Tiba-tiba kantung kemihku terasa pening karena ingin segera dikosongkan sementara kepala juga pusing dan pandanganku rasanya berputar-putar ketika aku hendak bangun dan duduk beberapa saat.
"Ya Tuhan, kalau begini aku tidak akan bisa ke kamar mandi." Aku menggumam dengan air mata yang ingin menetes dari pelupuknya. Ah, waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, nyamuk nyamuk beterbangan dan mengganggu sekali. Pintu terbuka hingga kabut dan cuaca dingin yang meluncur turun dari pegunungan terasa menusuk tulang. Aku Ingin menutup pintu tapi tidak berdaya sekali. Sepertinya aku harus ke kamar mandi karena kalau aku menahannya sebentar lagi maka aku akan mengompol di tempat tidur. Namun baru saja berusaha untuk bangun tiba-tiba ponselku berdering dan itu adalah nama anakku yang tertera di sana. "Halo assalamualaikum, Yuna." "Walaikum salam Ibu." "Apa kabar sayang, bagaimana sekolahnya?" "Lancar, tadi baru saja ujian tengah semester," jawabnya. "Ah, bagus, ibu senang sekali," jawabku yang merasa sedikit ringan rasa sakit ini setelah mendengar suara anakku menyapa. "Tapi Ibu sedang ada di mana? mengapa suara Ibu memantul seperti berada di gedung yang besar?" "Aku di puskesmas," jawabku. "Mengapa, apa ibu sakit?" "Tidak, ibu hanya menjenguk orang." "Tapi suara Ibu terdengar parau dan lemah sekali," balas anakku yang memang cukup pintar dan pandai menebak sesuatu. "Ah, tidak, aku hanya sedang pilek, sudahlah, titip salam untuk kakakmu agar dia berkuliah dengan baik. Jangan lupa makan, jangan boros dengan uang kalian. Jika ada kebutuhan sekolah segera untuk menelpon ibu, ibu akan mengusahakannya." "Baik, ibu, jaga diri ibu." "Iya, sayang. Jangan tidur kemalaman." Mengakhiri percakapan dengan anakku,kumatikan ponsel lalu menggenggam benda itu sambil menatap foto mereka yang ada di wallpaper benda pipih itu. Rasanya Ada kerinduan dalam hatiku yang tidak bisa kutahan, dalam keadaan sakit seperti ini aku sepertinya memang membutuhkan pelukan mereka namun aku tidak ingin membuat mereka susah dan merepotkan mereka untuk pulang kemari di saat mereka sedang sibuk dengan pendidikannya. Ada rasa sedih dan begitu sendiri hingga air mata menetes saat seseorang dalam keadaan sakit dan tidak berdaya. Aku butuh seseorang di sisi, tapi tidak tahu itu siapa dan apa hubungannya denganku. Aku hanya butuh teman dan dikuatkan namun sepertinya itu tidak mungkin. Kutarik napas dalam mengumpulkan kekuatan untuk berjalan sejenak ke kamar mandi. Sialnya, kamar mandi itu berada di ruang rawat istri suamiku, hingga mau tak mau aku harus ke sana, karena kamar mandi lain begitu jauh. Suasana lorong rumah sakit sedang sepi, mungkin pada petugas piket sedang salat atau makan malam hingga aku tak bisa minta bantuan mereka. Kupegang tiang infus sambil mendorongnya pelan, kulangkahkan kakiku yang terasa kebas bukan main, jangan tanya pusingnya kepala ini. Aku mau pingsan rasanya. Sesampainya di depan pintu kamar mandi, aku rasanya sudah tidak tahan lagi tubuhku oleng dan aku langsung terjatuh dengan posisi akan miring ke kiri. Untungnya sebuah tangan yang kokoh segera meraih bahuku dan menegakkan kembali posisi diri ini. "Aku akan membantumu," ucap Mas Fendi. "Jangan sentuh aku, lihat apa yang terjadi siang tadi karena kecemburuan semua orang. Aku sudah cukup tersakiti dan dalam keadaan lemah. Tolong, jangan sentuh aku. Jika ingin bantu, panggilkan perawat," balasku dengan napas memburu karena tenaga yang terkuras dan lemas. "Tidak, mencari perawat akan mengulur waktu. Aku akan membantumu masuk ke kamar mandi setelah itu akan berjaga di depan pintu." "Aku bukan lagi istrimu yang harus Kau jaga seperti dulu." Tiba-tiba hatiku merasa perih dan sedih aku menangis mengingat kenangan kenangan baik saat dia masih bersamaku dan mengurusku dengan baik. Saat kami bersama meski berada dalam kemiskinan Aku merasa sangat bahagia karena selalu ada tangan kokohnya menggenggam tanganku. Sayang, kami berpisah, dan hidup kami berubah. "Jangan menangis ...." "Aku tidak menangisimu tapi aku menangisi ketidak berdayaanku." "Kemarilah." Aku berontak saat dia ingin merangkulku namun tenaganya begitu kuat hingga aku yang tidak berdaya karena merasa limbung terjatuh ke pelukan dada bidangnya. Sepertinya istrinya sedang tertidur hingga tidak menyadari apa yang terjadi di antara kami. "Akan ku antar kau ke ranjang," ucapnya sambil mengendongku yang sudah tak berdaya, tidak bertenaga bagai tidak memiliki tulang. "Aku ingin ke kamar mandi." "Aku akan ambilkan pispot." "Istrimu, dia akan marah." "Dia sedang pulas, jangan khawatir." Aku yang lemas dan tidak punya pilihan hanya bisa diam dalam gendongannya saat dia mengembalikan aku ke ranjang. Bahkan saat brankar itu di dorong lagi ke ruang rawat yang tadi, aku sudah tidak berdaya untuk menolaknya. "Di luar dingin dan aku tidak bisa mengawasimu jadi akan ku bawa kau kembali." "Istrimu akan marah." "Aku tidak akan memperdulikannya." Setelah merapikan ranjangku, dia mengambilkan pispot dan menyuruhku untuk buang air di sana saja. Aku yang canggung tentu sangat malu dan menolak, namun ia memaksaku. Dibantunya aku untuk membuangkan cairan yang ada di pispot lalu ia juga memberiku makan dengan menyuapi roti. "Bagaimana keadaan anak kita?" "Baik." "Terima kasih karena kalau sudah mengurusnya maafkan, aku yang tidak punya tanggung jawab." "Aku tahu bukannya kau tidak mau bertanggung jawab, tapi istrimu mencegahmu. Aku juga tidak mau menerima bantuan yang diberikan dengan cara diam-diam," jawabku sambil menerima seteguk air dari gelas di tangannya. "Terimakasih, tinggalkanlah aku dan kembalilah ke ranjang istrimu." "Percayalah, meski tubuhku di sana. Tapi hatiku ada padamu." Tiba-tiba air mata pria itu menetes hingga kami saling bertangisan dalam senyap. Sungguh sedih hidupku hari ini. Ya Allah, Aku tidak menyangka akan bertemu dia seperti ini."Mas!" kudengar Santi yulisa terbangun. Dia duduk dan melotot melihat posisi suaminya yang berdiri sambil buru buru menyeka air mata di depanku."Mas, kamu ngapain, kenapa ada di sini!" wanita itu masih berteriak meski dalam keadaan lemah."Aku membawanya masuk karena di luar dingin, juga kasihan, yulisa.""Heh, kamu ga sadar sudah masuk dalam perangkapnya Mas? Wanita itu sengaja keluar dan mengorbankan diri agar kau jatuh Iba dan kembali menyayanginya. Dia wanita yang licik!""Sudahlah Santi istriku, kalau kau di posisi dia, sanggupkah kau bertahan di cuaca 18 derajat dan angin yang kencang, ditambah kau sedang sakit? Tolonglah, Kau boleh jadi tidak menyukainya tapi janganlah bersikap kejam. Toh, sekarang, aku suamimu, dan pikiranku tak akan tertuju kepada selain kamu dan keluarga kecil kita.""Lalu apa yang kau lakukan di depannya?""Hanya memberinya air.""Apa dia tak bisa minum sendiri?""Dia hanya sulit menjangkau. Aku hanya melihat bantuan padanya sebagai sisi kemanusiaanku, buk
"Yuna, Yudi?""Iya, ini kami apakah ayah tidak mengenal kami?" Tanya Yudi dengan wajah heran."Ah, sudah lama kita tidak berjumpa..." Mas Fendi tertawa canggung sekaligus salah tingkah di depan anaknya."Sekampung, hanya beda dusun satu kilometer, tapi tidak berjumpa sama sekali, itu lucu ya Ayah," ucap Yudi."Bukannya ayah tidak mau ketemu kalian, hanya saja....""Ayah tak sempat, Ayah ragu kami akan menolak, Ayah takut pada Ibu, ataukah istri ayah melarang?""Tidak begitu Nak...""Jangan coba membela diri ayah, kami tahu apa yang sebenarnya ayah pikirkan. Sekarang kita berjumpa ... Apakah ayah merasa canggung?""Tidak juga.""Iya, jangan menyangkal. Lucu ya, ada manusia yang canggung pada anaknya...." Sindir anakku pada ayahnya. Kugenggam tangan Yudi untuk mencegah anakku bersikap di luar kendali. Sementara itu, aku dan istri Mas Fendi saling bersitatap dengan pandangan permusuhan yang pekat."Lihat kurang ajar sekali anak anak itu di bawah asuhan istrimu," ucap Wanita itu sambil t
Keesokan hari, kondisiku membaik, ajaibnya sejak kedatangan anak anak, aku jadi membaik dan bersemangat. Sakit yang kemarin melilit lilit perut seakan lenyap begitu saja tanpa sisa. Dokter saja sampai tidak percaya mendapati kondisiku yang kini baik baik saja. "Kalau begitu ibu pulang saja," ucap dokter."Benarkah dok, wah terima kasih," ucapku berbinar."Syukurlah, jadi, ibu kami tak akan makan hati," ujar Yuna sambil melirik ayah mereka yang sibuk menyisir rambut sang istri. Ah, semanja itu wanita berambut panjang dan cerewet itu pada suaminya yang sekarang."Baiklah, sebentar lagi petugas akan datang mencabut selang infus, adik adik tolong tanda tangani surat kepulangan pasien ya, ikut saya.""Iya, dok, siap."Kedua anakku mengikuti dokter sementara tinggallah aku sendiri di sini, memandang mantan suami dari balik tirai yang tersibak. Dulu, dia juga menyisir rambutku, dia membelai dan memeluk sebelum kami berangkat tidur, dia menyisir rambut dengan hati hati sambil menciumi aro
Sudah seminggu yang lalu, sejak keluar dari rumah sakit, kini aku merasa sudah sehat dan siap untuk bekerja lagi. Anak-anak juga sudah kembali ke kota untuk melanjutkan pendidikan mereka. Tak lupa aku berikan sedikit uang untuk bekal mereka dan menitipkan pesan agar mereka tetap hidup dengan prihatin dan rajin ibadah.Pagi ini, setelah selesai sarapan dan membersihkan rumah, menyirami tumbuhan dan tanaman mawar milikku, kubersihkan diri lalu mengenakan pakaian yang pantas kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke pasar. Sudah seminggu lapak sembako tidak dibuka jadi aku rindu suasana pasar dan rindu pembeli yang suka menawar sampai ke titik akhir. Heheheh.Ketika kukunci rumah, tetanggaku Mbak Elsa menyapa."Sudah sehat dan siap ke pasar Mbak?""Sudah. Alhamdulillah.""Wah, mbak cerah sekali.""Harus semangat untuk anak," jawabku dengan lantang dan tawa renyah."Alhamdulillah.""Yuk semangat lagi kita," ucapku pada wanita yang berprofesi sebagai guru itu.Ku keluarkan motor dari garas
Sejam berlalu, sejam berlalu setelah kejadian tak mengenakkan tadi. Aku dan Mbak Rimbi masih berbincang, sesekali si mba merutuk akan kelemahan mantan suamiku yang sama sekali tak bisa menasehati istrinya. Dia lemah dan tak berkutik saat wanita itu berbuat semaunya. Seharusnya, sebagai laki laki ia tunjukkan wibawa dan prinsip, ia harus berani dan tegas mengatakan sesuatu dan mencegah yang salah. Sayangnya ... Ah, aku hanya bisa menggeleng pelan mengingat sulitnya keadaan dia meghadapi wanita seperti ini."Kok kamu dulu bisa cerai ya?""Hmm, begitulah, keadaan dan kekurangan memaksa kami berpisah. Keluarganya meminta suamiku merantau lalu dalam beberapa bulan semuanya berubah, aku dipaksa untuk bercerai dan diusir dari rumah bersama kedua putraku. Aku difitnah berselingkuh hingga Mas Fendi salah paham dan murka. Kami berpisah seperti itu ....""Tapi, kenapa kamu tidak menjelaskan kepada Fendi?""Keluarganya mencegah pertemuan kami lagi pula kesalahpahaman yang terjadi membuat Mas Fen
"karena kau sudah selesai bicara maka aku anggap pembicaraan kita sudah selesai, Kau boleh pergi karena aku harus melanjutkan pekerjaanku."Aku mengusirnya secara halus dan berusaha untuk menghindarinya agar perasaan ini tidak terbawa suasana."Apakah kau mengusirku?""Mengingat bahwa statusku adalah jandamu, dan demi mencegah agar pertemuan kita tidak jadi bahan gosip yang tidak sedap maka kuharap kau menerima keputusanku dengan hati lapang. Aku akan menghargai jika kau tidak perlu menemuiku lagi tanpa istrimu, aku benar-benar tidak nyaman.""Tapi matamu mengatakan hal yang lain, netra itu masih menunjukkan kejujuran yang sama bahwa kau juga merindukanku.""Lalu ada apa kalau memang benar? Itu tidak akan mengubah apapun Mas, kau sudah jadi milik orang dan aku akan melanjutkan hidupku dengan baik.""Baiklah," jawabnya dengan seulas senyum getir. Pada akhirnya ia membalikkan badan dan beranjak tanpa mengatakan apapun lagi. Melihat kepergiannya, kehilangannya dan sisa batangnya dari ker
Usai bicara dengan putraku, kututup ponsel lalu bangun dari kursi, kututup rapat pintu lalu menuju ke kamarku. Kurebahkan diri di tempat tidur, peluk bantal guling dengan penuh perasaan sedih dan hampa. Tak tahu kenapa, aku merasa kesepian, jenuh dengan kesendirian dan lelah dengan kehidupan seperti ini. Sesekali rasa hampa itu datang meski aku tak pernah mengesampingkan rasa syukur bahwa aku sudah mandiri sejauh ini, sudah bisa merawat anak anak hingga mereka tumbuh dan mengerti. Seharusnya aku tak perlu merasa sekesepian itu.Kuraba pembaringan yang ada di sisiku, itu kosong, hanya ada bantal, selimut dan kehampaan. Timbul kerinduan pada orang yang pernah kucintai, tak tahu kenapa, meski tahun tahun sudah bergulir mengapa aku masih mencintainya. Mengapa aku tak coba mengalihkan perasaan kepada orang lain atau menutupnya sama sekali untuk tidak lagi menerima cinta, mengapa aku bisa merasakan kembali hasrat dan sel sel romantis yang tiba tiba terbangun dari tidur panjang. Sungguh,
(Assalamualaikum, mohon maaf sebelumnya, apakah ini nomor mbak Fatimah yang pagi tadi bertemu dengan saya di pasar?)Pesan itu kubuka ketika aku baru saja akan pergi tidur, kurebahkan diri, membiarkan tubuhku yang dibungkus gaun tidur satin berbaring dengan tenang. Sejenak kutatap pesan yang masih terpampang di layar ponsel (Iya, ini saya Fatimah.)(Oh senang sekali pesan saya dibalas. Kalau boleh tahu, apakah saya mengganggu?)(Ah, tidak juga, saya sedang berbaring dan akan tidur.)(Kalau ada waktu bolehkah kita menyempatkan untuk ngopi?)(Insya Allah.)(Alhamdulillah, senang mengenal Mbak Fatimah.)(Sama sama.)Percakapannya memang terdengar kaku dan klise, tapi mungkin begitulah cara kita untuk saling mengenal satu sama lain. Aku juga menjaga jarak dan sikap, menjaga cara interaksiku dengan orang lain agar tidak terkesan gampangan dan murahan.(Apakah besok ada waktu?)Aku hanya tersenyum melihat pesan itu.(Saya tidak bisa berjanji karena setiap hari saya selalu sibuk di pasar.