Ide Mas Rudi memang bagus, tapi, aku masih ragu. Banyak hal yang membuatku harus berpikir dengan matang.Seperti kata keluargaku, janganlah menunda-nunda pernikahan karena umur berangsur menua dan aku tidak akan punya kesempatan untuk bahagia di masa-masa kuatku. Tapi, aku harus mempertimbangkan beberapa hal, harus bicara pada keluarga dan anak anakku, juga harus mempersiapkan mentalku."Cepat sekali kau membicarakan tentang pernikahan padahal kita bahkan belum berpacaran," godaku."Hei, Aku sebenarnya ingin menjadi secara alami dengan dirimu ingin berteman lalu mendekatimu kemudian mengutarakan cintaku dengan jujur. Tapi aku khawatir bahwa kau akan jatuh ke tangan orang lain.""Jatuh ke tangan orang lain? memangnya aku ini benda yang bisa direbut ke sana kemari?"Tidak juga, tapi lihatlah, aku punya banyak saingan. Mantan suamimu saja masih melihatmu dengan penuh cinta dan kerinduan, terlambat sedikit saja aku bisa kehilangan kesempatan.""Kau yakin dengan itu?""Ya, fendi memandangm
Usai beramah tamah dengan keluargaku Mas Rudi akhirnya memutuskan untuk berpamitan. Dengan penuh kesopanan dia ucapkan selamat malam dan mencium tangan kedua orang tuaku. Melihat sikap Mas Rudi yang santun dan hangat keluargaku tersenyum senyum sambil saling melirik."Cie, yang menyalami calon mertua," ucap bibi menggoda kami."Iya, amin, mudah mudahan terwujud," ucapnya dengan wajah yang tak mampu menyembunyikan binae bahagia.Setelah tadi pertanyaan panjang lebar Ayah tentang latar belakang dan keinginannya untuk mendekatiku, akhirnya Ayah terlihat sedikit lega dan nampak menunjukkan lampu hijau agar kami berdua bisa saling mendekati. Terbukti sekarang, ayah memeluk dan menepuk nepuk punggungnya dengan senyum senang."Tolong titip Fatimah dan antar dia pulang dengan selamat," pinta ayah."Baik, Pak. Saya akan mengantarnya pulang.""Oh ti-tidak usah, saya bisa pulang sendiri," jawabku menolak dengan gugup."Kau harus dijaga, siapa tahu ban motormu pecah atau seseorang menghadang di
Setelah makan di sebuah kedai dan berjalan-jalan sedikit dengan Mas Rudi, aku kemudian memutuskan untuk pulang, hari yang terus gerimis tidak menyurutkan kebahagiaanku yang tengah sedikit mulai jatuh cinta kepada Mas Rudi.Saat sampai di depan rumah dan memasukkan motorku, aku terkejut dengan kehadiran seseorang yang telah duduk di kursi teras dan terlihat gelisah menungguku. Dia mantan suamiku."Kamu, kamu di sini?""Aku datang mengantarkan uang untuk anakku," ucapnya sambil mengambil amplop dari balik jaket dan menyerahkannya padaku."Dengan sedikit ragu Aku mengulurkan tangan untuk menerimanya, tanganku agak gemetar Karena untuk pertama kalinya dia datang untuk menyerahkan uang bagi nafkah anak-anaknya."Apakah istrimu tahu kau memberikan uang untuk anak-anak?""Itu uang pribadiku, uang yang dibayarkan olehnya sebagai upah karena aku menjaga kebun miliknya.""Jadi kau diupah istrimu sendiri untuk mengawasi kebun miliknya?""Benar."Astaga aku pikir dengan menikah mereka akan berbag
Seminggu setelah percakapan menyakitkan antara aku dan Mas Fendi. Masih terbayang di pelupuk mata bagaimana dia pergi dari rumahku dengan lunglai bersama dengan air matanya yang sengaja ia sembunyikan dari hadapanku.Kudengar dia jatuh sakit setelah itu, agak kaget juga karena biasanya setelah pertama kali bertemu di rumah sakit dia selalu berpapasan denganku di jalan atau mengawasiku di pasar, dia seakan-akan terobsesi untuk mengikutiku dan bertemu denganku. "Eh, Mantanmu itu sakit lho, kulihat kemarin dia dan istrinya ke klinik, dia sangat pucat dan lemah." Mba Arimbi mendekat dan memberi tahuku informasi itu."Sungguhkah?""Apakah ini tidak ada kaitan denganmu?""Terakhir kali dia datang ke rumahku dan seperti biasa dia selalu gigih untuk mengatakan Ingin kembali, jadi, kutolak dan kutegaskan padanya bahwa aku bisa menikahi siapapun dan mencintai siapapun dalam hatiku karena aku sudah tidak punya hubungan dengannya lagi.""Sepertinya dia merana karena cinta dan jatuh sakit.""Itu
Wanita itu terbelalak dengan wajah marah, ia mendesis dan berteriak padaku, ia hendak membalas tapi aku dengan sigap segera mencengkeram pergelangan tangannya dan menepisnya."Beraninya wanita kedua dalam hidup Mas Fendi menyerangku, harusnya kau tahu diri!"Plak!Sekali lagi pukulan itu mendarat, Santi makin meradang dan bangkit untuk memukulku juga. Kami saling mendorong sementara orang-orang tidak berani untuk ikut campur dan menyela. Tidak ada seorangpun yang mendekat untuk melerai, mereka hanya berdiri sambil menyaksikan dengan wajah tegang."Dasar jalang, Kenapa Tak Jujur saja kalau kau masih berhasrat pada Mas Pendi!""Kau juga harusnya jujur bahwa kau ketakutan kehilangan Mas Fendi sehingga selalu mencemburuiku tanpa alasan!" Desisku sambil menahan dorongan tubuhnya. Di depanku, wajahnya sangat dekat, napasnya menggemuruh, dia sangat emosi dan ingin memukul diri ini."Sudah!" Mbak Arimbi datang menyela kami. Dia mendorong wanita itu agar terlepas dariku."Kalian tidak malu di
Beberapa hari memikirkan tentang ucapan Mas Rudi Aku kemudian merasa bahwa apa yang dia katakan ada benarnya, aku harus mulai membuka hati dan menjalin hubungan baru serta menerima pernikahan ini agar hatiku lebih bahagia, ruang yang kosong di dalamnya akan terisi oleh kehadiran sosok baru, jadi aku tidak akan merasa kesepian lagi.Sabtu sore aku naik bis, meluncur meninggalkan kampung menuju ke kota untuk menemui anak-anak, sepanjang perjalanan aku hanya melamun seraya menatap gunung dan jajaran pohon yang hijau, berpikir keras tentang bagaimana menyampaikan keinginanku untuk dipinang seorang pria. Ada rasa berdebar sama rasanya seperti saat pertama kali menikah, ragu untuk menyatakan bahwa ada seorang pria yang meminta tangan ini untuk mendampingi hidupnya. Aku khawatir, anak-anak akan menolak dan keberatan.Aku sampai pukul delapan malam di kediaman mereka, sebuah kost petak ukuran empat kali lima meter yang lumayan strategis karena dekat jalan dan kampus mereka. Kuketuk pintu,
(Jujur saja aku terluka.) Membaca pesannya aku tergelak sendiri dan merasa heran. Apa yang membuat dia terluka? Sementara saat dia menikah dulu aku sama sekali tidak menunjukkan keberatan dan luka. Kenapa pertemuan di rumah sakit membuka kembali kerumitan yang pernah ada.(Hei, berpikirlah dengan jernih, kau bahkan tak pantas mengatakan itu padaku sebab kau punya istri. Harusnya kau malu Mas!.)(Benar juga. Aku berjanji bahwa aku bisa memenangkanmu!)(Pertama tama hiduplah mandiri dan berdiri di kaki sendiri, baru kau berencana memenangkan aku. Jika kau masih numpang hidup dari istrimu, rasanya tak elok bicara penuh percaya diri padaku.)(Percayalah, aku bisa mengubah segalanya.)(Mulailah dari sekarang, jangan hanya bicara saja.)Aku tidak bermaksud serius agar dia memenangkan aku, justru, aku sengaja mengatakan itu karena tahu ia tak akan bisa melakukan itu. Meninggalkan yulisa akan jadi masalah besar untuknya dan keluarganya. Keluarga yulisa adalah keluarga kaya dan berpengaruh, ji
"Mohon maaf sebelumnya, bolehkah saya tahu apa maksud perkataan Anda?" tanyaku dengan sopan."Kau punya anak kan? Ketika kau menikah dengan Rudi anak itu juga akan menjadi anak Rudi dan tanggungannya.""Saya tidak pernah meminta beliau untuk menanggungnya, insya Allah saya bisa mengatasi kebutuhan anak saya sendiri. Tapi meski demikian jika Mas Rudi menanggung kami itu mungkin sudah bentuk dari kesadarannya sebagai imam dan suami.""Hahaha, aku terkesan dengan gaya bicara dan keberanianmu," jawab pria itu sambil menatapku dengan tajam."Daripada membicarakan itu sebaiknya kita mulai makan,"ucap Mas Rudi sambil mencoba mengalihkan perhatian dan percakapan kami yang kaku dan canggung.Calon Suamiku itu mengarahkan aku dan kedua orang tuanya untuk segera ke meja makan. Dan meski Ayah Mas Rudi terlihat tidak senang dia tetap menuruti kata-kata anaknya dengan menghela napas lalu beranjak menuju meja makan."Kira-kira apakah kau sudah siap masuk ke dalam keluarga kami?" Tanya ayahnya lagi s