Aku yang tadinya sangat ingin mendekat, justru menjadi terpaku sekarang. Waktu terasa berhenti berputar, melihat Hartati yang begitu dekat. Kemana Zain? Tadi dia memelukku agar tak mendekati Hartati, kenapa dia sekarang tak ada? Hartati memegang tanganku. Menarikku pelan. Aku seperti kerbau yang dicucuk hidung. Ikut saja kemana Hartati membawaku. Aku tak tau, kami ada dimana sekarang ini. Ini rumah siapa? Ini seperti di dalam sebuah kamar. Telingaku menangkap suara orang yang seperti sedang berbisik, mengucapkan suatu kalimat panjang. Hartati terus mengajakku jalan, kami masuk ke satu ruangan yang gelap, hanya ada satu lilin yang menyala di ruangan itu. Aku melihat seorang laki-laki duduk memunggungiku. Suaranya terdengar, seperti sedang merapalkan mantra. Sangat lirih suara itu. Terus terang, aku sangat takut. Hartati melihatku, aku juga melihatnya. Aku ingin bertanya, tempat apa ini? Siapa orang itu? Apa yang sedang dia lakukan? Namun, mulutku rasanya seperti dikunci.Hartati me
POV Author.Zain kebingungan melihat Rachel yang seperti orang kerasukan. Dia berteriak seolah-olah melihat Hartati."Itu Hartati, Zain! Itu Hartati!" Tangan Rachel terus menunjuk-nunjuk KA arah pemakaman. "Tak ada Hartati, Rachel.""Itu dia. Aku mau ngomong sama dia." Rachel berlari ke arah kuburan ibunya. Zain cepat mencegahnya. Zain tau, kalau Rachel sedang terguncang dan belum bisa menerima kenyataan tentang kematian ayahnya. Hingga pikirannya mudah untuk dipengaruhi. Zain memeluk Rachel, menahan agar Rachel tak terlalu menuruti halusinasinya. Rachel tetap memaksa ingin menemui Hartati yang dilihatnya berdiri dekat pemakaman Sulis, ibunya. Sampai akhirnya, tiba-tiba Rachel tak sadarkan diri. "Rachel! Rachel!" Zain panik melihat Rachel yang tiba-tiba tak sadarkan diri. "Mondiii!" Zain berteriak memanggil Mondi yang tadi bilang akan menunggu di mobil di parkiran Taman Pemakaman Umum. Suasana yang sunyi, membuat suara Zain terdengar hingga ke telinga Mondi. Mondi cepat berla
Aku membuka mataku perlahan, kepalaku terasa sangat pusing dan berat. Aku melihat, ruangan yang asing. Dimana ini? Aku belum bisa membuka mataku dengan sempurna."Kamu sudah sadar, Sayang." Lamat-lamat, aku mendengar suara Mas Mondi. Ya Allah, pusing sekali kepalaku. Hingga sulit sekali untuk membuka mata. Leherku juga sangat kering. "Dokter, istri saya sudah sadar." Aku mendengar suara Mas Mondi bicara dengan seseorang. Apa aku sedang di rumah sakit sekarang? Aku merasa ada yang menyentuh pergelangan tanganku, tepat di nadiku. Lalu sebuah benda dingin yang menyentuh dadaku. Mataku mulai bisa dibuka, aku bisa melihat wajah orang asing yang memegang tanganku. Rasanya badanku sangat lemas sekarang. "Syukurlah, Ibu sudah sadar," kata orang itu. Seorang laki-laki paruh baya yang memakai jas berwarna putih. Aku melihat sekeliling ruangan berwarna putih ini. Sepertinya aku berada di rumah sakit. "Kenapa aku, Mas?" lirihku ketika melihat Mas Mondi di sisi lain tubuhku. "Kamu tadi pin
"Ya Allah, Bu Parsiah." Aku tersenyum, melihat Bu Parsiah yang mengagetkan aku. Aku beranjak keluar kamar, ingin mengajak Bu Parsiah turut serta masuk ke dalam rumah. Semakin hari, Bu Parsiah semakin membaik, meski terkadang sifatnya seperti anak kecil. Dia sering berlagak seolah sedang bermain dengan anaknya. Apalagi kalau bersamaku. Dia juga mulai bisa diajak komunikasi. "Mau kemana Chel?" tanya Nunik yang datang dari arah dapur, di tangannya sudah ada semangkuk bubur ayam. "Sebentar, ada Bu Parsiah di luar. Aku mau ajak masuk," jawabku. Nunik meletak mangkuk buburnya di meja yang ada di ruang tamu, lalu mengikutiku keluar. Aku jalan ke arah samping rumah Eyang, untuk menjemput Bu Parsiah. Dia tampak lari-larian sambil tertawa-tawa riang. Wajahnya tampak bahagia, seolah-olah tak memiliki beban apapun. "Bu," panggilku. Bu Parsiah berhenti berlari. Aku tak bertanya, dia sedang apa. Kalau ditanya, jawabannya akan selalu sama. Sedang main dengan Sinta. "Kita ke dalam yuk," ajakk
"Chel, aku yakin sekali, pasti waktu itu kamu kerasukan arwah Hartati," kata Nunik, memastikan kalau dugaan kami tak salah. Aku masih diam, mencoba menarik benang merah dari setiap peristiwa yang kualami di rumah ini. "Aku rasa, untuk memutus semua ini, kita harus mencari tau penyebab kematian Hartati yang sebenarnya. Bang Yoga curiga, kalau Hartati bukan murni kecelakaan dulu." Aku menelan ludah, haruskah aku menceritakan apa sebenarnya yang kulihat di mimpiku pada Nunik? Terus terang, aku malu menceritakan kalau ayahku dulu berselingkuh dengan Eyang. Apalagi keduanya sudah tiada. Rasanya tak baik menceritakan aib yang memang sengaja disembunyikan itu. Apalagi, dalam mimpiku itu, aku melihat mereka membu nuh Hartati dengan keji. Malu sekali rasanya menceritakan ini. Bi Lasmi, tau tidak ya, cerita yang sebenarnya? Astaghfirullah, itu kan hanya mimpi. Bagaimana aku berpikir kalau itu adalah cerita yang benar? Kalau tak benar, untuk apa aku mimpi seperti itu? Kepalaku rasanya pusing
"Nanti Rachel kesini lagi sama Hartati," kataku untuk membujuknya, sambil melepaskan pelukannya dari pinggangku. Dia masih enggan, melepas pinggangku. Malah semakin erat memelukku."Buk, lepaskan Non Rachel!" kata Pak Sugeng yang datang lagi. Mungkin dia melihat Bu Parsiah yang terus memelukku. Bu Parsiah menggeleng. "Takut.""Takut apa Bu? Nggak papa kok. Rachel aman sama Mas Mondi." Aku dengan sabar memberinya pengertian. Orang seperti Bu Parsiah tidak bisa diajak bicara kasar. Dia akan berontak nanti. Lebih baik agak sedikit bersabar. "Kasihan bayinya, Bu. Sesak." Aku mencari alasan agar Bu Parsiah mau melepas pelukannya.Benar saja, perlahan, dia merenggangkan pelukannya. Aku jadi terharu. Hati ini bisa merasakan, kalau dia sayang sama anakku. "Biarkan Non Rachel pulang," kata Pak Sugeng, sambil membimbing bahu istrinya.Wajah Bu Parsiah terus menunduk, tampak takut. Entah sama siapa. "Yuk ah. Mas udah lapar." Mas Mondi mengulurkan tangannya padaku. Aku langsung menyambutnya
"Rachel! Rachel!" Aku cepat membuka mataku ketika merasakan ada yang mengguncang bahuku.Ternyata Nunik. Nafasku tersengal, seolah baru saja melepaskan beban yang sangat berat. "Kamu kenapa?" tanya Nunik. "Dia datang lagi, Nik," jawabku. Nunik membantuku untuk duduk. "Hartati?" tanyanya, aku mengangguk."Kamu sudah cerita sama Bi Lasmi?" "Belum. Aku nggak enak. Takutnya Bi Lasmi malah jadi sedih." "Iya juga. Kamu udah sholat? Ini sudah lewat Zuhur.""Belum." "Ya udah, sholat dulu sana. Aku tungguin." Aku bangkit, jalan ke kamar mandi untuk berwudhu. Usai berwudhu, aku segera ke kamar, untuk sholat Zuhur. Gubrak. "Oohh arrghhh. To–"Setelah rakaat terakhir aku mendengar suara gaduh dari luar kamar. Suara siapa, apa suara Nunik? Aku jadi tak khusyuk sholat. Rasa khawatir menyergap dalam hati, takut ada apa-apa sama Nunik. Usai salam, aku langsung bangkit tanpa memanjatkan doa. Dengan tubuh masih dibalut mukena aku melihat keluar. Pintu masih tertutup. Nunik kemana?"Nik!" Aku
''Bukannya Nunik sudah pulang?" tanyaku."Iya, tadi sudah pulang. Selesai sholat tadi, dia izin mau ke rumah Eyang lagi. Katanya kasihan kau sendirian di rumah," jelas Yoga. "Loh, katanya ada hajatan di rumah saudara kalian?" tanyaku heran. "Memang ada hajatan, tapi kami nggak pergi. Hanya titip amplop saja. Kamu khawatir sama kau, makanya Nunik ke sini. Zain sudah pesan untuk jaga kau."Jelas aku jadi khawatir mendengarnya. Berarti tadi benar Nunik yang datang. Kenapa Bi Lasmi bilang dia tak melihat Nunik? Apa memang dia tak nampak Nunik lewat? Apa tadi suara Nunik?"Bu, Rachel pulang ya," kataku. "Iyah." Dia mengangguk cepat, dengan senyuman yang lebar. "Kita ke rumah Ga." Aku langsung mengajak Yoga ke rumah. "Hati-hati." Aku langsung berbalik mendengar Bu Parsiah bilang hati-hati. Tetapi, dia terlihat sedang bermain dengan bebek. Aku melihat Pak Sugeng yang terus memperhatikan kami. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku cepat menyusul Yoga yang jalan lebih dulu, sambil memeg