"Tadi terbangun, jadi hilang ngantuknya. Mas bingung mau ngapain, mending ngobrol sama pak Sugeng. Lagian belum terlalu larut." Alasan Mas Mondi cukup masuk di akal. Tak ada alasan untuk curiga. Astaghfirullah. Kenapa aku curiga sama suamiku? Atas dasar apa?"Kamu kenapa bangun?" tanyanya. "Terbangun juga. Aku …." Apa sebaiknya aku cerita saja ya, sama Mas Mondi tentang mimpiku."Mas, aku mimpi buruk banget." Aku mulai menceritakan mimpiku. "Mimpi apa?" "Aku melihat ibu." "Ibu kamu?""Iya." Aku merasa yakin, wanita yang ada di dalam mimpiku adalah Ibu. Walau aku hanya mengenal wajahnya lewat foto, tapi wajah itu terus aku ingat di dalam kepalaku. Aku sebenarnya mirip dengan Ibu, tapi jauh lebih cantik Ibu. Aku harus akui itu. Wajah Ibu identik sekali dengan keayuan wanita Jawa, walau dia asli kelahiran Sumatra. "Aku melihat ibu bunuh diri dengan memotong nadinya sendiri," kataku dengan serius. "Apa ibu meninggal bunuh diri?" tanya Mas Mondi. "Kata ayah, ibu meninggal karena s
"Sudah," kata Eyang sembari menahan tanganku yang ingin menyuapkan lagi makanan ke mulutnya. Eyang sepertinya kehilangan selera makan karena ku membahas soal Ibu. Namun, aku tak memaksa. Kuberikan gelas berisi air minum Eyang. Entah hanya minum sedikit saja. "Ayahmu bilang apa?" tanya Eyang. Dahulu mengernyit, kenapa Eyang justru bertanya soal Ayah. "Maksudnya, ayah bilang apa gimana, Eyang?" tanyaku. "Tentang ibumu. Apa yang ayahmu katakan tentang kematian ibumu?" tanya Eyang. "Ayah bilang, ibu meninggal karena sakit. Sakit yang sudah lama ibu derita sejak melahirkan Rachel," jawabku sesuai dengan apa yang Ayah ceritakan. "Kalau ayahmu bilang begitu. Berarti benar seperti itu. Tak usah lagi diungkit tentang ibumu. Kasihan dia. Dia sudah tenang," kata Eyang. Jujur, aku merasa tak puas dengan jawaban Eyang. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan olehnya. Sesuatu yang tak boleh aku ketahui. Namun, tak mungkin juga aku memaksa Eyang cerita dengan kondisi kesehatan Eyang yang tak b
Ah, tapi sudahlah. Itu haknya dia. Aku baru tau, kalau Bi Lasmi ternyata punya anak yang sudah meninggal. Tanganku kembali meraba, akhirnya aku mendapatkan kunci itu. Aku keluar lagi untuk bertanya sama Bi Lasmi, dimana gudangnya. Tapi dia tak ada. Apa dia pulang mengantar boneka itu? Ya, kata Bi Lasmi, dia hanya sesekali menginap menemani Eyang. Eyang lebih sering ditemani Zain kalau malam. Bi Lasmi akan datang pagi hari, dan pulang menjelang Maghrib. Belum banyak yang aku ketahui tentang Bi Lasmi.Aku terpaksa kembali.ke kamar, untuk bertanya sama Eyang. "Eyang. Gudangnya dimana?" tanyaku dari ambang pintu kamar Eyang. "Di belakang, pintunya dari luar," jawab Eyang.Aku keluar lagi, lalu jalan ke halaman belakang rumah. Benar saja, aku melihat ada sebuah pintu yang ada rantainya. Rantai itu juga digembok. Aku mencoba membuka gembok itu dengan kunci yang kudapatkan. Cocok. Gembok bisa dibuka. Bunyi bising dari rantai besi langsung memenuhi gendang telingaku. Rantai ini cukup besa
"Eyang kenapa?" tanyaku.Eyang terdiam tak menjawab, wajahnya tetap tegang. Bi Lasmi mendekati kami."Sini, Bibi bantu," kata Bi Lasmi.Tanpa meminta persetujuan kami, Bi Lasmi langsung menggendong Eyang. Aku sungguh kaget. Ternyata Bi Lasmi sangat kuat. Bisa menggendong Eyang sendirian. Lalu dengan perlahan diletakkan tubuh ringkih Eyang di kursi roda. "Makasih, Bi," kataku. Dia hanya tersenyum, lalu keluar lagi dari kamar Eyang. Eyang tampak memanjangkan lehernya, membuatku curiga dan tak tahan untuk bertanya. "Kenapa, Yang?" "Itu bukan Lasmi," bisik Eyang. Dahulu mengkerut mendengarnya. Apa Eyang mulai berhalusinasi karena sakit? Jelas-jelas itu Bi Lasmi, masak Eyang bilang bukan. Nggak mungkin juga hantu, kakinya aja napak kok.Ah sudahlah. Mungkin Eyang hanya sedang nggak enak badan aja."Kita keluar, ya Yang." Aku mendorong pelan kursi roda Eyang keluar dari kamar. Kubuka pintu utama rumah, lalu mendorong lagi kursi roda itu. Bannya masih bagus, jadi tak perlu tenaga yang
Tiba-tiba saja seekor lembu lari dari kerumunannya dan seperti hendak menyerang kami. Bukan hanya panik yang aku rasakan, takut itu sudah jelas. Sebelah tanganku memegang kursi roda, sebelah lagi memegang perutku. Reflek saja. Mungkin naluriku untuk melindungku Eyang dan anakku. Lelaki itu langsung berlari, menghalau lembunya sebelum sempat menyerang kami. "Hussssyeeeehh huuusssyeeehhhh!" Setelah lembunya berbalik, pemuda itu mengucapkan permintaan maaf pada Eyang. "Eyang. Maaf ya, kalau lembu saya tadi hampir nyerang Eyang." Eyang menggeleng, aku yakin Eyang juga sama takutnya seperti aku. "Nggak papa Yoga. Hati-hati, jangan sampai menyerang orang yang lewat lagi. Bagaimana kalau tadi yang diserang orang yang mengendarai motor?" "Iya. Sekali lagi maaf, Eyang." Pemuda itu terlihat sungkan. Aku hanya diam memperhatikan, tapi bukan aku tak tau, kalau dia juga sesekali melihatku dengan ekor matanya, meski hanya sekilas-sekilas saja. "Eyang balik dulu ya," kata Eyang. "Iya, Eyan
POV Sandra (Eyang)Sudah lama aku hanya bisa duduk di atas ranjang atau sesekali di kursi goyang yang sekarang menghiasi kamarku. Bersama dengan kesunyian yang selalu menemani. Semalam cucuku satu-satunya akhirnya datang lagi ke rumah ini. Sejak dia datang, rasanya aku jadi sangat bersemangat lagi.Sejak anakku Sulis meninggal belasan tahun silam, Wahid suami Sulis pergi membawa Rachel. Aku tau alasannya pergi dari rumah ini apa. Bukan karena dia merasa sungkan karena anakku sudah tiada seperti yang digembor-gemborkan selama ini. Hanya aku, dia dan Tuhan yang tau alasan itu? Sejak Sulis meninggal, dan Wahid pergi dari rumah. Aku selalu dihantui. Hal itu hampir membuatku hampir menjadi gila. Syukurlah, ada Togar yang bisa membantuku dulu terlepas dari perasaan dihantui itu. Sejak Togar meninggal karena kecelakaan, Zain anaknya lah yang menggantikannya. Aku menyayangi Zain, seperti cucuku sendiri. Sejak kecil, dia memang selalu bermain di rumahku, menjaga Rachel atas keinginannya send
"Non jangan nakuti Bibi?" katanya. "Nggak nakuti Bi. Makanya saya tanya," jawabku."Saya mau ke gudang, Bi. Ada yang mau saya lihat."Aku bangkit dari duduk dan langsung melangkah ke arah belakang. Aku mau melihat-lihat isi gudang. Barangkali aku menemukan sesuatu yang menarik yang bisa dijadikan hiasan di kamarku atau rumah ini. Bi Lasmi tak mencegah, dia membiarkanku pergi. Kulangkahkan kali ke arah gudang yang tadi. Sesampainya di depan gudang. Kurogoh kantong celanaku untuk mengambil kuncinya, lalu membukanya. Saat pintu sudah terbuka, debu yang beterbangan tak seperti pertama kali aku buka tadi. Aku langsung saja jalan ke arah lukisan-lukisan yang teronggok di sini, dan belum sempat kututup lagi pakai kain penutupnya. Bibirku tersenyum, kala melihat wajah Ibu di dalam lukisan yang paling depan. Sangat manis. Aku melihat rak buku, barangkali ada yang bisa dijadikan referensi bacaanku selain buku tentang perawatan kehamilan dan pasca melahirkan yang tadi kutemukan. Tanganku mu
"Nggak," jawabnya. "Ya udah makan. Nanti masuk angin," ujarnya. Kami menikmati makan siang kami dalam hening. Lama-lama aku bosan juga diem-dieman kayak gini. "Mas, nanti habis Zuhur aku mau beli motor sama Zain ya." Aku permisi sama Mas Mondi. Dia menatapku. Rasanya jengah sekali ditatap seperti itu. Kayaknya dia bakal melarang. Mungkin lebih baik Mas Mondi ikut aja. Kan kamu bsmisa pakai mobil. Mas Mondi bisa kok bawa mobil. "Ya udah. Jangan terlalu sore pulangnya. Mau beli motor apa rupanya?" Aku jadi bingung mendengar dia memberi izin tanpa terlihat keberatan. Padahal semalam, kayaknya dia nggak begitu suka dengan Zain. Ini sungguh di luar ekspektasiku, tapi aku berusaha menetralisir perasaan. Baguslah kalau dia kasih izin. Berarti kan aku nggak merasa ada ganjalan kalau jalan sama Zain. Mungkin karena aku sedang hamil, jadi Mas Mondi tak ada rasa cemburu. Cemburu? Ah, terlalu jauh pikiranku. Masak sih, aku berharap Mas Mondi cemburu pada Zain. "Matic aja, ya Mas. Mas suka