Sampai sekarang, mereka masih membuka toko pakaian juga, tapi hanya di depan rumah saja. Tak lagi menyewa tempat. Usia yang semakin menua, membuat mereka menahan diri untuk tak mengambil pinjaman modal usaha.
Lagipula, mereka dagang juga hanya untuk mengisi kesibukan di hari tua saja. Selama ini, Mas Mondi juga membantu untuk biaya kehidupan mereka. Aku tak keberatan, karena sudah tau sejak sebelum kami menikah. Selama kebutuhanku bisa dipenuhi oleh Mas Mondi, menurutku hal itu tak jadi masalah.
Kata Mama, mereka juga masih ada deposito di bank. Kalau untuk hari tua mereka, kami tak terlalu risau.
"Pasti izinin. Sebelum berangkat, kita minta izin dulu ke rumah mama papa. Kalau rezeki kita bagus, kita bisa sesekali datang ke sini, atau mama papa yang kita minta datang ke Medan," kata Mas Mondi, yang cukup bisa diterima akalku.
"Beberapa bulan lagi, Ayah juga pensiun. Ayah akan menyusul kalian ke Medan," ucap Ayah.
"Bener ya. Jangan cari kerja lagi di sini. Rachel nggak tenang, kalau Ayah sendirian terus di sini. Kalau bisa, jangan sampe Rachel lahiran," kataku penuh harap, Ayah akan memenuhi janjinya.
Walau kondisi fisik Ayah masih sehat, tapi di usianya yang tak muda lagi itu, tak tega rasanya kalau dia hanya tinggal seorang diri. Ayah juga pasti tak akan mau kalau disuruh tinggal dengan mertuaku, meski hubungan mereka sangat baik.
"Iya. Kapan Ayah pernah ingkar janji sama Rachel?" tanya Ayah.
Aku coba mengingat-ingat, Ayah memang hampir tak pernah ingkar janji. Ayah selalu saja berusaha untuk memenuhi janjinya padaku.
"Ada. Ayah pernah nggak tepat janji sama Rachel," kataku ketika akhirnya bisa ingat kalau Ayah pernah task menepati janji.
"Janji apa?" tanya Ayah yang ternyata justru sudah lupa.
"Ayah nggak pernah ajak Rachel ke Medan untuk ziarah ke kuburan ibu."
Ayah tampak tercenung mendengar aku mengingatkan dirinya akan janji itu. Janji yang tak pernah ditepati Ayah hingga kini.
"Ayah kok jadi melamun. Ya udah, Rachel nggak marah kok. Kan sebentar lagi Rachel akan menetap di sana. Bisa sering-sering ziarah ke makam ibu," ucapku agar Ayah tak sedih lagi.
Aku merasa yakin, bukan masalah biaya ke Medan yang ayah pikirkan. Bahkan saat aku sudah bekerja pun, ayah tetap saja tak mengajakku ke Medan, untuk berziarah ke makam ibu. Padahal aku sudah bilang, akan menanggung biaya trasportasi.
Seandainya dulu aku tau alamat Eyang di Medan, pasti aku sudah berangkat sendiri.
~~~~~~~~~
Sampai juga kami di rumah Eyang. Seorang sopir bernama Pak Manto yang menjemput kami ke bandara. Dia sopir pribadi Eyang.
Aku dan mas Mondi tak lantas masuk ke dalam rumah. Kami berdiri diam di depan rumah itu, takjub melihat megahnya rumah Eyang. Sama sekali aku tak menyangka kalau Eyang ternyata orang paling kaya di kampung ini.
Walau rumah Eyang modelnya tidak kekinian, tapi cukup menandakan kalau beliau orang yang memiliki banyak kekayaan, juga banyak pengaruh.
Bahkan menurut cerita Pak Manto tadi, selain pemilik kebun sawit terbesar, Eyang juga memiliki peternakan bebek juga ikan lele.
"Eh, ini pasti Non Rachel. Ealah, cantik sekali sudah besar. Dulu, waktu Non Rachel kecil, Bibi loh, yang momong. Masih ingat nggak, sama Bibi Lasmi?"
Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah itu, dan langsung sangat ramah dan terlihat sangat akrab denganku.
Dahiku mengernyit. Aku tak ingat padanya. Memang kata Ayah, sampai usiaku 5 atau 6 tahun kami tinggal di sini bersama Eyang. Eyang Putri tepatnya, karena Eyang Kakung, sudah tiada saat ibuku masih dikandungan.
"Yok yok masuk. Eyang udah nungguin dari tadi. Sini tasnya Bibik bawain." Bi Lasmi sangat ramah dan energik sekali. Dia ingin meraih tas dari tangan Mas Mondi.
"Nggak usah, Bik. Nggak berat kok," kata Mas Mondi menolak, sungkan meminta orang yang lebih tua mengangkat tas kami yang memang tak berat.
Sengaja kami tak membawa banyak baju ganti. Buat jaga-jaga, kalau suatu saat kami tak betah tinggal di sini. Semua sudah kami titip di rumah mertua, agar tak merepotkan Ayah nanti, kalau benar Ayah akan menyusul ke Medan.
"Anakku. Anakku."
Aku sangat terkejut, saat tiba-tiba ada wanita yang merangkulku sangat erat. Penampilannya benar-benar buruk, seperti orang yang hilang ingatan.
Terang saja aku sangat ketakutan, namun aku juga tak mau bergerak dengan gegabah. Aku sedang hamil lima bulan, takut kalau tiba-tiba wanita itu melakukan sesuatu yang membahayakan kandunganku.
Mas Mondi berusaha menarik tubuh wanita itu yang terus merangkulku.
"Buk, lepasin. Ini istri saya, bukan anak Ibu." Walau keadaan wanita itu seperti orang tak waras, Mas Mondi tetap sopan padanya.
"Eh, Parsiah, lepasin! Ini bukan anakmu!" Dengan kasar Bi Lasmi menarik tubuh wanita itu hingga wanita itu hampir terjengkang.
Mas Mondi cepat menangkapnya. Kasihan sekali dia. Wanita bernama Parsiah itu langsung menangis dengan wajah memelas.
"Pergi sana! Anakmu sudah mati! Awas aja ya, kalau sampai aku lihat kau di dekat sini lagi." Bi Lasmi terlihat sangat tak suka dengan Bu Parsiah.
Sambil mengisak, dan mata yang terus melihat ke arahku, dia pergi juga. Irama jantungku masih saja tak beraturan sejak tadi.
"Bi, jangan seperti itu. Bagaimana pun, dia manusia juga," kata Mas Mondi. Raut wajahnya tampak tak senang dengan cara Bi Lasmi mengusir wanita itu.
Bi Lasmi tak peduli. Dia justru melihat kondisiku, untuk memastikan kalau aku akan baik-baik saja.
"Non, nggak papa kan. Dasar orang gila itu si Parsiah. Sejak anaknya meninggal, dia jadi senget kayakgitu," omel Bi Lasmi.
"Memangnya anak Ibu itu, sebaya sama Rachel, Bi?" tanyaku.
Kami cerita sambil jalan masuk ke dalam rumah yang semakin membuatku berdecak kagum.
"Dulu, anaknya itu teman main Non Rachel. Namanya Sinta. Bapaknya tukang kebun, tapi nggak setiap hari datang. Kalau bapaknya datang ke sini, dia pasti ikut," ungkap Bi Lasmi.
Aku sangat terkejut, ternyata aku juga punya teman masa kecil di sini.
Aku memandang rumah ini. Benar-benar klasik interior bagian dalamnya, termasuk perabotan di dalam rumah. Semuanya bernilai seni tinggi. Hampir semua perabotan terbuat dari kayu yang berkualitas dengan ukiran jepara klasik.
"Ini kamar, Eyang."
Bi Lasmi membuka pintu sebuah kamar.
"Non sama Mas, masuk saja. Bibi akan siapkan makan malam," kata Bi Lasmi lagi seraya meninggalkan kami.
Kakiku berjalan pelan masuk ke dalam kamar itu, diikuti oleh Mas Mondi. Mataku bisa menangkap sesosok tubuh wanita tua yang sedang duduk di sebuah kursi goyang yang menghadap ke jendela.
"Eyang," sapaku sangat pelan, agar tak mengagetkannya.
Eyang menoleh, dan langsung tersenyum padaku. Seketika hatiku merasa sangat terharu, hingga mataku berkaca-kaca.
"Akhirnya kamu datang, Ndok," kata Ayang. Suaranya begitu lemah.
~~~~~~~~~
Aku mendekati Eyang. Terus terang saja, agak merasa aneh sih. Setelah dua puluh tahun baru bisa bertemu lagi. Aku dan Mas Mondi hanya berdiri saja setelah bersalaman dengan Eyang. Kalau kuperhatikan, Eyang sangat cantik, meskipun sudah tua. Usianya sekitar tujuh puluhan. Kalau saja tubuhnya tak lumpuh, pasti akan sangat menyenangkan. "Bagaimana kabar ayahmu? Kenapa dia tak ikut kesini? Eyang juga suruh dia datang kesini? Biar bisa mengelola kebun juga ternak," kata Eyang. "Alhamdulillah, Ayah baik Eyang. Ayah masih bekerja, mungkin beberapa bulan lagi, setelah Ayah pensiun baru datang. Rachel udah bilang sama Ayah, supaya datang sebelum Rachel melahirkan." Aku mengatakan sesuai dengan perbincangan kami dengan Ayah sebelum kemari."Sudah berapa bulan?" tanya Eyang seraya menarik tanganku untuk lebih dekat lagi. Beliau mengelus lembut perutku. "Masih lima bulan Eyang," jawabku. "Mudah-mudahan sehat," katanya. Aku tersenyum mendengar doa Eyang. "Kalian istirahatlah dulu. Pasti cape
"Tadi kami ngobrol kok Bi, sama Eyang," kataku. Apa mungkin Eyang yang lupa. Usia yang sudah menua, bisa saja membuatnya mulai pikun. "Loh, jadi kok Eyang masih nanyain Non Rachel? Eyang lelap sekali tidur tadi katanya. Beberapa hari ini memang sulit tidur. Mungkin sekarang sudah lega, karena Non Rachel sudah datang. Non mau ngobrol dulu sama Eyang, apa mandi dulu? Apa mau Bibi siapin air panas untuk mandi. Udah sore banget loh. Air di sini dingin sekali kalau terlalu sore begini. Soalnya langsung dari mata air yang ngalir dari bukti belakang sana." "Em, nggak usah Bi. Nanti kalau mau, Rachel masak sendiri." Agak merasa sungkan juga kalau semua dilayani. Aku yang sudah terbiasa mandiri sejak kecil, sekarang harus diperlakukan seperti seorang putri, rasanya kok malah aneh. Bukan tak senang, cuma gimana ya, kayak nggak enak aja gitu."Mana makan Eyang, Bi? Biar sekalian Rachel suapi." Aku berpikir untuk menyuapi Eyang makan terlebih dulu, baru mandi. Sekaligus menjawab rasa penasara
"Ada apa Non?" Bi Lasmi langsung datang ke kamar Eyang. "Mangkuknya jatuh, Bi. Nggak sengaja tadi," kataku berbohong. Kalau kubilang ada yang memukul tanganku, apa dia percaya?"Ya sudah. Biar saja. Bibik ambil sapu sama pengki dulu. Non, nemani Eyang saja, nanti Bibi ambilkan yang baru lagi makanan buat Eyang," kata Bi Lasmi langsung beranjak keluar kamar Eyang. Aku bangkit, lalu mendekati Eyang. Eyang tampak tenang, tak terkejut dengan kejadian barusan. Dia hanya menoleh, berusaha melihat ke belakang sebentar. "Maaf ya, Yang," kataku. "Nggak papa. Kamu nggak papa kan, Ndok?" tanya Eyang. Dia menatapku dengan mata teduhnya. Eyang pasti sangat cantik di masa mudanya. Gurat kecantikan itu masih terlihat sangat jelas di usianya yang sudah senja. "Ambil bangku," suruh Eyang. Aku menurut. Aku mengambil bangku bundar yang ada di meja rias Eyang, lalu duduk di hadapan Eyang."Syukurlah, Eyang masih sempat melihat kamu, sebelum Eyang meninggal," kata Eyang sambil mengelus lembut pipik
Zain mendekatiku, dengan mata yang tak lepas dari wajahku. Membuat aku jadi tertunduk malu. "Kau tak kenal sama aku?" tanyanya dengan logatnya yang Medan sekali. Aku menggeleng cepat. "Aku Zain. Anak Wak Togar. Aku dulu selalu main sama kau setiap hari di sini. Sama Sinta, sama Nunik, juga Yoga. Masak kau tak ingat," katanya berusaha mengingatkan pada nama-nama orang yang mungkin aku kenal. "Dia mana ingat Zain. Dulu kalian masih kecil sekali. Masih lima tahun dulu umurnya," kata Eyang. "Tapi aku ingat, Eyang. Pantas, aku kayak kenal muka dia. Makin cantik kau ya, udah besar." Pujiannya berhasil membuat pipiku memerah. "Kamu lebih tua 4 tahun dari dia, wajar kalau kamu ingat. Jangan kamu ganggu dia, dia sudah menikah," kata Eyang."Astaghfirullah hal adzim. Tak mungkinlah Eyang, aku mengganggu perempuan yang sudah beristri. Eyang tau, dari kecil dia sudah kayak adikku. Mana suami kau, kau kenalkan dulu sama abangmu ini," katanya penuh percaya diri. Entah kenapa, saat dia bilang
"Eh, nggak." Aku tak lagi menjelaskan tentang anak itu. Dia tampak berbeda dengan anak yang kulihat mengejar bebek tadi. Dia justru lebih mirip dengan anak yang kulihat di mimpiku sebelum ke rumah ini. Ada apa ini? Apakah ada sesuatu yang tersembunyi di rumah Eyang? Zain. Apakah dia tau sesuatu? Makanya dia ingin Eyang diruqyah. Bisa jadi, sosok-sosok itu yang mengganggu Eyang."Sayang, kenapa malah melamun. Makanannya keburu dingin." Mas Mondi menegurku. Aku cepat makan, agar mengimbangi Mas Mondi dan Bi Lasmi. Kami kembali mengobrol. Bi Lasmi yang aktif bertanya tentang kehidupan kami di Jakarta. Lebih banyak mas Mondi yang menjawab. Mereka terlihat sangat cepat akrab. Padahal, mas Mondi bukan orang yang mudah dekat dengan orang lain. Syukurlah, berarti mas Mondi bisa betah tinggal di sini. "Besok, Mas Mondi bicara sama pak Sugeng. Kalau mas Mondi juga mau ikut mengurus ternak Eyang," kata bi Lasmi.Alisku menaut mendengarnya. Kenapa jadi bi Lasmi yang mengatur? Bahkan Eyang saj
Malam ini kami tidur lebih awal. Usai sholat Isya aku langsung merebahkan tubuhku. Seharian ini belum ada istirahat, membuat mataku benar-benar tak dapat lagi menahan kantuk.Mas Mondi juga sudah mengantuk. Tak banyak hal yang bahas di atas tempat tidur besi model klasik, dengan tilam kapuk tempahan yang masih sangat empuk. Tak butuh waktu lama, sebentar saja aku sudah beralih ke alam mimpi. Tiba-tiba telingaku menangkap suara tangisan seseorang. Suara seorang wanita, sangat menyayat hati suara itu. Suara yang menyimpan kesedihan mendalam. Aku turun dari atas ranjang. Kulihat mas Mondi sudah lelap sekali. Tak perlu lah kuganggu dia. Kulihat jam jadul yang ada di dinding. Masih jam sembilan malam. Walau jam itu sangat klasik, tapi masih berfungsi dengan baik. Jarumnya berjalan seperti biasa. Kulangkahkan kali dengan perlahan, ke arah luar kamar. KRIIEETTTSuara derit pintu yang kubuka, lalu kututup kembali setelah aku keluar dari kamar itu. Indra pendengaranku lebih kutajamkan la
"Tadi terbangun, jadi hilang ngantuknya. Mas bingung mau ngapain, mending ngobrol sama pak Sugeng. Lagian belum terlalu larut." Alasan Mas Mondi cukup masuk di akal. Tak ada alasan untuk curiga. Astaghfirullah. Kenapa aku curiga sama suamiku? Atas dasar apa?"Kamu kenapa bangun?" tanyanya. "Terbangun juga. Aku …." Apa sebaiknya aku cerita saja ya, sama Mas Mondi tentang mimpiku."Mas, aku mimpi buruk banget." Aku mulai menceritakan mimpiku. "Mimpi apa?" "Aku melihat ibu." "Ibu kamu?""Iya." Aku merasa yakin, wanita yang ada di dalam mimpiku adalah Ibu. Walau aku hanya mengenal wajahnya lewat foto, tapi wajah itu terus aku ingat di dalam kepalaku. Aku sebenarnya mirip dengan Ibu, tapi jauh lebih cantik Ibu. Aku harus akui itu. Wajah Ibu identik sekali dengan keayuan wanita Jawa, walau dia asli kelahiran Sumatra. "Aku melihat ibu bunuh diri dengan memotong nadinya sendiri," kataku dengan serius. "Apa ibu meninggal bunuh diri?" tanya Mas Mondi. "Kata ayah, ibu meninggal karena s
"Sudah," kata Eyang sembari menahan tanganku yang ingin menyuapkan lagi makanan ke mulutnya. Eyang sepertinya kehilangan selera makan karena ku membahas soal Ibu. Namun, aku tak memaksa. Kuberikan gelas berisi air minum Eyang. Entah hanya minum sedikit saja. "Ayahmu bilang apa?" tanya Eyang. Dahulu mengernyit, kenapa Eyang justru bertanya soal Ayah. "Maksudnya, ayah bilang apa gimana, Eyang?" tanyaku. "Tentang ibumu. Apa yang ayahmu katakan tentang kematian ibumu?" tanya Eyang. "Ayah bilang, ibu meninggal karena sakit. Sakit yang sudah lama ibu derita sejak melahirkan Rachel," jawabku sesuai dengan apa yang Ayah ceritakan. "Kalau ayahmu bilang begitu. Berarti benar seperti itu. Tak usah lagi diungkit tentang ibumu. Kasihan dia. Dia sudah tenang," kata Eyang. Jujur, aku merasa tak puas dengan jawaban Eyang. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan olehnya. Sesuatu yang tak boleh aku ketahui. Namun, tak mungkin juga aku memaksa Eyang cerita dengan kondisi kesehatan Eyang yang tak b