Mataku melihat langit-langit kamarku. Aku tak lagi ada di halaman luar. Ternyata tadi hanya mimpi, namun terasa sangat nyata. Tubuhku juga terasa sangat letih, seolah benar, aku baru melewati kejadian yang membuat fisikku lelah. Kejadian dalam mimpi tadi, saat aku tenggelam di kolam renang. Azan Subuh sudah berakhir sejak tadi. Iqomah sudah mulai pula dikumandangkan. Aku harus bangkit, untuk menunaikan kewajibanku. "Mas, sholat Subuh." Kubangunkan Mas Mondi dengan lembut."Hem." Begitu saja dia menyahut, tanpa membuka matanya, hanya sekedar menggeser badannya yang semakin berisi sekarang. Nafsu makan Mas Mondi memang sangat besar sekarang. Dia kerap memuji masakan Bi Lasmi yang selalu membuatnya selera makan. "Sholat dulu, Mas. Nanti tidur lagi." Kucoba sekali lagi membangunkan, kali ini dia malah sama sekali tak bergeming. Aku lebih baik duluan aja sholat. Aku juga udah sesak mau buang hajat. Nanti coba lagi dibangunkan. Mas Mondi memang agak susah kalau disuruh sholat. Paling sh
"Kenapa Hartati?" tanyaku dengan alis menaut. Seandainya saja, aku tak tau soal Hartati anak Bi Lasmi. Mungkin reaksiku akan berbeda dari sekarang."Hartati itu, artinya gadis yang manis. Identik dengan nama gadis Jawa. Tak terlalu kolot juga kan," alasannya."Mas tau nggak, kalau nama anak Bi Lasmi yang meninggal, namanya Hartati?" Aku menyelidik.CiiiitttTiba-tiba dia mengerem mendadak."Aduh." Sampai kepalaku terjedot dasbor. "Sayang, kamu nggak papa?" tanyanya, langsung melihat wajahku. "Nggak papa. Mas kok ngerem mendadak sih? Untung nih perut nggak papa." Aku lebih khawatir dengan kondisi anakku. Syukurlah aku tak merasakan keluhan apapun.Anakku ini sangat kuat, padahal beberapa kali aku terjatuh, tapi alhamdulilah dia baik-baik saja. Semoga saat dia nanti terlahir ke dunia, dia juga memiliki fisik yang kuat. "Maaf. Mas kaget aja. Soalnya baru tau kalau nama anak Bi Lasmi Hartati," katanya. Dahiku melipat. Apa benar, Mas Mondi nggak tau? Apa aku nggak pernah cerita ya?"O
Malam ini aku tak bisa memejamkan mataku. Penglihatan tadi siang benar-benar mengganggu pikiran. Aku masih tak percaya kalau ayahku adalah orang yang sangat jahat. Bahkan mendengar ayahku bersuara keras saja aku tak pernah.Rasanya ada yang salah dengan apa yang kulihat? Kalau Ayah seorang yang suka berselingkuh, kenapa harus Eyang? Lama kami tinggal di Jakarta. Tak pernah sekalipun Ayah dekat dengan perempuan.Aku bangkit dari tempat tidurku. Membiarkan Mas Mondi nyenyak dalam tidurnya. Rasanya sangat gerah di dalam kamar. Padahal ada kipas angin besar yang berputar di langit-langit kamar.Saat aku keluar dari kamar, aku mendengar suara tangisan dari dalam kamar Ayah. Aku jalan pelan mendekati kamar Ayah, lalu menempelkan telinga di pintu kamar Ayah. Benar, itu seperti suara orang yang sedang menangis. Aku yakin sekali, itu suara Ayah. Suaranya, suara laki-laki, siapa lagi kalau bukan Ayah?Tok tok tokKuketuk pintu kamar itu pelan, agar tak mengganggu tidur Mas Mondi. "Ayah!" pang
"Sayang, sebaiknya kita pulang," ajak Mas Mondi. Aku masih menangis di pusara Ayah. Aku masih tak menyangka, Ayah akan pergi secepat ini. Apalagi, Ayah belum mengakui semua perbuatan yang dirinya dan Eyang lakukan. Kenapa Ayah dan Eyang lebih rela membawa dosa itu sampai mati, daripada harus berkata yang sebenarnya. "Ayah tak akan tenang, kalau kamu seperti ini, Sayang." Mas Mondi juga berusaha membujukku. "Maaf, biar nanti saya yang antar pulang Rachel." Walau aku tak melihatnya, tapi aku bisa mendengar, kalau itu adalah suara Zain.Aku tak tau, seperti apa reaksi Mas Mondi mendengar perkataan Zain itu? Aku masih larut dalam kesedihanku sekarang. Mas Mondi mungkin masih berpikir untuk mau membiarkan aku bersama Zain. Tak lama, Mas Mondi pergi meninggalkan kami. Aku memang sedang butuh waktu. Apa yang akan aku lakukan setelah ini? Apa aku harus menceritakan semua pada Bi Lasmi dan Pak Manto? Bahwasanya Eyang dan Ayah yang menyebabkan kematian anak mereka. Beberapa saat, aku meras
Aku yang tadinya sangat ingin mendekat, justru menjadi terpaku sekarang. Waktu terasa berhenti berputar, melihat Hartati yang begitu dekat. Kemana Zain? Tadi dia memelukku agar tak mendekati Hartati, kenapa dia sekarang tak ada? Hartati memegang tanganku. Menarikku pelan. Aku seperti kerbau yang dicucuk hidung. Ikut saja kemana Hartati membawaku. Aku tak tau, kami ada dimana sekarang ini. Ini rumah siapa? Ini seperti di dalam sebuah kamar. Telingaku menangkap suara orang yang seperti sedang berbisik, mengucapkan suatu kalimat panjang. Hartati terus mengajakku jalan, kami masuk ke satu ruangan yang gelap, hanya ada satu lilin yang menyala di ruangan itu. Aku melihat seorang laki-laki duduk memunggungiku. Suaranya terdengar, seperti sedang merapalkan mantra. Sangat lirih suara itu. Terus terang, aku sangat takut. Hartati melihatku, aku juga melihatnya. Aku ingin bertanya, tempat apa ini? Siapa orang itu? Apa yang sedang dia lakukan? Namun, mulutku rasanya seperti dikunci.Hartati me
POV Author.Zain kebingungan melihat Rachel yang seperti orang kerasukan. Dia berteriak seolah-olah melihat Hartati."Itu Hartati, Zain! Itu Hartati!" Tangan Rachel terus menunjuk-nunjuk KA arah pemakaman. "Tak ada Hartati, Rachel.""Itu dia. Aku mau ngomong sama dia." Rachel berlari ke arah kuburan ibunya. Zain cepat mencegahnya. Zain tau, kalau Rachel sedang terguncang dan belum bisa menerima kenyataan tentang kematian ayahnya. Hingga pikirannya mudah untuk dipengaruhi. Zain memeluk Rachel, menahan agar Rachel tak terlalu menuruti halusinasinya. Rachel tetap memaksa ingin menemui Hartati yang dilihatnya berdiri dekat pemakaman Sulis, ibunya. Sampai akhirnya, tiba-tiba Rachel tak sadarkan diri. "Rachel! Rachel!" Zain panik melihat Rachel yang tiba-tiba tak sadarkan diri. "Mondiii!" Zain berteriak memanggil Mondi yang tadi bilang akan menunggu di mobil di parkiran Taman Pemakaman Umum. Suasana yang sunyi, membuat suara Zain terdengar hingga ke telinga Mondi. Mondi cepat berla
Aku membuka mataku perlahan, kepalaku terasa sangat pusing dan berat. Aku melihat, ruangan yang asing. Dimana ini? Aku belum bisa membuka mataku dengan sempurna."Kamu sudah sadar, Sayang." Lamat-lamat, aku mendengar suara Mas Mondi. Ya Allah, pusing sekali kepalaku. Hingga sulit sekali untuk membuka mata. Leherku juga sangat kering. "Dokter, istri saya sudah sadar." Aku mendengar suara Mas Mondi bicara dengan seseorang. Apa aku sedang di rumah sakit sekarang? Aku merasa ada yang menyentuh pergelangan tanganku, tepat di nadiku. Lalu sebuah benda dingin yang menyentuh dadaku. Mataku mulai bisa dibuka, aku bisa melihat wajah orang asing yang memegang tanganku. Rasanya badanku sangat lemas sekarang. "Syukurlah, Ibu sudah sadar," kata orang itu. Seorang laki-laki paruh baya yang memakai jas berwarna putih. Aku melihat sekeliling ruangan berwarna putih ini. Sepertinya aku berada di rumah sakit. "Kenapa aku, Mas?" lirihku ketika melihat Mas Mondi di sisi lain tubuhku. "Kamu tadi pin
"Ya Allah, Bu Parsiah." Aku tersenyum, melihat Bu Parsiah yang mengagetkan aku. Aku beranjak keluar kamar, ingin mengajak Bu Parsiah turut serta masuk ke dalam rumah. Semakin hari, Bu Parsiah semakin membaik, meski terkadang sifatnya seperti anak kecil. Dia sering berlagak seolah sedang bermain dengan anaknya. Apalagi kalau bersamaku. Dia juga mulai bisa diajak komunikasi. "Mau kemana Chel?" tanya Nunik yang datang dari arah dapur, di tangannya sudah ada semangkuk bubur ayam. "Sebentar, ada Bu Parsiah di luar. Aku mau ajak masuk," jawabku. Nunik meletak mangkuk buburnya di meja yang ada di ruang tamu, lalu mengikutiku keluar. Aku jalan ke arah samping rumah Eyang, untuk menjemput Bu Parsiah. Dia tampak lari-larian sambil tertawa-tawa riang. Wajahnya tampak bahagia, seolah-olah tak memiliki beban apapun. "Bu," panggilku. Bu Parsiah berhenti berlari. Aku tak bertanya, dia sedang apa. Kalau ditanya, jawabannya akan selalu sama. Sedang main dengan Sinta. "Kita ke dalam yuk," ajakk