"Mas!" kudengar Santi yulisa terbangun. Dia duduk dan melotot melihat posisi suaminya yang berdiri sambil buru buru menyeka air mata di depanku.
"Mas, kamu ngapain, kenapa ada di sini!" wanita itu masih berteriak meski dalam keadaan lemah. "Aku membawanya masuk karena di luar dingin, juga kasihan, yulisa." "Heh, kamu ga sadar sudah masuk dalam perangkapnya Mas? Wanita itu sengaja keluar dan mengorbankan diri agar kau jatuh Iba dan kembali menyayanginya. Dia wanita yang licik!" "Sudahlah Santi istriku, kalau kau di posisi dia, sanggupkah kau bertahan di cuaca 18 derajat dan angin yang kencang, ditambah kau sedang sakit? Tolonglah, Kau boleh jadi tidak menyukainya tapi janganlah bersikap kejam. Toh, sekarang, aku suamimu, dan pikiranku tak akan tertuju kepada selain kamu dan keluarga kecil kita." "Lalu apa yang kau lakukan di depannya?" "Hanya memberinya air." "Apa dia tak bisa minum sendiri?" "Dia hanya sulit menjangkau. Aku hanya melihat bantuan padanya sebagai sisi kemanusiaanku, bukan karena aku masih cinta atau ingin bersamanya," ucap Mas Fendi pada yulisa. "Ah, benar, aku harusnya tak perlu terbawa suasana," gumamku sambil membenahi selimutku. "Semoga malam bergerak cepat digantikan pagi agar aku bisa pulang." Aku memang masih sakit namun sekamar dengan mereka berdua malah akan membuat diriku tambah sakit. Sebaiknya aku pulang saja. * Pukul tiga malam, ketika malam sedang dipuncak dinginnya cuaca, kulihat Mas Fendi sudah tidur di sebuah ranjang kosong yang ada di sisi istrinya sementara sang istri juga pulas di balik selimut yang hangat. Mungkin karena tidak makan dari siang ditambah, selimutku hanya kain tipis linen milik rumah sakit, aku mulai sakit perut dan rasanya mau muntah. Tanpa banyak berpikir, kukumpulkan kekuatan untuk bangun dan melangkah ke kamar mandi. Berpegangan pada sisi ranjang, diriku mencoba tetap tegak berdiri dan tenang. Brak! Aku aku yang tidak mampu menahan bobot tubuh ditambah rasa pusing, lantas terjatuh berikut ditimpa oleh tiang infusku. Aku mengeluh dalam sepinya malah, tanganku yang ada jarum infus berdarah dan selannya terlepas. Mas Fendi tersentak dan langsung melompat dari ranjangnya untuk menolongku, pun Santi, ia juga terkejut dan bangun. "Astagfirullah, apa yang kau lakukan?" "Aku mau muntah, Mas!" "Kalau begitu muntah saja di sini, kenapa harus bangun, ya Allah ...." Mas Fendi langsung menggotongku ke ranjang dan mengambilkan baskom alumunium. Aku tak sanggup menahan isi perut yang mengaduk dan melilit lantas menyemburkan muntah dengan sangat banyak ke dalam baskom. "Aku akan panggilkan perawat!" Ucap Mas Fendi dengan raut khawatir. "Mas, kenapa harus kamu sih?" tanya Yulisa. "Apa kau lihat ada orang lain di tempat ini selain aku!" tanya Mas Fendi Marah, wanita itu terdiam dan memilih tidur lagi dengan cemberut. Sebenarnya aku merasa tak enak, namun keadaanku yang lemah memaksaku untuk tidak bisa berbuat apa-apa. Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki perawat dan mantan suamiku, mereka terlihat panik dan segera memeriksa diri ini. Mas Pendi segera mengambil alih baskom dariku lalu membuangkannya ke kamar mandi, sementara seorang perawat segera sigap untuk memperbaiki selang infus yang lepas. "Astaga, Ibu, kenapa ibu bangun?" "Saya harus ke kamar mandi." "Bukannya saya sudah sarankan sejak siang tadi bahwa seharusnya seorang pasien minimal ditunggu oleh satu orang?" "Orang-orang sibuk dan tidak bisa membantu saya." "Ke mana keluarga dan saudara?" "Mereka di ladang yang jauh di atas gunung, mereka sedang panen jagung, aku tak bisa menelpon karena tidak ada sinyal." "Anak anak ibu kemana?" tanya pemudi yang sepertinya lebih tua sedikit dari Yudi putra sulungku. "Mereka di luar kota." "Setidaknya mereka harus diberitahu. Jadi andai terjadi sesuatu kepada ibu, kedua anak Ibu tidak akan syok dan menyesali diri mereka sendiri. Ibu harus mengabarinya." "Iya baiklah. Saya akan menghubungi mereka besok." "Jangan besok Bu, sekarang saja. Saya tahu kontak F* mereka, biar saya inbok." "Jangan mbak Saya khawatir anak-anak akan pulang malam-malam begini." "Daripada Ibu sendirian dan harus merangkak dalam keadaan sakit dan berdarah hanya untuk mencapai kamar mandi. Ibu harus di jaga." "Biar saya saja yang jaga sus," ucap Mas Fendi. Perawat yang merupakan tetangga jauh yang juga mengenal kami, merasa tidak enak ketika mantan suamiku menyatakan itu. "Anu .. Pak, gimana ya ..." "Tidak usah. Saya akan baik baik saja," ucapku menyela. "Ah, ibu, anda tidak mau menyerah juga." * Keesokan hari, pagi pagi, Mbak Arimbi tetangga lapak di pasar datang, dia datang membawakan bubur dan makanan lain serta mengantarkan kunci lapak padaku. "Ini uang hasil kemarin, juga kuncinya," ucap Mbak Rimbi "Terima kasih atas bantuannya." "Kondisimu menyedihkan sekali Fatimah, terlebih kini kau harus bertemu mereka," ucap Mbak Rimbi sambil memandang pasangan yang kini sedang saling menyuapi sarapan. Aku juga memandang Mas Fendi yang sedang menyuapi istrinya dengan hati hati, pelan pelan ia sendokkan bubur, meniupnya sedikit lalu menyuapi istrinya dengan penuh kelembutan. Sementara aku ... Jangankan ada yang menyuapi menemani pun tidak ada. "Apakah kau baik-baik saja melihat pemandangan itu?" "Ya," jawabku sambil menelan ludah yang rasanya kering di tenggorokan. "Kalau kau butuh sesuatu telepon saja aku. Aku pergi dulu, jaga dirimu," ucapnya. "Ya, mbak." "Jangan lupa sarapan." "Saya akan makan," jawabku tersenyum. "Segeralah pulih." "Amin, insya Allah." Usai kepergian tetanggaku di pasar sekaligus sahabatku itu, aku segera memasukan kunci yang kugenggam di tangan ke dalam tas. Kuambil bubur, selalu dalam posisi yang begitu lemah aku berusaha untuk makan sebisaku. Setidaknya aku harus makan untuk mendapatkan tenaga. * Pukul 08.00 pagi aku mendengar suara kedua anakku lamat-lamat di telinga. Kupikir aku berhalusinasi karena sedang sakit atau merindukan mereka Namun ternyata mereka benar-benar datang ke depanku. "Ibu, untung Mbak Sari memberi tahu," ucap Yuna sambil menghambur memelukku. "Kalau dia tidak beritahu mungkin kami akan tetap santai-santai saja sementara ibu dalam keadaan sakit." "Ibu baik-baik saja kok," ucapku sambil pura-pura tangguh. "Apa tidak ada orang yang menemani Ibu?"tanya Yudi. "Tidak." Ketika membalikan badan di moment itulah kedua anakku melihat ayahnya sedang duduk di samping istri barunya, kedua anakku saling pandang, dan memicingkan mata dengan rasa penuh kekecewaan. "Ayah di sini?" "Anak anak. ... tolong." "Apa Ayah tidak punya kepedulian minimal sedikit bisa membantu ibu? Apakah Ayah hanya membiarkan Ibu seperti ini dan menontonnya seperti tayangan tv?" "Kalian salah paham anak-anak...." "Ayah sudah punya mainan baru jadi menganggap Ibu seperti sampah," ucap Yuna dengan wajah kecewa sementara Mas Fendi makin gelagapan saja."Yuna, Yudi?""Iya, ini kami apakah ayah tidak mengenal kami?" Tanya Yudi dengan wajah heran."Ah, sudah lama kita tidak berjumpa..." Mas Fendi tertawa canggung sekaligus salah tingkah di depan anaknya."Sekampung, hanya beda dusun satu kilometer, tapi tidak berjumpa sama sekali, itu lucu ya Ayah," ucap Yudi."Bukannya ayah tidak mau ketemu kalian, hanya saja....""Ayah tak sempat, Ayah ragu kami akan menolak, Ayah takut pada Ibu, ataukah istri ayah melarang?""Tidak begitu Nak...""Jangan coba membela diri ayah, kami tahu apa yang sebenarnya ayah pikirkan. Sekarang kita berjumpa ... Apakah ayah merasa canggung?""Tidak juga.""Iya, jangan menyangkal. Lucu ya, ada manusia yang canggung pada anaknya...." Sindir anakku pada ayahnya. Kugenggam tangan Yudi untuk mencegah anakku bersikap di luar kendali. Sementara itu, aku dan istri Mas Fendi saling bersitatap dengan pandangan permusuhan yang pekat."Lihat kurang ajar sekali anak anak itu di bawah asuhan istrimu," ucap Wanita itu sambil t
Keesokan hari, kondisiku membaik, ajaibnya sejak kedatangan anak anak, aku jadi membaik dan bersemangat. Sakit yang kemarin melilit lilit perut seakan lenyap begitu saja tanpa sisa. Dokter saja sampai tidak percaya mendapati kondisiku yang kini baik baik saja. "Kalau begitu ibu pulang saja," ucap dokter."Benarkah dok, wah terima kasih," ucapku berbinar."Syukurlah, jadi, ibu kami tak akan makan hati," ujar Yuna sambil melirik ayah mereka yang sibuk menyisir rambut sang istri. Ah, semanja itu wanita berambut panjang dan cerewet itu pada suaminya yang sekarang."Baiklah, sebentar lagi petugas akan datang mencabut selang infus, adik adik tolong tanda tangani surat kepulangan pasien ya, ikut saya.""Iya, dok, siap."Kedua anakku mengikuti dokter sementara tinggallah aku sendiri di sini, memandang mantan suami dari balik tirai yang tersibak. Dulu, dia juga menyisir rambutku, dia membelai dan memeluk sebelum kami berangkat tidur, dia menyisir rambut dengan hati hati sambil menciumi aro
Sudah seminggu yang lalu, sejak keluar dari rumah sakit, kini aku merasa sudah sehat dan siap untuk bekerja lagi. Anak-anak juga sudah kembali ke kota untuk melanjutkan pendidikan mereka. Tak lupa aku berikan sedikit uang untuk bekal mereka dan menitipkan pesan agar mereka tetap hidup dengan prihatin dan rajin ibadah.Pagi ini, setelah selesai sarapan dan membersihkan rumah, menyirami tumbuhan dan tanaman mawar milikku, kubersihkan diri lalu mengenakan pakaian yang pantas kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke pasar. Sudah seminggu lapak sembako tidak dibuka jadi aku rindu suasana pasar dan rindu pembeli yang suka menawar sampai ke titik akhir. Heheheh.Ketika kukunci rumah, tetanggaku Mbak Elsa menyapa."Sudah sehat dan siap ke pasar Mbak?""Sudah. Alhamdulillah.""Wah, mbak cerah sekali.""Harus semangat untuk anak," jawabku dengan lantang dan tawa renyah."Alhamdulillah.""Yuk semangat lagi kita," ucapku pada wanita yang berprofesi sebagai guru itu.Ku keluarkan motor dari garas
Sejam berlalu, sejam berlalu setelah kejadian tak mengenakkan tadi. Aku dan Mbak Rimbi masih berbincang, sesekali si mba merutuk akan kelemahan mantan suamiku yang sama sekali tak bisa menasehati istrinya. Dia lemah dan tak berkutik saat wanita itu berbuat semaunya. Seharusnya, sebagai laki laki ia tunjukkan wibawa dan prinsip, ia harus berani dan tegas mengatakan sesuatu dan mencegah yang salah. Sayangnya ... Ah, aku hanya bisa menggeleng pelan mengingat sulitnya keadaan dia meghadapi wanita seperti ini."Kok kamu dulu bisa cerai ya?""Hmm, begitulah, keadaan dan kekurangan memaksa kami berpisah. Keluarganya meminta suamiku merantau lalu dalam beberapa bulan semuanya berubah, aku dipaksa untuk bercerai dan diusir dari rumah bersama kedua putraku. Aku difitnah berselingkuh hingga Mas Fendi salah paham dan murka. Kami berpisah seperti itu ....""Tapi, kenapa kamu tidak menjelaskan kepada Fendi?""Keluarganya mencegah pertemuan kami lagi pula kesalahpahaman yang terjadi membuat Mas Fen
"karena kau sudah selesai bicara maka aku anggap pembicaraan kita sudah selesai, Kau boleh pergi karena aku harus melanjutkan pekerjaanku."Aku mengusirnya secara halus dan berusaha untuk menghindarinya agar perasaan ini tidak terbawa suasana."Apakah kau mengusirku?""Mengingat bahwa statusku adalah jandamu, dan demi mencegah agar pertemuan kita tidak jadi bahan gosip yang tidak sedap maka kuharap kau menerima keputusanku dengan hati lapang. Aku akan menghargai jika kau tidak perlu menemuiku lagi tanpa istrimu, aku benar-benar tidak nyaman.""Tapi matamu mengatakan hal yang lain, netra itu masih menunjukkan kejujuran yang sama bahwa kau juga merindukanku.""Lalu ada apa kalau memang benar? Itu tidak akan mengubah apapun Mas, kau sudah jadi milik orang dan aku akan melanjutkan hidupku dengan baik.""Baiklah," jawabnya dengan seulas senyum getir. Pada akhirnya ia membalikkan badan dan beranjak tanpa mengatakan apapun lagi. Melihat kepergiannya, kehilangannya dan sisa batangnya dari ker
Usai bicara dengan putraku, kututup ponsel lalu bangun dari kursi, kututup rapat pintu lalu menuju ke kamarku. Kurebahkan diri di tempat tidur, peluk bantal guling dengan penuh perasaan sedih dan hampa. Tak tahu kenapa, aku merasa kesepian, jenuh dengan kesendirian dan lelah dengan kehidupan seperti ini. Sesekali rasa hampa itu datang meski aku tak pernah mengesampingkan rasa syukur bahwa aku sudah mandiri sejauh ini, sudah bisa merawat anak anak hingga mereka tumbuh dan mengerti. Seharusnya aku tak perlu merasa sekesepian itu.Kuraba pembaringan yang ada di sisiku, itu kosong, hanya ada bantal, selimut dan kehampaan. Timbul kerinduan pada orang yang pernah kucintai, tak tahu kenapa, meski tahun tahun sudah bergulir mengapa aku masih mencintainya. Mengapa aku tak coba mengalihkan perasaan kepada orang lain atau menutupnya sama sekali untuk tidak lagi menerima cinta, mengapa aku bisa merasakan kembali hasrat dan sel sel romantis yang tiba tiba terbangun dari tidur panjang. Sungguh,
(Assalamualaikum, mohon maaf sebelumnya, apakah ini nomor mbak Fatimah yang pagi tadi bertemu dengan saya di pasar?)Pesan itu kubuka ketika aku baru saja akan pergi tidur, kurebahkan diri, membiarkan tubuhku yang dibungkus gaun tidur satin berbaring dengan tenang. Sejenak kutatap pesan yang masih terpampang di layar ponsel (Iya, ini saya Fatimah.)(Oh senang sekali pesan saya dibalas. Kalau boleh tahu, apakah saya mengganggu?)(Ah, tidak juga, saya sedang berbaring dan akan tidur.)(Kalau ada waktu bolehkah kita menyempatkan untuk ngopi?)(Insya Allah.)(Alhamdulillah, senang mengenal Mbak Fatimah.)(Sama sama.)Percakapannya memang terdengar kaku dan klise, tapi mungkin begitulah cara kita untuk saling mengenal satu sama lain. Aku juga menjaga jarak dan sikap, menjaga cara interaksiku dengan orang lain agar tidak terkesan gampangan dan murahan.(Apakah besok ada waktu?)Aku hanya tersenyum melihat pesan itu.(Saya tidak bisa berjanji karena setiap hari saya selalu sibuk di pasar.
"Kau? Apa yang kau lakukan di sini?""Aku mengawasimu sejak tadi dan melihat mimik wajahmu yang kasmaran, dia siapa?""Beraninya kau menguntitku!" ucapku sambil berusaha meredam emosi."Aku tidak menguntitmu, tapi aku sengaja datang kemari untuk bicara padamu karena semalam kau memblokir nomorku.""Seharusnya kau paham jika aku memblokir nomormu itu artinya aku tidak mau bicara padamu dan Ingin menutup akses percakapan di antara kita berdua. Aku rasa tidak perlu ada yang dibahas lagi karena kita sudah bercerai dan tidak punya hubungan apa-apa lagi, jadi jangan ganggu aku!" ujarku dengan tegas."Aku sedang berusaha jujur padamu!" ucapannya yang lantang didengarkan oleh Mbak rimbi dan ibu Kalsum yang kebetulan adalah tetangga kanan kiri lapakku. Mereka penjual sembako dan minyak juga."Pergi dari sini, kau membuatku tidak nyaman dan mempermalukanku di pasar ini. Akulah semua orang di kampung ini tahu bahwa kita sudah bercerai dan seharusnya kau tidak menemuiku seperti ini.""Aku ingin