya ingin terbebas dari hukuman, dan penjara yang siap menampung dirinya. Fatih sekarang berada di balik jeruji besi, menyesal pun tiada guna. kasus pembunuhan dan penculikan terhadap keluarga Nazar, yang dia perbuat. "keluarkan Aku dari sini! aku akan sewa pengacara termahal! hingga aku akan terbebas!" teriak Fatih sambil memukul jeruji besi. di dalam penjara itu a
"Eh Naima," Zahra langsung lihat ke arah adik iparnya yang baru datang. Naima langsung berpelukan dengan Zahra, walaupun mereka baru saling mengenal. tapi Naima begitu cocok dengan Zahra. "bagaimana keadaan Mas Nazar?" tanya Zahra sambil meraih tangan Nazar, lalu diciumnya dengan takjim. "Alhamdulillah kondisi Mas Nazar semakin hari semakin membaik," Zahra yang menjawab. "syukurlah Mbak, aku senang sekali mendengarnya. jujur saja, Aku ingin cepat-cepat menggendong keponakan," ucap Naima polos. mata Nazar langsung melotot ke arah adiknya. "lah, jangan melotot seperti itu, kan.....kan...." seloroh Naima. "yang namanya orang sudah menikah, pasti punya anak dong. biar rumah nanti terasa ramai," lanjut Naima lagi. "kamu ngomong apaan sih dek?" tanya Zahra sambil berjalan ke arah sofa. "ya ngomongin ponakan dong," jawab Naima sambil melihat ke arah Zahra. "entar kalau Mas sudah sembuh, Mas kerja keras lagi untuk bikin keponakan. biar kamu nanti ada yang ngerecokin," uc
"Tuh lihat istri mu Dilan. dia itu pamer inilah itulah. dia tidak tahu hutang kamu. aku merasa gimana ya sama istri kamu," ucap Adi. Dilan memandang foto istrinya lalu menscroll satu persatu. Zia wajahnya tampak happy banget tidak menunjukkan bahwa mereka sedang ada masalah besar. "sebagai seorang suami, kamu harus bersikap tegas terhadap istri sendiri. bisa-bisa kamu diinjak-injak sama si Zia. Dia memang anak orang kaya, Tapi Tidak sepantasnya bersikap demikian. Iya enak-enakan healing bersama teman-temannya, sedangkan kamu banting tulang mencari uang demi membayar hutang-hutangmu," panjang lebar Adi berbicara sama Dilan. Dilan cuma bisa menghela nafasnya, dadanya terasa sesak, memang benar apa yang dikatakan Adi. Zia tidak mau terlibat masalah hutang yang sedang dihadapinya. "Maaf bukannya aku ingin terlibat masalah pribadi rumah tangga kamu. cuma aku kasihan, gaji kamu sebanyak itu sia-sia. tapi aku berdoa, semoga saja kamu bisa menyelesaikan masalah hutang-hutang kamu secepat
Zahra langsung menoleh ke arah Mirna, tubuhnya langsung terlanjur kaget, mendengar suara tante Mirna. "kamu istrinya Nazar kan? Kamu jangan mempengaruhi Nazar. atau semua ini akali cik kamu untuk menguasai hartanya Nazar?" tuduh tante Mirna sama Zahra Zahra langsung kaget, karena dirinya dituduh seperti itu sama tante Mirna. "Tante!" suara Nazar gelegar, dirinya tidak terima saat Zahra dituduh yang bukan Mirna."apa! atau jangan-jangan kamu yang bikin skenario penculikan itu ya!" Mirna kembali menuduh Zahra. "lho, apa hubungannya dengan saya. jelas-jelas saya diculik, kok tante malah menuduh saya," Zahra memberanikan diri buka suara. "alah! kamu jangan mengelak. kamu yang menyuruh Nazar untuk menjebloskan Fatih ke dalam penjara kan?" lagi-lagi Mirna menuduh Zahra.nafas Nazar terlihat turun naik, matanya menatap nyalang ke arah Mirna."tante jaga mulut tante! Jangan libatkan istri saya! dia tidak tahu apa-apa dengan keluarga kita. bahkan dia korban penculikan dari anak tante!" be
"Maafkan aku paman, ini semua murni kesalahan Fatih. aku sudah mendapatkan semua bukti yang mengarah ke Fatih. bahkan orang -orang yang ikut terlibat, mereka semua sudah mengatakan yang sebenarnya," ucap Nazar. Lukman diam, nyeri ulu hatinya, seorang anak yang dibangga-banggakan ternyata sekarang berada di balik jeruji besi. "Maafkan Fatih, saya sebagai kepala keluarga memang gagal mendidik Fatih," Lukman masih menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Nazar. walaupun terbaring sakit, Nazar memang masih tegas dan keras dalam berbicara. "biarlah Fatih menjalani hukuman paman, bukannya saya tidak sayang sama dia. tapi Fatih memang harus dibeli pelajaran. kekalahan dia begitu fatal sama saya. Paman bisa merasakan sendiri, seandainya orang tua Paman ada yang membunuh bagaimana? padahal yang dibunuh itu banyak menolong dirinya, bagaimana paman?" tanya nazar dengan suara tertahan. Lukman terdiam, memang benar apa yang dikatakan Nazar. seandainya hal itu terjadi dengan dirinya,
"Kamu Jangan membohongi aku sayang, katakan terus terang ada apa sebenarnya?" tanya Nazar sambil menatap intens. "Tidak apa-apa Mas," cara menatap suaminya. "jangan bohong," dari sorot mata Zahra, terlihat Zahra sedang berbohong. genangan air mata terlihat di pelupuk matanya. "Aku tidak bohong," Zahra masih berkelit. "Apakah sebagai seorang suami, tidak boleh mengetahui masalah yang sedang dihadapi istri?" tanya Nazar. Zahra menundukkan kepalanya sejenak. kemudian Zahra mengangkat kepala, buliran bening mengalir di pipi Zahra. "pengawal!" teriak Nazar. terlihat seorang pengawal datang tergesa-gesa, lalu membungkuk hormat ke arah Nazar. "cek semua CCTV!" perintah Nazar dengan tegas. pengawal kembali mengganggu hormat, bergegas keluar untuk mengecek cctv.tidak lama kemudian, pengawal datang sambil memberikan bukti. Zahra masih terisak dalam pelukan Nazar, hatinya perih mendengar kata-kata dari Mirna."cepat panggil tante Mirna!" teriak Nazar emosi, saat melihat video dari
Ahmad menatap nyalang ke arah anaknya yang baru datang. Zia terlihat santai dengan wajah polosnya, tanpa terlihat berdosa sama sekali."akhhhhh, rasanya lega sekali habis healing bersama teman-teman," ucap Zia sambil merentangkan tangannya. teriakan Ahmad tidak dihiraukan sama sekali sama Zia, yang terlihat malah duduk santai. "Zia, kamu dengar tidak ayah!," sentak Hanum yang ikut jengkel melihat tingkah laku anaknya. "apaan sih Bu, aku kan cuma ingin bersantai-santai sama teman," ucap Zia kesal."kamu yang mengambil uang ayah kan?" tanya Hanum.Zia tidak terkejut sedikitpun, malah dia tersenyum. " alah cuma uang segitu saja, uang ayah kan banyak. wajar dong uang itu diambil sama anaknya,"jawab Zia seenaknya. "Zia! kamu keterlaluan sekali! kamu itu sudah dewasa bukan anak kecil lagi! kamu sudah mencuri uang kami!" bentak Ahmad emosi. Zia langsung terlonjak saking kagetnya. " mencuri! apa maksud ayah! aku tidak mencuri uang Ayah sama sekali! sudah sudah Zia bilang dari tadi, uang