Mendengar kalimat yang sudah terlontar dari mulut semua orang, Yulisa tentu saja merasa sangat kecewa. Dengan kekesalan dan wajah penuh emosi wanita itu segera beranjak mengajak keluarganya untuk pulang. Jenis-jenis suasana di rumahku kembali seperti semula anak-anak sibuk bercanda dengan nenek dan bibinya sementara aku dan Mas Fendi pergi ke belakang untuk menyiapkan makan malam.Hari ini keluarga mas Fendi membawa banyak makanan yang rencananya akan kami nikmati bersama jadi aku bertugas untuk menyiapkannya di meja makan. Sambil menuangkan makanan ke dalam mangkuk, menghampiri dan menyonggengkan senyum kepadaku senyum godaan sekaligus ekspresi wajah penuh arti bahagia bahwa pada akhirnya aku mau kembali padanya."Terima kasih ya atas keputusan bijakmu karena pada akhirnya semua harapanku terkabul juga. Akhirnya kita bisa bersama lagi."Aku lakukan demi kebahagiaan anak-anak dan ibu mertua," jawabku lirih."Dan kebahagiaanmu sendiri bagaimana?""Iya ... Aku bahagia," jawabku pe
Perlahan langkah kakiku beranjak menyusuri jalan setapak ditaburi bunga menuju pelaminan, dengan diapit kedua iparku yang ada di kanan dan kiri aku melangkah anggun menebar senyum dan pandanganku ke tamu undangan. Mereka terlihat berdecak kagum dan tatapan mata mereka lekat padaku, ada ibuku, adikkuu dan Mba arimbi yang tak kuasa menahan air mata menyaksikan pada akhirnya aku jadi pengantin dan diperlakukan dengan layak.Ijab kabul sudah usai diikrarkan, kini aku dan suami duduk berdampingan di pelaminan diapit oleh anak dan orang tua kami. Ada senyum bahagia dan raut kegembiraan yang tidak bisa disembunyikan oleh Mas Fendi dari hadapanku dan tamu kepada tamu undangan yang memberi selamat."Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Mas Pendi sambil menggenggam tanganku yang sudah dihias dengan Inai Henna berwarna putih. Pada akhirnya ada cincin emas yang melingkar di jari manisku, cincin yang mengikat hubungan dengan sah, aku bahagia menatapnya sambil terus menyentuhnya."Alhamdulillah,
"Jadi kalau sudah begitu mau bagaimana lagi," ujarku pada Mas Fendi."Jangan terlalu dipikirkan, dia sudah punya banyak keluarga, luka hatinya akan membaik seiring berjalannya waktu, jangan khawatir, Fat.""Kok bisa segitunya ya, Mas?""Ya, mungkin karena dia sudah terlalu sayang dan cinta.""Kalau terlalu sayang jangan terlalu mengekang, kalau memang dia percaya padaku, mengapa dia sampai terus menyakiti orang lain dan mencurigainya, aku tak nyaman.""Tidak ingatkah kamu bahwa kamu juga berpartisipasi untuk menyakiti hatiku saat itu.""Konteks perbuatan yang kulakukan hanya karena cemburu dengan dokter Rudi, bukan karena aku ingin mencelakakanmu. Jadi tolong pahamilah keadaan itu dan maafkan aku.""Ya tentu saja aku memaafkan maksudnya kalau aku tidak memaafkanmu maka kita tidak akan bersama sampai sekarang." Aku tersenyum tipis dan mengajaknya masuk untuk ganti baju dan membongkar perhiasan yang menutupi kepala dan badan.Ada kejadian lucu ketika aku baru saja keluar dari kamar man
Hanya beberapa meter jarak kami, tidak ada tabir pembatas atau dinding penyekat yang bisa menghalangi pandangan agar kami tak perlu bersitatap. Tapi, entah kenapa aku terjebak dalam situasi ini, apakah ini sudah rencana Tuhan? Aku terbaring di brankar karena penyakit maag kronis yang selalu kambuh, sebab terlalu lelah bekerja dan fokus memikirkan hidup. Sementara di sisi bersebrangan, dia bersama istrinya yang baru, istri yang dia nikahi setelah menceraikan aku, terlihat mendampingi sang istri yang juga nampak sakit dan membantunya berbaring di ranjang IGD puskemas ini. Mungkin ini kebetulan, di hari yang sama aku dan istrinya menderita sakit dan harus berjumpa. Sebenarnya kami sudah tidak satu kampung, tapi karena posisi rumah sakit yang ada di ibukota kecamatan mengharuskan tiap pasien dari dusun dusun kecil berobat kemari. "Ya Tuhan, tolong pindahkan aku dari tempat ini, sebab jika kami bertemu, akan canggung rasanya," gumamku sambil melirik infus yang baru setengah botol masu
Kuputuskan untuk tidak memandang pada Mas Fendi daripada membuat kesalahpahaman pada istrinya, kupilih memiringkan badan selalu menutup wajah dengan selimut. Masih bisa kudengar wanita itu terus menggumam manja, minta dibelai, dipijiti, diambilkan minum dan dipeluk.Masya Allah, sungguh manja wanita itu."Apapun yang terjadi, aku tidak perlu merasa kecil hati atau iri," gumamku dalam hati, "hubungan kami sudah berakhir, jadi akan kuanggap Mas Fendi sebagai batu dan batang kayu saja."Pertolongan itu akhirnya datang, seorang perawat dan rekannya menyapaku dan mengajakku pindah kamar. Sungguh lega perasaan ini bisa meninggalkan UGD dan pemandangan menyakitkan mata itu."Ayo, Bu, kita pindah.""Iya, terima kasih," jawabku.Kurapikan posisi, juga rambutku yang terurai panjang, brankar didorong, ketika melewati Mas Fendi pria itu nampak melihatku lagi, menatapku dengan pandangan sedih, aku tertegun namun aku hanya bisa diam saja."Ibu, kalau butuh sesuatu, panggil saja ya," ucap Perawat ka
Ah, ada ada saja, bisa bisanya ... Sempatnya dia datang untuk mengucapkan itu. Meski tidak terlihat bercanda, tetap saja, aku kurang suka. Hatiku memang sepi, tidak munafik, semenjak dia meninggalkanku, aku menutup hati untuk cinta yang lain. Aku trauma dengan luka dan tak bisa memberikan cinta atau kepercayaan yang sama untuk pria lain.Hatiku terkunci untuk satu nama dan itu sudah tidak bisa diganggu lagi. Sayangnya, nama yang terpatri di hati sudah pergi dan jadi milik orang lain."Kurasa ini hanya perasaan sesaat, perceraian sudah tujuh tahun berlalu, dan rasa itu tak mungkin tumbuh subur lagi," gumamku sambil mengatur napas dan memutuskan untuk tidur lagi.Namun, baru ingin tidur lagi, tiba tiba terdengar suara ranjang dorong rumah sakit mendekat ke ruangan tempatku. Aku mulai merasa feelingku tak nyaman, jangan jangan ... ah, jangan sampai kami sekamar lagi dengan wanita rese' yang hobi pamer itu. Aku tidak mau pikiranku tak nyaman lagi.Tapi, berdoa seperti itu nampaknya tidak
"Permisi, apa kau bicara itu tentang aku, Yuna dan Yudi?" tanyaku pada Ibu mertua."Eh, Fa-fatimah, kau di sini?" "Iya, aku di sini, aku mendengar semua ucapan ibu!" Jawabku sambil menahan rahangku yang bergeletuk. "Oh ya, ibu bilang apa tentang anakku, anak wanita haram jadah?!""Eh, kau hanya salah dengar saja, Dik," ujar Kak Iksan, kakak iparku yang kebetulan datang dengan istrinya."Apa ... Kau sengaja sakit untuk bertemu dengan Fendi?""Apa? Seniat itu untuk bertemu anakmu? Maaf, dia tidak sepenting itu!" jawabku sengit. " Dan ya, kamu bilang apa Bu, kamu bilang anakku tak balas Budi dan tidak pernah berterima kasih atas pemberianmu setiap bulannya. Kalau boleh tahu sejak kapan Ibu memberikan kami uang, berapa uangnya dan mana bukti pemberiannya? Setahuku kami tidak pernah mendapatkan sepeserpun darimu Ibu!" Aku menjawab sembari mempermalukan dia di depan menantunya. Beraninya dia mengucapkan kalimat itu seperti itu padahal dulunya Aku adalah menantu yang digadang-gadang palin
Tiba-tiba kantung kemihku terasa pening karena ingin segera dikosongkan sementara kepala juga pusing dan pandanganku rasanya berputar-putar ketika aku hendak bangun dan duduk beberapa saat."Ya Tuhan, kalau begini aku tidak akan bisa ke kamar mandi." Aku menggumam dengan air mata yang ingin menetes dari pelupuknya.Ah, waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, nyamuk nyamuk beterbangan dan mengganggu sekali. Pintu terbuka hingga kabut dan cuaca dingin yang meluncur turun dari pegunungan terasa menusuk tulang. Aku Ingin menutup pintu tapi tidak berdaya sekali.Sepertinya aku harus ke kamar mandi karena kalau aku menahannya sebentar lagi maka aku akan mengompol di tempat tidur. Namun baru saja berusaha untuk bangun tiba-tiba ponselku berdering dan itu adalah nama anakku yang tertera di sana."Halo assalamualaikum, Yuna.""Walaikum salam Ibu.""Apa kabar sayang, bagaimana sekolahnya?""Lancar, tadi baru saja ujian tengah semester," jawabnya."Ah, bagus, ibu senang sekali," jawa