Seminggu setelah percakapan menyakitkan antara aku dan Mas Fendi. Masih terbayang di pelupuk mata bagaimana dia pergi dari rumahku dengan lunglai bersama dengan air matanya yang sengaja ia sembunyikan dari hadapanku.Kudengar dia jatuh sakit setelah itu, agak kaget juga karena biasanya setelah pertama kali bertemu di rumah sakit dia selalu berpapasan denganku di jalan atau mengawasiku di pasar, dia seakan-akan terobsesi untuk mengikutiku dan bertemu denganku. "Eh, Mantanmu itu sakit lho, kulihat kemarin dia dan istrinya ke klinik, dia sangat pucat dan lemah." Mba Arimbi mendekat dan memberi tahuku informasi itu."Sungguhkah?""Apakah ini tidak ada kaitan denganmu?""Terakhir kali dia datang ke rumahku dan seperti biasa dia selalu gigih untuk mengatakan Ingin kembali, jadi, kutolak dan kutegaskan padanya bahwa aku bisa menikahi siapapun dan mencintai siapapun dalam hatiku karena aku sudah tidak punya hubungan dengannya lagi.""Sepertinya dia merana karena cinta dan jatuh sakit.""Itu
Wanita itu terbelalak dengan wajah marah, ia mendesis dan berteriak padaku, ia hendak membalas tapi aku dengan sigap segera mencengkeram pergelangan tangannya dan menepisnya."Beraninya wanita kedua dalam hidup Mas Fendi menyerangku, harusnya kau tahu diri!"Plak!Sekali lagi pukulan itu mendarat, Santi makin meradang dan bangkit untuk memukulku juga. Kami saling mendorong sementara orang-orang tidak berani untuk ikut campur dan menyela. Tidak ada seorangpun yang mendekat untuk melerai, mereka hanya berdiri sambil menyaksikan dengan wajah tegang."Dasar jalang, Kenapa Tak Jujur saja kalau kau masih berhasrat pada Mas Pendi!""Kau juga harusnya jujur bahwa kau ketakutan kehilangan Mas Fendi sehingga selalu mencemburuiku tanpa alasan!" Desisku sambil menahan dorongan tubuhnya. Di depanku, wajahnya sangat dekat, napasnya menggemuruh, dia sangat emosi dan ingin memukul diri ini."Sudah!" Mbak Arimbi datang menyela kami. Dia mendorong wanita itu agar terlepas dariku."Kalian tidak malu di
Beberapa hari memikirkan tentang ucapan Mas Rudi Aku kemudian merasa bahwa apa yang dia katakan ada benarnya, aku harus mulai membuka hati dan menjalin hubungan baru serta menerima pernikahan ini agar hatiku lebih bahagia, ruang yang kosong di dalamnya akan terisi oleh kehadiran sosok baru, jadi aku tidak akan merasa kesepian lagi.Sabtu sore aku naik bis, meluncur meninggalkan kampung menuju ke kota untuk menemui anak-anak, sepanjang perjalanan aku hanya melamun seraya menatap gunung dan jajaran pohon yang hijau, berpikir keras tentang bagaimana menyampaikan keinginanku untuk dipinang seorang pria. Ada rasa berdebar sama rasanya seperti saat pertama kali menikah, ragu untuk menyatakan bahwa ada seorang pria yang meminta tangan ini untuk mendampingi hidupnya. Aku khawatir, anak-anak akan menolak dan keberatan.Aku sampai pukul delapan malam di kediaman mereka, sebuah kost petak ukuran empat kali lima meter yang lumayan strategis karena dekat jalan dan kampus mereka. Kuketuk pintu,
(Jujur saja aku terluka.) Membaca pesannya aku tergelak sendiri dan merasa heran. Apa yang membuat dia terluka? Sementara saat dia menikah dulu aku sama sekali tidak menunjukkan keberatan dan luka. Kenapa pertemuan di rumah sakit membuka kembali kerumitan yang pernah ada.(Hei, berpikirlah dengan jernih, kau bahkan tak pantas mengatakan itu padaku sebab kau punya istri. Harusnya kau malu Mas!.)(Benar juga. Aku berjanji bahwa aku bisa memenangkanmu!)(Pertama tama hiduplah mandiri dan berdiri di kaki sendiri, baru kau berencana memenangkan aku. Jika kau masih numpang hidup dari istrimu, rasanya tak elok bicara penuh percaya diri padaku.)(Percayalah, aku bisa mengubah segalanya.)(Mulailah dari sekarang, jangan hanya bicara saja.)Aku tidak bermaksud serius agar dia memenangkan aku, justru, aku sengaja mengatakan itu karena tahu ia tak akan bisa melakukan itu. Meninggalkan yulisa akan jadi masalah besar untuknya dan keluarganya. Keluarga yulisa adalah keluarga kaya dan berpengaruh, ji
"Mohon maaf sebelumnya, bolehkah saya tahu apa maksud perkataan Anda?" tanyaku dengan sopan."Kau punya anak kan? Ketika kau menikah dengan Rudi anak itu juga akan menjadi anak Rudi dan tanggungannya.""Saya tidak pernah meminta beliau untuk menanggungnya, insya Allah saya bisa mengatasi kebutuhan anak saya sendiri. Tapi meski demikian jika Mas Rudi menanggung kami itu mungkin sudah bentuk dari kesadarannya sebagai imam dan suami.""Hahaha, aku terkesan dengan gaya bicara dan keberanianmu," jawab pria itu sambil menatapku dengan tajam."Daripada membicarakan itu sebaiknya kita mulai makan,"ucap Mas Rudi sambil mencoba mengalihkan perhatian dan percakapan kami yang kaku dan canggung.Calon Suamiku itu mengarahkan aku dan kedua orang tuanya untuk segera ke meja makan. Dan meski Ayah Mas Rudi terlihat tidak senang dia tetap menuruti kata-kata anaknya dengan menghela napas lalu beranjak menuju meja makan."Kira-kira apakah kau sudah siap masuk ke dalam keluarga kami?" Tanya ayahnya lagi s
"Tapi, kan tetap aja bekas istri orang....""Apa bedanya dengan Mbak Santi yang juga bekas istri orang? Kenapa Fendi mau menikahi Mbak?""Ya, mungkin karena aku sangat cantik," ucapnya sambil melirik sang Tante dan Omnya."Eh, kok, percakapan jadi canggung gini sih?" tanya Ibunya Mas Rudi yang kuketahui adalah seorang guru."Iya betul, ayo duduk, gabung ke meja makan, kita makan malam bersama," ujar beliau sambil mempersilakan kami duduk lagi. Sebenarnya aku sudah tak nyaman, acara makan malam ini sudah terganggu dan aku kehilangan selera dengan datangnya yulisa dengan Mas Fendi. Seakan ini sudah diatur, mengapa juga harus ada pasangan itu di momen aku berkenalan dengan calon mertuaku. Ah, sungguh situasi yang memaksaku untuk bersikap sabar, dewasa dan menahan diri. Di sisi lain Mas Fendi juga merasa terlihat tak nyaman, dia terus memegangi tengkuk. Dia memandangku dengan tatapan penuh permintaan maaf sementara aku sudah tidak sanggup berbicara apa-apa lagi."Duduklah, Fatimah, kema
Kurebahkan diri di peraduan dengan perasaan yang tidak menentu, lepas makan malam tadi aku jadi berpikir banyak hal tentang hubunganku dengan mas Rudi, ingin kutinjau kembali kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang jika kami tetap memaksakan bersama. Kini, aku terdiam sambil berusaha menghitung detak jantung dan aliran napasku, kupandangi gamis yang baru saja kukenakan tadi saat ke rumah Mas Rudi, dia masih bergelayut cantik di gantungan dekat kaca rias. "Aku sengaja menampilkan kepribadian dan dandanan yang paling bagus, tapi respon mereka tidak bagus, jadi, aku harus bagaimana?" Aku menggumam sambil menghela napas. "Mungkinkah, Mas Rudi hanya sosok yang dihadirkan Tuhan sesaat agar aku diingatkan bahwa di dunia ini masih ada cinta? Tapi untuk apa jika cinta itu tak bisa kumiliki." Sekali lagi aku menghela napas sambil menahan sedih."Kalau akhirnya harus sendiri lagi, sebaiknya, aku menutup diri," gumamku sambil mematikan lampu tidur. Mencoba memejamkan ma
Seminggu berlalu setelah pertemuan dengan calon keluarga mertua, pertemuan yang alot dengan kehadiran yulisa yang memperkeruh suasana. Aku tidak mengerti kenapa takdir Tuhan begini caranya, mempertemukan aku dengan Mas Rudi lalu menjadikan Yulisa sebagai sepupunya.Kenapa begitu rumit hubungan yang berlanjut di seputar kami, seakan akan hidup ini sudah disetting untuk selalu berada dalam lingkunga dan circle keluarga Mas Fendi. Bisakah sekali saja, aku lepas dari mereka dan menjauh. Tapi, kalau menjauh sekarang, itu pun terlambat, Mas Rudi terlanjur mencintaiku, dan aku pun menyukainya.Tok tok....Saat sedang duduk memikirkan tentang semua itu, pintu rumah mungilku di ketuk oleh seseorang dari luar. Malam baru saja selesai hujan, gerimis tipis masih turun membasahi desa, suaranya terdengar semarak melengkapi cakrawala malam yang kelabu.Saat daun pintu bergerak, siluet orang yang selalu ingin kuhindari sudah muncul di hadapanku. Aku lesu bertemu dengannya, karena setiap kali bertem