Tiba-tiba saja seekor lembu lari dari kerumunannya dan seperti hendak menyerang kami. Bukan hanya panik yang aku rasakan, takut itu sudah jelas. Sebelah tanganku memegang kursi roda, sebelah lagi memegang perutku. Reflek saja. Mungkin naluriku untuk melindungku Eyang dan anakku. Lelaki itu langsung berlari, menghalau lembunya sebelum sempat menyerang kami. "Hussssyeeeehh huuusssyeeehhhh!" Setelah lembunya berbalik, pemuda itu mengucapkan permintaan maaf pada Eyang. "Eyang. Maaf ya, kalau lembu saya tadi hampir nyerang Eyang." Eyang menggeleng, aku yakin Eyang juga sama takutnya seperti aku. "Nggak papa Yoga. Hati-hati, jangan sampai menyerang orang yang lewat lagi. Bagaimana kalau tadi yang diserang orang yang mengendarai motor?" "Iya. Sekali lagi maaf, Eyang." Pemuda itu terlihat sungkan. Aku hanya diam memperhatikan, tapi bukan aku tak tau, kalau dia juga sesekali melihatku dengan ekor matanya, meski hanya sekilas-sekilas saja. "Eyang balik dulu ya," kata Eyang. "Iya, Eyan
POV Sandra (Eyang)Sudah lama aku hanya bisa duduk di atas ranjang atau sesekali di kursi goyang yang sekarang menghiasi kamarku. Bersama dengan kesunyian yang selalu menemani. Semalam cucuku satu-satunya akhirnya datang lagi ke rumah ini. Sejak dia datang, rasanya aku jadi sangat bersemangat lagi.Sejak anakku Sulis meninggal belasan tahun silam, Wahid suami Sulis pergi membawa Rachel. Aku tau alasannya pergi dari rumah ini apa. Bukan karena dia merasa sungkan karena anakku sudah tiada seperti yang digembor-gemborkan selama ini. Hanya aku, dia dan Tuhan yang tau alasan itu? Sejak Sulis meninggal, dan Wahid pergi dari rumah. Aku selalu dihantui. Hal itu hampir membuatku hampir menjadi gila. Syukurlah, ada Togar yang bisa membantuku dulu terlepas dari perasaan dihantui itu. Sejak Togar meninggal karena kecelakaan, Zain anaknya lah yang menggantikannya. Aku menyayangi Zain, seperti cucuku sendiri. Sejak kecil, dia memang selalu bermain di rumahku, menjaga Rachel atas keinginannya send
"Non jangan nakuti Bibi?" katanya. "Nggak nakuti Bi. Makanya saya tanya," jawabku."Saya mau ke gudang, Bi. Ada yang mau saya lihat."Aku bangkit dari duduk dan langsung melangkah ke arah belakang. Aku mau melihat-lihat isi gudang. Barangkali aku menemukan sesuatu yang menarik yang bisa dijadikan hiasan di kamarku atau rumah ini. Bi Lasmi tak mencegah, dia membiarkanku pergi. Kulangkahkan kali ke arah gudang yang tadi. Sesampainya di depan gudang. Kurogoh kantong celanaku untuk mengambil kuncinya, lalu membukanya. Saat pintu sudah terbuka, debu yang beterbangan tak seperti pertama kali aku buka tadi. Aku langsung saja jalan ke arah lukisan-lukisan yang teronggok di sini, dan belum sempat kututup lagi pakai kain penutupnya. Bibirku tersenyum, kala melihat wajah Ibu di dalam lukisan yang paling depan. Sangat manis. Aku melihat rak buku, barangkali ada yang bisa dijadikan referensi bacaanku selain buku tentang perawatan kehamilan dan pasca melahirkan yang tadi kutemukan. Tanganku mu
"Nggak," jawabnya. "Ya udah makan. Nanti masuk angin," ujarnya. Kami menikmati makan siang kami dalam hening. Lama-lama aku bosan juga diem-dieman kayak gini. "Mas, nanti habis Zuhur aku mau beli motor sama Zain ya." Aku permisi sama Mas Mondi. Dia menatapku. Rasanya jengah sekali ditatap seperti itu. Kayaknya dia bakal melarang. Mungkin lebih baik Mas Mondi ikut aja. Kan kamu bsmisa pakai mobil. Mas Mondi bisa kok bawa mobil. "Ya udah. Jangan terlalu sore pulangnya. Mau beli motor apa rupanya?" Aku jadi bingung mendengar dia memberi izin tanpa terlihat keberatan. Padahal semalam, kayaknya dia nggak begitu suka dengan Zain. Ini sungguh di luar ekspektasiku, tapi aku berusaha menetralisir perasaan. Baguslah kalau dia kasih izin. Berarti kan aku nggak merasa ada ganjalan kalau jalan sama Zain. Mungkin karena aku sedang hamil, jadi Mas Mondi tak ada rasa cemburu. Cemburu? Ah, terlalu jauh pikiranku. Masak sih, aku berharap Mas Mondi cemburu pada Zain. "Matic aja, ya Mas. Mas suka
"Astaghfirullah hal adzim."Isi bungkusan itu bebek yang sudah disembelih hingga kepalanya putus. Mengerikan. Siapa orang yang melempar bebek ini? Apa ada orang yang sedang melakukan teror terhadap kami?PLETAKTerdengar suara keras dari belakang. Aku cepat bangkit untuk melihatnya. Suara itu berasal dari dapur. Aku cepat keluar membuka pintu dapur. Kulihat Bi Lasmi lari dengan tergopoh ke arahku. Namun aku tak terlalu menghiraukan Bi Lasmi, karena mataku tertumbuk pada sebuah benda berbentuk bulat yang dibungkus kertas, tepat di pintu dapur. Apa ini? "Ada apa, Non? Waktu Bibi tadi jalan, dengar suara keras. Makanya Bibik jadi lari-lari," kata Bi Lasmi dengan nafas tersengal.Aku tak menanggapi, karena fokus pada benda bulat yang kini ada di genggaman tanganku. Meski takut, dan sedikit gemetar, aku membuka kertas yang membungkus benda yang ternyata batu itu. Aku melihat ke segala arah di luar rumah, tak ada siapapun, hanya ada Bi Lasmi yang berdiri di hadapanku.PERGI DARI SINI!K
Sesaat aku terdiam. Tanganku yang hendak membalik halaman lain dari diary Ibu juga membeku di atas buku itu.SROGH SROGHAku seperti mendengar suara suatu benda yang digosok. Kututup buku diary Ibu dan kuletakkan di atas bantal. Aku turun perlahan dari atas tempat tidur. SROGH SROGHSuara itu terdengar lagi. Dari arah luar jendela. Aku membuka jendela kamarku perlahan. Tak ada apa-apa. Kuluaskan pandanganku, tetap mataku tak melihat apapun. "Rachel." Aku langsung menoleh mendengar suara yang memanggil namaku. Aku mematung di depan jendela kamarku. Mataku melihat sosok wanita cantik yang melihatku dengan tatapan hampa. Wanita itu … ibuku. Aku tak tau, apakah harus emang atau takut? Akhirnya aku bisa melihat sosoknya meski aku tau, itu hanya semu. Meski begitu, aku tak beranjak dari depan jendela. Aku ingin menatapnya lebih lama. Rindu, rindu yang tak pernah berbalas, kini sedikit terobati. Kami hanya saling menatap, tanpa ekspresi dan bersuara. Seandainya dia tepat di depanku, aku
Mas Mondi terlihat senang aku membelikan motor sesuai dengan yang dia idamkan selama ini. Sore ini, dia mengajakku keliling kampung. Walau baru pertama ke kampung ini. Mas Mondi terlihat cukup percaya diri dan tak takut kalau kami akan tersesat. Aku menyapa setiap orang, meski banyak orang yang jadi bingung karena sama sekali belum mengenalku. Sekarang memang belum, tapi nanti mereka pasti akan kenal sama aku. Ada baiknya aku beramah tamah sejak sekarang. Lagipula aku memang terbiasa ramah, sejak dulu.Aku melihat Yoga yang sedang menggembala lembunya. Sepertinya dia akan pulang. "Mas, Mas, berhenti dulu di situ. Itu teman aku," kataku pada Mas Mondi seraya menunjuk Yoga. "Teman bagaimana?" "Dia teman masa kecilku. Kemarin waktu pergi sama Zain. Zain yang mengenalkan aku lagi sama dia. Istrinya juga teman aku," jelasku. Mas Mondi mau juga berhenti di dekat Yoga. Yoga juga berhenti memperhatikan kami. Tatapannya masih saja sama kayak kemarin, saat aku pertama bertemu dengannya, di
"Non sebaiknya balik ke rumah Bu Sandra. Sudah mulai petang. Tak baik wanita hamil hari gini di luar rumah," kata Pak Sugeng. Dia mengusirku secara halus. Kenapa ya, Pak Sugeng seperti tak senang melihatku? Ah, barangkali saja memang dia seperti itu orangnya. "Saya permisi, Pak," kataku."Uhhh." Bu Parsiah terlihat keberatan aku pergi. Dia tak mau melepas lenganku dari pelukannya. "Bu, lepasin. Non Rachel nggak boleh sampai Maghrib di sini," kata Pak Sugeng pada Bu Parsiah. "Besok, kita jumpa lagi, ya Bu. Ibu boleh datang ke rumah Eyang," kataku.Dia melihatku, kepalanya manggut-manggut seolah bertanya, apa benar hal yang baru saja aku katakan. Aku menangkapnya seperti itu sih. "Iya. Ibu boleh main ke rumah Eyang. Saya tunggu ya," kataku, baru dia mau melepas lenganku.Aku jalan terus meninggalkan rumah Pak Sugeng yang terasa nyaman. Sesekali aku melihat ke belakang. Setiap aku menoleh, Bu Parsiah akan melambaikan tangannya dengan hati gembira.Setelah sampai di jalan yang menghu