"Tadi kami ngobrol kok Bi, sama Eyang," kataku.
Apa mungkin Eyang yang lupa. Usia yang sudah menua, bisa saja membuatnya mulai pikun.
"Loh, jadi kok Eyang masih nanyain Non Rachel? Eyang lelap sekali tidur tadi katanya. Beberapa hari ini memang sulit tidur. Mungkin sekarang sudah lega, karena Non Rachel sudah datang. Non mau ngobrol dulu sama Eyang, apa mandi dulu? Apa mau Bibi siapin air panas untuk mandi. Udah sore banget loh. Air di sini dingin sekali kalau terlalu sore begini. Soalnya langsung dari mata air yang ngalir dari bukti belakang sana."
"Em, nggak usah Bi. Nanti kalau mau, Rachel masak sendiri." Agak merasa sungkan juga kalau semua dilayani.
Aku yang sudah terbiasa mandiri sejak kecil, sekarang harus diperlakukan seperti seorang putri, rasanya kok malah aneh. Bukan tak senang, cuma gimana ya, kayak nggak enak aja gitu.
"Mana makan Eyang, Bi? Biar sekalian Rachel suapi." Aku berpikir untuk menyuapi Eyang makan terlebih dulu, baru mandi. Sekaligus menjawab rasa penasaranku. Masak sih yang tadi itu bukan Eyang?
"Sebaiknya mandi dulu. Eyang kalau makan, lama banget. Keburu malam nanti. Kasihan itu yang di perut, bisa berantem sama angin di perut," kelakar Bi Lasmi sambil tertawa kecil dan langsung jalan ke dapur membawa baskom berisi air bekas untuk mandi Eyang.
"Mas, kamu dengarkan kata Bi Lasmi tadi? Kamu tadi lihatkan, memang Eyang yang duduk di kursi goyang?" Aku berbisik pada mas Mondi setelah Bi Lasmi tak tampak lagi di pandangan.
"Iya. Barangkali Eyang sudah pikun, makanya nggak ingat kalau kita udah ngobrol sama dia," bisik Mas Mondi pula.
Ternyata apa yang mas Mondi pikirkan, sama seperti yang aku pikirkan.
"Ya sudah, mandi dulu sana. Gantian. Mas, juga udah gerah banget,"kata Ma's Mondi.
Aku masuk dulu ke kamar untuk mengambil baju ganti juga handuk, baru ke kamar mandi yang ada di dekat dapur.
Aku tak melihat Bi Lasmi ada di dapur, kemana dia? Padahal dia tadi jalan ke arah belakang.
Aku melihat pintu dapur terbuka, segera aku ke situ. Sebenarnya tak penting juga dimana Bi Lasmi, selama dia masih ada di sekitar rumah. Namun, hatiku tergelitik untuk mengetahui dia sedang apa di belakang.
Aku yang ingin keluar, jadi mengurungkan niatku. Cepat aku menyembunyikan tubuhku di balik pintu dapur, Karena melihat Bi Lasmi sedang bicara dengan Pak Sugeng. Wajah keduanya tampak tegang, seperti sedang adu mulut, tapi dengan suara berbisik.
Aku cepat menyembunyikan badanku, ketika melihat Pak Sugeng melihat ke arahku.
Aku coba mengintip lagi, Pak Sugeng sudah tak ada. Tinggal Bi Lasmi yang kini jalan ke arah rumah lagi. Cepat-cepat aku jalan ke kamar mandi, supaya tak ketahuan Bi Lasmi kalau aku mengintipnya.
"Ada apa ya, sama Pak Sugeng dan Bi Lasmi?" Aku jadi bertanya-tanya sendiri. Soalnya sikap mereka cukup mencurigakan.
Ah, lebih baik aku mandi dulu, nanti Bi Lasmi curiga melihat aku kelamaan di kamar mandi.
Kamar mandi Eyang sudah ada showernya, jadi lumayan asik mandi kali ini. Tinggal berdiri di bawah guyuran air. Jadi kayak mandi hujan.
Aku benar-benar menikmati setiap guyuran air dari shower itu. Sengaja aku menyetel krannya sedang saja, agar air yang keluar tak terlalu deras. Biar aku tak merasa megap.
Tiba-tiba aku merasakan ada yang menyentuh punggungku. Sontak aku berbalik, tak ada siapapun di dalam sini selain aku. Walau kamar mandi ini cukup luas, tapi tak ada tirai penghalang di dalamnya. Jadi tak akan tempat untuk seseorang bersembunyi.
Aku kembali meneruskan aktifitas mandiku. Sabun cair mulai kubalurkan dan kugosok perlahan di sekujur tubuhku. Juga shampo urang-aring dengan wangi yang khas ke rambutku yang sudah basah. Lalu kubasuh, hingga tak ada lagi yang menempel di rambut dan tubuhku.
"Hah!" Aku langsung berbalik dan mundur selangkah, saat ada tangan yang memeluk pinggangku. Seperti tangan anak kecil.
Aku cepat-cepat menyudahi mandiku. Aku lap asal saja tubuhku dengan handuk dan langsung memakai baju tidur setelan yang diberi oleh mertuaku saat kami akan datang ke rumah Eyang.
Tergesa aku keluar dari kamar mandi, hingga hampir menabrak tubuh mas Mondi yang tau-tau sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Ya ampun, Mas. Bikin kaget aja," kataku.
Terus terang saja, jantungku saat ini berdetak lebih kencang dari biasanya. Bukan hanya karena aku sedang hamil, tapi karena takut juga.
"Kamu lama banget, makanya tadi mau ngetuk pintu kamar mandi. Kamu kenapa? mukanya tegang banget," tanya mas Mondi.
"Um, nggak papa. Ya udah gih, sana mandi. Aku mau nyuapin Eyang dulu."
Kayaknya tak perlu kasih tau Mas Mondi. Nanti dia jadi cemas, atau malah dikira aku yang sedang halu.
Aku yakin, tadi itu nggak halu. Jelas banget kok, tadi aku lihat tangan itu melingkar memeluk pinggangku. Pertanyaannya, siapa yang menggangguku di kamar mandi ?
Ah sudahlah. Mudah-mudahan memang hanya halu saja, karena aku masih capek. Belum ada istirahat juga dari tadi.
"Bi Lasmi!" Aku memanggil Bi Lasmi seraya jalan ke ruang tamu.
"Iya Non! Bibi di kamar Eyang," sahut Bi Lasmi.
Aku segera ke kamar Eyang. Kulihat Bi Lasmi sedang menyisir rambut Eyang yang sudah duduk di kursi goyang.
"Siapa yang angkat Eyang, Bi?" tanyaku.
"Mas Mondi, Non," jawab Bi Lasmi yang sudah selesai menyisir rambut Eyang.
"Sekarang, Ibu makan sama Non Rachel ya," kata Bi Lasmi pada Eyang. Nampaknya Bi Lasmi sangat perhatian sekali sama Eyang.
Aku melihat kepala Eyang bergerak mengangguk. Tak kulihat ekspresinya, karena aku di belakang Eyang.
"Saya tinggal, ya Non. Itu makanannya." Bi Lasmi menunjuk bubur nasi beserta sup ayam kampung di sebuah nampan yang ada di meja rias. Sebenarnya sejak masuk tadi sudah kulihat bubur itu.
Saat aku baru mengangkat nampan itu, tiba-tiba sebuah tangan memukul tanganku. Hingga nampan di tanganku terjatuh.
PRAANGG
Mangkuk bubur dan sup itu sontak pecah berkeping-keping.
~~~~~~~~~~
"Ada apa Non?" Bi Lasmi langsung datang ke kamar Eyang. "Mangkuknya jatuh, Bi. Nggak sengaja tadi," kataku berbohong. Kalau kubilang ada yang memukul tanganku, apa dia percaya?"Ya sudah. Biar saja. Bibik ambil sapu sama pengki dulu. Non, nemani Eyang saja, nanti Bibi ambilkan yang baru lagi makanan buat Eyang," kata Bi Lasmi langsung beranjak keluar kamar Eyang. Aku bangkit, lalu mendekati Eyang. Eyang tampak tenang, tak terkejut dengan kejadian barusan. Dia hanya menoleh, berusaha melihat ke belakang sebentar. "Maaf ya, Yang," kataku. "Nggak papa. Kamu nggak papa kan, Ndok?" tanya Eyang. Dia menatapku dengan mata teduhnya. Eyang pasti sangat cantik di masa mudanya. Gurat kecantikan itu masih terlihat sangat jelas di usianya yang sudah senja. "Ambil bangku," suruh Eyang. Aku menurut. Aku mengambil bangku bundar yang ada di meja rias Eyang, lalu duduk di hadapan Eyang."Syukurlah, Eyang masih sempat melihat kamu, sebelum Eyang meninggal," kata Eyang sambil mengelus lembut pipik
Zain mendekatiku, dengan mata yang tak lepas dari wajahku. Membuat aku jadi tertunduk malu. "Kau tak kenal sama aku?" tanyanya dengan logatnya yang Medan sekali. Aku menggeleng cepat. "Aku Zain. Anak Wak Togar. Aku dulu selalu main sama kau setiap hari di sini. Sama Sinta, sama Nunik, juga Yoga. Masak kau tak ingat," katanya berusaha mengingatkan pada nama-nama orang yang mungkin aku kenal. "Dia mana ingat Zain. Dulu kalian masih kecil sekali. Masih lima tahun dulu umurnya," kata Eyang. "Tapi aku ingat, Eyang. Pantas, aku kayak kenal muka dia. Makin cantik kau ya, udah besar." Pujiannya berhasil membuat pipiku memerah. "Kamu lebih tua 4 tahun dari dia, wajar kalau kamu ingat. Jangan kamu ganggu dia, dia sudah menikah," kata Eyang."Astaghfirullah hal adzim. Tak mungkinlah Eyang, aku mengganggu perempuan yang sudah beristri. Eyang tau, dari kecil dia sudah kayak adikku. Mana suami kau, kau kenalkan dulu sama abangmu ini," katanya penuh percaya diri. Entah kenapa, saat dia bilang
"Eh, nggak." Aku tak lagi menjelaskan tentang anak itu. Dia tampak berbeda dengan anak yang kulihat mengejar bebek tadi. Dia justru lebih mirip dengan anak yang kulihat di mimpiku sebelum ke rumah ini. Ada apa ini? Apakah ada sesuatu yang tersembunyi di rumah Eyang? Zain. Apakah dia tau sesuatu? Makanya dia ingin Eyang diruqyah. Bisa jadi, sosok-sosok itu yang mengganggu Eyang."Sayang, kenapa malah melamun. Makanannya keburu dingin." Mas Mondi menegurku. Aku cepat makan, agar mengimbangi Mas Mondi dan Bi Lasmi. Kami kembali mengobrol. Bi Lasmi yang aktif bertanya tentang kehidupan kami di Jakarta. Lebih banyak mas Mondi yang menjawab. Mereka terlihat sangat cepat akrab. Padahal, mas Mondi bukan orang yang mudah dekat dengan orang lain. Syukurlah, berarti mas Mondi bisa betah tinggal di sini. "Besok, Mas Mondi bicara sama pak Sugeng. Kalau mas Mondi juga mau ikut mengurus ternak Eyang," kata bi Lasmi.Alisku menaut mendengarnya. Kenapa jadi bi Lasmi yang mengatur? Bahkan Eyang saj
Malam ini kami tidur lebih awal. Usai sholat Isya aku langsung merebahkan tubuhku. Seharian ini belum ada istirahat, membuat mataku benar-benar tak dapat lagi menahan kantuk.Mas Mondi juga sudah mengantuk. Tak banyak hal yang bahas di atas tempat tidur besi model klasik, dengan tilam kapuk tempahan yang masih sangat empuk. Tak butuh waktu lama, sebentar saja aku sudah beralih ke alam mimpi. Tiba-tiba telingaku menangkap suara tangisan seseorang. Suara seorang wanita, sangat menyayat hati suara itu. Suara yang menyimpan kesedihan mendalam. Aku turun dari atas ranjang. Kulihat mas Mondi sudah lelap sekali. Tak perlu lah kuganggu dia. Kulihat jam jadul yang ada di dinding. Masih jam sembilan malam. Walau jam itu sangat klasik, tapi masih berfungsi dengan baik. Jarumnya berjalan seperti biasa. Kulangkahkan kali dengan perlahan, ke arah luar kamar. KRIIEETTTSuara derit pintu yang kubuka, lalu kututup kembali setelah aku keluar dari kamar itu. Indra pendengaranku lebih kutajamkan la
"Tadi terbangun, jadi hilang ngantuknya. Mas bingung mau ngapain, mending ngobrol sama pak Sugeng. Lagian belum terlalu larut." Alasan Mas Mondi cukup masuk di akal. Tak ada alasan untuk curiga. Astaghfirullah. Kenapa aku curiga sama suamiku? Atas dasar apa?"Kamu kenapa bangun?" tanyanya. "Terbangun juga. Aku …." Apa sebaiknya aku cerita saja ya, sama Mas Mondi tentang mimpiku."Mas, aku mimpi buruk banget." Aku mulai menceritakan mimpiku. "Mimpi apa?" "Aku melihat ibu." "Ibu kamu?""Iya." Aku merasa yakin, wanita yang ada di dalam mimpiku adalah Ibu. Walau aku hanya mengenal wajahnya lewat foto, tapi wajah itu terus aku ingat di dalam kepalaku. Aku sebenarnya mirip dengan Ibu, tapi jauh lebih cantik Ibu. Aku harus akui itu. Wajah Ibu identik sekali dengan keayuan wanita Jawa, walau dia asli kelahiran Sumatra. "Aku melihat ibu bunuh diri dengan memotong nadinya sendiri," kataku dengan serius. "Apa ibu meninggal bunuh diri?" tanya Mas Mondi. "Kata ayah, ibu meninggal karena s
"Sudah," kata Eyang sembari menahan tanganku yang ingin menyuapkan lagi makanan ke mulutnya. Eyang sepertinya kehilangan selera makan karena ku membahas soal Ibu. Namun, aku tak memaksa. Kuberikan gelas berisi air minum Eyang. Entah hanya minum sedikit saja. "Ayahmu bilang apa?" tanya Eyang. Dahulu mengernyit, kenapa Eyang justru bertanya soal Ayah. "Maksudnya, ayah bilang apa gimana, Eyang?" tanyaku. "Tentang ibumu. Apa yang ayahmu katakan tentang kematian ibumu?" tanya Eyang. "Ayah bilang, ibu meninggal karena sakit. Sakit yang sudah lama ibu derita sejak melahirkan Rachel," jawabku sesuai dengan apa yang Ayah ceritakan. "Kalau ayahmu bilang begitu. Berarti benar seperti itu. Tak usah lagi diungkit tentang ibumu. Kasihan dia. Dia sudah tenang," kata Eyang. Jujur, aku merasa tak puas dengan jawaban Eyang. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan olehnya. Sesuatu yang tak boleh aku ketahui. Namun, tak mungkin juga aku memaksa Eyang cerita dengan kondisi kesehatan Eyang yang tak b
Ah, tapi sudahlah. Itu haknya dia. Aku baru tau, kalau Bi Lasmi ternyata punya anak yang sudah meninggal. Tanganku kembali meraba, akhirnya aku mendapatkan kunci itu. Aku keluar lagi untuk bertanya sama Bi Lasmi, dimana gudangnya. Tapi dia tak ada. Apa dia pulang mengantar boneka itu? Ya, kata Bi Lasmi, dia hanya sesekali menginap menemani Eyang. Eyang lebih sering ditemani Zain kalau malam. Bi Lasmi akan datang pagi hari, dan pulang menjelang Maghrib. Belum banyak yang aku ketahui tentang Bi Lasmi.Aku terpaksa kembali.ke kamar, untuk bertanya sama Eyang. "Eyang. Gudangnya dimana?" tanyaku dari ambang pintu kamar Eyang. "Di belakang, pintunya dari luar," jawab Eyang.Aku keluar lagi, lalu jalan ke halaman belakang rumah. Benar saja, aku melihat ada sebuah pintu yang ada rantainya. Rantai itu juga digembok. Aku mencoba membuka gembok itu dengan kunci yang kudapatkan. Cocok. Gembok bisa dibuka. Bunyi bising dari rantai besi langsung memenuhi gendang telingaku. Rantai ini cukup besa
"Eyang kenapa?" tanyaku.Eyang terdiam tak menjawab, wajahnya tetap tegang. Bi Lasmi mendekati kami."Sini, Bibi bantu," kata Bi Lasmi.Tanpa meminta persetujuan kami, Bi Lasmi langsung menggendong Eyang. Aku sungguh kaget. Ternyata Bi Lasmi sangat kuat. Bisa menggendong Eyang sendirian. Lalu dengan perlahan diletakkan tubuh ringkih Eyang di kursi roda. "Makasih, Bi," kataku. Dia hanya tersenyum, lalu keluar lagi dari kamar Eyang. Eyang tampak memanjangkan lehernya, membuatku curiga dan tak tahan untuk bertanya. "Kenapa, Yang?" "Itu bukan Lasmi," bisik Eyang. Dahulu mengkerut mendengarnya. Apa Eyang mulai berhalusinasi karena sakit? Jelas-jelas itu Bi Lasmi, masak Eyang bilang bukan. Nggak mungkin juga hantu, kakinya aja napak kok.Ah sudahlah. Mungkin Eyang hanya sedang nggak enak badan aja."Kita keluar, ya Yang." Aku mendorong pelan kursi roda Eyang keluar dari kamar. Kubuka pintu utama rumah, lalu mendorong lagi kursi roda itu. Bannya masih bagus, jadi tak perlu tenaga yang