Share

6. ada anak anak

"Mas!" kudengar Santi yulisa terbangun. Dia duduk dan melotot melihat posisi suaminya yang berdiri sambil buru buru menyeka air mata di depanku.

"Mas, kamu ngapain, kenapa ada di sini!" wanita itu masih berteriak meski dalam keadaan lemah.

"Aku membawanya masuk karena di luar dingin, juga kasihan, yulisa."

"Heh, kamu ga sadar sudah masuk dalam perangkapnya Mas? Wanita itu sengaja keluar dan mengorbankan diri agar kau jatuh Iba dan kembali menyayanginya. Dia wanita yang licik!"

"Sudahlah Santi istriku, kalau kau di posisi dia, sanggupkah kau bertahan di cuaca 18 derajat dan angin yang kencang, ditambah kau sedang sakit? Tolonglah, Kau boleh jadi tidak menyukainya tapi janganlah bersikap kejam. Toh, sekarang, aku suamimu, dan pikiranku tak akan tertuju kepada selain kamu dan keluarga kecil kita."

"Lalu apa yang kau lakukan di depannya?"

"Hanya memberinya air."

"Apa dia tak bisa minum sendiri?"

"Dia hanya sulit menjangkau. Aku hanya melihat bantuan padanya sebagai sisi kemanusiaanku, bukan karena aku masih cinta atau ingin bersamanya," ucap Mas Fendi pada yulisa.

"Ah, benar, aku harusnya tak perlu terbawa suasana," gumamku sambil membenahi selimutku. "Semoga malam bergerak cepat digantikan pagi agar aku bisa pulang."

Aku memang masih sakit namun sekamar dengan mereka berdua malah akan membuat diriku tambah sakit. Sebaiknya aku pulang saja.

*

Pukul tiga malam, ketika malam sedang dipuncak dinginnya cuaca, kulihat Mas Fendi sudah tidur di sebuah ranjang kosong yang ada di sisi istrinya sementara sang istri juga pulas di balik selimut yang hangat.

Mungkin karena tidak makan dari siang ditambah, selimutku hanya kain tipis linen milik rumah sakit, aku mulai sakit perut dan rasanya mau muntah. Tanpa banyak berpikir, kukumpulkan kekuatan untuk bangun dan melangkah ke kamar mandi. Berpegangan pada sisi ranjang, diriku mencoba tetap tegak berdiri dan tenang.

Brak!

Aku aku yang tidak mampu menahan bobot tubuh ditambah rasa pusing, lantas terjatuh berikut ditimpa oleh tiang infusku. Aku mengeluh dalam sepinya malah, tanganku yang ada jarum infus berdarah dan selannya terlepas. Mas Fendi tersentak dan langsung melompat dari ranjangnya untuk menolongku, pun Santi, ia juga terkejut dan bangun.

"Astagfirullah, apa yang kau lakukan?"

"Aku mau muntah, Mas!"

"Kalau begitu muntah saja di sini, kenapa harus bangun, ya Allah ...." Mas Fendi langsung menggotongku ke ranjang dan mengambilkan baskom alumunium. Aku tak sanggup menahan isi perut yang mengaduk dan melilit lantas menyemburkan muntah dengan sangat banyak ke dalam baskom.

"Aku akan panggilkan perawat!" Ucap Mas Fendi dengan raut khawatir.

"Mas, kenapa harus kamu sih?" tanya Yulisa.

"Apa kau lihat ada orang lain di tempat ini selain aku!" tanya Mas Fendi Marah, wanita itu terdiam dan memilih tidur lagi dengan cemberut. Sebenarnya aku merasa tak enak, namun keadaanku yang lemah memaksaku untuk tidak bisa berbuat apa-apa.

Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki perawat dan mantan suamiku, mereka terlihat panik dan segera memeriksa diri ini. Mas Pendi segera mengambil alih baskom dariku lalu membuangkannya ke kamar mandi, sementara seorang perawat segera sigap untuk memperbaiki selang infus yang lepas.

"Astaga, Ibu, kenapa ibu bangun?"

"Saya harus ke kamar mandi."

"Bukannya saya sudah sarankan sejak siang tadi bahwa seharusnya seorang pasien minimal ditunggu oleh satu orang?"

"Orang-orang sibuk dan tidak bisa membantu saya."

"Ke mana keluarga dan saudara?"

"Mereka di ladang yang jauh di atas gunung, mereka sedang panen jagung, aku tak bisa menelpon karena tidak ada sinyal."

"Anak anak ibu kemana?" tanya pemudi yang sepertinya lebih tua sedikit dari Yudi putra sulungku.

"Mereka di luar kota."

"Setidaknya mereka harus diberitahu. Jadi andai terjadi sesuatu kepada ibu, kedua anak Ibu tidak akan syok dan menyesali diri mereka sendiri. Ibu harus mengabarinya."

"Iya baiklah. Saya akan menghubungi mereka besok."

"Jangan besok Bu, sekarang saja. Saya tahu kontak F* mereka, biar saya inbok."

"Jangan mbak Saya khawatir anak-anak akan pulang malam-malam begini."

"Daripada Ibu sendirian dan harus merangkak dalam keadaan sakit dan berdarah hanya untuk mencapai kamar mandi. Ibu harus di jaga."

"Biar saya saja yang jaga sus," ucap Mas Fendi. Perawat yang merupakan tetangga jauh yang juga mengenal kami, merasa tidak enak ketika mantan suamiku menyatakan itu.

"Anu .. Pak, gimana ya ..."

"Tidak usah. Saya akan baik baik saja," ucapku menyela.

"Ah, ibu, anda tidak mau menyerah juga."

*

Keesokan hari, pagi pagi, Mbak Arimbi tetangga lapak di pasar datang, dia datang membawakan bubur dan makanan lain serta mengantarkan kunci lapak padaku.

"Ini uang hasil kemarin, juga kuncinya," ucap Mbak Rimbi

"Terima kasih atas bantuannya."

"Kondisimu menyedihkan sekali Fatimah, terlebih kini kau harus bertemu mereka," ucap Mbak Rimbi sambil memandang pasangan yang kini sedang saling menyuapi sarapan. Aku juga memandang Mas Fendi yang sedang menyuapi istrinya dengan hati hati, pelan pelan ia sendokkan bubur, meniupnya sedikit lalu menyuapi istrinya dengan penuh kelembutan. Sementara aku ... Jangankan ada yang menyuapi menemani pun tidak ada.

"Apakah kau baik-baik saja melihat pemandangan itu?"

"Ya," jawabku sambil menelan ludah yang rasanya kering di tenggorokan.

"Kalau kau butuh sesuatu telepon saja aku. Aku pergi dulu, jaga dirimu," ucapnya.

"Ya, mbak."

"Jangan lupa sarapan."

"Saya akan makan," jawabku tersenyum.

"Segeralah pulih."

"Amin, insya Allah."

Usai kepergian tetanggaku di pasar sekaligus sahabatku itu, aku segera memasukan kunci yang kugenggam di tangan ke dalam tas. Kuambil bubur, selalu dalam posisi yang begitu lemah aku berusaha untuk makan sebisaku. Setidaknya aku harus makan untuk mendapatkan tenaga.

*

Pukul 08.00 pagi aku mendengar suara kedua anakku lamat-lamat di telinga. Kupikir aku berhalusinasi karena sedang sakit atau merindukan mereka Namun ternyata mereka benar-benar datang ke depanku.

"Ibu, untung Mbak Sari memberi tahu," ucap Yuna sambil menghambur memelukku. "Kalau dia tidak beritahu mungkin kami akan tetap santai-santai saja sementara ibu dalam keadaan sakit."

"Ibu baik-baik saja kok," ucapku sambil pura-pura tangguh.

"Apa tidak ada orang yang menemani Ibu?"tanya Yudi.

"Tidak."

Ketika membalikan badan di moment itulah kedua anakku melihat ayahnya sedang duduk di samping istri barunya, kedua anakku saling pandang, dan memicingkan mata dengan rasa penuh kekecewaan.

"Ayah di sini?"

"Anak anak. ... tolong."

"Apa Ayah tidak punya kepedulian minimal sedikit bisa membantu ibu? Apakah Ayah hanya membiarkan Ibu seperti ini dan menontonnya seperti tayangan tv?"

"Kalian salah paham anak-anak...."

"Ayah sudah punya mainan baru jadi menganggap Ibu seperti sampah," ucap Yuna dengan wajah kecewa sementara Mas Fendi makin gelagapan saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status