"Non sebaiknya balik ke rumah Bu Sandra. Sudah mulai petang. Tak baik wanita hamil hari gini di luar rumah," kata Pak Sugeng. Dia mengusirku secara halus. Kenapa ya, Pak Sugeng seperti tak senang melihatku? Ah, barangkali saja memang dia seperti itu orangnya. "Saya permisi, Pak," kataku."Uhhh." Bu Parsiah terlihat keberatan aku pergi. Dia tak mau melepas lenganku dari pelukannya. "Bu, lepasin. Non Rachel nggak boleh sampai Maghrib di sini," kata Pak Sugeng pada Bu Parsiah. "Besok, kita jumpa lagi, ya Bu. Ibu boleh datang ke rumah Eyang," kataku.Dia melihatku, kepalanya manggut-manggut seolah bertanya, apa benar hal yang baru saja aku katakan. Aku menangkapnya seperti itu sih. "Iya. Ibu boleh main ke rumah Eyang. Saya tunggu ya," kataku, baru dia mau melepas lenganku.Aku jalan terus meninggalkan rumah Pak Sugeng yang terasa nyaman. Sesekali aku melihat ke belakang. Setiap aku menoleh, Bu Parsiah akan melambaikan tangannya dengan hati gembira.Setelah sampai di jalan yang menghu
Bertepatan dengan itu, Zain masuk. Zain sangat terkejut melihat rambutku yang ditarik paksa oleh Mas Mondi. Zain cepat memukul tangan Mas Mondi, hingga Mas Mondi mundur beberapa langkah. "Arggghhh!" Dia mengerang. Aku cepat beringsut mundur. Aku sangat takut melihat suamiku sendiri. Ternyata seperti itu orang yang kerasukan. Hingga dia tak bisa mengenali aku, istrinya sendiri. "Keluar dari tubuh orang ini!" perintah Zain, mungkin pada sosok yang merasuki raga Mas Mondi. Mas Mondi menatap wajah Zain dengan berang. Mulutnya menyeringai. Dia tampak seperti zombi. Begitulah yang bisa kugambarkan tentang Mas Mondi saat ini.Mulut Zain terlihat berkomat-kamit. Tangannya terus direngtangkan ke arah Mas Mondi yang ada di hadapannya itu."Allahu Akbar." Dengan gerakan yang sangat cepat. Zain menepuk dahi Mas Mondi, dan tangannya terus menempel di dahi Mas Mondi dengan satu tangan lainnya mengunci tubuh Mas Mondi dari belakang. Ini seperti gerakan silat. "Arrrghh arrghh arghh." Mas Mondi t
Tak terasa, sudah seratus hari Eyang meninggal. Anehnya, aku tak lagi mengalami gangguan apapun. Semua tampak normal dan biasa saja. Kehamilanku juga semakin besar, dan sudah mulai memasuki usia sembilan bulan. Tak lama lagi, akan ada tangis bayi di rumah ini. Semakin hari, aku semakin betah di rumah Eyang. Orang-orang yang ramah, lingkungan yang masih segar dan asri bikin aku merasa sangat menyukai tempat ini. Beberapa lukisan kembali kupajang. Agar rumah tampak lebih berwarna. Sebenarnya Zain melarangku, memajang lukisan itu, karena terlalu sempurna dan sangat mirip dengan aslinya. Menurut Zain, setan sangat suka bersemayam di balik lukisan yang sempurna seperti itu. Lain halnya kalau lukisan itu berbentuk karikatur, atau hanya sebagian. Namun, aku terlanjur suka. Sayang, lukisan bagus hanya disimpan di gudang. Aku mendengar suara motor masuk ke halaman rumah. Aku segera keluar, ingin melihat siapa yang datang. "Ayah!" Aku sangat senang, Ayah yang datang. Aku langsung menghampi
Malam ini, saat tinggal aku dan Ayah yang mengobrol. Aku coba tanya soal pernyataan Ayah tadi. Tadi tak sempat kutanyakan, karena ada Zain. Mas Mondi sudah lebih dulu tidur, capek katanya. Kami ngobrol berdua di teras rumah. "Ayah tau, kalau Ibu dulu suka sama Ayah Zain?" selidikku. "Tau. Ibumu tak bisa menyembunyikannya dari Ayah. Sikapnya itu tak bisa bohong. Ayah tau, si Togar itu sikapnya menyenangkan. Persis anaknya tadi. Ayah juga sudah baca di buku harian ibumu." Alisku menaut mendengarnya. Ayah bicara seolah-olah tanpa ada beban. Flat aja gitu. Apa Ayah tak merasa cemburu?"Ayah nggak cemburu?" tanyaku. Ayah malah tersenyum melihatku. "Awalnya, iya, Ayah cemburu. Tapi nggak lama-lama. Karena Ayah tau, si Togar itu hanya cinta masa lalu ibu kamu. Cinta monyet. Orangnya memang baik. Dia juga tak tau, kalau ibumu dulu sempat suka sama dia. Makanya dia biasa saja saat bersama ibumu. Jadi, buat apa Ayah cemburu? Malah bikin Togar tau tentang perasaan ibumu.""Salut lah sama Ay
Mataku melihat langit-langit kamarku. Aku tak lagi ada di halaman luar. Ternyata tadi hanya mimpi, namun terasa sangat nyata. Tubuhku juga terasa sangat letih, seolah benar, aku baru melewati kejadian yang membuat fisikku lelah. Kejadian dalam mimpi tadi, saat aku tenggelam di kolam renang. Azan Subuh sudah berakhir sejak tadi. Iqomah sudah mulai pula dikumandangkan. Aku harus bangkit, untuk menunaikan kewajibanku. "Mas, sholat Subuh." Kubangunkan Mas Mondi dengan lembut."Hem." Begitu saja dia menyahut, tanpa membuka matanya, hanya sekedar menggeser badannya yang semakin berisi sekarang. Nafsu makan Mas Mondi memang sangat besar sekarang. Dia kerap memuji masakan Bi Lasmi yang selalu membuatnya selera makan. "Sholat dulu, Mas. Nanti tidur lagi." Kucoba sekali lagi membangunkan, kali ini dia malah sama sekali tak bergeming. Aku lebih baik duluan aja sholat. Aku juga udah sesak mau buang hajat. Nanti coba lagi dibangunkan. Mas Mondi memang agak susah kalau disuruh sholat. Paling sh
"Kenapa Hartati?" tanyaku dengan alis menaut. Seandainya saja, aku tak tau soal Hartati anak Bi Lasmi. Mungkin reaksiku akan berbeda dari sekarang."Hartati itu, artinya gadis yang manis. Identik dengan nama gadis Jawa. Tak terlalu kolot juga kan," alasannya."Mas tau nggak, kalau nama anak Bi Lasmi yang meninggal, namanya Hartati?" Aku menyelidik.CiiiitttTiba-tiba dia mengerem mendadak."Aduh." Sampai kepalaku terjedot dasbor. "Sayang, kamu nggak papa?" tanyanya, langsung melihat wajahku. "Nggak papa. Mas kok ngerem mendadak sih? Untung nih perut nggak papa." Aku lebih khawatir dengan kondisi anakku. Syukurlah aku tak merasakan keluhan apapun.Anakku ini sangat kuat, padahal beberapa kali aku terjatuh, tapi alhamdulilah dia baik-baik saja. Semoga saat dia nanti terlahir ke dunia, dia juga memiliki fisik yang kuat. "Maaf. Mas kaget aja. Soalnya baru tau kalau nama anak Bi Lasmi Hartati," katanya. Dahiku melipat. Apa benar, Mas Mondi nggak tau? Apa aku nggak pernah cerita ya?"O
Malam ini aku tak bisa memejamkan mataku. Penglihatan tadi siang benar-benar mengganggu pikiran. Aku masih tak percaya kalau ayahku adalah orang yang sangat jahat. Bahkan mendengar ayahku bersuara keras saja aku tak pernah.Rasanya ada yang salah dengan apa yang kulihat? Kalau Ayah seorang yang suka berselingkuh, kenapa harus Eyang? Lama kami tinggal di Jakarta. Tak pernah sekalipun Ayah dekat dengan perempuan.Aku bangkit dari tempat tidurku. Membiarkan Mas Mondi nyenyak dalam tidurnya. Rasanya sangat gerah di dalam kamar. Padahal ada kipas angin besar yang berputar di langit-langit kamar.Saat aku keluar dari kamar, aku mendengar suara tangisan dari dalam kamar Ayah. Aku jalan pelan mendekati kamar Ayah, lalu menempelkan telinga di pintu kamar Ayah. Benar, itu seperti suara orang yang sedang menangis. Aku yakin sekali, itu suara Ayah. Suaranya, suara laki-laki, siapa lagi kalau bukan Ayah?Tok tok tokKuketuk pintu kamar itu pelan, agar tak mengganggu tidur Mas Mondi. "Ayah!" pang
"Sayang, sebaiknya kita pulang," ajak Mas Mondi. Aku masih menangis di pusara Ayah. Aku masih tak menyangka, Ayah akan pergi secepat ini. Apalagi, Ayah belum mengakui semua perbuatan yang dirinya dan Eyang lakukan. Kenapa Ayah dan Eyang lebih rela membawa dosa itu sampai mati, daripada harus berkata yang sebenarnya. "Ayah tak akan tenang, kalau kamu seperti ini, Sayang." Mas Mondi juga berusaha membujukku. "Maaf, biar nanti saya yang antar pulang Rachel." Walau aku tak melihatnya, tapi aku bisa mendengar, kalau itu adalah suara Zain.Aku tak tau, seperti apa reaksi Mas Mondi mendengar perkataan Zain itu? Aku masih larut dalam kesedihanku sekarang. Mas Mondi mungkin masih berpikir untuk mau membiarkan aku bersama Zain. Tak lama, Mas Mondi pergi meninggalkan kami. Aku memang sedang butuh waktu. Apa yang akan aku lakukan setelah ini? Apa aku harus menceritakan semua pada Bi Lasmi dan Pak Manto? Bahwasanya Eyang dan Ayah yang menyebabkan kematian anak mereka. Beberapa saat, aku meras