Malam ini, saat tinggal aku dan Ayah yang mengobrol. Aku coba tanya soal pernyataan Ayah tadi. Tadi tak sempat kutanyakan, karena ada Zain. Mas Mondi sudah lebih dulu tidur, capek katanya. Kami ngobrol berdua di teras rumah. "Ayah tau, kalau Ibu dulu suka sama Ayah Zain?" selidikku. "Tau. Ibumu tak bisa menyembunyikannya dari Ayah. Sikapnya itu tak bisa bohong. Ayah tau, si Togar itu sikapnya menyenangkan. Persis anaknya tadi. Ayah juga sudah baca di buku harian ibumu." Alisku menaut mendengarnya. Ayah bicara seolah-olah tanpa ada beban. Flat aja gitu. Apa Ayah tak merasa cemburu?"Ayah nggak cemburu?" tanyaku. Ayah malah tersenyum melihatku. "Awalnya, iya, Ayah cemburu. Tapi nggak lama-lama. Karena Ayah tau, si Togar itu hanya cinta masa lalu ibu kamu. Cinta monyet. Orangnya memang baik. Dia juga tak tau, kalau ibumu dulu sempat suka sama dia. Makanya dia biasa saja saat bersama ibumu. Jadi, buat apa Ayah cemburu? Malah bikin Togar tau tentang perasaan ibumu.""Salut lah sama Ay
Mataku melihat langit-langit kamarku. Aku tak lagi ada di halaman luar. Ternyata tadi hanya mimpi, namun terasa sangat nyata. Tubuhku juga terasa sangat letih, seolah benar, aku baru melewati kejadian yang membuat fisikku lelah. Kejadian dalam mimpi tadi, saat aku tenggelam di kolam renang. Azan Subuh sudah berakhir sejak tadi. Iqomah sudah mulai pula dikumandangkan. Aku harus bangkit, untuk menunaikan kewajibanku. "Mas, sholat Subuh." Kubangunkan Mas Mondi dengan lembut."Hem." Begitu saja dia menyahut, tanpa membuka matanya, hanya sekedar menggeser badannya yang semakin berisi sekarang. Nafsu makan Mas Mondi memang sangat besar sekarang. Dia kerap memuji masakan Bi Lasmi yang selalu membuatnya selera makan. "Sholat dulu, Mas. Nanti tidur lagi." Kucoba sekali lagi membangunkan, kali ini dia malah sama sekali tak bergeming. Aku lebih baik duluan aja sholat. Aku juga udah sesak mau buang hajat. Nanti coba lagi dibangunkan. Mas Mondi memang agak susah kalau disuruh sholat. Paling sh
"Kenapa Hartati?" tanyaku dengan alis menaut. Seandainya saja, aku tak tau soal Hartati anak Bi Lasmi. Mungkin reaksiku akan berbeda dari sekarang."Hartati itu, artinya gadis yang manis. Identik dengan nama gadis Jawa. Tak terlalu kolot juga kan," alasannya."Mas tau nggak, kalau nama anak Bi Lasmi yang meninggal, namanya Hartati?" Aku menyelidik.CiiiitttTiba-tiba dia mengerem mendadak."Aduh." Sampai kepalaku terjedot dasbor. "Sayang, kamu nggak papa?" tanyanya, langsung melihat wajahku. "Nggak papa. Mas kok ngerem mendadak sih? Untung nih perut nggak papa." Aku lebih khawatir dengan kondisi anakku. Syukurlah aku tak merasakan keluhan apapun.Anakku ini sangat kuat, padahal beberapa kali aku terjatuh, tapi alhamdulilah dia baik-baik saja. Semoga saat dia nanti terlahir ke dunia, dia juga memiliki fisik yang kuat. "Maaf. Mas kaget aja. Soalnya baru tau kalau nama anak Bi Lasmi Hartati," katanya. Dahiku melipat. Apa benar, Mas Mondi nggak tau? Apa aku nggak pernah cerita ya?"O
Malam ini aku tak bisa memejamkan mataku. Penglihatan tadi siang benar-benar mengganggu pikiran. Aku masih tak percaya kalau ayahku adalah orang yang sangat jahat. Bahkan mendengar ayahku bersuara keras saja aku tak pernah.Rasanya ada yang salah dengan apa yang kulihat? Kalau Ayah seorang yang suka berselingkuh, kenapa harus Eyang? Lama kami tinggal di Jakarta. Tak pernah sekalipun Ayah dekat dengan perempuan.Aku bangkit dari tempat tidurku. Membiarkan Mas Mondi nyenyak dalam tidurnya. Rasanya sangat gerah di dalam kamar. Padahal ada kipas angin besar yang berputar di langit-langit kamar.Saat aku keluar dari kamar, aku mendengar suara tangisan dari dalam kamar Ayah. Aku jalan pelan mendekati kamar Ayah, lalu menempelkan telinga di pintu kamar Ayah. Benar, itu seperti suara orang yang sedang menangis. Aku yakin sekali, itu suara Ayah. Suaranya, suara laki-laki, siapa lagi kalau bukan Ayah?Tok tok tokKuketuk pintu kamar itu pelan, agar tak mengganggu tidur Mas Mondi. "Ayah!" pang
"Sayang, sebaiknya kita pulang," ajak Mas Mondi. Aku masih menangis di pusara Ayah. Aku masih tak menyangka, Ayah akan pergi secepat ini. Apalagi, Ayah belum mengakui semua perbuatan yang dirinya dan Eyang lakukan. Kenapa Ayah dan Eyang lebih rela membawa dosa itu sampai mati, daripada harus berkata yang sebenarnya. "Ayah tak akan tenang, kalau kamu seperti ini, Sayang." Mas Mondi juga berusaha membujukku. "Maaf, biar nanti saya yang antar pulang Rachel." Walau aku tak melihatnya, tapi aku bisa mendengar, kalau itu adalah suara Zain.Aku tak tau, seperti apa reaksi Mas Mondi mendengar perkataan Zain itu? Aku masih larut dalam kesedihanku sekarang. Mas Mondi mungkin masih berpikir untuk mau membiarkan aku bersama Zain. Tak lama, Mas Mondi pergi meninggalkan kami. Aku memang sedang butuh waktu. Apa yang akan aku lakukan setelah ini? Apa aku harus menceritakan semua pada Bi Lasmi dan Pak Manto? Bahwasanya Eyang dan Ayah yang menyebabkan kematian anak mereka. Beberapa saat, aku meras
Aku yang tadinya sangat ingin mendekat, justru menjadi terpaku sekarang. Waktu terasa berhenti berputar, melihat Hartati yang begitu dekat. Kemana Zain? Tadi dia memelukku agar tak mendekati Hartati, kenapa dia sekarang tak ada? Hartati memegang tanganku. Menarikku pelan. Aku seperti kerbau yang dicucuk hidung. Ikut saja kemana Hartati membawaku. Aku tak tau, kami ada dimana sekarang ini. Ini rumah siapa? Ini seperti di dalam sebuah kamar. Telingaku menangkap suara orang yang seperti sedang berbisik, mengucapkan suatu kalimat panjang. Hartati terus mengajakku jalan, kami masuk ke satu ruangan yang gelap, hanya ada satu lilin yang menyala di ruangan itu. Aku melihat seorang laki-laki duduk memunggungiku. Suaranya terdengar, seperti sedang merapalkan mantra. Sangat lirih suara itu. Terus terang, aku sangat takut. Hartati melihatku, aku juga melihatnya. Aku ingin bertanya, tempat apa ini? Siapa orang itu? Apa yang sedang dia lakukan? Namun, mulutku rasanya seperti dikunci.Hartati me
POV Author.Zain kebingungan melihat Rachel yang seperti orang kerasukan. Dia berteriak seolah-olah melihat Hartati."Itu Hartati, Zain! Itu Hartati!" Tangan Rachel terus menunjuk-nunjuk KA arah pemakaman. "Tak ada Hartati, Rachel.""Itu dia. Aku mau ngomong sama dia." Rachel berlari ke arah kuburan ibunya. Zain cepat mencegahnya. Zain tau, kalau Rachel sedang terguncang dan belum bisa menerima kenyataan tentang kematian ayahnya. Hingga pikirannya mudah untuk dipengaruhi. Zain memeluk Rachel, menahan agar Rachel tak terlalu menuruti halusinasinya. Rachel tetap memaksa ingin menemui Hartati yang dilihatnya berdiri dekat pemakaman Sulis, ibunya. Sampai akhirnya, tiba-tiba Rachel tak sadarkan diri. "Rachel! Rachel!" Zain panik melihat Rachel yang tiba-tiba tak sadarkan diri. "Mondiii!" Zain berteriak memanggil Mondi yang tadi bilang akan menunggu di mobil di parkiran Taman Pemakaman Umum. Suasana yang sunyi, membuat suara Zain terdengar hingga ke telinga Mondi. Mondi cepat berla
Aku membuka mataku perlahan, kepalaku terasa sangat pusing dan berat. Aku melihat, ruangan yang asing. Dimana ini? Aku belum bisa membuka mataku dengan sempurna."Kamu sudah sadar, Sayang." Lamat-lamat, aku mendengar suara Mas Mondi. Ya Allah, pusing sekali kepalaku. Hingga sulit sekali untuk membuka mata. Leherku juga sangat kering. "Dokter, istri saya sudah sadar." Aku mendengar suara Mas Mondi bicara dengan seseorang. Apa aku sedang di rumah sakit sekarang? Aku merasa ada yang menyentuh pergelangan tanganku, tepat di nadiku. Lalu sebuah benda dingin yang menyentuh dadaku. Mataku mulai bisa dibuka, aku bisa melihat wajah orang asing yang memegang tanganku. Rasanya badanku sangat lemas sekarang. "Syukurlah, Ibu sudah sadar," kata orang itu. Seorang laki-laki paruh baya yang memakai jas berwarna putih. Aku melihat sekeliling ruangan berwarna putih ini. Sepertinya aku berada di rumah sakit. "Kenapa aku, Mas?" lirihku ketika melihat Mas Mondi di sisi lain tubuhku. "Kamu tadi pin
Mataku mendelik besar, kala Pak Manto mengarahkan senjata tajam itu ke wajahku. Perih, ujung belati itu menggores wajahku. Apalagi Pak Manto terus menggeser belati itu. Aku meringis, air mata tak mau berhenti keluar dari sudut mataku. Dadaku bergerak turun naik dengan cepat. Seringai di wajahnya membuatku ngeri. Bibirnya tersenyum miring, mengejek ketidak berdayaanku.Dadaku terus bergemuruh dengan cepat, mataku tak mau berkedip kala senjata tajam itu didekatkan ke pipiku. Hanya berjarak satu inci lagi, maka benda itu akan menyayat kulitku. Pak Manto terus menggeser benda itu, sangat perlahan. Dia seolah-olah sengaja membuatku ketakutan. Memancing rasa cemas yang berlebihan. Dia mengangkat benda itu ke atas. Aku hanya bisa pasrah. Kupejamkan mata sangat kuat. Ya Allah, aku pasrah. Terdengar suara benda jatuh dan suara gaduh. “Astaghfirullah hal adzim.” Mataku langsung kubuka saat mendengar suara seseorang yang beristighfar dan suara derap kaki yang saling berkejaran.Terima kasih y
“Kamu pasti bohong!” teriakku. Tanganku kuhentak-hentakkan, berharap ikatan akan terlepas.“Kamu tau, bertahun-tahun aku sudah bersabar menghadapi keserakahan Sandra. Aku terima saja, saat dia menguasai seluruh harta warisan dari bapakku. Hanya karena aku anak dari istri kedua, dia tak menganggap aku sama sekali.”Sumpah, aku sangat terkejut. Ternyata benar, Pak Manto adalah anak dari Buyut juga. Sangat banyak rahasia di rumah Eyang yang tidak aku ketahui. Semuanya membuatku bingung juga takut. Kenapa aku baru tau sekarang? Ayah, kenapa Ayah tidak menceritakan semua padaku sebelumnya? Apa Ayah tidak berpikir, kalau aku yang pada akhirnya akan menjadi korban?“Saat dia hanya menjadikan aku dan istriku pesuruhnya pun, aku tak menolak.” Pak Manto bicara sambil mengelilingi meja tempat tubuh ini dibaringkan. Di tangannya ada sebuah pisau daging. Entah untuk apa pisau itu. Apa mereka akan menghabisi aku sekarang? Ya Allah, tolong aku. Tolong anakku. “Sejak kecil, dia tak pernah mau meng
“Aduuhh.” Aku meringis sambil memegangi kepalaku yang terasa sangat sakit dan pusing sekali.Ya Allah kenapa jadi sakit semua. Kepala sakit, perut sakit. Mas, cepatlah datang. Aku rasanya sudah tak kuat lagi. Ajakku di dalam perut juga terus bergerak dengan sangat aktif. Rasanya sakit sekali. Apa mungkin aku mau melahirkan, tapi belum masuk harinya. Tubuhku sampai berkeringat dingin merasakan sakitnya. Tidur salah, jalan juga salah. Rasanya seluruh tulang yang ada di tubuhku rontok semua. Luar biasa sakit. Ya Allah, tolong. Aku dengar suara gaduh. Suara langkah kaki yang tergesa. Mas Mondi yang datang, bersama dengan Bi Lasmi. Mereka langsung masuk ke kamarku. “Coba baring, Non,” kata Bi Lasmi. Aku segera berbaring, dibantu oleh Mas Mondi. Bi Lasmi langsung memeriksa perutku. “Ini udah mau lahiran. Kayaknya kita nggak sempat ke rumah sakit, anaknya udah mau keluar,” kata Bi Lasmi. Suaranya terdengar panik. Membuat aku juga jadi panik. “Mas, ambilkan air hangat, pake baskom. Air
"Kamu nggak lagi bercanda kan?" tanya Mas Mondy seolah-olah tak percaya apa yang kukatakan. "Nggak Mas. Ayo." Aku menarik tangan Mas Mondi untuk masuk ke dalam kamar Eyang."Mas geser lemarinya. Ada ruang bawah tanah, Mas," kataku. Aku masih merasa takut dan tegang kalau teringat kejadian yang tadi. Mas Mondi mengintip sedikit dari celah yang ada di belakang lemari, lalu menggeser lemari itu. "Biar Mas aja," cegah Mas Mondi ketika aku ingin membantunya. Sekuat tenaga Mas Mondi menggeser lemari itu, akhirnya bisa juga. Setelah dirasa bisa dilewati satu badan manusia dewasa, Mas Mondi tak lagi menggesernya."Tuh, kan ada pintunya Mas," kataku. Mas Mondi meletakkan telapak tangannya di pintu itu. Membuka kunci yang hanya mengait begitu saja, lalu mendorong pintu itu pelan.Aku memegangi tangan Mas mondy. Aku masih teringat akan kejadian tadi. "Jangan masuk Mas, bahaya," kataku melarangnya untuk masuk."Kamu tunggu di sini aja," katanya. Mas Mondi jalan perlahan menuruni anak tangg
"Yoga!" Reflek aku menjerit dan berlari ke arah Yoga. Yoga tampak kesakitan memegang punggungnya yang sepertinya sakit sekali. Tak ada siapapun selain Nunik yang terbaring lemah. Siapa yang menyerang Yoga tadi?Aku berjalan mendekati Nunik, untuk melepas ikatan di tubuhnya. Kami harus segera keluar dari ruangan ini. Aku bisa merasakan kalau aura di ruangan ini sangat menyeramkan. Bulu kudukku terus meremang sejak kamu mulai memasuki ruangan ini. "Chel, jangan!" Yoga meneriakiku agar jangan mendekati Nunik. Kami tak mungkin keluar dari ruangan ini tanpa membawa Nunik keluar. Aku abaikan larangan Yoga. Aku menarik dalam nafasku, jantungku berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. Aku tau, ini bahaya. Kalau kami tak melakukan apapun, juga akan berbahaya untuk Nunik. Perlahan aku jalan, seraya memegangi perutku. Kita kuat Nak. Jangan takut. Bunda nggak akan biarkan apapun terjadi sama kamu.Aku semakin dekat dengan Nunik. Tak ada apapun yang terjadi, membuatku semakin berani. Ti
''Bukannya Nunik sudah pulang?" tanyaku."Iya, tadi sudah pulang. Selesai sholat tadi, dia izin mau ke rumah Eyang lagi. Katanya kasihan kau sendirian di rumah," jelas Yoga. "Loh, katanya ada hajatan di rumah saudara kalian?" tanyaku heran. "Memang ada hajatan, tapi kami nggak pergi. Hanya titip amplop saja. Kamu khawatir sama kau, makanya Nunik ke sini. Zain sudah pesan untuk jaga kau."Jelas aku jadi khawatir mendengarnya. Berarti tadi benar Nunik yang datang. Kenapa Bi Lasmi bilang dia tak melihat Nunik? Apa memang dia tak nampak Nunik lewat? Apa tadi suara Nunik?"Bu, Rachel pulang ya," kataku. "Iyah." Dia mengangguk cepat, dengan senyuman yang lebar. "Kita ke rumah Ga." Aku langsung mengajak Yoga ke rumah. "Hati-hati." Aku langsung berbalik mendengar Bu Parsiah bilang hati-hati. Tetapi, dia terlihat sedang bermain dengan bebek. Aku melihat Pak Sugeng yang terus memperhatikan kami. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku cepat menyusul Yoga yang jalan lebih dulu, sambil memeg
"Rachel! Rachel!" Aku cepat membuka mataku ketika merasakan ada yang mengguncang bahuku.Ternyata Nunik. Nafasku tersengal, seolah baru saja melepaskan beban yang sangat berat. "Kamu kenapa?" tanya Nunik. "Dia datang lagi, Nik," jawabku. Nunik membantuku untuk duduk. "Hartati?" tanyanya, aku mengangguk."Kamu sudah cerita sama Bi Lasmi?" "Belum. Aku nggak enak. Takutnya Bi Lasmi malah jadi sedih." "Iya juga. Kamu udah sholat? Ini sudah lewat Zuhur.""Belum." "Ya udah, sholat dulu sana. Aku tungguin." Aku bangkit, jalan ke kamar mandi untuk berwudhu. Usai berwudhu, aku segera ke kamar, untuk sholat Zuhur. Gubrak. "Oohh arrghhh. To–"Setelah rakaat terakhir aku mendengar suara gaduh dari luar kamar. Suara siapa, apa suara Nunik? Aku jadi tak khusyuk sholat. Rasa khawatir menyergap dalam hati, takut ada apa-apa sama Nunik. Usai salam, aku langsung bangkit tanpa memanjatkan doa. Dengan tubuh masih dibalut mukena aku melihat keluar. Pintu masih tertutup. Nunik kemana?"Nik!" Aku
"Nanti Rachel kesini lagi sama Hartati," kataku untuk membujuknya, sambil melepaskan pelukannya dari pinggangku. Dia masih enggan, melepas pinggangku. Malah semakin erat memelukku."Buk, lepaskan Non Rachel!" kata Pak Sugeng yang datang lagi. Mungkin dia melihat Bu Parsiah yang terus memelukku. Bu Parsiah menggeleng. "Takut.""Takut apa Bu? Nggak papa kok. Rachel aman sama Mas Mondi." Aku dengan sabar memberinya pengertian. Orang seperti Bu Parsiah tidak bisa diajak bicara kasar. Dia akan berontak nanti. Lebih baik agak sedikit bersabar. "Kasihan bayinya, Bu. Sesak." Aku mencari alasan agar Bu Parsiah mau melepas pelukannya.Benar saja, perlahan, dia merenggangkan pelukannya. Aku jadi terharu. Hati ini bisa merasakan, kalau dia sayang sama anakku. "Biarkan Non Rachel pulang," kata Pak Sugeng, sambil membimbing bahu istrinya.Wajah Bu Parsiah terus menunduk, tampak takut. Entah sama siapa. "Yuk ah. Mas udah lapar." Mas Mondi mengulurkan tangannya padaku. Aku langsung menyambutnya
"Chel, aku yakin sekali, pasti waktu itu kamu kerasukan arwah Hartati," kata Nunik, memastikan kalau dugaan kami tak salah. Aku masih diam, mencoba menarik benang merah dari setiap peristiwa yang kualami di rumah ini. "Aku rasa, untuk memutus semua ini, kita harus mencari tau penyebab kematian Hartati yang sebenarnya. Bang Yoga curiga, kalau Hartati bukan murni kecelakaan dulu." Aku menelan ludah, haruskah aku menceritakan apa sebenarnya yang kulihat di mimpiku pada Nunik? Terus terang, aku malu menceritakan kalau ayahku dulu berselingkuh dengan Eyang. Apalagi keduanya sudah tiada. Rasanya tak baik menceritakan aib yang memang sengaja disembunyikan itu. Apalagi, dalam mimpiku itu, aku melihat mereka membu nuh Hartati dengan keji. Malu sekali rasanya menceritakan ini. Bi Lasmi, tau tidak ya, cerita yang sebenarnya? Astaghfirullah, itu kan hanya mimpi. Bagaimana aku berpikir kalau itu adalah cerita yang benar? Kalau tak benar, untuk apa aku mimpi seperti itu? Kepalaku rasanya pusing