"Pergi sebelum kupanggilkan polisi.""Siapa yang peduli dengan polisi di kampung seperti ini, paling paling aku hanya akan ditegur dan aku bisa menjelaskan semuanya."Sungguh aku kehabisan cara untuk mengusir pria nekat yang ada di dalam rumahku ini. Aku tidak punya pilihan lain selain mengambil langkah untuk keluar saja dari rumah agar tidak menimbulkan fitnah yang tidak diinginkan."Baiklah jika kau tidak mau keluar, maka aku saja yang keluar!""Jangan, tunggu!" Dia mencegahku saat meraih jaket dan memakai sandalku. "Kau tidak berhak mencegahku, kuusir dari tempat ini saja kau tidak mau, jadi kalau tidak mempan dengan perintahku, maka aku tidak punya pilihan selain keluar dari rumah ini dan pergi ke tempat RT untuk melapor bahwa seseorang sudah memaksa masuk rumah dan tidak mau keluar.""Jangan permalukan dirimu!" Dia mencengkram tanganku dengan erat sementara tatapan matanya begitu lekat."Tolong hargai aku, setidaknya hargai hubungan yang pernah terjadi di antara kita, aku mohon
Melihat Mas Hamdan yang diperlakukan secara rendah oleh istrinya hatiku menjadi kasihan dan miris sekali melihatnya. Bukankah seharusnya seorang Istri menjaga marwah suami dan memperlakukan dia dengan layak? Nampaknya karena Santi terlalu kaya jadi dia menjadi angkuh dan merendahkan Mas Fendi serendah-rendahnya.Masih kulihat saat wanita itu naik ke mobilnya, dia menghardik Mas Fendi agar tidak perlu ikut dan berjalan kaki saja. Tentu hal demikian menarik perhatian para tetangga dan kedua lelaki yang ada di rumahku barusan. Melihat sikap Santi yang bengis orang-orang hanya bisa melihat dengan prihatin sambil menggelengkan kepala."Astaga sombong sekali," ucap Mas Ferdi yang merupakan suami Mbak Inggit tetangga kanan rumahku."Benar, bisa bisanya Fendi kawin dengan perempuan itu, masih mendingan Mbak Fatimah," timpal Bang Iman.Usai kepergian Bang Iman dan Ferdi, kututup kembali pintu rumah, meski tetangga depan masih ramai dan bergosip di teras namun aku mengabaikan dan memilih untuk
Mas Fendi masih mengawasiku, bahkan ke sudut manapun aku berjalan di pesta ini , dia terus mengikutiku dengan bola matanya. Mantan suamiku nampaknya mengamati bagaimana tingkah laku kami dan konsistensi kemesraan yang ditunjukkan Mas Rudi. Dia seakan tahu persis bahwa tadi kami berpura-pura menjadi pasangan untuk menyakiti hati istrinya."Mas, sepertinya mantan suamiku memperhatikan kita," bisikku kepada Mas Rudi."Abaikan saja, dia hanya mantan yang tidak ada kaitannya dengan kehidupanmu sekarang.""Tapi dia saya akan menangkap gelagat bahwa kita berbohong.""Bohong gimana kalau begini," ucapnya sambil menggandeng tanganku dengan erat. Aku yang digandeng begitu, bukan tak senang tapi merasa tak enak hati dengan diri sendiri. Bagaimana mungkin pria asing yang belum seminggu kukenal kini bergandengan tangan denganku dengan mesra, belum lagi ia tampak sangat bahagia dan bangga menunjukkan 'hubungan' kami kepada semua orang, padahal ini semua hanya bohongan."Sebaiknya kita tidak perlu t
"Beraninya kau!" Wanita itu berteriak marah."Mulut dan kelakuanmu seakan kau tidak pernah disucikan dengan sedekah, tidak punya adab dan perasaan sama sekali," desisku."Kau pikir kau siapa berani memukulku?!""Lalu kau pikir kau siapa berhak menamparku? Bahkan kalau orang tua atau Mas Pendi sekalipun, tidak pernah menamparku!" Jawabku sengit."Kau pantas mendapatkannya!""Kau juga pantas mendapatkannya, sejak kemarin aku terus berusaha mengendalikan diri untuk tidak memukul mulutmu yang berlebihan itu, namun, semakin berusaha sabar semakin sakit hati diri ini kau singgung singgung.""Wanita gila!" Wanita dengan rok mengembang dan baju meja itu mendekat, ia hendak memukul lagi, namun dengan satu sentakan, Aku langsung menarik kalung emasnya yang panjang dan besar ke arah berlawanan hingga perhiasan itu putus dan berhamburan.Tentu saja yulisa Syok dan panik, dia melotot padaku, bergantian dengan perhiasannya yang jatuh ke atas paving. Mas Rudi juga terhenyak dan kaget sekali menyaks
"Baiklah silakan masuk," ucapku dengan ekspresi datar kubiarkan dia duduk di ruang tamu lalu pintu terbuka, aku masuk ke dalam untuk mengambilkan minum dan menyuguhkannya ke hadapan Mas Fendi 2 menit kemudian."Terima kasih," ucapnya saat aku menyajikan kopi."Sama sama.""Aku ingin minta maaf atas kejadian pagi tadi.""Kenapa kau minta maaf untuk sesuatu yang bukan salahmu?""Entahlah, ini untuk memperbaiki hubungan kita?""Maksudnya?" Aku mengernyit sambil mengangkat alis sebelah."Supaya kita bisa berteman dan akrab dengan anak anak.""Kalau itu memang awal baru yang kau inginkan maka aku tidak keberatan, asalkan kau jangan mengungkit-ungkit tentang perasaan masa lalu dan cinta.""Jika kau tidak menyukainya maka aku tidak akan mengungkitnya lagi. Tapi jujur saja aku masih mencintaimu."Merasa bahwa diriku langsung tidak nyaman mendapatkan kalimat seperti itu, dia segera melanjutkan kata-katanya." ... namun, aku tidak memaksamu untuk membalas perasaanku, aku hanya mengungkapkannya
Sekitar lima belas menit kemudian pesanan pizza yang kuinginkan datang, sebenarnya aku tidak hendak memakannya tapi karena aku sangat lapar dan juga wanita itu tidak akan memandangku makan maka kau putuskan untuk menikmati saja apa yang sudah dia beli. Aku tidak akan terkesan munafik untuk urusan makanan karena itu adalah rezeki dari Tuhan.Prinsip yang aneh memang, jangan salahkan, aku masih labil dengan semua pemikiranku yang masih remaja.Nggak usah makan pizza Aku kemudian meninggalkannya begitu saja di meja makan lalu beranjak ke kamarku untuk tidur. Aku sengaja tidak mau satu kamar dengan nenek karena tidak ingin terganggu dengan suara dengkurannya, tidur dengan nyaman di sebuah kamar yang cukup luas dengan kasur yang empuk dan suasana kamar yang menyenangkan. Lampunya ditata sedemikian rupa dengan pencahayaan khusus sehingga terkesan hangat dan menenangkan.Aku tertidur beberapa saat kemudian hingga akhirnya pagi menjelang. Aku buka mata lalu terbangun sambil mengumpulkan nya
Ide Mas Rudi memang bagus, tapi, aku masih ragu. Banyak hal yang membuatku harus berpikir dengan matang.Seperti kata keluargaku, janganlah menunda-nunda pernikahan karena umur berangsur menua dan aku tidak akan punya kesempatan untuk bahagia di masa-masa kuatku. Tapi, aku harus mempertimbangkan beberapa hal, harus bicara pada keluarga dan anak anakku, juga harus mempersiapkan mentalku."Cepat sekali kau membicarakan tentang pernikahan padahal kita bahkan belum berpacaran," godaku."Hei, Aku sebenarnya ingin menjadi secara alami dengan dirimu ingin berteman lalu mendekatimu kemudian mengutarakan cintaku dengan jujur. Tapi aku khawatir bahwa kau akan jatuh ke tangan orang lain.""Jatuh ke tangan orang lain? memangnya aku ini benda yang bisa direbut ke sana kemari?"Tidak juga, tapi lihatlah, aku punya banyak saingan. Mantan suamimu saja masih melihatmu dengan penuh cinta dan kerinduan, terlambat sedikit saja aku bisa kehilangan kesempatan.""Kau yakin dengan itu?""Ya, fendi memandangm
Usai beramah tamah dengan keluargaku Mas Rudi akhirnya memutuskan untuk berpamitan. Dengan penuh kesopanan dia ucapkan selamat malam dan mencium tangan kedua orang tuaku. Melihat sikap Mas Rudi yang santun dan hangat keluargaku tersenyum senyum sambil saling melirik."Cie, yang menyalami calon mertua," ucap bibi menggoda kami."Iya, amin, mudah mudahan terwujud," ucapnya dengan wajah yang tak mampu menyembunyikan binae bahagia.Setelah tadi pertanyaan panjang lebar Ayah tentang latar belakang dan keinginannya untuk mendekatiku, akhirnya Ayah terlihat sedikit lega dan nampak menunjukkan lampu hijau agar kami berdua bisa saling mendekati. Terbukti sekarang, ayah memeluk dan menepuk nepuk punggungnya dengan senyum senang."Tolong titip Fatimah dan antar dia pulang dengan selamat," pinta ayah."Baik, Pak. Saya akan mengantarnya pulang.""Oh ti-tidak usah, saya bisa pulang sendiri," jawabku menolak dengan gugup."Kau harus dijaga, siapa tahu ban motormu pecah atau seseorang menghadang di
"Jadi kalau sudah begitu mau bagaimana lagi," ujarku pada Mas Fendi."Jangan terlalu dipikirkan, dia sudah punya banyak keluarga, luka hatinya akan membaik seiring berjalannya waktu, jangan khawatir, Fat.""Kok bisa segitunya ya, Mas?""Ya, mungkin karena dia sudah terlalu sayang dan cinta.""Kalau terlalu sayang jangan terlalu mengekang, kalau memang dia percaya padaku, mengapa dia sampai terus menyakiti orang lain dan mencurigainya, aku tak nyaman.""Tidak ingatkah kamu bahwa kamu juga berpartisipasi untuk menyakiti hatiku saat itu.""Konteks perbuatan yang kulakukan hanya karena cemburu dengan dokter Rudi, bukan karena aku ingin mencelakakanmu. Jadi tolong pahamilah keadaan itu dan maafkan aku.""Ya tentu saja aku memaafkan maksudnya kalau aku tidak memaafkanmu maka kita tidak akan bersama sampai sekarang." Aku tersenyum tipis dan mengajaknya masuk untuk ganti baju dan membongkar perhiasan yang menutupi kepala dan badan.Ada kejadian lucu ketika aku baru saja keluar dari kamar man
Perlahan langkah kakiku beranjak menyusuri jalan setapak ditaburi bunga menuju pelaminan, dengan diapit kedua iparku yang ada di kanan dan kiri aku melangkah anggun menebar senyum dan pandanganku ke tamu undangan. Mereka terlihat berdecak kagum dan tatapan mata mereka lekat padaku, ada ibuku, adikkuu dan Mba arimbi yang tak kuasa menahan air mata menyaksikan pada akhirnya aku jadi pengantin dan diperlakukan dengan layak.Ijab kabul sudah usai diikrarkan, kini aku dan suami duduk berdampingan di pelaminan diapit oleh anak dan orang tua kami. Ada senyum bahagia dan raut kegembiraan yang tidak bisa disembunyikan oleh Mas Fendi dari hadapanku dan tamu kepada tamu undangan yang memberi selamat."Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Mas Pendi sambil menggenggam tanganku yang sudah dihias dengan Inai Henna berwarna putih. Pada akhirnya ada cincin emas yang melingkar di jari manisku, cincin yang mengikat hubungan dengan sah, aku bahagia menatapnya sambil terus menyentuhnya."Alhamdulillah,
Mendengar kalimat yang sudah terlontar dari mulut semua orang, Yulisa tentu saja merasa sangat kecewa. Dengan kekesalan dan wajah penuh emosi wanita itu segera beranjak mengajak keluarganya untuk pulang. Jenis-jenis suasana di rumahku kembali seperti semula anak-anak sibuk bercanda dengan nenek dan bibinya sementara aku dan Mas Fendi pergi ke belakang untuk menyiapkan makan malam.Hari ini keluarga mas Fendi membawa banyak makanan yang rencananya akan kami nikmati bersama jadi aku bertugas untuk menyiapkannya di meja makan. Sambil menuangkan makanan ke dalam mangkuk, menghampiri dan menyonggengkan senyum kepadaku senyum godaan sekaligus ekspresi wajah penuh arti bahagia bahwa pada akhirnya aku mau kembali padanya."Terima kasih ya atas keputusan bijakmu karena pada akhirnya semua harapanku terkabul juga. Akhirnya kita bisa bersama lagi."Aku lakukan demi kebahagiaan anak-anak dan ibu mertua," jawabku lirih."Dan kebahagiaanmu sendiri bagaimana?""Iya ... Aku bahagia," jawabku pe
"Ya tentu saja boleh, kalau memang Bunda setuju dan ayah juga bersedia untuk kembali kepada kami ... asal beliau tetap setia dan bersikap baik, why not, kenapa tidak?" Jawab Yudi."Kalau begitu mari persiapkan acara lamaran, dan kita nikahkan orang tuamu dengan layak, nenek akan adakan hajatan untuk menyambut menantu baru karena dulu nenek tidak melakukan kenduri dengan layak untuk ibumu.""Ah, tidak usah begitu, Bu. Malu saya sudah tua...." Aku yang merasa tidak enak langsung saja menatap kedua anakku dan iparku."Jangan sungkan, kami akan lakukan yang terbaik untuk membahagiakanmu dan mulai sekarang Aku ingin melakukan segala sesuatu dengan layak untukmu," jawab Ibu mertua.Senyum di bibir ibu mertua dan kedua iparku juga anakku terkembang bahagia mereka saling merangkul dan bersorak gembira bahwa aku dan ayah mereka akan kembali bersama lagi. Tak lama dari situ motor Mas fendi da tiba di depan rumah. Tentu saja dia kagetan merasa heran karena tiba-tiba rumah kami ramai dengan ora
Mendengar jawaban anak-anak yang tegas, kedua bibinya saling memandang dengan tatapan yang mungkin pusing dan putus asa."Gimana Tante Apakah nenek akan mau datang ke sini?""Kami tidak tahu ya tapi kami akan mencoba bicara dengannya.""Saya pun juga berharap nenek bisa datang.""Nak, kita mengalah aja," bisikku, "kita kan yang muda ya.""Tidak Bu, Jika nenek punya niat baik, biarkan beliau menunjukkannya.""Tapi itu akan memberatkan untuk beliau.""Tidak akan berat jika nenek punya niat baik jika beliau sudah mengirimkan kedua tante untuk datang ke sini itu artinya beliau sudah setuju atas segala kemungkinan.""Baiklah," jawabku lirih.Usai berbincang panjang lebar akhirnya Dewi dan Yanti memutuskan untuk pamit pulang karena hari sudah menjelang petang. Cepat ku tawarkan agar mereka makan malam bersama kami tapi kedua wanita yang statusnya belum menikah itu menolaknya dengan halus."Justru kami berharap Mbak Fatimah dan anak-anak yang bisa datang ke rumah besok malam untuk menikmati
Selama seminggu tinggal di sukamaju anak anak sangat menikmati waktu dan kegiatan mereka, pun Mas Fendi yang kini bekerja sebagai supir pengantar barang di sebuah perusahaan distibusi makanan ringan dan sembako sering mampir untuk sekedar membawakan anaknya makanan. Belakangan kami sering makan malam bersama, bertukar pikiran dan cerita keseharian, sering bercanda dan tertawa, seakan lepassejenak dari semua beban pikiran yang menghimpit. Bila tiba pukul sembilan malam Mas Fendi akan izin pulang dan kami pun melanjutkan istirahat.*Suatu sore, saat aku sedang menyaou halaman datanglah kedua adik Mas Fendi, Yanti dan dewi, mereka menyapa dari balik pagar besi lalu aku bergegas membuka pintu kemudian mempersilakan mereka masuk.“Mbak kami ke sini cuma mau tanya, apakah belakangan ini Mas Fendi merasa nyaman datang ke sini?”“Kalau masalah merasa nyaman aku gak tahu ya … tapi dia nampak sekalli merindukan anaknya dan mencari momen yang tepat untuk bersama mereka. Aku sih, tidak berhak me
Sungguh sedih dan teriris hati ini mendengar percakapan antara ayah dan anaknya. Mendengar bagaimana anak memprotes dengan cara menyentil perasaan ayahnya dan membuat Mas Fendi terpaksa menyadari segala sesuatu yang selama ini sudah keliru ia lakukan.Kalau memang dia tahu betapa berat hari-hari yang kujalani tanpa kehadirannya bagaimana aku membesarkan anak-anak tanpa bantuannya sepeserpun, harusnya dia merasa malu dan berusaha untuk mengganti semua itu. Bukan tentang uang yang aku inginkan tapi bagaimana yang mencuci semua itu dengan pertobatan dan sikap baik. Jujur saja aku belum terbuka untuk rujuk dengannya tapi aku bisa mempertimbangkan itu ke depannya jika anggota keluarganya menyetujui hubungan kami serta Mas Pendi mulai merubah perilaku dan arah hidupnya.Aku ingin dia kembali ke berjuang membangun harga dirinya dengan bekerja secara mandiri. Tidak ikut lagi bertanggung jawab atas kebun sang istri, atau bergantung hidup pada orang lain. Aku ingin dia benar-benar menata keman
Seusai makan kubiarkan anak-anak dan ayahnya duduk di ruang tv sambil menikmati tayangan. Aku sendiri duduk ke teras sambil menikmati udara malam karena selepas makan dan cuci piring tadi aku merasa sedikit berkeringat dan gerah.Sebenarnya tadi tetanggaku melihat kehadiran Mas Fendi dan mereka tahu betul bahwa mantan suamiku masih ada dalam rumah karena suara gelak tawa dan candaannya bersama anak-anak juga terdengar sampai keluar. Tapi entah kenapa keadaan terasa begitu adem dan tenang, seolah tidak ada mata yang melihat dengan sinis atau seseorang yang akan melaporkan kejadian itu pada RT dan menimbulkan kekacauan."Ah lagi pula Mas Fendi hanya datang mengunjungi anak-anak, kami tidak melakukan dosa atau berzina, jadi apa salahnya?"ku tetap teh hangat yang kubawa dari dapur sambil menghela nafas dan menatap langit.Di langit malam yang tertutupi awan kelabu cahaya bulan terlihat malu-malu, sinarnya yang lembut seolah memberi suasana tersendiri yang membawa pada kenangan dan hal
Dengan cara apa aku harus melawan reaksi masyarakat akan tudingan mereka tentang diriku yang katanya mempermainkan rumah tangga Mas Fendi dan Yulisa. Dengan cara apa aku menjelaskan kalau aku tidak terlibat, tidak sama sekali terlibat hubungan dengan suami orang. Sebagian yang tahu keseharianku memaklumi dan membelaku, tapi bagaimana yang tidak. Terlebih jika mereka mendengar agitasi yang diembuskan keluarga Yulisa, orang orang bisa dengan cepat membenciku hanya dari kabar yang mereka dengar saja. Mereka akan memusuhi hanya karena tuduhan yang tidak terbukti, begitulah pola fitnah merusak penilaian seseorang terhadap orang lain.*Sabtu sore, kedua putraku pulang dari kota, alangkah senang hati ini ketika pulang dari pasar dan melihat mereka sudah duduk di teras dan langsung menghambur menyambut kedatanganku. Kupeluk kedua anakku aroma tubuh mereka yang baru usai mandi seketika melenyapkan semua rasa lelah dan penat selama di pasar tadi. Maklumlah selama berjualan di pasar para penj