POV Rachel
"Ehhm, hausnya." Aku terjaga dari tidurku. Tiba-tiba rasa haus mendera.
"Mas, bangun. Temani ke dapur." Kuguncang oelan bahu suamiku, tapi dia tak mau bangun. Malah berbalik, jadi memunggungiku.
Tidurnya sangat lelap, apalagi dia baru saja melalui hari yang berat. Baru saja diberhentikan sepihak dari tempatnya bekerja, adalah hal yang sangat berat baginya.
Lebih baik aku keluar sendiri untuk mengambil minum. Jam di dinding masih menunjukkan pukul 02.00 wib. Jam dimana banyak orang masih dibuai dalam mimpi mereka masing-masing.
Perlahan sekali aku turun dari atas ranjangku, agar tak menimbulkan suara yang bisa mengganggu tidur suamiku.
Membuka pintu kamar juga sangat hati-hati aku lakukan, sampai benar-benar tak menimbulkan suara.
Dahiku mengernyit, saat melihat ada cahaya di dapur. Seperti cahaya yang berasal dari kulkas. Kalau malam, lampu dapur dan ruangan tengah dipadamkan, jadi akan terlihat jelas kalau ada cahaya dari dapur.
"Hmm, pasti Ayah lupa tutup kulkas lagi. Ck, bakalan banjir deh." Aku berdecak, Ayah memang kerap lupa untuk menutup pintu kulkas .
Aku langkahkan kaki ke arah dapur, hal pertama yang akan aku lakukan, adalah menutup pintu kulkas.
Akan tetapi, semakin langkahku dekat, telingaku menangkap suara mengecap. Seperti orang yang sedang mengunyah sesuatu.
"Siapa yang makan malam-malam? Apa Ayah?" gumamku, sangat pelan. Hingga hanya telingaku saja yang bisa menangkap suaraku.
Aku semakin dekat ke dapur, tapi saat melihat apa yang ada di dapur, rasanya jantungku berhenti berdenyut. Mataku membulat besar, kala melihat ada seorang anak kecil perempuan sedang jongkok di depan kulkas yang terbuka pintunya.
Aku menelan saliva, ada rasa takut, kalau itu bukan manusia. Tak ada orang lain di rumah ini, selain aku, ayah, dan mas Mondi.
Walau takut, aku perlahan mendekat juga, meski langkahku kuseret dengan paksa.
"D–dek." Suaraku sedikit tercekat memanggilnya, sangat lirih. Aku tak bisa memungkiri rasa takut yang hadir di hatiku.
Dia yang sedang mengunyah, seketika berhenti, tapi tetap pada posisinya yang berjongkok di depan kulkas. Aku terus mendekat, ingin tau siapa dia sebenarnya.
Tanganku terulur, untuk meraih bahunya. Bajunya tampak sangat lusuh kalau dilihat dengan jarak sedekat ini. Namun, belum lagi aku sempat memegang bahunya, dia berbalik, melihat tajam ke arahku.
Seketika aku mundur beberapa langkah, hampir saja aku terjengkang, kalau saja tubuh belakangku tak menabrak kursi makan.
Aku sampai tak bisa berkata-kata melihat anak itu. Bola matanya hitam tanpa retina, dengan mulut belepotan darah yang berwarna gelap dari ikan tongkol yang dimakannya. Dia menyeringai, gigi-giginya nampak runcing semua, sungguh menakutkan. Rambut ikalnya berantakan, seperti sudah sangat lama tak disisir.
Aku mual melihatnya, perutku rasa diaduk-aduk hingga ingin muntah saja rasanya. Namun rasa mualku bisa dikalahkan dengan rasa takutku. Anak itu berdiri, lalu berjalan mendekatiku.
Ingin lari saja, tapi kakiku rasa dipaku. Mulutku hanya bisa menganga, padahal ingin memanggil Mas Mondi.
Anak itu terus berjalan mendekatiku, tiba-tiba, ada suara gemeretak. Leher anak itu tiba-tiba terkulai, seperti patah, tapi tak sampai terlepas. Aku ingin menjerit, tapi suaraku tak mau keluar. Tubuhku terasa lemas sekali.
Mataku mulai berair saking takutnya. Ya Allah, makhluk apa ini?
Kini, kakinya yang tadi berjalan tegak, juga tampak patah. Hingga tulang dengkulnya keluar, aku semakin gemetar ketakutan. Meski terseok, dia terus berjalan mendekatiku. Aku semakin lemas, tulangku terasa lolos semua dari tubuhku.
Semakin dekat, dan terus mendekat. Hingga saat tangannya ingin menyentuh wajahku, tiba-tiba tangan itu juga patah.
"MAS! Hos hos hos." Akhirnya aku bisa teriak setelah mengumpulkan banyak tenaga.
Nafasku tersengal, dadaku bergerak naik turun dengan cepat. Tubuhku terasa panas, karena keringat mulai mengucur dari pucuk kepalaku.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Mas Mondi yang ada di sebelahku. Tangannya sigap menyeka keringat di dahiku.
Melihat Mas Mondi, aku langsung memeluknya sangat erat. Aku masih bisa merasakan ketakutan itu, tubuhku bergetar hebat. Syukurlah, tadi itu hanya sekedar mimpi. Mimpi yang sangat buruk.
~~~~~~~~
"Hel, kalian lebih baik tinggal di rumah Eyang. Kasihan Eyang, cuma ditemani Bik Lasmi. Nantinya, Eyang juga mewariskan rumah itu buat kamu," kata Ayah.
Kami tengah berkumpul di ruang keluarga. Rasanya berat sekali jauh dari Ayah sekarang. Apalagi aku tengah hamil. Kalau aku pergi, Ayah akan tinggal sendiri.
Namun, tak ada pilihan lain. Mas Mondi baru saja terkena PHK di perusahaan tempatnya bekerja. Imbas dari wabah covid yang melanda Indonesia, perusahaan tempatnya bekerja akhirnya bangkrut.
Sementara Ayah, masih bertahan tinggal di kontrakan ini, karena memang Ayah masih betah bekerja di pabrik tempatnya bekerja. Ayah sudah lama bekerja menjadi security di pabrik itu, dan tinggal menunggu waktu pensiun saja. Sayang, tunjangan pensiunnya kalau ditinggal, katanya.
Ibuku sudah tiada sejak aku kecil. Ibu adalah anak tunggal dari Eyang, yang baru aku tau setahun belakangan ini.
Kata Ayah, dulunya Ayah dan Ibu juga tinggal bersama dengan Eyang di Medan. Namun, sejak ibu meninggal, Ayah kembali ke Jakarta, dengan membawaku. Ayah merasa tak pantas tinggal bersama Eyang, karena hanya sebagai anak mantu saja. Apa kata orang nanti?
Namun, ada hal yang membuatku aneh, kenapa Eyang tak pernah berkunjung ke Jakarta, atau Ayah yang mengajakku datang ke Medan menjenguk Eyang?
Bahkan, aku baru tau kalau aku masih punya Eyang kandung dari pihak ibuku, setelah datang surat dari Eyang yang meminta Ayah membawaku pulang ke Medan.
Di surat itu dijelaskan, kalau Eyang sudah sakit-sakitan sekarang. Bahkan sudah tak bisa lagi berjalan. Dia berharap aku mau tinggal bersamanya, dan menetap di Medan.
Eyang memiliki kebun sawit yang luas di Medan. Aneh bukan? Sementara kami hidup dalam serba keterbatasan. Padahal aku cucu tunggalnya. Kalau hubungan Ayah dan Eyang sangat baik, kenapa Eyang tak membantu Ayah? Malah membiarkan Ayah bekerja menjadi security sekian lama.
Sejak aku menikah dengan Mas Mondi, taraf hidup kami lumayan meningkat. Sayang, Mas Mondi justru di PHK. Padahal kami sedang butuh uang untuk biaya aku melahirkan nanti.
Tadinya aku juga bekerja menjadi SPG di sebuah pusat perbelanjaan, tapi sejak menikah satu tahun yang lalu, Mas Mondi melarang aku untuk bekerja lagi.
"Kamu mau Mas, kalau kita tinggal di Medan?" tanyaku pada Mas Mondi yang duduk di sebelahku.
"Ya boleh saja. Siapa tau, keadaan akan membaik kalau kita di sana," kata Mas Mondi.
"Papa sama Mama, apa mengizinkan?" tanyaku.
Aku khawatir, mertuaku tak mengizinkan kami ke Medan. Mas Mondi sama sepertiku, anak tunggal juga.
Dulu, katanya kehidupan mertuaku cukup baik. Mereka memiliki sebuah toko pakaian yang terbilang besar di Tanah Abang. Akan tetapi, peristiwa kebakaran beberapa tahun lalu membuat mertuaku kehilangan hampir seluruh asetnya.
Sampai sekarang, mereka masih membuka toko pakaian juga, tapi hanya di depan rumah saja. Tak lagi menyewa tempat. Usia yang semakin menua, membuat mereka menahan diri untuk tak mengambil pinjaman modal usaha. Lagipula, mereka dagang juga hanya untuk mengisi kesibukan di hari tua saja. Selama ini, Mas Mondi juga membantu untuk biaya kehidupan mereka. Aku tak keberatan, karena sudah tau sejak sebelum kami menikah. Selama kebutuhanku bisa dipenuhi oleh Mas Mondi, menurutku hal itu tak jadi masalah. Kata Mama, mereka juga masih ada deposito di bank. Kalau untuk hari tua mereka, kami tak terlalu risau. "Pasti izinin. Sebelum berangkat, kita minta izin dulu ke rumah mama papa. Kalau rezeki kita bagus, kita bisa sesekali datang ke sini, atau mama papa yang kita minta datang ke Medan," kata Mas Mondi, yang cukup bisa diterima akalku. "Beberapa bulan lagi, Ayah juga pensiun. Ayah akan menyusul kalian ke Medan," ucap Ayah. "Bener ya. Jangan cari kerja lagi di sini. Rachel nggak tenang, kal
Aku mendekati Eyang. Terus terang saja, agak merasa aneh sih. Setelah dua puluh tahun baru bisa bertemu lagi. Aku dan Mas Mondi hanya berdiri saja setelah bersalaman dengan Eyang. Kalau kuperhatikan, Eyang sangat cantik, meskipun sudah tua. Usianya sekitar tujuh puluhan. Kalau saja tubuhnya tak lumpuh, pasti akan sangat menyenangkan. "Bagaimana kabar ayahmu? Kenapa dia tak ikut kesini? Eyang juga suruh dia datang kesini? Biar bisa mengelola kebun juga ternak," kata Eyang. "Alhamdulillah, Ayah baik Eyang. Ayah masih bekerja, mungkin beberapa bulan lagi, setelah Ayah pensiun baru datang. Rachel udah bilang sama Ayah, supaya datang sebelum Rachel melahirkan." Aku mengatakan sesuai dengan perbincangan kami dengan Ayah sebelum kemari."Sudah berapa bulan?" tanya Eyang seraya menarik tanganku untuk lebih dekat lagi. Beliau mengelus lembut perutku. "Masih lima bulan Eyang," jawabku. "Mudah-mudahan sehat," katanya. Aku tersenyum mendengar doa Eyang. "Kalian istirahatlah dulu. Pasti cape
"Tadi kami ngobrol kok Bi, sama Eyang," kataku. Apa mungkin Eyang yang lupa. Usia yang sudah menua, bisa saja membuatnya mulai pikun. "Loh, jadi kok Eyang masih nanyain Non Rachel? Eyang lelap sekali tidur tadi katanya. Beberapa hari ini memang sulit tidur. Mungkin sekarang sudah lega, karena Non Rachel sudah datang. Non mau ngobrol dulu sama Eyang, apa mandi dulu? Apa mau Bibi siapin air panas untuk mandi. Udah sore banget loh. Air di sini dingin sekali kalau terlalu sore begini. Soalnya langsung dari mata air yang ngalir dari bukti belakang sana." "Em, nggak usah Bi. Nanti kalau mau, Rachel masak sendiri." Agak merasa sungkan juga kalau semua dilayani. Aku yang sudah terbiasa mandiri sejak kecil, sekarang harus diperlakukan seperti seorang putri, rasanya kok malah aneh. Bukan tak senang, cuma gimana ya, kayak nggak enak aja gitu."Mana makan Eyang, Bi? Biar sekalian Rachel suapi." Aku berpikir untuk menyuapi Eyang makan terlebih dulu, baru mandi. Sekaligus menjawab rasa penasara
"Ada apa Non?" Bi Lasmi langsung datang ke kamar Eyang. "Mangkuknya jatuh, Bi. Nggak sengaja tadi," kataku berbohong. Kalau kubilang ada yang memukul tanganku, apa dia percaya?"Ya sudah. Biar saja. Bibik ambil sapu sama pengki dulu. Non, nemani Eyang saja, nanti Bibi ambilkan yang baru lagi makanan buat Eyang," kata Bi Lasmi langsung beranjak keluar kamar Eyang. Aku bangkit, lalu mendekati Eyang. Eyang tampak tenang, tak terkejut dengan kejadian barusan. Dia hanya menoleh, berusaha melihat ke belakang sebentar. "Maaf ya, Yang," kataku. "Nggak papa. Kamu nggak papa kan, Ndok?" tanya Eyang. Dia menatapku dengan mata teduhnya. Eyang pasti sangat cantik di masa mudanya. Gurat kecantikan itu masih terlihat sangat jelas di usianya yang sudah senja. "Ambil bangku," suruh Eyang. Aku menurut. Aku mengambil bangku bundar yang ada di meja rias Eyang, lalu duduk di hadapan Eyang."Syukurlah, Eyang masih sempat melihat kamu, sebelum Eyang meninggal," kata Eyang sambil mengelus lembut pipik
Zain mendekatiku, dengan mata yang tak lepas dari wajahku. Membuat aku jadi tertunduk malu. "Kau tak kenal sama aku?" tanyanya dengan logatnya yang Medan sekali. Aku menggeleng cepat. "Aku Zain. Anak Wak Togar. Aku dulu selalu main sama kau setiap hari di sini. Sama Sinta, sama Nunik, juga Yoga. Masak kau tak ingat," katanya berusaha mengingatkan pada nama-nama orang yang mungkin aku kenal. "Dia mana ingat Zain. Dulu kalian masih kecil sekali. Masih lima tahun dulu umurnya," kata Eyang. "Tapi aku ingat, Eyang. Pantas, aku kayak kenal muka dia. Makin cantik kau ya, udah besar." Pujiannya berhasil membuat pipiku memerah. "Kamu lebih tua 4 tahun dari dia, wajar kalau kamu ingat. Jangan kamu ganggu dia, dia sudah menikah," kata Eyang."Astaghfirullah hal adzim. Tak mungkinlah Eyang, aku mengganggu perempuan yang sudah beristri. Eyang tau, dari kecil dia sudah kayak adikku. Mana suami kau, kau kenalkan dulu sama abangmu ini," katanya penuh percaya diri. Entah kenapa, saat dia bilang
"Eh, nggak." Aku tak lagi menjelaskan tentang anak itu. Dia tampak berbeda dengan anak yang kulihat mengejar bebek tadi. Dia justru lebih mirip dengan anak yang kulihat di mimpiku sebelum ke rumah ini. Ada apa ini? Apakah ada sesuatu yang tersembunyi di rumah Eyang? Zain. Apakah dia tau sesuatu? Makanya dia ingin Eyang diruqyah. Bisa jadi, sosok-sosok itu yang mengganggu Eyang."Sayang, kenapa malah melamun. Makanannya keburu dingin." Mas Mondi menegurku. Aku cepat makan, agar mengimbangi Mas Mondi dan Bi Lasmi. Kami kembali mengobrol. Bi Lasmi yang aktif bertanya tentang kehidupan kami di Jakarta. Lebih banyak mas Mondi yang menjawab. Mereka terlihat sangat cepat akrab. Padahal, mas Mondi bukan orang yang mudah dekat dengan orang lain. Syukurlah, berarti mas Mondi bisa betah tinggal di sini. "Besok, Mas Mondi bicara sama pak Sugeng. Kalau mas Mondi juga mau ikut mengurus ternak Eyang," kata bi Lasmi.Alisku menaut mendengarnya. Kenapa jadi bi Lasmi yang mengatur? Bahkan Eyang saj
Malam ini kami tidur lebih awal. Usai sholat Isya aku langsung merebahkan tubuhku. Seharian ini belum ada istirahat, membuat mataku benar-benar tak dapat lagi menahan kantuk.Mas Mondi juga sudah mengantuk. Tak banyak hal yang bahas di atas tempat tidur besi model klasik, dengan tilam kapuk tempahan yang masih sangat empuk. Tak butuh waktu lama, sebentar saja aku sudah beralih ke alam mimpi. Tiba-tiba telingaku menangkap suara tangisan seseorang. Suara seorang wanita, sangat menyayat hati suara itu. Suara yang menyimpan kesedihan mendalam. Aku turun dari atas ranjang. Kulihat mas Mondi sudah lelap sekali. Tak perlu lah kuganggu dia. Kulihat jam jadul yang ada di dinding. Masih jam sembilan malam. Walau jam itu sangat klasik, tapi masih berfungsi dengan baik. Jarumnya berjalan seperti biasa. Kulangkahkan kali dengan perlahan, ke arah luar kamar. KRIIEETTTSuara derit pintu yang kubuka, lalu kututup kembali setelah aku keluar dari kamar itu. Indra pendengaranku lebih kutajamkan la
"Tadi terbangun, jadi hilang ngantuknya. Mas bingung mau ngapain, mending ngobrol sama pak Sugeng. Lagian belum terlalu larut." Alasan Mas Mondi cukup masuk di akal. Tak ada alasan untuk curiga. Astaghfirullah. Kenapa aku curiga sama suamiku? Atas dasar apa?"Kamu kenapa bangun?" tanyanya. "Terbangun juga. Aku …." Apa sebaiknya aku cerita saja ya, sama Mas Mondi tentang mimpiku."Mas, aku mimpi buruk banget." Aku mulai menceritakan mimpiku. "Mimpi apa?" "Aku melihat ibu." "Ibu kamu?""Iya." Aku merasa yakin, wanita yang ada di dalam mimpiku adalah Ibu. Walau aku hanya mengenal wajahnya lewat foto, tapi wajah itu terus aku ingat di dalam kepalaku. Aku sebenarnya mirip dengan Ibu, tapi jauh lebih cantik Ibu. Aku harus akui itu. Wajah Ibu identik sekali dengan keayuan wanita Jawa, walau dia asli kelahiran Sumatra. "Aku melihat ibu bunuh diri dengan memotong nadinya sendiri," kataku dengan serius. "Apa ibu meninggal bunuh diri?" tanya Mas Mondi. "Kata ayah, ibu meninggal karena s