"Ya Allah, Bu Parsiah." Aku tersenyum, melihat Bu Parsiah yang mengagetkan aku. Aku beranjak keluar kamar, ingin mengajak Bu Parsiah turut serta masuk ke dalam rumah. Semakin hari, Bu Parsiah semakin membaik, meski terkadang sifatnya seperti anak kecil. Dia sering berlagak seolah sedang bermain dengan anaknya. Apalagi kalau bersamaku. Dia juga mulai bisa diajak komunikasi. "Mau kemana Chel?" tanya Nunik yang datang dari arah dapur, di tangannya sudah ada semangkuk bubur ayam. "Sebentar, ada Bu Parsiah di luar. Aku mau ajak masuk," jawabku. Nunik meletak mangkuk buburnya di meja yang ada di ruang tamu, lalu mengikutiku keluar. Aku jalan ke arah samping rumah Eyang, untuk menjemput Bu Parsiah. Dia tampak lari-larian sambil tertawa-tawa riang. Wajahnya tampak bahagia, seolah-olah tak memiliki beban apapun. "Bu," panggilku. Bu Parsiah berhenti berlari. Aku tak bertanya, dia sedang apa. Kalau ditanya, jawabannya akan selalu sama. Sedang main dengan Sinta. "Kita ke dalam yuk," ajakk
"Chel, aku yakin sekali, pasti waktu itu kamu kerasukan arwah Hartati," kata Nunik, memastikan kalau dugaan kami tak salah. Aku masih diam, mencoba menarik benang merah dari setiap peristiwa yang kualami di rumah ini. "Aku rasa, untuk memutus semua ini, kita harus mencari tau penyebab kematian Hartati yang sebenarnya. Bang Yoga curiga, kalau Hartati bukan murni kecelakaan dulu." Aku menelan ludah, haruskah aku menceritakan apa sebenarnya yang kulihat di mimpiku pada Nunik? Terus terang, aku malu menceritakan kalau ayahku dulu berselingkuh dengan Eyang. Apalagi keduanya sudah tiada. Rasanya tak baik menceritakan aib yang memang sengaja disembunyikan itu. Apalagi, dalam mimpiku itu, aku melihat mereka membu nuh Hartati dengan keji. Malu sekali rasanya menceritakan ini. Bi Lasmi, tau tidak ya, cerita yang sebenarnya? Astaghfirullah, itu kan hanya mimpi. Bagaimana aku berpikir kalau itu adalah cerita yang benar? Kalau tak benar, untuk apa aku mimpi seperti itu? Kepalaku rasanya pusing
"Nanti Rachel kesini lagi sama Hartati," kataku untuk membujuknya, sambil melepaskan pelukannya dari pinggangku. Dia masih enggan, melepas pinggangku. Malah semakin erat memelukku."Buk, lepaskan Non Rachel!" kata Pak Sugeng yang datang lagi. Mungkin dia melihat Bu Parsiah yang terus memelukku. Bu Parsiah menggeleng. "Takut.""Takut apa Bu? Nggak papa kok. Rachel aman sama Mas Mondi." Aku dengan sabar memberinya pengertian. Orang seperti Bu Parsiah tidak bisa diajak bicara kasar. Dia akan berontak nanti. Lebih baik agak sedikit bersabar. "Kasihan bayinya, Bu. Sesak." Aku mencari alasan agar Bu Parsiah mau melepas pelukannya.Benar saja, perlahan, dia merenggangkan pelukannya. Aku jadi terharu. Hati ini bisa merasakan, kalau dia sayang sama anakku. "Biarkan Non Rachel pulang," kata Pak Sugeng, sambil membimbing bahu istrinya.Wajah Bu Parsiah terus menunduk, tampak takut. Entah sama siapa. "Yuk ah. Mas udah lapar." Mas Mondi mengulurkan tangannya padaku. Aku langsung menyambutnya
"Rachel! Rachel!" Aku cepat membuka mataku ketika merasakan ada yang mengguncang bahuku.Ternyata Nunik. Nafasku tersengal, seolah baru saja melepaskan beban yang sangat berat. "Kamu kenapa?" tanya Nunik. "Dia datang lagi, Nik," jawabku. Nunik membantuku untuk duduk. "Hartati?" tanyanya, aku mengangguk."Kamu sudah cerita sama Bi Lasmi?" "Belum. Aku nggak enak. Takutnya Bi Lasmi malah jadi sedih." "Iya juga. Kamu udah sholat? Ini sudah lewat Zuhur.""Belum." "Ya udah, sholat dulu sana. Aku tungguin." Aku bangkit, jalan ke kamar mandi untuk berwudhu. Usai berwudhu, aku segera ke kamar, untuk sholat Zuhur. Gubrak. "Oohh arrghhh. To–"Setelah rakaat terakhir aku mendengar suara gaduh dari luar kamar. Suara siapa, apa suara Nunik? Aku jadi tak khusyuk sholat. Rasa khawatir menyergap dalam hati, takut ada apa-apa sama Nunik. Usai salam, aku langsung bangkit tanpa memanjatkan doa. Dengan tubuh masih dibalut mukena aku melihat keluar. Pintu masih tertutup. Nunik kemana?"Nik!" Aku
''Bukannya Nunik sudah pulang?" tanyaku."Iya, tadi sudah pulang. Selesai sholat tadi, dia izin mau ke rumah Eyang lagi. Katanya kasihan kau sendirian di rumah," jelas Yoga. "Loh, katanya ada hajatan di rumah saudara kalian?" tanyaku heran. "Memang ada hajatan, tapi kami nggak pergi. Hanya titip amplop saja. Kamu khawatir sama kau, makanya Nunik ke sini. Zain sudah pesan untuk jaga kau."Jelas aku jadi khawatir mendengarnya. Berarti tadi benar Nunik yang datang. Kenapa Bi Lasmi bilang dia tak melihat Nunik? Apa memang dia tak nampak Nunik lewat? Apa tadi suara Nunik?"Bu, Rachel pulang ya," kataku. "Iyah." Dia mengangguk cepat, dengan senyuman yang lebar. "Kita ke rumah Ga." Aku langsung mengajak Yoga ke rumah. "Hati-hati." Aku langsung berbalik mendengar Bu Parsiah bilang hati-hati. Tetapi, dia terlihat sedang bermain dengan bebek. Aku melihat Pak Sugeng yang terus memperhatikan kami. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku cepat menyusul Yoga yang jalan lebih dulu, sambil memeg
"Yoga!" Reflek aku menjerit dan berlari ke arah Yoga. Yoga tampak kesakitan memegang punggungnya yang sepertinya sakit sekali. Tak ada siapapun selain Nunik yang terbaring lemah. Siapa yang menyerang Yoga tadi?Aku berjalan mendekati Nunik, untuk melepas ikatan di tubuhnya. Kami harus segera keluar dari ruangan ini. Aku bisa merasakan kalau aura di ruangan ini sangat menyeramkan. Bulu kudukku terus meremang sejak kamu mulai memasuki ruangan ini. "Chel, jangan!" Yoga meneriakiku agar jangan mendekati Nunik. Kami tak mungkin keluar dari ruangan ini tanpa membawa Nunik keluar. Aku abaikan larangan Yoga. Aku menarik dalam nafasku, jantungku berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. Aku tau, ini bahaya. Kalau kami tak melakukan apapun, juga akan berbahaya untuk Nunik. Perlahan aku jalan, seraya memegangi perutku. Kita kuat Nak. Jangan takut. Bunda nggak akan biarkan apapun terjadi sama kamu.Aku semakin dekat dengan Nunik. Tak ada apapun yang terjadi, membuatku semakin berani. Ti
"Kamu nggak lagi bercanda kan?" tanya Mas Mondy seolah-olah tak percaya apa yang kukatakan. "Nggak Mas. Ayo." Aku menarik tangan Mas Mondi untuk masuk ke dalam kamar Eyang."Mas geser lemarinya. Ada ruang bawah tanah, Mas," kataku. Aku masih merasa takut dan tegang kalau teringat kejadian yang tadi. Mas Mondi mengintip sedikit dari celah yang ada di belakang lemari, lalu menggeser lemari itu. "Biar Mas aja," cegah Mas Mondi ketika aku ingin membantunya. Sekuat tenaga Mas Mondi menggeser lemari itu, akhirnya bisa juga. Setelah dirasa bisa dilewati satu badan manusia dewasa, Mas Mondi tak lagi menggesernya."Tuh, kan ada pintunya Mas," kataku. Mas Mondi meletakkan telapak tangannya di pintu itu. Membuka kunci yang hanya mengait begitu saja, lalu mendorong pintu itu pelan.Aku memegangi tangan Mas mondy. Aku masih teringat akan kejadian tadi. "Jangan masuk Mas, bahaya," kataku melarangnya untuk masuk."Kamu tunggu di sini aja," katanya. Mas Mondi jalan perlahan menuruni anak tangg
“Aduuhh.” Aku meringis sambil memegangi kepalaku yang terasa sangat sakit dan pusing sekali.Ya Allah kenapa jadi sakit semua. Kepala sakit, perut sakit. Mas, cepatlah datang. Aku rasanya sudah tak kuat lagi. Ajakku di dalam perut juga terus bergerak dengan sangat aktif. Rasanya sakit sekali. Apa mungkin aku mau melahirkan, tapi belum masuk harinya. Tubuhku sampai berkeringat dingin merasakan sakitnya. Tidur salah, jalan juga salah. Rasanya seluruh tulang yang ada di tubuhku rontok semua. Luar biasa sakit. Ya Allah, tolong. Aku dengar suara gaduh. Suara langkah kaki yang tergesa. Mas Mondi yang datang, bersama dengan Bi Lasmi. Mereka langsung masuk ke kamarku. “Coba baring, Non,” kata Bi Lasmi. Aku segera berbaring, dibantu oleh Mas Mondi. Bi Lasmi langsung memeriksa perutku. “Ini udah mau lahiran. Kayaknya kita nggak sempat ke rumah sakit, anaknya udah mau keluar,” kata Bi Lasmi. Suaranya terdengar panik. Membuat aku juga jadi panik. “Mas, ambilkan air hangat, pake baskom. Air