Share

Bab 5

"Ada apa Non?" Bi Lasmi langsung datang ke kamar Eyang. 

"Mangkuknya jatuh, Bi. Nggak sengaja tadi," kataku berbohong. Kalau kubilang ada yang memukul tanganku, apa dia percaya?

"Ya sudah. Biar saja. Bibik ambil sapu sama pengki dulu. Non, nemani Eyang saja, nanti Bibi ambilkan yang baru lagi makanan buat Eyang," kata Bi Lasmi langsung beranjak keluar kamar Eyang. 

Aku bangkit, lalu mendekati Eyang. Eyang tampak tenang, tak terkejut dengan kejadian barusan. Dia hanya menoleh, berusaha melihat ke belakang sebentar. 

"Maaf ya, Yang," kataku. 

"Nggak papa. Kamu nggak papa kan, Ndok?" tanya Eyang. Dia menatapku dengan mata teduhnya. 

Eyang pasti sangat cantik di masa mudanya. Gurat kecantikan itu masih terlihat sangat jelas di usianya yang sudah senja. 

"Ambil bangku," suruh Eyang. 

Aku menurut. Aku mengambil bangku bundar yang ada di meja rias Eyang, lalu duduk di hadapan Eyang.

"Syukurlah, Eyang masih sempat melihat kamu, sebelum Eyang meninggal," kata Eyang sambil mengelus lembut pipiku. 

"Kamu sangat mirip ibumu. Terobati rasa kangen Eyang sama dia." Meski suaranya Eyang serak dan pelan, masih bisa kudengar dengan jelas.

Kata Ayah, aku memang sangat mirip dengan mendiang ibu. Seperti pinang yang dibelah dua. Bedanya, rambutku agak merah bergelombang, rambut ibu hitam lurus. Kata Ayah, rambutku begini memang sudah bawaan sejak lahir. Waktu aku kecil, aku sempat dijuluki si rambut jagung. Namun, Eyang marah dan melarang menyematkan julukan itu. Eyang khawatir, julukan itu akan terus tersemat hingga aku dewasa. 

Bi Lasmi datang lagi dengan membawa nampan tadi, yang di atasnya sudah ada mangkuk bubur dan mangkuk sup baru. Dia sekaligus membawa sapu dan pengki.

Aku segera bangkit untuk mengambil nampan dari tangannya, agar dia tak kesusahan. 

Kembali aku duduk di hadapan Eyang, dan mulai menyuapkan bubur yang dicampur dengan sup itu. 

"Kamu, menetaplah di sini. Eyang sudah mengalihkan rumah ini dan semua aset untuk kamu. Kalau nanti Eyang meninggal, pengacara akan membalik semua namanya atas nama kamu." 

Aku agak terkejut sekaligus senang tentunya. Siapa yang tak senang? Aku yang selama ini tak punya rumah, hanya mengontrak saja. Kini punya semuanya.

Bukan hanya rumah, juga ada kebun dan peternakan yang tinggal memetik hasil. Mendadak aku merasa seperti menjadi Cinderella saja. Apakah ini yang disebut rezeki tak terduga? 

Ah … ini sih sudah terduga. Pada siapa lagi Eyang mewariskan hartanya, selain padaku, cucu semata wayangnya?

Bi Lasmi langsung keluar setelah membersihkan kamar Eyang. Dia menutup pintu kamar Eyang. 

"Eyang, apa Eyang nggak mau terapi, biar bisa jalan lagi?" tanyaku.

Eyang pasti masih bisa pulih kalau Eyang mau lebih serius lagi berobat. Apalagi kulihat, kaki Eyang masih terlihat normal. 

"Eyang sudah banyak sekali berobat. Sudah capek. Paling sekarang minum obat herbal saja. Eyang malas terlalu banyak minum obat kimia," kata Eyang. 

"Tak ada salahnya usaha, Eyang," kataku. 

Siapa tau Eyang bisa kubujuk. Aku baru kali ini bertemu Eyang. Rasanya aku ingin punya waktu lebih lama lagi. Tentu akan jauh lebih asik, kalau aku bisa jalan-jalan sama Eyang. 

"Assalamualaikum!" Aku mendengar suara orang mengucap salam dari arah luar rumah. 

"Assalamualaikum!" Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih lantang dari yang tadi. 

"Kamu lihat, siapa yang datang. Barangkali Zain, mengantar uang penjualan bebek sama lele," titah Eyang. 

"Siapa Zain, Yang?" 

"Dia orang yang Eyang percaya menjual lele dan bebek kita. Dulu bapaknya. Sejak bapaknya sudah meninggal, dia yang meneruskan. Sana temui dulu. Lasmi mungkin lagi keluar." 

Aku gegas bangkit untuk menemui orang yang Eyang maksud. Keadaan ruang tamu sunyi. Kemana Bi Lasmi? Mas Mondi juga. Masak belum selesai mandi sejak tadi.

Pintu depan ternyata terbuka, pantes suara orang dari luar terdengar sangat nyaring. 

Aku melihat seorang pria sedang berdiri memunggungiku. Postur tubuhnya tinggi, bentuk badannya bagus terlihat dari belakang begini. Rambutnya gondrong, sampai lewat bahu. 

Dia berbalik, dan langsung terpana melihatku. Matanya sampai tak berkedip, membuatku jadi salah tingkah. Aku tau, aku sudah bersuami. Tapi wanita mana, yang tak tersipu dilihat seperti itu. 

"Tolong jaga mata ya," ketusku. Terpaksa, untuk menutupi salah tingkahku. 

"Oh, maaf Kak," katanya jadi kikuk.

Dilihat dari depan begini, dia cakep banget. Mirip sama anak almarhum Ustad kondang itu. Apalagi dengan warna kulit coklat, terlihat macho. 

"Mau apa?" tanyaku. 

"Kenalin Kak, namaku Zain. Anak Medan asli," katanya seraya mengulurkan tangan, tanpa menjawab pertanyaanku. 

"Nggak nanya," jawabku, tanpa menyambut uluran tangannya. 

Meski begitu, dia tetap tersenyum menarik tangannya yang tak kusambut. Senyumnya, benar-benar bikin meleleh. Jarang loh, ada cowok memiliki lesung pipi saat tersenyum.

"Bah, jutek kali Kakak. Tapi tambah manis," katanya, membuat pipiku panas. 

"Eh, nggak lihat nih perut buncit! Masih aja godain istri orang!" Aku bersikap ketus untuk menyamarkan semburat merah yang barangkali sudah menghiasi pipiku. 

"Siapa yang menggoda Kakak? Aku bicara yang betul," katanya dengan logat Medan yang kental. 

"Mau apa? Dari tadi ditanyain, malah lain-lain yang dijawab." Aku bertanya lagi. 

"Kakak kasih tau dulu nama Kakak, baru aku jawab. Siapa tau kita bertemu di jalan, aku bisa menyapa dengan sopan," katanya. 

"Udah, nggak perlu tau. Kamu mau setor uang jualankan? Masuk gih," ujarku padanya.

"Wiih, paten kali Kakak ini. Padahal aku belum bilang apa-apa, tapi Kakak udah tau. Macam dukun aja ah." Rasanya aku hampir senewen menghadapinya, tapi lucu juga. 

"Udah cepat. Eyang udah nunggu. Sudah mau Maghrib, nanti kesambet di jalan," kataku asal saja. 

"Tak mungkin Kak, setan di sini takut sama aku," katanya sok yakin, tapi masuk juga ke dalam rumah.

Aku mengikutinya sampai ke kamar Eyang. 

"Assalamualaikum, Yang," sapanya sambil mencium takzim punggung tangan Eyang. 

Hmm, bisa sopan juga ternyata. 

"Waalaikumsalam," jawab Eyang sambil tersenyum.

"Ini setoran hari ini. Alhamdulillah, habis Eyang. Kita dapat langganan rumah makan baru di kota," kata Zain. 

Entah kenapa, aku merasa seperti mengenalnya. Mataku jadi tak mau lepas dari dia. 

"Syukurlah. Eyang suka lihat semangat kamu," kata Eyang. Eyang nampaknya sayang sekali sama Zain.

"Zain akan lebih semangat kalau Eyang mau nurut sama Zain," katanya membuat alisku menaut. Apa maksud perkataannya? Kenapa Eyang harus nurut sama dia?

"Eyang hanya sakit biasa, tak perlu lah," sahut Eyang. 

"Eyang, coba lah. Siapa tau kali ini cocok," kata Zain memohon. 

Aku lihat gerakan kepala Eyang menggeleng. 

"Kamu sudah ketemu sama Rachel kan?" tanya Eyang. Aku masih berdiri diam memperhatikan. 

Mata Zain kini tertuju padaku, membuat aku jadi membuang muka karena risih dilihat seperti itu, oleh laki-laki yang bukan suamiku. 

"Dia Rachel, Yang?" tanya Zain pada Eyang, seraya menunjukku dengan dagunya. 

"Iya. Kamu nggak tanda?" tanya Eyang. 

Aku merasa, saat bersama dengan Zain, Eyang jadi sangat bersemangat. Suaranya juga lebih jelas, daripada saat bicara denganku tadi. 

Eit, tunggu dulu. Apa pertanyaan Eyang tadi? Kamu nggak tanda? Apa maksudnya? Kenapa banyak sekali sih, teka-teki di rumah Eyang?

~~~~~~~~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status