Share

7. ayah

"Yuna, Yudi?"

"Iya, ini kami apakah ayah tidak mengenal kami?" Tanya Yudi dengan wajah heran.

"Ah, sudah lama kita tidak berjumpa..." Mas Fendi tertawa canggung sekaligus salah tingkah di depan anaknya.

"Sekampung, hanya beda dusun satu kilometer, tapi tidak berjumpa sama sekali, itu lucu ya Ayah," ucap Yudi.

"Bukannya ayah tidak mau ketemu kalian, hanya saja...."

"Ayah tak sempat, Ayah ragu kami akan menolak, Ayah takut pada Ibu, ataukah istri ayah melarang?"

"Tidak begitu Nak..."

"Jangan coba membela diri ayah, kami tahu apa yang sebenarnya ayah pikirkan. Sekarang kita berjumpa ... Apakah ayah merasa canggung?"

"Tidak juga."

"Iya, jangan menyangkal. Lucu ya, ada manusia yang canggung pada anaknya...." Sindir anakku pada ayahnya. Kugenggam tangan Yudi untuk mencegah anakku bersikap di luar kendali. Sementara itu, aku dan istri Mas Fendi saling bersitatap dengan pandangan permusuhan yang pekat.

"Lihat kurang ajar sekali anak anak itu di bawah asuhan istrimu," ucap Wanita itu sambil tersenyum sinis.

"Tutup mulutmu jalang! Andai tak menahan, aku akan menamparmu!" ucap Yuna, anak bangsuku. Dia nampaknya sangat tersinggung ibunya dihina demikian.

"Hahaha, mana berani kau berbuat sejauh itu," jawab Santi yulisa dengan pedenya.

"Kenapa tidak, kau pikir aku akan segan pada ayah yang tidak mengurus kami dan memberi kami perhatian?"

"Yuna, Yudi, setidaknya ayah percaya bahwa ibumu juga membina kalian dengan kasih sayang dan perhatian yang pantas. Kalian tidak diajarkan kurang ajar, jadi ayah mohon..."

"Untuk beberapa jenis orang, sikap tegas harus ditunjukkan. Oh ya ibu... kenapa ibu sekamar dengan jalang itu?"

"Sssstt, Nak, jangan bilang begitu. Tidak sopan, durhaka, sayang...."

"Kenapa ibu tidak pindah?"

"Karena tidak ada ruangan lain," jawabku sambil menggeleng pelan.

"Bukannya malah sembuh, ibu akan makin tersiksa sekamar dengan orang gila. Mana dia duanya kurang ajar lagi," ujar Yudi sambil mendelik pada yulisa.

"Kau pikir aku senang ada ibumu yang cari perhatian itu pada suamiku? harusnya ia tahu diri dan menjaga marwahnya sebagai janda."

"Kau sadar, kau yang buat ibuku menjanda!" Yudi hampir melempar ranjang si yulisa dengan tiang infus andai tidak ditahan oleh Yuna.

"Aku bukan pelakor, aku menikah jauh setelah ayahmu bercerai dengan Fatimah!" teriak wanita itu emosi. Seorang perawat yang kebetulan lewat segera datang dan melerai kami.

"Tolong... Di sini fasilitas umum dan tempatnya orang sakit, Tolong jangan berteriak dan buat keributan karena tidak enak didengar orang-orang, tolong jaga ketertiban dan kenyamanan, saya mohon," ujar perawat itu sambil menangkupkan kedua belah tangan.

"Sayangnya, kami sekamar dengan musuh kebuyutan," jawab Yudi.

"Meski pun bermusuhan, harusnya lihat kondisi dan keadaan. Tolong sekali lagi, mohon jaga ketertiban ya, Pak, Bu...."

"Baik, maafkan kami," jawab Mas Fendi sambil menahan rasa malu.

Usai berdebat seperti itu, anakku membalikkan badan dan mengurusi diri ini sementara Mas Fendi kembali mengurusi istrinya juga. Sekitar pukul 09.00 pagi seorang petugas Rumah sakit datang memasangkan tirai. Juga seorang dokter dan perawatnya yang datang memeriksa keadaanku.

"Apakah saya sudah boleh pulang dokter?"

"Kalau kondisi Ibu membaik maka besok pagi, bisa keluar."

"Tidak bisa hari ini ya, Dok?"

"Tidak bisa kalau kondisi Ibu masih lemah."

"Ya ampun." Aku hanya bisa bersabar sambil sedikit bersyukur bahwa tirai sudah terpasang sehingga sedikit tidaknya aku punya pembatas yang menghalangi pandanganku terhadap Mas Fendi dan istrinya. Aku lega sekali.

*

Kini Yudi dan Yuna menghamparkan tikar lalu bermain ponsel dekat ranjangku, kedua kakak beradik yang amat kucintai itu nampaknya sangat cemas denganku hingga rela meninggalkan tugas sekolah mereka demi mengurusi diri ini. Mereka memberiku perhatian, menawari air dan makanan setiap 5 menit sekali.

"Bu ...."

"Iya," jawabku pada Yudi.

"Bagaimana sikap ayah kepada ibu?" bisiknya.

"Baik, dia membantu ibu kemarin."

"Aku kira dia bersikap keterlaluan."

"Istrinya yang begitu," jawabku lirih.

"Andai ayah tidak di sini, aku pelintir kepala dan kuperas wanita itu seperti cucian basah."

"Jangan begitu, Nak."

"Sikapnya arogan dan kurang ajar sekali," gumam Yudi.

"Sekarang setidaknya ada pembatas, jadi, kita tak melihat mereka."

"Aku benci pada ayah, dia tidak bisa menempatkan diri dan menjaga perasaan ibu. Dia tidak tahu bersikap bijak dan melihat posisi, harusnya dia mengalah dan mengajak istrinya pulang dibanding ibu harus menyaksikan kemesraannya dengan istri barunya. Aku benci sekali," gumam anakku sambil memicingkan mata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status