Hanya beberapa meter jarak kami, tidak ada tabir pembatas atau dinding penyekat yang bisa menghalangi pandangan agar kami tak perlu bersitatap. Tapi, entah kenapa aku terjebak dalam situasi ini, apakah ini sudah rencana Tuhan?
Aku terbaring di brankar karena penyakit maag kronis yang selalu kambuh, sebab terlalu lelah bekerja dan fokus memikirkan hidup. Sementara di sisi bersebrangan, dia bersama istrinya yang baru, istri yang dia nikahi setelah menceraikan aku, terlihat mendampingi sang istri yang juga nampak sakit dan membantunya berbaring di ranjang IGD puskemas ini. Mungkin ini kebetulan, di hari yang sama aku dan istrinya menderita sakit dan harus berjumpa. Sebenarnya kami sudah tidak satu kampung, tapi karena posisi rumah sakit yang ada di ibukota kecamatan mengharuskan tiap pasien dari dusun dusun kecil berobat kemari. "Ya Tuhan, tolong pindahkan aku dari tempat ini, sebab jika kami bertemu, akan canggung rasanya," gumamku sambil melirik infus yang baru setengah botol masuk ke aliran darahku. "Mas ... sakit Mas, perutku sakit," rintih wanita itu yang terdengar olehku. Mantan suamiku tidak menyadari kalau yang berbaring di seberang ranjang sang istri adalah aku, mantan istrinya. "Iya, sebentar Sayang, dokter akan datang dan memeriksa," jawab Mas Fendi. Astaga, hatiku mendesis seperti tetesan air di kuali panas. Rasanya tak nyaman mendengar sebuah ucapan yang pernah dikatakan padaku harus terucapkan pada wanita lain, terlebih si pembicara adalah orang yang sama. Bukan cemburu, hanya, bagaimana ya ... aku tak nyaman mendengarmya. Kini, dari selimut yang sengaja kutarik untuk menutupi sebagian wajah agar dia tidak mengenaliku, aku bisa melihat apa saja yang mereka lakukan selagi menunggu dokter datang. Mas Fendi sesekali memijiti, mengusap kening dan rambut lalu menggenggam tangan. Semua perlakuan itu pernah ia lakukan padaku, semasa kami masih bersama. Bahkan aku kembali teringat pada masa masa ketika pertama kali memiliki anak. Sungguh besar perhatian dan kasih sayang Mas Fendi padaku, sampai sampai aku merasa tersanjung bagai seorang ratu. "Mas, ambilkan air," ucapnya manja. "Bentar ya, sayang, aku belikan ke depan," jawab Mas Fendi sambil memakai kembali topi yang sempat ia lepas, lalu kemudian membalikkan badan. Di momen itu mata kami saling berpandangan, mungkin karena wajahku tertutup hingga hidung, dia tidak mengenalku. Seulas senyum tipis tergambar di bibirnya, senyum yang dulu selalu menghibur di kala susah dan sedih mendera. Ah, entah kenapa ada bulir bulir rindu yang melecut di hatiku, padahal aku tahu itu tak pantas. Astagfirullah. Kontan, menatap matanya, aku merasa haus dan ingin minum. Parahnya, aku lupa bawa air. Tadi pagi ke pasar, tidak membawa bekal, langsung membuka lapak lalu berjualan seperti biasa, tak sengaja atau mungkin lupa, tiba tiba perutku sakit hingga secepat mungkin kutinggalkan peti lapak dan melarikan diri ke rumah sakit. Kutitipkan barang pada tetangga lapak yang cukup baik padaku dan bisa percaya padanya, lalu dengan menahan sakit di atas becak aku ke rumah sakit. Kata dokter aku terlalu lelah dan banyak pikiran, tensiku menurun dan keadaanku lemah, aku harus diinfus dan berbaring di IGD. Katanya, mereka akan memindahkanku, tapi sampai sekarang belum pindah juga. Ah, aku mulai gelisah, ditambah rasa haus yang mendera bagai duri menyobek tenggorokan, aku tersiksa sekali rasanya. Dua menit kemudian, Mas Fendi kembali. Perkiraanku meleset, kupikir tadinya perawat akan datang dan aku akan minta bantuan segelas air tapi ternyata tidak ada perawat yang masuk dan Mas Fendi kini kembali mendekati istrinya. "Ya Tuhan aku harus bagaimana." Ingin menghubungi anak-anak tapi mereka sekolah di luar kota. Katanya Mereka ingin sekolah di SMA yang lebih baik agar mudah diterima di universitas nanti, jadi aku dengan segala usaha berusaha untuk mengikuti kemauan anakku, selama masih positif. Tidak lama kemudian dokter datang dan memeriksa keadaan istrinya mantan suamiku. Wanita itu terlihat ditensi dan diraba di bagian perutnya, sewaktu dokter memeriksa, wanita itu meraung dan Mas Fendi sontak memeluk istrinya. "Auh ... sakit!" "Tenang Ma," balas Mas Fendi Dengan mesra, bahkan panggilan yang dia ucapkan kepada istri barunya sama seperti panggilannya kepadaku dulu. Hatiku kembali tak nyaman menyaksikan pemandangan itu. Sudah kucoba untuk bersikap biasa saja tapi tetap saja tanganku mulai berkeringat dingin dan perasaanku gugup. Entah rasa cemburu, salah tingkah atau apa namanya, aku tidak mengerti, Karena sudah merasa sangat haus aku terpaksa memanggil seorang perawat yang kebetulan berdiri di dekat dokter untuk mendekat. Dia membawa sebuah baki yang terbuat dari aluminium lalu meletakkannya di dekat dokter. "Permisi Mas," ucapku. "Iya, Bu? Ada apa?" "Boleh saya minta air?" Perawat itu terlihat bingung dan mengedarkan pandangannya, lalu dia menggeleng padaku sambil berkata, "Maaf Ibu, maaf sekali, stok air di galon hari ini habis, jadi kalau ibu ada anggota keluarga boleh dihubungi agar bisa membawakan air." "Astaga, saya haus sekali," balasku. "Kalau begitu minum saja air ini, saya punya dua botol," ujar Mas Fendi yang tiba-tiba mendekat dan membawakan sebotol air mineral. Saat dia memandangku dan sadar mengenaliku, di momen itulah pandangan mata kami bertemu dan kami sama-sama terhenyak dengan keterkejutan masing-masing. Aku sendiri berdebar dengan degupan jantung yang sangat kencang, bahkan hendak menarik nafas atau menelan ludah saja tidak sanggup lagi. Bagaimana tidak, orang yang dulu begitu aku cintai kini berdiri dekat padaku, dia memandangku dengan tatapan mata penuh makna, seolah aku menangkap sebuah kerinduan yang ditujukan untukku. Tapi, tentu saja aku hanya berhalusinasi. Tidak mungkin dia masih merindukanku, dia sudah bahagia dengan istrinya yang baru, yang konon katanya adalah janda kaya yang punya banyak warisan. Sayangnya mereka tidak punya anak. Lepas 2 tahun bercerai denganku pria itu menikah dengan Santi yulisa, mantan istri juragan tanah yang punya banyak sawah dan kebun. Sementara aku sendiri hidup bertiga dengan anakku hanya fokus berdagang dan menabung untuk masa depan mereka. Jika bertanya tentang sebab perceraian itu panjang ceritanya, namun yang jelas itu bukan karena orang ketiga. Hanya takdir dan keadaan terpaksa yang membuat kami berpisah. "Ini airnya ...."aku masih tertegun ketika Mas Fendi mengatakan kalimat itu. Dia mengibaskan tangannya ke mataku sementara aku langsung tersadar dan malu. "Ti-tidak usah," jawabku gugup. "Minumlah tidak apa apa." "Tidak usah," balasku lirih. "Ambil saja Ibu mumpung ada yang mau membantu," ucap perawat yang akhirnya memperkeruh suasana karena tiba-tiba istri dari Mas Fendi langsung mendongak dan melihat ke arah kami. Menyadari bahwa aku dan suaminya saling berpandangan wanita itu langsung memanggil dengan lengkingan yang keras. "Mas, dampingi aku Mas, jangan kemana mana!" Astaga, tingkahnya seperti wanita yang mau melahirkan saja. Entah dia sangat cemburu atau sengaja pamer akan hubungan mesranya, Aku tidak mengerti. "Kak perawat, bisa bantu saya untuk pindah ke ruangan lain?" "Untuk sementara karena keterbatasan kamar ibu kami observasi dulu di ruang ini, ketika keadaan ibu sudah membaik maka kami akan pindahkan ke ruang rawat inap." Ya Allah aku putus asa, aku terbaring di sini dalam keadaan masih lemah dan kini harus menyaksikan pemandangan yang benar-benar membuatku tak nyaman. Kini Mas Pendi juga bersikap aneh, dia memeluk istrinya tapi tatapan matanya padaku. Mungkin karena kami sudah lama berhubungan seperti ada ikatan batin atau sesuatu yang bisa ditebak dari pemikiran masing-masing. Arti dari tatapan Mas Pendi adalah sebuah pertanyaan dan kepedulian mengapa aku sampai sakit seperti ini, kira kira begitu, namun istrinya yang kemudian menyadari bahwa suaminya terus menatap pada mantan istrinya mulai marah dan mencubit lengan Mas Fendi. "Mas, peluk aku, jangan lihat ke sana," ujarnya sambil menarik dagu suaminya agar memandang ke wajahnya saja. Astaga, Aku makin tidak nyaman saja.Kuputuskan untuk tidak memandang pada Mas Fendi daripada membuat kesalahpahaman pada istrinya, kupilih memiringkan badan selalu menutup wajah dengan selimut. Masih bisa kudengar wanita itu terus menggumam manja, minta dibelai, dipijiti, diambilkan minum dan dipeluk.Masya Allah, sungguh manja wanita itu."Apapun yang terjadi, aku tidak perlu merasa kecil hati atau iri," gumamku dalam hati, "hubungan kami sudah berakhir, jadi akan kuanggap Mas Fendi sebagai batu dan batang kayu saja."Pertolongan itu akhirnya datang, seorang perawat dan rekannya menyapaku dan mengajakku pindah kamar. Sungguh lega perasaan ini bisa meninggalkan UGD dan pemandangan menyakitkan mata itu."Ayo, Bu, kita pindah.""Iya, terima kasih," jawabku.Kurapikan posisi, juga rambutku yang terurai panjang, brankar didorong, ketika melewati Mas Fendi pria itu nampak melihatku lagi, menatapku dengan pandangan sedih, aku tertegun namun aku hanya bisa diam saja."Ibu, kalau butuh sesuatu, panggil saja ya," ucap Perawat ka
Ah, ada ada saja, bisa bisanya ... Sempatnya dia datang untuk mengucapkan itu. Meski tidak terlihat bercanda, tetap saja, aku kurang suka. Hatiku memang sepi, tidak munafik, semenjak dia meninggalkanku, aku menutup hati untuk cinta yang lain. Aku trauma dengan luka dan tak bisa memberikan cinta atau kepercayaan yang sama untuk pria lain.Hatiku terkunci untuk satu nama dan itu sudah tidak bisa diganggu lagi. Sayangnya, nama yang terpatri di hati sudah pergi dan jadi milik orang lain."Kurasa ini hanya perasaan sesaat, perceraian sudah tujuh tahun berlalu, dan rasa itu tak mungkin tumbuh subur lagi," gumamku sambil mengatur napas dan memutuskan untuk tidur lagi.Namun, baru ingin tidur lagi, tiba tiba terdengar suara ranjang dorong rumah sakit mendekat ke ruangan tempatku. Aku mulai merasa feelingku tak nyaman, jangan jangan ... ah, jangan sampai kami sekamar lagi dengan wanita rese' yang hobi pamer itu. Aku tidak mau pikiranku tak nyaman lagi.Tapi, berdoa seperti itu nampaknya tidak
"Permisi, apa kau bicara itu tentang aku, Yuna dan Yudi?" tanyaku pada Ibu mertua."Eh, Fa-fatimah, kau di sini?" "Iya, aku di sini, aku mendengar semua ucapan ibu!" Jawabku sambil menahan rahangku yang bergeletuk. "Oh ya, ibu bilang apa tentang anakku, anak wanita haram jadah?!""Eh, kau hanya salah dengar saja, Dik," ujar Kak Iksan, kakak iparku yang kebetulan datang dengan istrinya."Apa ... Kau sengaja sakit untuk bertemu dengan Fendi?""Apa? Seniat itu untuk bertemu anakmu? Maaf, dia tidak sepenting itu!" jawabku sengit. " Dan ya, kamu bilang apa Bu, kamu bilang anakku tak balas Budi dan tidak pernah berterima kasih atas pemberianmu setiap bulannya. Kalau boleh tahu sejak kapan Ibu memberikan kami uang, berapa uangnya dan mana bukti pemberiannya? Setahuku kami tidak pernah mendapatkan sepeserpun darimu Ibu!" Aku menjawab sembari mempermalukan dia di depan menantunya. Beraninya dia mengucapkan kalimat itu seperti itu padahal dulunya Aku adalah menantu yang digadang-gadang palin
Tiba-tiba kantung kemihku terasa pening karena ingin segera dikosongkan sementara kepala juga pusing dan pandanganku rasanya berputar-putar ketika aku hendak bangun dan duduk beberapa saat."Ya Tuhan, kalau begini aku tidak akan bisa ke kamar mandi." Aku menggumam dengan air mata yang ingin menetes dari pelupuknya.Ah, waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, nyamuk nyamuk beterbangan dan mengganggu sekali. Pintu terbuka hingga kabut dan cuaca dingin yang meluncur turun dari pegunungan terasa menusuk tulang. Aku Ingin menutup pintu tapi tidak berdaya sekali.Sepertinya aku harus ke kamar mandi karena kalau aku menahannya sebentar lagi maka aku akan mengompol di tempat tidur. Namun baru saja berusaha untuk bangun tiba-tiba ponselku berdering dan itu adalah nama anakku yang tertera di sana."Halo assalamualaikum, Yuna.""Walaikum salam Ibu.""Apa kabar sayang, bagaimana sekolahnya?""Lancar, tadi baru saja ujian tengah semester," jawabnya."Ah, bagus, ibu senang sekali," jawa
"Mas!" kudengar Santi yulisa terbangun. Dia duduk dan melotot melihat posisi suaminya yang berdiri sambil buru buru menyeka air mata di depanku."Mas, kamu ngapain, kenapa ada di sini!" wanita itu masih berteriak meski dalam keadaan lemah."Aku membawanya masuk karena di luar dingin, juga kasihan, yulisa.""Heh, kamu ga sadar sudah masuk dalam perangkapnya Mas? Wanita itu sengaja keluar dan mengorbankan diri agar kau jatuh Iba dan kembali menyayanginya. Dia wanita yang licik!""Sudahlah Santi istriku, kalau kau di posisi dia, sanggupkah kau bertahan di cuaca 18 derajat dan angin yang kencang, ditambah kau sedang sakit? Tolonglah, Kau boleh jadi tidak menyukainya tapi janganlah bersikap kejam. Toh, sekarang, aku suamimu, dan pikiranku tak akan tertuju kepada selain kamu dan keluarga kecil kita.""Lalu apa yang kau lakukan di depannya?""Hanya memberinya air.""Apa dia tak bisa minum sendiri?""Dia hanya sulit menjangkau. Aku hanya melihat bantuan padanya sebagai sisi kemanusiaanku, buk
"Yuna, Yudi?""Iya, ini kami apakah ayah tidak mengenal kami?" Tanya Yudi dengan wajah heran."Ah, sudah lama kita tidak berjumpa..." Mas Fendi tertawa canggung sekaligus salah tingkah di depan anaknya."Sekampung, hanya beda dusun satu kilometer, tapi tidak berjumpa sama sekali, itu lucu ya Ayah," ucap Yudi."Bukannya ayah tidak mau ketemu kalian, hanya saja....""Ayah tak sempat, Ayah ragu kami akan menolak, Ayah takut pada Ibu, ataukah istri ayah melarang?""Tidak begitu Nak...""Jangan coba membela diri ayah, kami tahu apa yang sebenarnya ayah pikirkan. Sekarang kita berjumpa ... Apakah ayah merasa canggung?""Tidak juga.""Iya, jangan menyangkal. Lucu ya, ada manusia yang canggung pada anaknya...." Sindir anakku pada ayahnya. Kugenggam tangan Yudi untuk mencegah anakku bersikap di luar kendali. Sementara itu, aku dan istri Mas Fendi saling bersitatap dengan pandangan permusuhan yang pekat."Lihat kurang ajar sekali anak anak itu di bawah asuhan istrimu," ucap Wanita itu sambil t
Keesokan hari, kondisiku membaik, ajaibnya sejak kedatangan anak anak, aku jadi membaik dan bersemangat. Sakit yang kemarin melilit lilit perut seakan lenyap begitu saja tanpa sisa. Dokter saja sampai tidak percaya mendapati kondisiku yang kini baik baik saja. "Kalau begitu ibu pulang saja," ucap dokter."Benarkah dok, wah terima kasih," ucapku berbinar."Syukurlah, jadi, ibu kami tak akan makan hati," ujar Yuna sambil melirik ayah mereka yang sibuk menyisir rambut sang istri. Ah, semanja itu wanita berambut panjang dan cerewet itu pada suaminya yang sekarang."Baiklah, sebentar lagi petugas akan datang mencabut selang infus, adik adik tolong tanda tangani surat kepulangan pasien ya, ikut saya.""Iya, dok, siap."Kedua anakku mengikuti dokter sementara tinggallah aku sendiri di sini, memandang mantan suami dari balik tirai yang tersibak. Dulu, dia juga menyisir rambutku, dia membelai dan memeluk sebelum kami berangkat tidur, dia menyisir rambut dengan hati hati sambil menciumi aro
Sudah seminggu yang lalu, sejak keluar dari rumah sakit, kini aku merasa sudah sehat dan siap untuk bekerja lagi. Anak-anak juga sudah kembali ke kota untuk melanjutkan pendidikan mereka. Tak lupa aku berikan sedikit uang untuk bekal mereka dan menitipkan pesan agar mereka tetap hidup dengan prihatin dan rajin ibadah.Pagi ini, setelah selesai sarapan dan membersihkan rumah, menyirami tumbuhan dan tanaman mawar milikku, kubersihkan diri lalu mengenakan pakaian yang pantas kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke pasar. Sudah seminggu lapak sembako tidak dibuka jadi aku rindu suasana pasar dan rindu pembeli yang suka menawar sampai ke titik akhir. Heheheh.Ketika kukunci rumah, tetanggaku Mbak Elsa menyapa."Sudah sehat dan siap ke pasar Mbak?""Sudah. Alhamdulillah.""Wah, mbak cerah sekali.""Harus semangat untuk anak," jawabku dengan lantang dan tawa renyah."Alhamdulillah.""Yuk semangat lagi kita," ucapku pada wanita yang berprofesi sebagai guru itu.Ku keluarkan motor dari garas