"Nggak," jawabnya. "Ya udah makan. Nanti masuk angin," ujarnya. Kami menikmati makan siang kami dalam hening. Lama-lama aku bosan juga diem-dieman kayak gini. "Mas, nanti habis Zuhur aku mau beli motor sama Zain ya." Aku permisi sama Mas Mondi. Dia menatapku. Rasanya jengah sekali ditatap seperti itu. Kayaknya dia bakal melarang. Mungkin lebih baik Mas Mondi ikut aja. Kan kamu bsmisa pakai mobil. Mas Mondi bisa kok bawa mobil. "Ya udah. Jangan terlalu sore pulangnya. Mau beli motor apa rupanya?" Aku jadi bingung mendengar dia memberi izin tanpa terlihat keberatan. Padahal semalam, kayaknya dia nggak begitu suka dengan Zain. Ini sungguh di luar ekspektasiku, tapi aku berusaha menetralisir perasaan. Baguslah kalau dia kasih izin. Berarti kan aku nggak merasa ada ganjalan kalau jalan sama Zain. Mungkin karena aku sedang hamil, jadi Mas Mondi tak ada rasa cemburu. Cemburu? Ah, terlalu jauh pikiranku. Masak sih, aku berharap Mas Mondi cemburu pada Zain. "Matic aja, ya Mas. Mas suka
"Astaghfirullah hal adzim."Isi bungkusan itu bebek yang sudah disembelih hingga kepalanya putus. Mengerikan. Siapa orang yang melempar bebek ini? Apa ada orang yang sedang melakukan teror terhadap kami?PLETAKTerdengar suara keras dari belakang. Aku cepat bangkit untuk melihatnya. Suara itu berasal dari dapur. Aku cepat keluar membuka pintu dapur. Kulihat Bi Lasmi lari dengan tergopoh ke arahku. Namun aku tak terlalu menghiraukan Bi Lasmi, karena mataku tertumbuk pada sebuah benda berbentuk bulat yang dibungkus kertas, tepat di pintu dapur. Apa ini? "Ada apa, Non? Waktu Bibi tadi jalan, dengar suara keras. Makanya Bibik jadi lari-lari," kata Bi Lasmi dengan nafas tersengal.Aku tak menanggapi, karena fokus pada benda bulat yang kini ada di genggaman tanganku. Meski takut, dan sedikit gemetar, aku membuka kertas yang membungkus benda yang ternyata batu itu. Aku melihat ke segala arah di luar rumah, tak ada siapapun, hanya ada Bi Lasmi yang berdiri di hadapanku.PERGI DARI SINI!K
Sesaat aku terdiam. Tanganku yang hendak membalik halaman lain dari diary Ibu juga membeku di atas buku itu.SROGH SROGHAku seperti mendengar suara suatu benda yang digosok. Kututup buku diary Ibu dan kuletakkan di atas bantal. Aku turun perlahan dari atas tempat tidur. SROGH SROGHSuara itu terdengar lagi. Dari arah luar jendela. Aku membuka jendela kamarku perlahan. Tak ada apa-apa. Kuluaskan pandanganku, tetap mataku tak melihat apapun. "Rachel." Aku langsung menoleh mendengar suara yang memanggil namaku. Aku mematung di depan jendela kamarku. Mataku melihat sosok wanita cantik yang melihatku dengan tatapan hampa. Wanita itu … ibuku. Aku tak tau, apakah harus emang atau takut? Akhirnya aku bisa melihat sosoknya meski aku tau, itu hanya semu. Meski begitu, aku tak beranjak dari depan jendela. Aku ingin menatapnya lebih lama. Rindu, rindu yang tak pernah berbalas, kini sedikit terobati. Kami hanya saling menatap, tanpa ekspresi dan bersuara. Seandainya dia tepat di depanku, aku
Mas Mondi terlihat senang aku membelikan motor sesuai dengan yang dia idamkan selama ini. Sore ini, dia mengajakku keliling kampung. Walau baru pertama ke kampung ini. Mas Mondi terlihat cukup percaya diri dan tak takut kalau kami akan tersesat. Aku menyapa setiap orang, meski banyak orang yang jadi bingung karena sama sekali belum mengenalku. Sekarang memang belum, tapi nanti mereka pasti akan kenal sama aku. Ada baiknya aku beramah tamah sejak sekarang. Lagipula aku memang terbiasa ramah, sejak dulu.Aku melihat Yoga yang sedang menggembala lembunya. Sepertinya dia akan pulang. "Mas, Mas, berhenti dulu di situ. Itu teman aku," kataku pada Mas Mondi seraya menunjuk Yoga. "Teman bagaimana?" "Dia teman masa kecilku. Kemarin waktu pergi sama Zain. Zain yang mengenalkan aku lagi sama dia. Istrinya juga teman aku," jelasku. Mas Mondi mau juga berhenti di dekat Yoga. Yoga juga berhenti memperhatikan kami. Tatapannya masih saja sama kayak kemarin, saat aku pertama bertemu dengannya, di
"Non sebaiknya balik ke rumah Bu Sandra. Sudah mulai petang. Tak baik wanita hamil hari gini di luar rumah," kata Pak Sugeng. Dia mengusirku secara halus. Kenapa ya, Pak Sugeng seperti tak senang melihatku? Ah, barangkali saja memang dia seperti itu orangnya. "Saya permisi, Pak," kataku."Uhhh." Bu Parsiah terlihat keberatan aku pergi. Dia tak mau melepas lenganku dari pelukannya. "Bu, lepasin. Non Rachel nggak boleh sampai Maghrib di sini," kata Pak Sugeng pada Bu Parsiah. "Besok, kita jumpa lagi, ya Bu. Ibu boleh datang ke rumah Eyang," kataku.Dia melihatku, kepalanya manggut-manggut seolah bertanya, apa benar hal yang baru saja aku katakan. Aku menangkapnya seperti itu sih. "Iya. Ibu boleh main ke rumah Eyang. Saya tunggu ya," kataku, baru dia mau melepas lenganku.Aku jalan terus meninggalkan rumah Pak Sugeng yang terasa nyaman. Sesekali aku melihat ke belakang. Setiap aku menoleh, Bu Parsiah akan melambaikan tangannya dengan hati gembira.Setelah sampai di jalan yang menghu
Bertepatan dengan itu, Zain masuk. Zain sangat terkejut melihat rambutku yang ditarik paksa oleh Mas Mondi. Zain cepat memukul tangan Mas Mondi, hingga Mas Mondi mundur beberapa langkah. "Arggghhh!" Dia mengerang. Aku cepat beringsut mundur. Aku sangat takut melihat suamiku sendiri. Ternyata seperti itu orang yang kerasukan. Hingga dia tak bisa mengenali aku, istrinya sendiri. "Keluar dari tubuh orang ini!" perintah Zain, mungkin pada sosok yang merasuki raga Mas Mondi. Mas Mondi menatap wajah Zain dengan berang. Mulutnya menyeringai. Dia tampak seperti zombi. Begitulah yang bisa kugambarkan tentang Mas Mondi saat ini.Mulut Zain terlihat berkomat-kamit. Tangannya terus direngtangkan ke arah Mas Mondi yang ada di hadapannya itu."Allahu Akbar." Dengan gerakan yang sangat cepat. Zain menepuk dahi Mas Mondi, dan tangannya terus menempel di dahi Mas Mondi dengan satu tangan lainnya mengunci tubuh Mas Mondi dari belakang. Ini seperti gerakan silat. "Arrrghh arrghh arghh." Mas Mondi t
Tak terasa, sudah seratus hari Eyang meninggal. Anehnya, aku tak lagi mengalami gangguan apapun. Semua tampak normal dan biasa saja. Kehamilanku juga semakin besar, dan sudah mulai memasuki usia sembilan bulan. Tak lama lagi, akan ada tangis bayi di rumah ini. Semakin hari, aku semakin betah di rumah Eyang. Orang-orang yang ramah, lingkungan yang masih segar dan asri bikin aku merasa sangat menyukai tempat ini. Beberapa lukisan kembali kupajang. Agar rumah tampak lebih berwarna. Sebenarnya Zain melarangku, memajang lukisan itu, karena terlalu sempurna dan sangat mirip dengan aslinya. Menurut Zain, setan sangat suka bersemayam di balik lukisan yang sempurna seperti itu. Lain halnya kalau lukisan itu berbentuk karikatur, atau hanya sebagian. Namun, aku terlanjur suka. Sayang, lukisan bagus hanya disimpan di gudang. Aku mendengar suara motor masuk ke halaman rumah. Aku segera keluar, ingin melihat siapa yang datang. "Ayah!" Aku sangat senang, Ayah yang datang. Aku langsung menghampi
Malam ini, saat tinggal aku dan Ayah yang mengobrol. Aku coba tanya soal pernyataan Ayah tadi. Tadi tak sempat kutanyakan, karena ada Zain. Mas Mondi sudah lebih dulu tidur, capek katanya. Kami ngobrol berdua di teras rumah. "Ayah tau, kalau Ibu dulu suka sama Ayah Zain?" selidikku. "Tau. Ibumu tak bisa menyembunyikannya dari Ayah. Sikapnya itu tak bisa bohong. Ayah tau, si Togar itu sikapnya menyenangkan. Persis anaknya tadi. Ayah juga sudah baca di buku harian ibumu." Alisku menaut mendengarnya. Ayah bicara seolah-olah tanpa ada beban. Flat aja gitu. Apa Ayah tak merasa cemburu?"Ayah nggak cemburu?" tanyaku. Ayah malah tersenyum melihatku. "Awalnya, iya, Ayah cemburu. Tapi nggak lama-lama. Karena Ayah tau, si Togar itu hanya cinta masa lalu ibu kamu. Cinta monyet. Orangnya memang baik. Dia juga tak tau, kalau ibumu dulu sempat suka sama dia. Makanya dia biasa saja saat bersama ibumu. Jadi, buat apa Ayah cemburu? Malah bikin Togar tau tentang perasaan ibumu.""Salut lah sama Ay