"Yoga!" Reflek aku menjerit dan berlari ke arah Yoga. Yoga tampak kesakitan memegang punggungnya yang sepertinya sakit sekali. Tak ada siapapun selain Nunik yang terbaring lemah. Siapa yang menyerang Yoga tadi?Aku berjalan mendekati Nunik, untuk melepas ikatan di tubuhnya. Kami harus segera keluar dari ruangan ini. Aku bisa merasakan kalau aura di ruangan ini sangat menyeramkan. Bulu kudukku terus meremang sejak kamu mulai memasuki ruangan ini. "Chel, jangan!" Yoga meneriakiku agar jangan mendekati Nunik. Kami tak mungkin keluar dari ruangan ini tanpa membawa Nunik keluar. Aku abaikan larangan Yoga. Aku menarik dalam nafasku, jantungku berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. Aku tau, ini bahaya. Kalau kami tak melakukan apapun, juga akan berbahaya untuk Nunik. Perlahan aku jalan, seraya memegangi perutku. Kita kuat Nak. Jangan takut. Bunda nggak akan biarkan apapun terjadi sama kamu.Aku semakin dekat dengan Nunik. Tak ada apapun yang terjadi, membuatku semakin berani. Ti
"Kamu nggak lagi bercanda kan?" tanya Mas Mondy seolah-olah tak percaya apa yang kukatakan. "Nggak Mas. Ayo." Aku menarik tangan Mas Mondi untuk masuk ke dalam kamar Eyang."Mas geser lemarinya. Ada ruang bawah tanah, Mas," kataku. Aku masih merasa takut dan tegang kalau teringat kejadian yang tadi. Mas Mondi mengintip sedikit dari celah yang ada di belakang lemari, lalu menggeser lemari itu. "Biar Mas aja," cegah Mas Mondi ketika aku ingin membantunya. Sekuat tenaga Mas Mondi menggeser lemari itu, akhirnya bisa juga. Setelah dirasa bisa dilewati satu badan manusia dewasa, Mas Mondi tak lagi menggesernya."Tuh, kan ada pintunya Mas," kataku. Mas Mondi meletakkan telapak tangannya di pintu itu. Membuka kunci yang hanya mengait begitu saja, lalu mendorong pintu itu pelan.Aku memegangi tangan Mas mondy. Aku masih teringat akan kejadian tadi. "Jangan masuk Mas, bahaya," kataku melarangnya untuk masuk."Kamu tunggu di sini aja," katanya. Mas Mondi jalan perlahan menuruni anak tangg
“Aduuhh.” Aku meringis sambil memegangi kepalaku yang terasa sangat sakit dan pusing sekali.Ya Allah kenapa jadi sakit semua. Kepala sakit, perut sakit. Mas, cepatlah datang. Aku rasanya sudah tak kuat lagi. Ajakku di dalam perut juga terus bergerak dengan sangat aktif. Rasanya sakit sekali. Apa mungkin aku mau melahirkan, tapi belum masuk harinya. Tubuhku sampai berkeringat dingin merasakan sakitnya. Tidur salah, jalan juga salah. Rasanya seluruh tulang yang ada di tubuhku rontok semua. Luar biasa sakit. Ya Allah, tolong. Aku dengar suara gaduh. Suara langkah kaki yang tergesa. Mas Mondi yang datang, bersama dengan Bi Lasmi. Mereka langsung masuk ke kamarku. “Coba baring, Non,” kata Bi Lasmi. Aku segera berbaring, dibantu oleh Mas Mondi. Bi Lasmi langsung memeriksa perutku. “Ini udah mau lahiran. Kayaknya kita nggak sempat ke rumah sakit, anaknya udah mau keluar,” kata Bi Lasmi. Suaranya terdengar panik. Membuat aku juga jadi panik. “Mas, ambilkan air hangat, pake baskom. Air
“Kamu pasti bohong!” teriakku. Tanganku kuhentak-hentakkan, berharap ikatan akan terlepas.“Kamu tau, bertahun-tahun aku sudah bersabar menghadapi keserakahan Sandra. Aku terima saja, saat dia menguasai seluruh harta warisan dari bapakku. Hanya karena aku anak dari istri kedua, dia tak menganggap aku sama sekali.”Sumpah, aku sangat terkejut. Ternyata benar, Pak Manto adalah anak dari Buyut juga. Sangat banyak rahasia di rumah Eyang yang tidak aku ketahui. Semuanya membuatku bingung juga takut. Kenapa aku baru tau sekarang? Ayah, kenapa Ayah tidak menceritakan semua padaku sebelumnya? Apa Ayah tidak berpikir, kalau aku yang pada akhirnya akan menjadi korban?“Saat dia hanya menjadikan aku dan istriku pesuruhnya pun, aku tak menolak.” Pak Manto bicara sambil mengelilingi meja tempat tubuh ini dibaringkan. Di tangannya ada sebuah pisau daging. Entah untuk apa pisau itu. Apa mereka akan menghabisi aku sekarang? Ya Allah, tolong aku. Tolong anakku. “Sejak kecil, dia tak pernah mau meng
Mataku mendelik besar, kala Pak Manto mengarahkan senjata tajam itu ke wajahku. Perih, ujung belati itu menggores wajahku. Apalagi Pak Manto terus menggeser belati itu. Aku meringis, air mata tak mau berhenti keluar dari sudut mataku. Dadaku bergerak turun naik dengan cepat. Seringai di wajahnya membuatku ngeri. Bibirnya tersenyum miring, mengejek ketidak berdayaanku.Dadaku terus bergemuruh dengan cepat, mataku tak mau berkedip kala senjata tajam itu didekatkan ke pipiku. Hanya berjarak satu inci lagi, maka benda itu akan menyayat kulitku. Pak Manto terus menggeser benda itu, sangat perlahan. Dia seolah-olah sengaja membuatku ketakutan. Memancing rasa cemas yang berlebihan. Dia mengangkat benda itu ke atas. Aku hanya bisa pasrah. Kupejamkan mata sangat kuat. Ya Allah, aku pasrah. Terdengar suara benda jatuh dan suara gaduh. “Astaghfirullah hal adzim.” Mataku langsung kubuka saat mendengar suara seseorang yang beristighfar dan suara derap kaki yang saling berkejaran.Terima kasih y
POV Rachel"Ehhm, hausnya." Aku terjaga dari tidurku. Tiba-tiba rasa haus mendera."Mas, bangun. Temani ke dapur." Kuguncang oelan bahu suamiku, tapi dia tak mau bangun. Malah berbalik, jadi memunggungiku.Tidurnya sangat lelap, apalagi dia baru saja melalui hari yang berat. Baru saja diberhentikan sepihak dari tempatnya bekerja, adalah hal yang sangat berat baginya. Lebih baik aku keluar sendiri untuk mengambil minum. Jam di dinding masih menunjukkan pukul 02.00 wib. Jam dimana banyak orang masih dibuai dalam mimpi mereka masing-masing. Perlahan sekali aku turun dari atas ranjangku, agar tak menimbulkan suara yang bisa mengganggu tidur suamiku. Membuka pintu kamar juga sangat hati-hati aku lakukan, sampai benar-benar tak menimbulkan suara. Dahiku mengernyit, saat melihat ada cahaya di dapur. Seperti cahaya yang berasal dari kulkas. Kalau malam, lampu dapur dan ruangan tengah dipadamkan, jadi akan terlihat jelas kalau ada cahaya dari dapur. "Hmm, pasti Ayah lupa tutup kulkas lagi
Sampai sekarang, mereka masih membuka toko pakaian juga, tapi hanya di depan rumah saja. Tak lagi menyewa tempat. Usia yang semakin menua, membuat mereka menahan diri untuk tak mengambil pinjaman modal usaha. Lagipula, mereka dagang juga hanya untuk mengisi kesibukan di hari tua saja. Selama ini, Mas Mondi juga membantu untuk biaya kehidupan mereka. Aku tak keberatan, karena sudah tau sejak sebelum kami menikah. Selama kebutuhanku bisa dipenuhi oleh Mas Mondi, menurutku hal itu tak jadi masalah. Kata Mama, mereka juga masih ada deposito di bank. Kalau untuk hari tua mereka, kami tak terlalu risau. "Pasti izinin. Sebelum berangkat, kita minta izin dulu ke rumah mama papa. Kalau rezeki kita bagus, kita bisa sesekali datang ke sini, atau mama papa yang kita minta datang ke Medan," kata Mas Mondi, yang cukup bisa diterima akalku. "Beberapa bulan lagi, Ayah juga pensiun. Ayah akan menyusul kalian ke Medan," ucap Ayah. "Bener ya. Jangan cari kerja lagi di sini. Rachel nggak tenang, kal
Aku mendekati Eyang. Terus terang saja, agak merasa aneh sih. Setelah dua puluh tahun baru bisa bertemu lagi. Aku dan Mas Mondi hanya berdiri saja setelah bersalaman dengan Eyang. Kalau kuperhatikan, Eyang sangat cantik, meskipun sudah tua. Usianya sekitar tujuh puluhan. Kalau saja tubuhnya tak lumpuh, pasti akan sangat menyenangkan. "Bagaimana kabar ayahmu? Kenapa dia tak ikut kesini? Eyang juga suruh dia datang kesini? Biar bisa mengelola kebun juga ternak," kata Eyang. "Alhamdulillah, Ayah baik Eyang. Ayah masih bekerja, mungkin beberapa bulan lagi, setelah Ayah pensiun baru datang. Rachel udah bilang sama Ayah, supaya datang sebelum Rachel melahirkan." Aku mengatakan sesuai dengan perbincangan kami dengan Ayah sebelum kemari."Sudah berapa bulan?" tanya Eyang seraya menarik tanganku untuk lebih dekat lagi. Beliau mengelus lembut perutku. "Masih lima bulan Eyang," jawabku. "Mudah-mudahan sehat," katanya. Aku tersenyum mendengar doa Eyang. "Kalian istirahatlah dulu. Pasti cape