"Yuna, Yudi?"
"Iya, ini kami apakah ayah tidak mengenal kami?" Tanya Yudi dengan wajah heran. "Ah, sudah lama kita tidak berjumpa..." Mas Fendi tertawa canggung sekaligus salah tingkah di depan anaknya. "Sekampung, hanya beda dusun satu kilometer, tapi tidak berjumpa sama sekali, itu lucu ya Ayah," ucap Yudi. "Bukannya ayah tidak mau ketemu kalian, hanya saja...." "Ayah tak sempat, Ayah ragu kami akan menolak, Ayah takut pada Ibu, ataukah istri ayah melarang?" "Tidak begitu Nak..." "Jangan coba membela diri ayah, kami tahu apa yang sebenarnya ayah pikirkan. Sekarang kita berjumpa ... Apakah ayah merasa canggung?" "Tidak juga." "Iya, jangan menyangkal. Lucu ya, ada manusia yang canggung pada anaknya...." Sindir anakku pada ayahnya. Kugenggam tangan Yudi untuk mencegah anakku bersikap di luar kendali. Sementara itu, aku dan istri Mas Fendi saling bersitatap dengan pandangan permusuhan yang pekat. "Lihat kurang ajar sekali anak anak itu di bawah asuhan istrimu," ucap Wanita itu sambil tersenyum sinis. "Tutup mulutmu jalang! Andai tak menahan, aku akan menamparmu!" ucap Yuna, anak bangsuku. Dia nampaknya sangat tersinggung ibunya dihina demikian. "Hahaha, mana berani kau berbuat sejauh itu," jawab Santi yulisa dengan pedenya. "Kenapa tidak, kau pikir aku akan segan pada ayah yang tidak mengurus kami dan memberi kami perhatian?" "Yuna, Yudi, setidaknya ayah percaya bahwa ibumu juga membina kalian dengan kasih sayang dan perhatian yang pantas. Kalian tidak diajarkan kurang ajar, jadi ayah mohon..." "Untuk beberapa jenis orang, sikap tegas harus ditunjukkan. Oh ya ibu... kenapa ibu sekamar dengan jalang itu?" "Sssstt, Nak, jangan bilang begitu. Tidak sopan, durhaka, sayang...." "Kenapa ibu tidak pindah?" "Karena tidak ada ruangan lain," jawabku sambil menggeleng pelan. "Bukannya malah sembuh, ibu akan makin tersiksa sekamar dengan orang gila. Mana dia duanya kurang ajar lagi," ujar Yudi sambil mendelik pada yulisa. "Kau pikir aku senang ada ibumu yang cari perhatian itu pada suamiku? harusnya ia tahu diri dan menjaga marwahnya sebagai janda." "Kau sadar, kau yang buat ibuku menjanda!" Yudi hampir melempar ranjang si yulisa dengan tiang infus andai tidak ditahan oleh Yuna. "Aku bukan pelakor, aku menikah jauh setelah ayahmu bercerai dengan Fatimah!" teriak wanita itu emosi. Seorang perawat yang kebetulan lewat segera datang dan melerai kami. "Tolong... Di sini fasilitas umum dan tempatnya orang sakit, Tolong jangan berteriak dan buat keributan karena tidak enak didengar orang-orang, tolong jaga ketertiban dan kenyamanan, saya mohon," ujar perawat itu sambil menangkupkan kedua belah tangan. "Sayangnya, kami sekamar dengan musuh kebuyutan," jawab Yudi. "Meski pun bermusuhan, harusnya lihat kondisi dan keadaan. Tolong sekali lagi, mohon jaga ketertiban ya, Pak, Bu...." "Baik, maafkan kami," jawab Mas Fendi sambil menahan rasa malu. Usai berdebat seperti itu, anakku membalikkan badan dan mengurusi diri ini sementara Mas Fendi kembali mengurusi istrinya juga. Sekitar pukul 09.00 pagi seorang petugas Rumah sakit datang memasangkan tirai. Juga seorang dokter dan perawatnya yang datang memeriksa keadaanku. "Apakah saya sudah boleh pulang dokter?" "Kalau kondisi Ibu membaik maka besok pagi, bisa keluar." "Tidak bisa hari ini ya, Dok?" "Tidak bisa kalau kondisi Ibu masih lemah." "Ya ampun." Aku hanya bisa bersabar sambil sedikit bersyukur bahwa tirai sudah terpasang sehingga sedikit tidaknya aku punya pembatas yang menghalangi pandanganku terhadap Mas Fendi dan istrinya. Aku lega sekali. * Kini Yudi dan Yuna menghamparkan tikar lalu bermain ponsel dekat ranjangku, kedua kakak beradik yang amat kucintai itu nampaknya sangat cemas denganku hingga rela meninggalkan tugas sekolah mereka demi mengurusi diri ini. Mereka memberiku perhatian, menawari air dan makanan setiap 5 menit sekali. "Bu ...." "Iya," jawabku pada Yudi. "Bagaimana sikap ayah kepada ibu?" bisiknya. "Baik, dia membantu ibu kemarin." "Aku kira dia bersikap keterlaluan." "Istrinya yang begitu," jawabku lirih. "Andai ayah tidak di sini, aku pelintir kepala dan kuperas wanita itu seperti cucian basah." "Jangan begitu, Nak." "Sikapnya arogan dan kurang ajar sekali," gumam Yudi. "Sekarang setidaknya ada pembatas, jadi, kita tak melihat mereka." "Aku benci pada ayah, dia tidak bisa menempatkan diri dan menjaga perasaan ibu. Dia tidak tahu bersikap bijak dan melihat posisi, harusnya dia mengalah dan mengajak istrinya pulang dibanding ibu harus menyaksikan kemesraannya dengan istri barunya. Aku benci sekali," gumam anakku sambil memicingkan mata.Keesokan hari, kondisiku membaik, ajaibnya sejak kedatangan anak anak, aku jadi membaik dan bersemangat. Sakit yang kemarin melilit lilit perut seakan lenyap begitu saja tanpa sisa. Dokter saja sampai tidak percaya mendapati kondisiku yang kini baik baik saja. "Kalau begitu ibu pulang saja," ucap dokter."Benarkah dok, wah terima kasih," ucapku berbinar."Syukurlah, jadi, ibu kami tak akan makan hati," ujar Yuna sambil melirik ayah mereka yang sibuk menyisir rambut sang istri. Ah, semanja itu wanita berambut panjang dan cerewet itu pada suaminya yang sekarang."Baiklah, sebentar lagi petugas akan datang mencabut selang infus, adik adik tolong tanda tangani surat kepulangan pasien ya, ikut saya.""Iya, dok, siap."Kedua anakku mengikuti dokter sementara tinggallah aku sendiri di sini, memandang mantan suami dari balik tirai yang tersibak. Dulu, dia juga menyisir rambutku, dia membelai dan memeluk sebelum kami berangkat tidur, dia menyisir rambut dengan hati hati sambil menciumi aro
Sudah seminggu yang lalu, sejak keluar dari rumah sakit, kini aku merasa sudah sehat dan siap untuk bekerja lagi. Anak-anak juga sudah kembali ke kota untuk melanjutkan pendidikan mereka. Tak lupa aku berikan sedikit uang untuk bekal mereka dan menitipkan pesan agar mereka tetap hidup dengan prihatin dan rajin ibadah.Pagi ini, setelah selesai sarapan dan membersihkan rumah, menyirami tumbuhan dan tanaman mawar milikku, kubersihkan diri lalu mengenakan pakaian yang pantas kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke pasar. Sudah seminggu lapak sembako tidak dibuka jadi aku rindu suasana pasar dan rindu pembeli yang suka menawar sampai ke titik akhir. Heheheh.Ketika kukunci rumah, tetanggaku Mbak Elsa menyapa."Sudah sehat dan siap ke pasar Mbak?""Sudah. Alhamdulillah.""Wah, mbak cerah sekali.""Harus semangat untuk anak," jawabku dengan lantang dan tawa renyah."Alhamdulillah.""Yuk semangat lagi kita," ucapku pada wanita yang berprofesi sebagai guru itu.Ku keluarkan motor dari garas
Sejam berlalu, sejam berlalu setelah kejadian tak mengenakkan tadi. Aku dan Mbak Rimbi masih berbincang, sesekali si mba merutuk akan kelemahan mantan suamiku yang sama sekali tak bisa menasehati istrinya. Dia lemah dan tak berkutik saat wanita itu berbuat semaunya. Seharusnya, sebagai laki laki ia tunjukkan wibawa dan prinsip, ia harus berani dan tegas mengatakan sesuatu dan mencegah yang salah. Sayangnya ... Ah, aku hanya bisa menggeleng pelan mengingat sulitnya keadaan dia meghadapi wanita seperti ini."Kok kamu dulu bisa cerai ya?""Hmm, begitulah, keadaan dan kekurangan memaksa kami berpisah. Keluarganya meminta suamiku merantau lalu dalam beberapa bulan semuanya berubah, aku dipaksa untuk bercerai dan diusir dari rumah bersama kedua putraku. Aku difitnah berselingkuh hingga Mas Fendi salah paham dan murka. Kami berpisah seperti itu ....""Tapi, kenapa kamu tidak menjelaskan kepada Fendi?""Keluarganya mencegah pertemuan kami lagi pula kesalahpahaman yang terjadi membuat Mas Fen
"karena kau sudah selesai bicara maka aku anggap pembicaraan kita sudah selesai, Kau boleh pergi karena aku harus melanjutkan pekerjaanku."Aku mengusirnya secara halus dan berusaha untuk menghindarinya agar perasaan ini tidak terbawa suasana."Apakah kau mengusirku?""Mengingat bahwa statusku adalah jandamu, dan demi mencegah agar pertemuan kita tidak jadi bahan gosip yang tidak sedap maka kuharap kau menerima keputusanku dengan hati lapang. Aku akan menghargai jika kau tidak perlu menemuiku lagi tanpa istrimu, aku benar-benar tidak nyaman.""Tapi matamu mengatakan hal yang lain, netra itu masih menunjukkan kejujuran yang sama bahwa kau juga merindukanku.""Lalu ada apa kalau memang benar? Itu tidak akan mengubah apapun Mas, kau sudah jadi milik orang dan aku akan melanjutkan hidupku dengan baik.""Baiklah," jawabnya dengan seulas senyum getir. Pada akhirnya ia membalikkan badan dan beranjak tanpa mengatakan apapun lagi. Melihat kepergiannya, kehilangannya dan sisa batangnya dari ker
Usai bicara dengan putraku, kututup ponsel lalu bangun dari kursi, kututup rapat pintu lalu menuju ke kamarku. Kurebahkan diri di tempat tidur, peluk bantal guling dengan penuh perasaan sedih dan hampa. Tak tahu kenapa, aku merasa kesepian, jenuh dengan kesendirian dan lelah dengan kehidupan seperti ini. Sesekali rasa hampa itu datang meski aku tak pernah mengesampingkan rasa syukur bahwa aku sudah mandiri sejauh ini, sudah bisa merawat anak anak hingga mereka tumbuh dan mengerti. Seharusnya aku tak perlu merasa sekesepian itu.Kuraba pembaringan yang ada di sisiku, itu kosong, hanya ada bantal, selimut dan kehampaan. Timbul kerinduan pada orang yang pernah kucintai, tak tahu kenapa, meski tahun tahun sudah bergulir mengapa aku masih mencintainya. Mengapa aku tak coba mengalihkan perasaan kepada orang lain atau menutupnya sama sekali untuk tidak lagi menerima cinta, mengapa aku bisa merasakan kembali hasrat dan sel sel romantis yang tiba tiba terbangun dari tidur panjang. Sungguh,
(Assalamualaikum, mohon maaf sebelumnya, apakah ini nomor mbak Fatimah yang pagi tadi bertemu dengan saya di pasar?)Pesan itu kubuka ketika aku baru saja akan pergi tidur, kurebahkan diri, membiarkan tubuhku yang dibungkus gaun tidur satin berbaring dengan tenang. Sejenak kutatap pesan yang masih terpampang di layar ponsel (Iya, ini saya Fatimah.)(Oh senang sekali pesan saya dibalas. Kalau boleh tahu, apakah saya mengganggu?)(Ah, tidak juga, saya sedang berbaring dan akan tidur.)(Kalau ada waktu bolehkah kita menyempatkan untuk ngopi?)(Insya Allah.)(Alhamdulillah, senang mengenal Mbak Fatimah.)(Sama sama.)Percakapannya memang terdengar kaku dan klise, tapi mungkin begitulah cara kita untuk saling mengenal satu sama lain. Aku juga menjaga jarak dan sikap, menjaga cara interaksiku dengan orang lain agar tidak terkesan gampangan dan murahan.(Apakah besok ada waktu?)Aku hanya tersenyum melihat pesan itu.(Saya tidak bisa berjanji karena setiap hari saya selalu sibuk di pasar.
"Kau? Apa yang kau lakukan di sini?""Aku mengawasimu sejak tadi dan melihat mimik wajahmu yang kasmaran, dia siapa?""Beraninya kau menguntitku!" ucapku sambil berusaha meredam emosi."Aku tidak menguntitmu, tapi aku sengaja datang kemari untuk bicara padamu karena semalam kau memblokir nomorku.""Seharusnya kau paham jika aku memblokir nomormu itu artinya aku tidak mau bicara padamu dan Ingin menutup akses percakapan di antara kita berdua. Aku rasa tidak perlu ada yang dibahas lagi karena kita sudah bercerai dan tidak punya hubungan apa-apa lagi, jadi jangan ganggu aku!" ujarku dengan tegas."Aku sedang berusaha jujur padamu!" ucapannya yang lantang didengarkan oleh Mbak rimbi dan ibu Kalsum yang kebetulan adalah tetangga kanan kiri lapakku. Mereka penjual sembako dan minyak juga."Pergi dari sini, kau membuatku tidak nyaman dan mempermalukanku di pasar ini. Akulah semua orang di kampung ini tahu bahwa kita sudah bercerai dan seharusnya kau tidak menemuiku seperti ini.""Aku ingin
Seiring dengan kepergiannya yang membawa air mata serta wajah kekecewaan, aku yang masih berdiri mematung menghela napas lalu kembali melanjutkan pekerjaan. Pikiran dalam hatiku mengatakan bahwa aku sudah melakukan tindakan yang benar dengan mengatakan bahwa aku membencinya. Meski kenyataan aku tak begitu benci, namun aku harus menekankan agar dia bisa memberi jarak antara kami berdua. Mustahil aku akan jujur bahwa masih ada rindu dan cinta, itu konyol, dia akan mengejarku dan tak akan berhenti dengan itu sementara aku akan terkesan seperti wanita yang ingin merebut suami orang. Ya, aku harus ingat status dia dan diriku sekarang.Lalu tentang pria yang sudah dua hari ini mendekatiku ... kurasa mungkin aku belum siap membuka hati untuk hubungan atau masih canggung untuk pertemanan baru, namun, aku harus belajar berinteraksi lagi, belajar membuka diri dan jujur pada hati bahwa manusia tidak diciptakan untuk hidup sendiri. Ada titik di mana aku butuh orang lain seperti contohnya kemari