(Assalamualaikum, mohon maaf sebelumnya, apakah ini nomor mbak Fatimah yang pagi tadi bertemu dengan saya di pasar?)Pesan itu kubuka ketika aku baru saja akan pergi tidur, kurebahkan diri, membiarkan tubuhku yang dibungkus gaun tidur satin berbaring dengan tenang. Sejenak kutatap pesan yang masih terpampang di layar ponsel (Iya, ini saya Fatimah.)(Oh senang sekali pesan saya dibalas. Kalau boleh tahu, apakah saya mengganggu?)(Ah, tidak juga, saya sedang berbaring dan akan tidur.)(Kalau ada waktu bolehkah kita menyempatkan untuk ngopi?)(Insya Allah.)(Alhamdulillah, senang mengenal Mbak Fatimah.)(Sama sama.)Percakapannya memang terdengar kaku dan klise, tapi mungkin begitulah cara kita untuk saling mengenal satu sama lain. Aku juga menjaga jarak dan sikap, menjaga cara interaksiku dengan orang lain agar tidak terkesan gampangan dan murahan.(Apakah besok ada waktu?)Aku hanya tersenyum melihat pesan itu.(Saya tidak bisa berjanji karena setiap hari saya selalu sibuk di pasar.
"Kau? Apa yang kau lakukan di sini?""Aku mengawasimu sejak tadi dan melihat mimik wajahmu yang kasmaran, dia siapa?""Beraninya kau menguntitku!" ucapku sambil berusaha meredam emosi."Aku tidak menguntitmu, tapi aku sengaja datang kemari untuk bicara padamu karena semalam kau memblokir nomorku.""Seharusnya kau paham jika aku memblokir nomormu itu artinya aku tidak mau bicara padamu dan Ingin menutup akses percakapan di antara kita berdua. Aku rasa tidak perlu ada yang dibahas lagi karena kita sudah bercerai dan tidak punya hubungan apa-apa lagi, jadi jangan ganggu aku!" ujarku dengan tegas."Aku sedang berusaha jujur padamu!" ucapannya yang lantang didengarkan oleh Mbak rimbi dan ibu Kalsum yang kebetulan adalah tetangga kanan kiri lapakku. Mereka penjual sembako dan minyak juga."Pergi dari sini, kau membuatku tidak nyaman dan mempermalukanku di pasar ini. Akulah semua orang di kampung ini tahu bahwa kita sudah bercerai dan seharusnya kau tidak menemuiku seperti ini.""Aku ingin
Seiring dengan kepergiannya yang membawa air mata serta wajah kekecewaan, aku yang masih berdiri mematung menghela napas lalu kembali melanjutkan pekerjaan. Pikiran dalam hatiku mengatakan bahwa aku sudah melakukan tindakan yang benar dengan mengatakan bahwa aku membencinya. Meski kenyataan aku tak begitu benci, namun aku harus menekankan agar dia bisa memberi jarak antara kami berdua. Mustahil aku akan jujur bahwa masih ada rindu dan cinta, itu konyol, dia akan mengejarku dan tak akan berhenti dengan itu sementara aku akan terkesan seperti wanita yang ingin merebut suami orang. Ya, aku harus ingat status dia dan diriku sekarang.Lalu tentang pria yang sudah dua hari ini mendekatiku ... kurasa mungkin aku belum siap membuka hati untuk hubungan atau masih canggung untuk pertemanan baru, namun, aku harus belajar berinteraksi lagi, belajar membuka diri dan jujur pada hati bahwa manusia tidak diciptakan untuk hidup sendiri. Ada titik di mana aku butuh orang lain seperti contohnya kemari
Setelah menurunkanku di depan rumah, mobil SUV milik Mas Rudi pun meluncur pergi, masih kuingat bagaimana manisnya senyum dan lembut lambaian tangannya padaku, juga kalimat ucapan sampai jumpa esok hari, seakan-akan dia memberi harapan bahwa kami akan bertemu keesokan hari. Mungkin aku tidak perlu membohongi hati bahwa aku juga berharap ingin bertemu lagi dan punya teman bicara, tapi aku tidak boleh terlihat mencolok apalagi terkesan genit. Aku harus tetap bersikap tenang dan elegan. Jika nantinya Tuhan memang menakdirkan kami untuk bersama, maka aku akan mengikuti alurnya saja.Selanjutnya, kudorong pagar lalu masuk ke rumahku yang mungil, kurebahkan diri di atas kursi sambil tersenyum mengingat kejadian barusan.Kurasa fase yang sedang kuhadapi sekarang adalah fase perkenalan yang manis dan menyenangkan. Mas Rudi memang tampan dan pandai membuka percakapan, dia manis, senyumnya pun manis. Wangi parfumnya menyenangkan juga sikap santunnya yang amat menghargai perempuan. Aku seolah m
"Pergi sebelum kupanggilkan polisi.""Siapa yang peduli dengan polisi di kampung seperti ini, paling paling aku hanya akan ditegur dan aku bisa menjelaskan semuanya."Sungguh aku kehabisan cara untuk mengusir pria nekat yang ada di dalam rumahku ini. Aku tidak punya pilihan lain selain mengambil langkah untuk keluar saja dari rumah agar tidak menimbulkan fitnah yang tidak diinginkan."Baiklah jika kau tidak mau keluar, maka aku saja yang keluar!""Jangan, tunggu!" Dia mencegahku saat meraih jaket dan memakai sandalku. "Kau tidak berhak mencegahku, kuusir dari tempat ini saja kau tidak mau, jadi kalau tidak mempan dengan perintahku, maka aku tidak punya pilihan selain keluar dari rumah ini dan pergi ke tempat RT untuk melapor bahwa seseorang sudah memaksa masuk rumah dan tidak mau keluar.""Jangan permalukan dirimu!" Dia mencengkram tanganku dengan erat sementara tatapan matanya begitu lekat."Tolong hargai aku, setidaknya hargai hubungan yang pernah terjadi di antara kita, aku mohon
Melihat Mas Hamdan yang diperlakukan secara rendah oleh istrinya hatiku menjadi kasihan dan miris sekali melihatnya. Bukankah seharusnya seorang Istri menjaga marwah suami dan memperlakukan dia dengan layak? Nampaknya karena Santi terlalu kaya jadi dia menjadi angkuh dan merendahkan Mas Fendi serendah-rendahnya.Masih kulihat saat wanita itu naik ke mobilnya, dia menghardik Mas Fendi agar tidak perlu ikut dan berjalan kaki saja. Tentu hal demikian menarik perhatian para tetangga dan kedua lelaki yang ada di rumahku barusan. Melihat sikap Santi yang bengis orang-orang hanya bisa melihat dengan prihatin sambil menggelengkan kepala."Astaga sombong sekali," ucap Mas Ferdi yang merupakan suami Mbak Inggit tetangga kanan rumahku."Benar, bisa bisanya Fendi kawin dengan perempuan itu, masih mendingan Mbak Fatimah," timpal Bang Iman.Usai kepergian Bang Iman dan Ferdi, kututup kembali pintu rumah, meski tetangga depan masih ramai dan bergosip di teras namun aku mengabaikan dan memilih untuk
Mas Fendi masih mengawasiku, bahkan ke sudut manapun aku berjalan di pesta ini , dia terus mengikutiku dengan bola matanya. Mantan suamiku nampaknya mengamati bagaimana tingkah laku kami dan konsistensi kemesraan yang ditunjukkan Mas Rudi. Dia seakan tahu persis bahwa tadi kami berpura-pura menjadi pasangan untuk menyakiti hati istrinya."Mas, sepertinya mantan suamiku memperhatikan kita," bisikku kepada Mas Rudi."Abaikan saja, dia hanya mantan yang tidak ada kaitannya dengan kehidupanmu sekarang.""Tapi dia saya akan menangkap gelagat bahwa kita berbohong.""Bohong gimana kalau begini," ucapnya sambil menggandeng tanganku dengan erat. Aku yang digandeng begitu, bukan tak senang tapi merasa tak enak hati dengan diri sendiri. Bagaimana mungkin pria asing yang belum seminggu kukenal kini bergandengan tangan denganku dengan mesra, belum lagi ia tampak sangat bahagia dan bangga menunjukkan 'hubungan' kami kepada semua orang, padahal ini semua hanya bohongan."Sebaiknya kita tidak perlu t
"Beraninya kau!" Wanita itu berteriak marah."Mulut dan kelakuanmu seakan kau tidak pernah disucikan dengan sedekah, tidak punya adab dan perasaan sama sekali," desisku."Kau pikir kau siapa berani memukulku?!""Lalu kau pikir kau siapa berhak menamparku? Bahkan kalau orang tua atau Mas Pendi sekalipun, tidak pernah menamparku!" Jawabku sengit."Kau pantas mendapatkannya!""Kau juga pantas mendapatkannya, sejak kemarin aku terus berusaha mengendalikan diri untuk tidak memukul mulutmu yang berlebihan itu, namun, semakin berusaha sabar semakin sakit hati diri ini kau singgung singgung.""Wanita gila!" Wanita dengan rok mengembang dan baju meja itu mendekat, ia hendak memukul lagi, namun dengan satu sentakan, Aku langsung menarik kalung emasnya yang panjang dan besar ke arah berlawanan hingga perhiasan itu putus dan berhamburan.Tentu saja yulisa Syok dan panik, dia melotot padaku, bergantian dengan perhiasannya yang jatuh ke atas paving. Mas Rudi juga terhenyak dan kaget sekali menyaks