Share

5. butuh bantuan

Tiba-tiba kantung kemihku terasa pening karena ingin segera dikosongkan sementara kepala juga pusing dan pandanganku rasanya berputar-putar ketika aku hendak bangun dan duduk beberapa saat.

"Ya Tuhan, kalau begini aku tidak akan bisa ke kamar mandi." Aku menggumam dengan air mata yang ingin menetes dari pelupuknya.

Ah, waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, nyamuk nyamuk beterbangan dan mengganggu sekali. Pintu terbuka hingga kabut dan cuaca dingin yang meluncur turun dari pegunungan terasa menusuk tulang. Aku Ingin menutup pintu tapi tidak berdaya sekali.

Sepertinya aku harus ke kamar mandi karena kalau aku menahannya sebentar lagi maka aku akan mengompol di tempat tidur. Namun baru saja berusaha untuk bangun tiba-tiba ponselku berdering dan itu adalah nama anakku yang tertera di sana.

"Halo assalamualaikum, Yuna."

"Walaikum salam Ibu."

"Apa kabar sayang, bagaimana sekolahnya?"

"Lancar, tadi baru saja ujian tengah semester," jawabnya.

"Ah, bagus, ibu senang sekali," jawabku yang merasa sedikit ringan rasa sakit ini setelah mendengar suara anakku menyapa.

"Tapi Ibu sedang ada di mana? mengapa suara Ibu memantul seperti berada di gedung yang besar?"

"Aku di puskesmas," jawabku.

"Mengapa, apa ibu sakit?"

"Tidak, ibu hanya menjenguk orang."

"Tapi suara Ibu terdengar parau dan lemah sekali," balas anakku yang memang cukup pintar dan pandai menebak sesuatu.

"Ah, tidak, aku hanya sedang pilek, sudahlah, titip salam untuk kakakmu agar dia berkuliah dengan baik. Jangan lupa makan, jangan boros dengan uang kalian. Jika ada kebutuhan sekolah segera untuk menelpon ibu, ibu akan mengusahakannya."

"Baik, ibu, jaga diri ibu."

"Iya, sayang. Jangan tidur kemalaman." Mengakhiri percakapan dengan anakku,kumatikan ponsel lalu menggenggam benda itu sambil menatap foto mereka yang ada di wallpaper benda pipih itu. Rasanya Ada kerinduan dalam hatiku yang tidak bisa kutahan, dalam keadaan sakit seperti ini aku sepertinya memang membutuhkan pelukan mereka namun aku tidak ingin membuat mereka susah dan merepotkan mereka untuk pulang kemari di saat mereka sedang sibuk dengan pendidikannya.

Ada rasa sedih dan begitu sendiri hingga air mata menetes saat seseorang dalam keadaan sakit dan tidak berdaya. Aku butuh seseorang di sisi, tapi tidak tahu itu siapa dan apa hubungannya denganku. Aku hanya butuh teman dan dikuatkan namun sepertinya itu tidak mungkin.

Kutarik napas dalam mengumpulkan kekuatan untuk berjalan sejenak ke kamar mandi. Sialnya, kamar mandi itu berada di ruang rawat istri suamiku, hingga mau tak mau aku harus ke sana, karena kamar mandi lain begitu jauh. Suasana lorong rumah sakit sedang sepi, mungkin pada petugas piket sedang salat atau makan malam hingga aku tak bisa minta bantuan mereka. Kupegang tiang infus sambil mendorongnya pelan, kulangkahkan kakiku yang terasa kebas bukan main, jangan tanya pusingnya kepala ini. Aku mau pingsan rasanya.

Sesampainya di depan pintu kamar mandi, aku rasanya sudah tidak tahan lagi tubuhku oleng dan aku langsung terjatuh dengan posisi akan miring ke kiri. Untungnya sebuah tangan yang kokoh segera meraih bahuku dan menegakkan kembali posisi diri ini.

"Aku akan membantumu," ucap Mas Fendi.

"Jangan sentuh aku, lihat apa yang terjadi siang tadi karena kecemburuan semua orang. Aku sudah cukup tersakiti dan dalam keadaan lemah. Tolong, jangan sentuh aku. Jika ingin bantu, panggilkan perawat," balasku dengan napas memburu karena tenaga yang terkuras dan lemas.

"Tidak, mencari perawat akan mengulur waktu. Aku akan membantumu masuk ke kamar mandi setelah itu akan berjaga di depan pintu."

"Aku bukan lagi istrimu yang harus Kau jaga seperti dulu." Tiba-tiba hatiku merasa perih dan sedih aku menangis mengingat kenangan kenangan baik saat dia masih bersamaku dan mengurusku dengan baik. Saat kami bersama meski berada dalam kemiskinan Aku merasa sangat bahagia karena selalu ada tangan kokohnya menggenggam tanganku. Sayang, kami berpisah, dan hidup kami berubah.

"Jangan menangis ...."

"Aku tidak menangisimu tapi aku menangisi ketidak berdayaanku."

"Kemarilah."

Aku berontak saat dia ingin merangkulku namun tenaganya begitu kuat hingga aku yang tidak berdaya karena merasa limbung terjatuh ke pelukan dada bidangnya.

Sepertinya istrinya sedang tertidur hingga tidak menyadari apa yang terjadi di antara kami.

"Akan ku antar kau ke ranjang," ucapnya sambil mengendongku yang sudah tak berdaya, tidak bertenaga bagai tidak memiliki tulang.

"Aku ingin ke kamar mandi."

"Aku akan ambilkan pispot."

"Istrimu, dia akan marah."

"Dia sedang pulas, jangan khawatir."

Aku yang lemas dan tidak punya pilihan hanya bisa diam dalam gendongannya saat dia mengembalikan aku ke ranjang. Bahkan saat brankar itu di dorong lagi ke ruang rawat yang tadi, aku sudah tidak berdaya untuk menolaknya.

"Di luar dingin dan aku tidak bisa mengawasimu jadi akan ku bawa kau kembali."

"Istrimu akan marah."

"Aku tidak akan memperdulikannya."

Setelah merapikan ranjangku, dia mengambilkan pispot dan menyuruhku untuk buang air di sana saja. Aku yang canggung tentu sangat malu dan menolak, namun ia memaksaku. Dibantunya aku untuk membuangkan cairan yang ada di pispot lalu ia juga memberiku makan dengan menyuapi roti.

"Bagaimana keadaan anak kita?"

"Baik."

"Terima kasih karena kalau sudah mengurusnya maafkan, aku yang tidak punya tanggung jawab."

"Aku tahu bukannya kau tidak mau bertanggung jawab, tapi istrimu mencegahmu. Aku juga tidak mau menerima bantuan yang diberikan dengan cara diam-diam," jawabku sambil menerima seteguk air dari gelas di tangannya.

"Terimakasih, tinggalkanlah aku dan kembalilah ke ranjang istrimu."

"Percayalah, meski tubuhku di sana. Tapi hatiku ada padamu." Tiba-tiba air mata pria itu menetes hingga kami saling bertangisan dalam senyap. Sungguh sedih hidupku hari ini. Ya Allah, Aku tidak menyangka akan bertemu dia seperti ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status