Share

RUMAH EYANG
RUMAH EYANG
Author: KARTIKA DEKA

Bab 1

Author: KARTIKA DEKA
last update Last Updated: 2023-10-19 12:00:40

POV Rachel

"Ehhm, hausnya." Aku terjaga dari tidurku. Tiba-tiba rasa haus mendera.

"Mas, bangun. Temani ke dapur." Kuguncang oelan bahu suamiku, tapi dia tak mau bangun. Malah berbalik, jadi memunggungiku.

Tidurnya sangat lelap, apalagi dia baru saja melalui hari yang berat. Baru saja diberhentikan sepihak dari tempatnya bekerja, adalah hal yang sangat berat baginya. 

Lebih baik aku keluar sendiri untuk mengambil minum. Jam di dinding masih menunjukkan pukul 02.00 wib. Jam dimana banyak orang masih dibuai dalam mimpi mereka masing-masing. 

Perlahan sekali aku turun dari atas ranjangku, agar tak menimbulkan suara yang bisa mengganggu tidur suamiku. 

Membuka pintu kamar juga sangat hati-hati aku lakukan, sampai benar-benar tak menimbulkan suara. 

Dahiku mengernyit, saat melihat ada cahaya di dapur. Seperti cahaya yang berasal dari kulkas. Kalau malam, lampu dapur dan ruangan tengah dipadamkan, jadi akan terlihat jelas kalau ada cahaya dari dapur. 

"Hmm, pasti Ayah lupa tutup kulkas lagi. Ck, bakalan banjir deh." Aku berdecak, Ayah memang kerap lupa untuk menutup pintu kulkas .

Aku langkahkan kaki ke arah dapur, hal pertama yang akan aku lakukan, adalah menutup pintu kulkas.

Akan tetapi, semakin langkahku dekat, telingaku menangkap suara mengecap. Seperti orang yang sedang mengunyah sesuatu. 

"Siapa yang makan malam-malam? Apa Ayah?" gumamku, sangat pelan. Hingga hanya telingaku saja yang bisa menangkap suaraku. 

Aku semakin dekat ke dapur, tapi saat melihat apa yang ada di dapur, rasanya jantungku berhenti berdenyut. Mataku membulat besar, kala melihat ada seorang anak kecil perempuan sedang jongkok di depan kulkas yang terbuka pintunya. 

Aku menelan saliva, ada rasa takut, kalau itu bukan manusia. Tak ada orang lain di rumah ini, selain aku, ayah, dan mas Mondi. 

Walau takut, aku perlahan mendekat juga, meski langkahku kuseret dengan paksa.

"D–dek." Suaraku sedikit tercekat memanggilnya, sangat lirih. Aku tak bisa memungkiri rasa takut yang hadir di hatiku. 

Dia yang sedang mengunyah, seketika berhenti, tapi tetap pada posisinya yang berjongkok di depan kulkas. Aku terus mendekat, ingin tau siapa dia sebenarnya.

Tanganku terulur, untuk meraih bahunya. Bajunya tampak sangat lusuh kalau dilihat dengan jarak sedekat ini. Namun, belum lagi aku sempat memegang bahunya, dia berbalik, melihat tajam ke arahku. 

Seketika aku mundur beberapa langkah, hampir saja aku terjengkang, kalau saja tubuh belakangku tak menabrak kursi makan.

Aku sampai tak bisa berkata-kata melihat anak itu. Bola matanya hitam tanpa retina, dengan mulut belepotan darah yang berwarna gelap dari ikan tongkol yang dimakannya. Dia menyeringai, gigi-giginya nampak runcing semua, sungguh menakutkan. Rambut ikalnya berantakan, seperti sudah sangat lama tak disisir.

Aku mual melihatnya, perutku rasa diaduk-aduk hingga ingin muntah saja rasanya. Namun rasa mualku bisa dikalahkan dengan rasa takutku. Anak itu berdiri, lalu berjalan mendekatiku.

Ingin lari saja, tapi kakiku rasa dipaku. Mulutku hanya bisa menganga, padahal ingin memanggil Mas Mondi. 

Anak itu terus berjalan mendekatiku, tiba-tiba, ada suara gemeretak. Leher anak itu tiba-tiba terkulai, seperti patah, tapi tak sampai terlepas. Aku ingin menjerit, tapi suaraku tak mau keluar. Tubuhku terasa lemas sekali. 

Mataku mulai berair saking takutnya. Ya Allah, makhluk apa ini? 

Kini, kakinya yang tadi berjalan tegak, juga tampak patah. Hingga tulang dengkulnya keluar, aku semakin gemetar ketakutan. Meski terseok, dia terus berjalan mendekatiku. Aku semakin lemas, tulangku terasa lolos semua dari tubuhku. 

Semakin dekat, dan terus mendekat. Hingga saat tangannya ingin menyentuh wajahku, tiba-tiba tangan itu juga patah. 

"MAS! Hos hos hos." Akhirnya aku bisa teriak setelah mengumpulkan banyak tenaga. 

Nafasku tersengal, dadaku bergerak naik turun dengan cepat. Tubuhku terasa panas, karena keringat mulai mengucur dari pucuk kepalaku. 

"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Mas Mondi yang ada di sebelahku. Tangannya sigap menyeka keringat di dahiku.

Melihat Mas Mondi, aku langsung memeluknya sangat erat. Aku masih bisa merasakan ketakutan itu, tubuhku bergetar hebat. Syukurlah, tadi itu hanya sekedar mimpi. Mimpi yang sangat buruk.

~~~~~~~~

"Hel, kalian lebih baik tinggal di rumah Eyang. Kasihan Eyang, cuma ditemani Bik Lasmi. Nantinya, Eyang juga mewariskan rumah itu buat kamu," kata Ayah.

Kami tengah berkumpul di ruang keluarga. Rasanya berat sekali jauh dari Ayah sekarang. Apalagi aku tengah hamil. Kalau aku pergi, Ayah akan tinggal sendiri. 

Namun, tak ada pilihan lain. Mas Mondi baru saja terkena PHK di perusahaan tempatnya bekerja. Imbas dari wabah covid yang melanda Indonesia, perusahaan tempatnya bekerja akhirnya bangkrut. 

Sementara Ayah, masih bertahan tinggal di kontrakan ini, karena memang Ayah masih betah bekerja di pabrik tempatnya bekerja. Ayah sudah lama bekerja menjadi security di pabrik itu, dan tinggal menunggu waktu pensiun saja. Sayang, tunjangan pensiunnya kalau ditinggal, katanya. 

Ibuku sudah tiada sejak aku kecil. Ibu adalah anak tunggal dari Eyang, yang baru aku tau setahun belakangan ini. 

Kata Ayah, dulunya Ayah dan Ibu juga tinggal bersama dengan Eyang di Medan. Namun, sejak ibu meninggal, Ayah kembali ke Jakarta, dengan membawaku. Ayah merasa tak pantas tinggal bersama Eyang, karena hanya sebagai anak mantu saja. Apa kata orang nanti?

Namun, ada hal yang membuatku aneh, kenapa Eyang tak pernah berkunjung ke Jakarta, atau Ayah yang mengajakku datang ke Medan menjenguk Eyang? 

Bahkan, aku baru tau kalau aku masih punya Eyang kandung dari pihak ibuku, setelah datang surat dari Eyang yang meminta Ayah membawaku pulang ke Medan.  

Di surat itu dijelaskan, kalau Eyang sudah sakit-sakitan sekarang. Bahkan sudah tak bisa lagi berjalan. Dia berharap aku mau tinggal bersamanya, dan menetap di Medan. 

Eyang memiliki kebun sawit yang luas di Medan. Aneh bukan? Sementara kami hidup dalam serba keterbatasan. Padahal aku cucu tunggalnya. Kalau hubungan Ayah dan Eyang sangat baik, kenapa Eyang tak membantu Ayah? Malah membiarkan Ayah bekerja menjadi security sekian lama. 

Sejak aku menikah dengan Mas Mondi, taraf hidup kami lumayan meningkat. Sayang, Mas Mondi justru di PHK. Padahal kami sedang butuh uang untuk biaya aku melahirkan nanti. 

Tadinya aku juga bekerja menjadi SPG di sebuah pusat perbelanjaan, tapi sejak menikah satu tahun yang lalu, Mas Mondi melarang aku untuk bekerja lagi. 

"Kamu mau Mas, kalau kita tinggal di Medan?" tanyaku pada Mas Mondi yang duduk di sebelahku. 

"Ya boleh saja. Siapa tau, keadaan akan membaik kalau kita di sana," kata Mas Mondi.

"Papa sama Mama, apa mengizinkan?" tanyaku. 

Aku khawatir, mertuaku tak mengizinkan kami ke Medan. Mas Mondi sama sepertiku, anak tunggal juga. 

Dulu, katanya kehidupan mertuaku cukup baik. Mereka memiliki sebuah toko pakaian yang terbilang besar di Tanah Abang. Akan tetapi, peristiwa kebakaran beberapa tahun lalu membuat mertuaku kehilangan hampir seluruh asetnya. 

Related chapters

  • RUMAH EYANG   Bab 2

    Sampai sekarang, mereka masih membuka toko pakaian juga, tapi hanya di depan rumah saja. Tak lagi menyewa tempat. Usia yang semakin menua, membuat mereka menahan diri untuk tak mengambil pinjaman modal usaha. Lagipula, mereka dagang juga hanya untuk mengisi kesibukan di hari tua saja. Selama ini, Mas Mondi juga membantu untuk biaya kehidupan mereka. Aku tak keberatan, karena sudah tau sejak sebelum kami menikah. Selama kebutuhanku bisa dipenuhi oleh Mas Mondi, menurutku hal itu tak jadi masalah. Kata Mama, mereka juga masih ada deposito di bank. Kalau untuk hari tua mereka, kami tak terlalu risau. "Pasti izinin. Sebelum berangkat, kita minta izin dulu ke rumah mama papa. Kalau rezeki kita bagus, kita bisa sesekali datang ke sini, atau mama papa yang kita minta datang ke Medan," kata Mas Mondi, yang cukup bisa diterima akalku. "Beberapa bulan lagi, Ayah juga pensiun. Ayah akan menyusul kalian ke Medan," ucap Ayah. "Bener ya. Jangan cari kerja lagi di sini. Rachel nggak tenang, kal

    Last Updated : 2023-10-19
  • RUMAH EYANG   Bab 3

    Aku mendekati Eyang. Terus terang saja, agak merasa aneh sih. Setelah dua puluh tahun baru bisa bertemu lagi. Aku dan Mas Mondi hanya berdiri saja setelah bersalaman dengan Eyang. Kalau kuperhatikan, Eyang sangat cantik, meskipun sudah tua. Usianya sekitar tujuh puluhan. Kalau saja tubuhnya tak lumpuh, pasti akan sangat menyenangkan. "Bagaimana kabar ayahmu? Kenapa dia tak ikut kesini? Eyang juga suruh dia datang kesini? Biar bisa mengelola kebun juga ternak," kata Eyang. "Alhamdulillah, Ayah baik Eyang. Ayah masih bekerja, mungkin beberapa bulan lagi, setelah Ayah pensiun baru datang. Rachel udah bilang sama Ayah, supaya datang sebelum Rachel melahirkan." Aku mengatakan sesuai dengan perbincangan kami dengan Ayah sebelum kemari."Sudah berapa bulan?" tanya Eyang seraya menarik tanganku untuk lebih dekat lagi. Beliau mengelus lembut perutku. "Masih lima bulan Eyang," jawabku. "Mudah-mudahan sehat," katanya. Aku tersenyum mendengar doa Eyang. "Kalian istirahatlah dulu. Pasti cape

    Last Updated : 2023-10-19
  • RUMAH EYANG   Bab 4

    "Tadi kami ngobrol kok Bi, sama Eyang," kataku. Apa mungkin Eyang yang lupa. Usia yang sudah menua, bisa saja membuatnya mulai pikun. "Loh, jadi kok Eyang masih nanyain Non Rachel? Eyang lelap sekali tidur tadi katanya. Beberapa hari ini memang sulit tidur. Mungkin sekarang sudah lega, karena Non Rachel sudah datang. Non mau ngobrol dulu sama Eyang, apa mandi dulu? Apa mau Bibi siapin air panas untuk mandi. Udah sore banget loh. Air di sini dingin sekali kalau terlalu sore begini. Soalnya langsung dari mata air yang ngalir dari bukti belakang sana." "Em, nggak usah Bi. Nanti kalau mau, Rachel masak sendiri." Agak merasa sungkan juga kalau semua dilayani. Aku yang sudah terbiasa mandiri sejak kecil, sekarang harus diperlakukan seperti seorang putri, rasanya kok malah aneh. Bukan tak senang, cuma gimana ya, kayak nggak enak aja gitu."Mana makan Eyang, Bi? Biar sekalian Rachel suapi." Aku berpikir untuk menyuapi Eyang makan terlebih dulu, baru mandi. Sekaligus menjawab rasa penasara

    Last Updated : 2023-10-19
  • RUMAH EYANG   Bab 5

    "Ada apa Non?" Bi Lasmi langsung datang ke kamar Eyang. "Mangkuknya jatuh, Bi. Nggak sengaja tadi," kataku berbohong. Kalau kubilang ada yang memukul tanganku, apa dia percaya?"Ya sudah. Biar saja. Bibik ambil sapu sama pengki dulu. Non, nemani Eyang saja, nanti Bibi ambilkan yang baru lagi makanan buat Eyang," kata Bi Lasmi langsung beranjak keluar kamar Eyang. Aku bangkit, lalu mendekati Eyang. Eyang tampak tenang, tak terkejut dengan kejadian barusan. Dia hanya menoleh, berusaha melihat ke belakang sebentar. "Maaf ya, Yang," kataku. "Nggak papa. Kamu nggak papa kan, Ndok?" tanya Eyang. Dia menatapku dengan mata teduhnya. Eyang pasti sangat cantik di masa mudanya. Gurat kecantikan itu masih terlihat sangat jelas di usianya yang sudah senja. "Ambil bangku," suruh Eyang. Aku menurut. Aku mengambil bangku bundar yang ada di meja rias Eyang, lalu duduk di hadapan Eyang."Syukurlah, Eyang masih sempat melihat kamu, sebelum Eyang meninggal," kata Eyang sambil mengelus lembut pipik

    Last Updated : 2023-10-19
  • RUMAH EYANG   Bab 6

    Zain mendekatiku, dengan mata yang tak lepas dari wajahku. Membuat aku jadi tertunduk malu. "Kau tak kenal sama aku?" tanyanya dengan logatnya yang Medan sekali. Aku menggeleng cepat. "Aku Zain. Anak Wak Togar. Aku dulu selalu main sama kau setiap hari di sini. Sama Sinta, sama Nunik, juga Yoga. Masak kau tak ingat," katanya berusaha mengingatkan pada nama-nama orang yang mungkin aku kenal. "Dia mana ingat Zain. Dulu kalian masih kecil sekali. Masih lima tahun dulu umurnya," kata Eyang. "Tapi aku ingat, Eyang. Pantas, aku kayak kenal muka dia. Makin cantik kau ya, udah besar." Pujiannya berhasil membuat pipiku memerah. "Kamu lebih tua 4 tahun dari dia, wajar kalau kamu ingat. Jangan kamu ganggu dia, dia sudah menikah," kata Eyang."Astaghfirullah hal adzim. Tak mungkinlah Eyang, aku mengganggu perempuan yang sudah beristri. Eyang tau, dari kecil dia sudah kayak adikku. Mana suami kau, kau kenalkan dulu sama abangmu ini," katanya penuh percaya diri. Entah kenapa, saat dia bilang

    Last Updated : 2023-10-26
  • RUMAH EYANG   Bab 7

    "Eh, nggak." Aku tak lagi menjelaskan tentang anak itu. Dia tampak berbeda dengan anak yang kulihat mengejar bebek tadi. Dia justru lebih mirip dengan anak yang kulihat di mimpiku sebelum ke rumah ini. Ada apa ini? Apakah ada sesuatu yang tersembunyi di rumah Eyang? Zain. Apakah dia tau sesuatu? Makanya dia ingin Eyang diruqyah. Bisa jadi, sosok-sosok itu yang mengganggu Eyang."Sayang, kenapa malah melamun. Makanannya keburu dingin." Mas Mondi menegurku. Aku cepat makan, agar mengimbangi Mas Mondi dan Bi Lasmi. Kami kembali mengobrol. Bi Lasmi yang aktif bertanya tentang kehidupan kami di Jakarta. Lebih banyak mas Mondi yang menjawab. Mereka terlihat sangat cepat akrab. Padahal, mas Mondi bukan orang yang mudah dekat dengan orang lain. Syukurlah, berarti mas Mondi bisa betah tinggal di sini. "Besok, Mas Mondi bicara sama pak Sugeng. Kalau mas Mondi juga mau ikut mengurus ternak Eyang," kata bi Lasmi.Alisku menaut mendengarnya. Kenapa jadi bi Lasmi yang mengatur? Bahkan Eyang saj

    Last Updated : 2023-10-26
  • RUMAH EYANG   Bab 8

    Malam ini kami tidur lebih awal. Usai sholat Isya aku langsung merebahkan tubuhku. Seharian ini belum ada istirahat, membuat mataku benar-benar tak dapat lagi menahan kantuk.Mas Mondi juga sudah mengantuk. Tak banyak hal yang bahas di atas tempat tidur besi model klasik, dengan tilam kapuk tempahan yang masih sangat empuk. Tak butuh waktu lama, sebentar saja aku sudah beralih ke alam mimpi. Tiba-tiba telingaku menangkap suara tangisan seseorang. Suara seorang wanita, sangat menyayat hati suara itu. Suara yang menyimpan kesedihan mendalam. Aku turun dari atas ranjang. Kulihat mas Mondi sudah lelap sekali. Tak perlu lah kuganggu dia. Kulihat jam jadul yang ada di dinding. Masih jam sembilan malam. Walau jam itu sangat klasik, tapi masih berfungsi dengan baik. Jarumnya berjalan seperti biasa. Kulangkahkan kali dengan perlahan, ke arah luar kamar. KRIIEETTTSuara derit pintu yang kubuka, lalu kututup kembali setelah aku keluar dari kamar itu. Indra pendengaranku lebih kutajamkan la

    Last Updated : 2023-10-26
  • RUMAH EYANG   Bab 9

    "Tadi terbangun, jadi hilang ngantuknya. Mas bingung mau ngapain, mending ngobrol sama pak Sugeng. Lagian belum terlalu larut." Alasan Mas Mondi cukup masuk di akal. Tak ada alasan untuk curiga. Astaghfirullah. Kenapa aku curiga sama suamiku? Atas dasar apa?"Kamu kenapa bangun?" tanyanya. "Terbangun juga. Aku …." Apa sebaiknya aku cerita saja ya, sama Mas Mondi tentang mimpiku."Mas, aku mimpi buruk banget." Aku mulai menceritakan mimpiku. "Mimpi apa?" "Aku melihat ibu." "Ibu kamu?""Iya." Aku merasa yakin, wanita yang ada di dalam mimpiku adalah Ibu. Walau aku hanya mengenal wajahnya lewat foto, tapi wajah itu terus aku ingat di dalam kepalaku. Aku sebenarnya mirip dengan Ibu, tapi jauh lebih cantik Ibu. Aku harus akui itu. Wajah Ibu identik sekali dengan keayuan wanita Jawa, walau dia asli kelahiran Sumatra. "Aku melihat ibu bunuh diri dengan memotong nadinya sendiri," kataku dengan serius. "Apa ibu meninggal bunuh diri?" tanya Mas Mondi. "Kata ayah, ibu meninggal karena s

    Last Updated : 2023-10-28

Latest chapter

  • RUMAH EYANG   Tamat

    Mataku mendelik besar, kala Pak Manto mengarahkan senjata tajam itu ke wajahku. Perih, ujung belati itu menggores wajahku. Apalagi Pak Manto terus menggeser belati itu. Aku meringis, air mata tak mau berhenti keluar dari sudut mataku. Dadaku bergerak turun naik dengan cepat. Seringai di wajahnya membuatku ngeri. Bibirnya tersenyum miring, mengejek ketidak berdayaanku.Dadaku terus bergemuruh dengan cepat, mataku tak mau berkedip kala senjata tajam itu didekatkan ke pipiku. Hanya berjarak satu inci lagi, maka benda itu akan menyayat kulitku. Pak Manto terus menggeser benda itu, sangat perlahan. Dia seolah-olah sengaja membuatku ketakutan. Memancing rasa cemas yang berlebihan. Dia mengangkat benda itu ke atas. Aku hanya bisa pasrah. Kupejamkan mata sangat kuat. Ya Allah, aku pasrah. Terdengar suara benda jatuh dan suara gaduh. “Astaghfirullah hal adzim.” Mataku langsung kubuka saat mendengar suara seseorang yang beristighfar dan suara derap kaki yang saling berkejaran.Terima kasih y

  • RUMAH EYANG   Karena dendam

    “Kamu pasti bohong!” teriakku. Tanganku kuhentak-hentakkan, berharap ikatan akan terlepas.“Kamu tau, bertahun-tahun aku sudah bersabar menghadapi keserakahan Sandra. Aku terima saja, saat dia menguasai seluruh harta warisan dari bapakku. Hanya karena aku anak dari istri kedua, dia tak menganggap aku sama sekali.”Sumpah, aku sangat terkejut. Ternyata benar, Pak Manto adalah anak dari Buyut juga. Sangat banyak rahasia di rumah Eyang yang tidak aku ketahui. Semuanya membuatku bingung juga takut. Kenapa aku baru tau sekarang? Ayah, kenapa Ayah tidak menceritakan semua padaku sebelumnya? Apa Ayah tidak berpikir, kalau aku yang pada akhirnya akan menjadi korban?“Saat dia hanya menjadikan aku dan istriku pesuruhnya pun, aku tak menolak.” Pak Manto bicara sambil mengelilingi meja tempat tubuh ini dibaringkan. Di tangannya ada sebuah pisau daging. Entah untuk apa pisau itu. Apa mereka akan menghabisi aku sekarang? Ya Allah, tolong aku. Tolong anakku. “Sejak kecil, dia tak pernah mau meng

  • RUMAH EYANG   Bab 38

    “Aduuhh.” Aku meringis sambil memegangi kepalaku yang terasa sangat sakit dan pusing sekali.Ya Allah kenapa jadi sakit semua. Kepala sakit, perut sakit. Mas, cepatlah datang. Aku rasanya sudah tak kuat lagi. Ajakku di dalam perut juga terus bergerak dengan sangat aktif. Rasanya sakit sekali. Apa mungkin aku mau melahirkan, tapi belum masuk harinya. Tubuhku sampai berkeringat dingin merasakan sakitnya. Tidur salah, jalan juga salah. Rasanya seluruh tulang yang ada di tubuhku rontok semua. Luar biasa sakit. Ya Allah, tolong. Aku dengar suara gaduh. Suara langkah kaki yang tergesa. Mas Mondi yang datang, bersama dengan Bi Lasmi. Mereka langsung masuk ke kamarku. “Coba baring, Non,” kata Bi Lasmi. Aku segera berbaring, dibantu oleh Mas Mondi. Bi Lasmi langsung memeriksa perutku. “Ini udah mau lahiran. Kayaknya kita nggak sempat ke rumah sakit, anaknya udah mau keluar,” kata Bi Lasmi. Suaranya terdengar panik. Membuat aku juga jadi panik. “Mas, ambilkan air hangat, pake baskom. Air

  • RUMAH EYANG   Bab 37

    "Kamu nggak lagi bercanda kan?" tanya Mas Mondy seolah-olah tak percaya apa yang kukatakan. "Nggak Mas. Ayo." Aku menarik tangan Mas Mondi untuk masuk ke dalam kamar Eyang."Mas geser lemarinya. Ada ruang bawah tanah, Mas," kataku. Aku masih merasa takut dan tegang kalau teringat kejadian yang tadi. Mas Mondi mengintip sedikit dari celah yang ada di belakang lemari, lalu menggeser lemari itu. "Biar Mas aja," cegah Mas Mondi ketika aku ingin membantunya. Sekuat tenaga Mas Mondi menggeser lemari itu, akhirnya bisa juga. Setelah dirasa bisa dilewati satu badan manusia dewasa, Mas Mondi tak lagi menggesernya."Tuh, kan ada pintunya Mas," kataku. Mas Mondi meletakkan telapak tangannya di pintu itu. Membuka kunci yang hanya mengait begitu saja, lalu mendorong pintu itu pelan.Aku memegangi tangan Mas mondy. Aku masih teringat akan kejadian tadi. "Jangan masuk Mas, bahaya," kataku melarangnya untuk masuk."Kamu tunggu di sini aja," katanya. Mas Mondi jalan perlahan menuruni anak tangg

  • RUMAH EYANG   Ruangan bawah tanah

    "Yoga!" Reflek aku menjerit dan berlari ke arah Yoga. Yoga tampak kesakitan memegang punggungnya yang sepertinya sakit sekali. Tak ada siapapun selain Nunik yang terbaring lemah. Siapa yang menyerang Yoga tadi?Aku berjalan mendekati Nunik, untuk melepas ikatan di tubuhnya. Kami harus segera keluar dari ruangan ini. Aku bisa merasakan kalau aura di ruangan ini sangat menyeramkan. Bulu kudukku terus meremang sejak kamu mulai memasuki ruangan ini. "Chel, jangan!" Yoga meneriakiku agar jangan mendekati Nunik. Kami tak mungkin keluar dari ruangan ini tanpa membawa Nunik keluar. Aku abaikan larangan Yoga. Aku menarik dalam nafasku, jantungku berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. Aku tau, ini bahaya. Kalau kami tak melakukan apapun, juga akan berbahaya untuk Nunik. Perlahan aku jalan, seraya memegangi perutku. Kita kuat Nak. Jangan takut. Bunda nggak akan biarkan apapun terjadi sama kamu.Aku semakin dekat dengan Nunik. Tak ada apapun yang terjadi, membuatku semakin berani. Ti

  • RUMAH EYANG   Mencari Nunik

    ''Bukannya Nunik sudah pulang?" tanyaku."Iya, tadi sudah pulang. Selesai sholat tadi, dia izin mau ke rumah Eyang lagi. Katanya kasihan kau sendirian di rumah," jelas Yoga. "Loh, katanya ada hajatan di rumah saudara kalian?" tanyaku heran. "Memang ada hajatan, tapi kami nggak pergi. Hanya titip amplop saja. Kamu khawatir sama kau, makanya Nunik ke sini. Zain sudah pesan untuk jaga kau."Jelas aku jadi khawatir mendengarnya. Berarti tadi benar Nunik yang datang. Kenapa Bi Lasmi bilang dia tak melihat Nunik? Apa memang dia tak nampak Nunik lewat? Apa tadi suara Nunik?"Bu, Rachel pulang ya," kataku. "Iyah." Dia mengangguk cepat, dengan senyuman yang lebar. "Kita ke rumah Ga." Aku langsung mengajak Yoga ke rumah. "Hati-hati." Aku langsung berbalik mendengar Bu Parsiah bilang hati-hati. Tetapi, dia terlihat sedang bermain dengan bebek. Aku melihat Pak Sugeng yang terus memperhatikan kami. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku cepat menyusul Yoga yang jalan lebih dulu, sambil memeg

  • RUMAH EYANG   Bab 34

    "Rachel! Rachel!" Aku cepat membuka mataku ketika merasakan ada yang mengguncang bahuku.Ternyata Nunik. Nafasku tersengal, seolah baru saja melepaskan beban yang sangat berat. "Kamu kenapa?" tanya Nunik. "Dia datang lagi, Nik," jawabku. Nunik membantuku untuk duduk. "Hartati?" tanyanya, aku mengangguk."Kamu sudah cerita sama Bi Lasmi?" "Belum. Aku nggak enak. Takutnya Bi Lasmi malah jadi sedih." "Iya juga. Kamu udah sholat? Ini sudah lewat Zuhur.""Belum." "Ya udah, sholat dulu sana. Aku tungguin." Aku bangkit, jalan ke kamar mandi untuk berwudhu. Usai berwudhu, aku segera ke kamar, untuk sholat Zuhur. Gubrak. "Oohh arrghhh. To–"Setelah rakaat terakhir aku mendengar suara gaduh dari luar kamar. Suara siapa, apa suara Nunik? Aku jadi tak khusyuk sholat. Rasa khawatir menyergap dalam hati, takut ada apa-apa sama Nunik. Usai salam, aku langsung bangkit tanpa memanjatkan doa. Dengan tubuh masih dibalut mukena aku melihat keluar. Pintu masih tertutup. Nunik kemana?"Nik!" Aku

  • RUMAH EYANG   Bab 33

    "Nanti Rachel kesini lagi sama Hartati," kataku untuk membujuknya, sambil melepaskan pelukannya dari pinggangku. Dia masih enggan, melepas pinggangku. Malah semakin erat memelukku."Buk, lepaskan Non Rachel!" kata Pak Sugeng yang datang lagi. Mungkin dia melihat Bu Parsiah yang terus memelukku. Bu Parsiah menggeleng. "Takut.""Takut apa Bu? Nggak papa kok. Rachel aman sama Mas Mondi." Aku dengan sabar memberinya pengertian. Orang seperti Bu Parsiah tidak bisa diajak bicara kasar. Dia akan berontak nanti. Lebih baik agak sedikit bersabar. "Kasihan bayinya, Bu. Sesak." Aku mencari alasan agar Bu Parsiah mau melepas pelukannya.Benar saja, perlahan, dia merenggangkan pelukannya. Aku jadi terharu. Hati ini bisa merasakan, kalau dia sayang sama anakku. "Biarkan Non Rachel pulang," kata Pak Sugeng, sambil membimbing bahu istrinya.Wajah Bu Parsiah terus menunduk, tampak takut. Entah sama siapa. "Yuk ah. Mas udah lapar." Mas Mondi mengulurkan tangannya padaku. Aku langsung menyambutnya

  • RUMAH EYANG   Bab 32

    "Chel, aku yakin sekali, pasti waktu itu kamu kerasukan arwah Hartati," kata Nunik, memastikan kalau dugaan kami tak salah. Aku masih diam, mencoba menarik benang merah dari setiap peristiwa yang kualami di rumah ini. "Aku rasa, untuk memutus semua ini, kita harus mencari tau penyebab kematian Hartati yang sebenarnya. Bang Yoga curiga, kalau Hartati bukan murni kecelakaan dulu." Aku menelan ludah, haruskah aku menceritakan apa sebenarnya yang kulihat di mimpiku pada Nunik? Terus terang, aku malu menceritakan kalau ayahku dulu berselingkuh dengan Eyang. Apalagi keduanya sudah tiada. Rasanya tak baik menceritakan aib yang memang sengaja disembunyikan itu. Apalagi, dalam mimpiku itu, aku melihat mereka membu nuh Hartati dengan keji. Malu sekali rasanya menceritakan ini. Bi Lasmi, tau tidak ya, cerita yang sebenarnya? Astaghfirullah, itu kan hanya mimpi. Bagaimana aku berpikir kalau itu adalah cerita yang benar? Kalau tak benar, untuk apa aku mimpi seperti itu? Kepalaku rasanya pusing

DMCA.com Protection Status