"Mas," mulut Zahra terus saja memanggil Nazar yang masih terbaring, di ruang ICU. Zahra hanya bisa menatapnya dari luar jendela kaca. perasaan Zahra bercampur aduk, hatinya terus berdoa, agar Nazar cepat sadar dari komanya. "Mas, bangunlah. Apakah mas tidak sayang sama aku lagi? Apakah mas tidak ingat saat masa-masa indah yang kita lewati bersama, walaupun lewat perkenalan yang singkat. Mas, bangunlah, hanya engkau milik aku satu-satunya saat ini. Apakah mas tidak mau bersama dengan aku lagi? kita bangun keluarga bahagia Mas, kita punya anak, seperti keluarga yang lainnya," celoteh Zahra dalam hati. matanya terus menatap ke arah Nazar.mata Zahra sampai terlihat bengkak, karena air matanya terus saja menetes. kedua orang tua Zahra masih duduk di sofa, mereka terus berdoa untuk kesembuhan menantunya. "nyonya, makanlah dulu. jaga kesehatan nyonya," ucap mbok Minah yang baru datang. Zahra menoleh ke arah Mbok Minah. sebenarnya Zahra malas untuk melakukan aktivitas, walaupun cuma seke
"nyonya, silakan masuk dulu," salah seorang suster langsung menyuruh Zahra untuk. Tapi sebelumnya Zahra memakai baju khusus untuk masuk ke ruangan suaminya. "Tuan Nazar terlihat menggerakkan jari tangannya, tolong nyonya, Anda di sini dulu. Siapa tahu kehadiran Anda bisa membuat Tuan Nazar cepat tersadar dari komanya," ucap dokter itu dengan suara pelan. hati Zahra sedikit bahagia mendengar keterangan dari dokter, setidaknya Nazar mulai ada kemajuan. "silakan Nyonya, bila mau berbicara sebentar. coba ajak interaksi sedikit, Siapa tahu Tuan Nazar merespon, karena biasanya orang-orang terdekat yang bisa memberikan semangat," ucap dokter itu. Zahra menyeka buliran bening yang mengalir di pipinya. Zahra langsung memegang dengan penuh kelembutan, telapak tangan suaminya. tangan Nazar tidak terpasang selang infus, langsung ditempelkan ke pipi Zahra. "mas, bangun sayang. masih ingatkah dengan aku istrimu Mas, kita melewati hari-hari yang begitu indah. Apakah Mas mau melupakan
di saat Ahmad mendapatkan kabar bahagia, Nazar menantunya sudah sadar dari komanya. tiba-tiba mendengar kabar dari rumah, kalau anak bungsunya mengambil sesuatu dari kamar pribadi mereka. "ada apa lagi dengan si Zia, Bu" tanya Ahmad dengan kesal. "ibu juga tidak tahu pak. aduh anak ini benar-benar membuat kesal," jawab Hanum dengan wajah jengkel. mereka saat ini sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah, setelah berpamitan sama Zahra dan Nazar. tiba di rumah, Hanum dan Ahmad buru-buru keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. "maafkan saya pak, Bu," ucap bibik dengan wajah panik, mungkin bibi takut disalahkan. "tidak apa-apa bi, saya masuk ke kamar dulu ya," jawab Ahmad. Hanum yang masuk duluan ke kamar tidur, langsung membuka lemari bajunya. "ayah!!!," teriak Hanum, saat melihat kotak perhiasan, yang berisi uang, hilang satu gepok. Hanum menyimpan tiga gepok uang yang berwarna merah. Ahmad datang tergopoh-gopoh, dan langsung masuk ke dalam kamar tidur. "
Fatih langsung diserahkan ke pihak kepolisian sama anak buah Nazar. dengan menyerahkan bukti-bukti yang mereka miliki saat ini. salah seorang anggota kepolisian juga, sengaja menyamar untuk menangkap komplotan Fatih. "aku tidak bersalah!" teriak Fatih. rupanya Fatih belum menerima kenyataan, kalau dirinya sudah tertangkap. "tenang saudara Fatih, kalau Anda memang tidak bersalah. coba tenangkan diri Anda, kecuali kalau Anda memang bersalah dan tidak mau menerima kesalahan yang anda perbuat," kata polisi dengan tenang. Fatih langsung diam, hatinya mengakui kalau dirinya memang bersalah. tapi Fatih setidaknya ingin terbebas dari hukuman, dan penjara yang siap menampung dirinya. Fatih sekarang berada di balik jeruji besi, menyesal pun tiada guna. kasus pembunuhan dan penculikan terhadap keluarga Nazar, yang dia perbuat. "keluarkan Aku dari sini! aku akan sewa pengacara termahal! hingga aku akan terbebas!" teriak Fatih sambil memukul jeruji besi. di dalam penjara itu a
"Eh Naima," Zahra langsung lihat ke arah adik iparnya yang baru datang. Naima langsung berpelukan dengan Zahra, walaupun mereka baru saling mengenal. tapi Naima begitu cocok dengan Zahra. "bagaimana keadaan Mas Nazar?" tanya Zahra sambil meraih tangan Nazar, lalu diciumnya dengan takjim. "Alhamdulillah kondisi Mas Nazar semakin hari semakin membaik," Zahra yang menjawab. "syukurlah Mbak, aku senang sekali mendengarnya. jujur saja, Aku ingin cepat-cepat menggendong keponakan," ucap Naima polos. mata Nazar langsung melotot ke arah adiknya. "lah, jangan melotot seperti itu, kan.....kan...." seloroh Naima. "yang namanya orang sudah menikah, pasti punya anak dong. biar rumah nanti terasa ramai," lanjut Naima lagi. "kamu ngomong apaan sih dek?" tanya Zahra sambil berjalan ke arah sofa. "ya ngomongin ponakan dong," jawab Naima sambil melihat ke arah Zahra. "entar kalau Mas sudah sembuh, Mas kerja keras lagi untuk bikin keponakan. biar kamu nanti ada yang ngerecokin," uc
"Tuh lihat istri mu Dilan. dia itu pamer inilah itulah. dia tidak tahu hutang kamu. aku merasa gimana ya sama istri kamu," ucap Adi. Dilan memandang foto istrinya lalu menscroll satu persatu. Zia wajahnya tampak happy banget tidak menunjukkan bahwa mereka sedang ada masalah besar. "sebagai seorang suami, kamu harus bersikap tegas terhadap istri sendiri. bisa-bisa kamu diinjak-injak sama si Zia. Dia memang anak orang kaya, Tapi Tidak sepantasnya bersikap demikian. Iya enak-enakan healing bersama teman-temannya, sedangkan kamu banting tulang mencari uang demi membayar hutang-hutangmu," panjang lebar Adi berbicara sama Dilan. Dilan cuma bisa menghela nafasnya, dadanya terasa sesak, memang benar apa yang dikatakan Adi. Zia tidak mau terlibat masalah hutang yang sedang dihadapinya. "Maaf bukannya aku ingin terlibat masalah pribadi rumah tangga kamu. cuma aku kasihan, gaji kamu sebanyak itu sia-sia. tapi aku berdoa, semoga saja kamu bisa menyelesaikan masalah hutang-hutang kamu secepat
Zahra langsung menoleh ke arah Mirna, tubuhnya langsung terlanjur kaget, mendengar suara tante Mirna. "kamu istrinya Nazar kan? Kamu jangan mempengaruhi Nazar. atau semua ini akali cik kamu untuk menguasai hartanya Nazar?" tuduh tante Mirna sama Zahra Zahra langsung kaget, karena dirinya dituduh seperti itu sama tante Mirna. "Tante!" suara Nazar gelegar, dirinya tidak terima saat Zahra dituduh yang bukan Mirna."apa! atau jangan-jangan kamu yang bikin skenario penculikan itu ya!" Mirna kembali menuduh Zahra. "lho, apa hubungannya dengan saya. jelas-jelas saya diculik, kok tante malah menuduh saya," Zahra memberanikan diri buka suara. "alah! kamu jangan mengelak. kamu yang menyuruh Nazar untuk menjebloskan Fatih ke dalam penjara kan?" lagi-lagi Mirna menuduh Zahra.nafas Nazar terlihat turun naik, matanya menatap nyalang ke arah Mirna."tante jaga mulut tante! Jangan libatkan istri saya! dia tidak tahu apa-apa dengan keluarga kita. bahkan dia korban penculikan dari anak tante!" be
"Maafkan aku paman, ini semua murni kesalahan Fatih. aku sudah mendapatkan semua bukti yang mengarah ke Fatih. bahkan orang -orang yang ikut terlibat, mereka semua sudah mengatakan yang sebenarnya," ucap Nazar. Lukman diam, nyeri ulu hatinya, seorang anak yang dibangga-banggakan ternyata sekarang berada di balik jeruji besi. "Maafkan Fatih, saya sebagai kepala keluarga memang gagal mendidik Fatih," Lukman masih menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Nazar. walaupun terbaring sakit, Nazar memang masih tegas dan keras dalam berbicara. "biarlah Fatih menjalani hukuman paman, bukannya saya tidak sayang sama dia. tapi Fatih memang harus dibeli pelajaran. kekalahan dia begitu fatal sama saya. Paman bisa merasakan sendiri, seandainya orang tua Paman ada yang membunuh bagaimana? padahal yang dibunuh itu banyak menolong dirinya, bagaimana paman?" tanya nazar dengan suara tertahan. Lukman terdiam, memang benar apa yang dikatakan Nazar. seandainya hal itu terjadi dengan dirinya,