Ah, ada ada saja, bisa bisanya ... Sempatnya dia datang untuk mengucapkan itu. Meski tidak terlihat bercanda, tetap saja, aku kurang suka. Hatiku memang sepi, tidak munafik, semenjak dia meninggalkanku, aku menutup hati untuk cinta yang lain. Aku trauma dengan luka dan tak bisa memberikan cinta atau kepercayaan yang sama untuk pria lain.
Hatiku terkunci untuk satu nama dan itu sudah tidak bisa diganggu lagi. Sayangnya, nama yang terpatri di hati sudah pergi dan jadi milik orang lain. "Kurasa ini hanya perasaan sesaat, perceraian sudah tujuh tahun berlalu, dan rasa itu tak mungkin tumbuh subur lagi," gumamku sambil mengatur napas dan memutuskan untuk tidur lagi. Namun, baru ingin tidur lagi, tiba tiba terdengar suara ranjang dorong rumah sakit mendekat ke ruangan tempatku. Aku mulai merasa feelingku tak nyaman, jangan jangan ... ah, jangan sampai kami sekamar lagi dengan wanita rese' yang hobi pamer itu. Aku tidak mau pikiranku tak nyaman lagi. Tapi, berdoa seperti itu nampaknya tidak berguna, karena kini perawat benar benar meletakkan ranjang istri Mas Fendi di sebelah kiri ranjangku.. "Ah, celaka." Parahnya, gorden yang harusnya menggantung di reel bagian atas tempat tidur terpasang, tapi entah kenapa tidak ada. "Ada gorden tidak, Mbak?" Tanyaku pada perawat yang mengantar wanita itu ke kamarku. "Lagi dicuci dan perawatan Bu, maaf ya Bu, atas ketidak-nyamanan ini," balas perawat itu dengan ramah. "Iya, tidak apa apa," jawabku lemah. Tubuhku benar benar lemas karena harus berdampingan dengan pasangan itu, malas rasanya. Terlebih kini, Mas Fendi menatapku dengan sesungging senyum tipis penuh makna. Rasanya ia seperti menang banyak hari ini. "Mas, kok kita di sini bareng dia sih, kenapa gak kamar lain saja?" tanya wanita yang memakai emas hampir di semua jemarinya itu. Dia memandang sambil memicing dan melecehkanku seolah kehadiranku bagai nyamuk pengganggu kenyamanan mereka. Wanita itu nampaknya tidak ingat kami sedang berada di fasilitas umum. "Kau pikir aku bangga satu ruangan dengan kalian!" Tiba-tiba aku menyela dan tidak bisa menahan emosi. Kupandang wanita itu dengan tegas, gumulan emosi dalam jiwaku tiba tiba berontak mengingat aku tahu persis bahwa dia sangat mengincar suamiku saat masih bersamaku. Entah dengan cara apa mereka bisa bersama, padahal dulunya, Mas Fendi juga hanya mencintaiku dan katanya tak bisa pindah ke lain hati. Paksaan keluarga membuat kami berpisah, ada drama besar yang menghancurkan pernikahan kami yang rasanya tidak mau kubahas-bahas lagi. Menceritakannya sama seperti membuka luka lama dan mengurai kembali setiap detail sayatan luka-luka di hatiku. Pandangan mata kami masih beradu, wanita itu mendelik sementara Mas Fendi segera menengahi. "Ah, sudah, maaf. Sepertinya tidak ada kamar lain, jadi kuharap kita saling akur dan saling sabar saja," ucap Mas Fendi. "Oh, tentu, aku mendukung itu, karenanya, aku mohon, jangan ada salah paham di antara kita." Uffh ... belum apa apa sudah ada konflik. * Sejam kemudian, terdengar suara ramai dari luar, nampaknya suara-suara yang datang adalah suara yang familiar. Ya, tidak lain dan tidak bukan itu adalah suara mantan mertua dan ipar-iparku mereka sepertinya datang menjenguk ipar mereka yang sedang sakit dan terbaring satu kamar denganku. Kabar buruknya, tentu saja, kecanggungan ini akan semakin bertambah. Sebelum mereka menyadari kehadiranku, sebaiknya aku tutupi wajah dengan selimut lalu pura-pura tidur dan mengabaikan mereka. Kurasa keluarga itu tidak akan berkumpul lebih dari satu jam, jadi mereka akan pergi. "Assalamualaikum." Suara khas nenek dari anak-anakku menyapa, dia mendekati dan kini jaraknya hanya kurang dari dua meter denganku. "Walaikum salam," jawab Mas Fendi. "Bagaimana keadaan yulisa, kenapa ia bisa sakit, apakah dia sedang ada isi?" tanya ibu mertua yang kembali menyentil perasaanku. Apa? Hamil, wah, selamat! "Tidak tahu, Bu. Aku sih berharap aku Hamil agar aku dan Mas Fendi punya buah hati dan pengobat rindu kami terhadap kesepian rumah." Janda yang konon katanya tidak punya anak dengan suami sebelumnya sepertinya sedang berhalu ria mengandung bayi. Kalau dari awal saja tidak hamil, ada kemungkinan dia memang mandul. Tapi entahlah, aku tidak perduli dengan detailnya. "Bagaimana Fendi, Apakah istrimu nggak merasakan gejala itu? Kenapa kau payah sekali usahamu," goda kakak tertua Mas Fendi yang terdengar turut datang. "Entahlah, mungkin, aku hanya boleh ditakdirkan punya dua anak," jawab Mas Fendi. "Tapi kan itu anakmu dengan wanita haram jadah itu, kami akan lebih senang dan menyayangi jika kau punya anak dengan yulisa," balas Ibu mertua. Astaga, hatiku langsung membara mendengar Mantan ibu mertua menyebutku dengan kata kata yang begitu vulgar dan menyakitkan. Bukan itu saja, dia sudah menyentil harga diri anak anakku dengan menyebut ibu mereka seperti pelacur. Astagfirullah. Aku kini dilema, haruskah aku membuka selimut dan berteriak kepada mereka semua, atau mestikah aku sabar sampai akhir? "Ibu jangan bilang begitu tentang Yudi dan Yuna, mereka anakku, tidak enak Bu." Mas Fendi menyela ibunya dengan lembut, mungkin karena dia menyadari ada aku di balik selimut "Halah, kedua bocah itu tidak tahu diuntung, meski sudah kusangu tiap bulan dengan uang saku mereka tidak pernah mengunjungi atau berterima kasih. Mereka sama seperti ibunya kaku dan hanya mengejar harta!" Allahu Rabbi! "Andai Dia tidak hamil duluan aku tidak akan pernah menikahkan Fendi dengannya, wanita udik dan murahan itu!" Arrgggg ... Aku langsung membuka selimut dan terbangun dari posisiku lalu melototi mereka semua dengan kemarahan!"Permisi, apa kau bicara itu tentang aku, Yuna dan Yudi?" tanyaku pada Ibu mertua."Eh, Fa-fatimah, kau di sini?" "Iya, aku di sini, aku mendengar semua ucapan ibu!" Jawabku sambil menahan rahangku yang bergeletuk. "Oh ya, ibu bilang apa tentang anakku, anak wanita haram jadah?!""Eh, kau hanya salah dengar saja, Dik," ujar Kak Iksan, kakak iparku yang kebetulan datang dengan istrinya."Apa ... Kau sengaja sakit untuk bertemu dengan Fendi?""Apa? Seniat itu untuk bertemu anakmu? Maaf, dia tidak sepenting itu!" jawabku sengit. " Dan ya, kamu bilang apa Bu, kamu bilang anakku tak balas Budi dan tidak pernah berterima kasih atas pemberianmu setiap bulannya. Kalau boleh tahu sejak kapan Ibu memberikan kami uang, berapa uangnya dan mana bukti pemberiannya? Setahuku kami tidak pernah mendapatkan sepeserpun darimu Ibu!" Aku menjawab sembari mempermalukan dia di depan menantunya. Beraninya dia mengucapkan kalimat itu seperti itu padahal dulunya Aku adalah menantu yang digadang-gadang palin
Tiba-tiba kantung kemihku terasa pening karena ingin segera dikosongkan sementara kepala juga pusing dan pandanganku rasanya berputar-putar ketika aku hendak bangun dan duduk beberapa saat."Ya Tuhan, kalau begini aku tidak akan bisa ke kamar mandi." Aku menggumam dengan air mata yang ingin menetes dari pelupuknya.Ah, waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, nyamuk nyamuk beterbangan dan mengganggu sekali. Pintu terbuka hingga kabut dan cuaca dingin yang meluncur turun dari pegunungan terasa menusuk tulang. Aku Ingin menutup pintu tapi tidak berdaya sekali.Sepertinya aku harus ke kamar mandi karena kalau aku menahannya sebentar lagi maka aku akan mengompol di tempat tidur. Namun baru saja berusaha untuk bangun tiba-tiba ponselku berdering dan itu adalah nama anakku yang tertera di sana."Halo assalamualaikum, Yuna.""Walaikum salam Ibu.""Apa kabar sayang, bagaimana sekolahnya?""Lancar, tadi baru saja ujian tengah semester," jawabnya."Ah, bagus, ibu senang sekali," jawa
"Mas!" kudengar Santi yulisa terbangun. Dia duduk dan melotot melihat posisi suaminya yang berdiri sambil buru buru menyeka air mata di depanku."Mas, kamu ngapain, kenapa ada di sini!" wanita itu masih berteriak meski dalam keadaan lemah."Aku membawanya masuk karena di luar dingin, juga kasihan, yulisa.""Heh, kamu ga sadar sudah masuk dalam perangkapnya Mas? Wanita itu sengaja keluar dan mengorbankan diri agar kau jatuh Iba dan kembali menyayanginya. Dia wanita yang licik!""Sudahlah Santi istriku, kalau kau di posisi dia, sanggupkah kau bertahan di cuaca 18 derajat dan angin yang kencang, ditambah kau sedang sakit? Tolonglah, Kau boleh jadi tidak menyukainya tapi janganlah bersikap kejam. Toh, sekarang, aku suamimu, dan pikiranku tak akan tertuju kepada selain kamu dan keluarga kecil kita.""Lalu apa yang kau lakukan di depannya?""Hanya memberinya air.""Apa dia tak bisa minum sendiri?""Dia hanya sulit menjangkau. Aku hanya melihat bantuan padanya sebagai sisi kemanusiaanku, buk
"Yuna, Yudi?""Iya, ini kami apakah ayah tidak mengenal kami?" Tanya Yudi dengan wajah heran."Ah, sudah lama kita tidak berjumpa..." Mas Fendi tertawa canggung sekaligus salah tingkah di depan anaknya."Sekampung, hanya beda dusun satu kilometer, tapi tidak berjumpa sama sekali, itu lucu ya Ayah," ucap Yudi."Bukannya ayah tidak mau ketemu kalian, hanya saja....""Ayah tak sempat, Ayah ragu kami akan menolak, Ayah takut pada Ibu, ataukah istri ayah melarang?""Tidak begitu Nak...""Jangan coba membela diri ayah, kami tahu apa yang sebenarnya ayah pikirkan. Sekarang kita berjumpa ... Apakah ayah merasa canggung?""Tidak juga.""Iya, jangan menyangkal. Lucu ya, ada manusia yang canggung pada anaknya...." Sindir anakku pada ayahnya. Kugenggam tangan Yudi untuk mencegah anakku bersikap di luar kendali. Sementara itu, aku dan istri Mas Fendi saling bersitatap dengan pandangan permusuhan yang pekat."Lihat kurang ajar sekali anak anak itu di bawah asuhan istrimu," ucap Wanita itu sambil t
Keesokan hari, kondisiku membaik, ajaibnya sejak kedatangan anak anak, aku jadi membaik dan bersemangat. Sakit yang kemarin melilit lilit perut seakan lenyap begitu saja tanpa sisa. Dokter saja sampai tidak percaya mendapati kondisiku yang kini baik baik saja. "Kalau begitu ibu pulang saja," ucap dokter."Benarkah dok, wah terima kasih," ucapku berbinar."Syukurlah, jadi, ibu kami tak akan makan hati," ujar Yuna sambil melirik ayah mereka yang sibuk menyisir rambut sang istri. Ah, semanja itu wanita berambut panjang dan cerewet itu pada suaminya yang sekarang."Baiklah, sebentar lagi petugas akan datang mencabut selang infus, adik adik tolong tanda tangani surat kepulangan pasien ya, ikut saya.""Iya, dok, siap."Kedua anakku mengikuti dokter sementara tinggallah aku sendiri di sini, memandang mantan suami dari balik tirai yang tersibak. Dulu, dia juga menyisir rambutku, dia membelai dan memeluk sebelum kami berangkat tidur, dia menyisir rambut dengan hati hati sambil menciumi aro
Sudah seminggu yang lalu, sejak keluar dari rumah sakit, kini aku merasa sudah sehat dan siap untuk bekerja lagi. Anak-anak juga sudah kembali ke kota untuk melanjutkan pendidikan mereka. Tak lupa aku berikan sedikit uang untuk bekal mereka dan menitipkan pesan agar mereka tetap hidup dengan prihatin dan rajin ibadah.Pagi ini, setelah selesai sarapan dan membersihkan rumah, menyirami tumbuhan dan tanaman mawar milikku, kubersihkan diri lalu mengenakan pakaian yang pantas kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke pasar. Sudah seminggu lapak sembako tidak dibuka jadi aku rindu suasana pasar dan rindu pembeli yang suka menawar sampai ke titik akhir. Heheheh.Ketika kukunci rumah, tetanggaku Mbak Elsa menyapa."Sudah sehat dan siap ke pasar Mbak?""Sudah. Alhamdulillah.""Wah, mbak cerah sekali.""Harus semangat untuk anak," jawabku dengan lantang dan tawa renyah."Alhamdulillah.""Yuk semangat lagi kita," ucapku pada wanita yang berprofesi sebagai guru itu.Ku keluarkan motor dari garas
Sejam berlalu, sejam berlalu setelah kejadian tak mengenakkan tadi. Aku dan Mbak Rimbi masih berbincang, sesekali si mba merutuk akan kelemahan mantan suamiku yang sama sekali tak bisa menasehati istrinya. Dia lemah dan tak berkutik saat wanita itu berbuat semaunya. Seharusnya, sebagai laki laki ia tunjukkan wibawa dan prinsip, ia harus berani dan tegas mengatakan sesuatu dan mencegah yang salah. Sayangnya ... Ah, aku hanya bisa menggeleng pelan mengingat sulitnya keadaan dia meghadapi wanita seperti ini."Kok kamu dulu bisa cerai ya?""Hmm, begitulah, keadaan dan kekurangan memaksa kami berpisah. Keluarganya meminta suamiku merantau lalu dalam beberapa bulan semuanya berubah, aku dipaksa untuk bercerai dan diusir dari rumah bersama kedua putraku. Aku difitnah berselingkuh hingga Mas Fendi salah paham dan murka. Kami berpisah seperti itu ....""Tapi, kenapa kamu tidak menjelaskan kepada Fendi?""Keluarganya mencegah pertemuan kami lagi pula kesalahpahaman yang terjadi membuat Mas Fen
"karena kau sudah selesai bicara maka aku anggap pembicaraan kita sudah selesai, Kau boleh pergi karena aku harus melanjutkan pekerjaanku."Aku mengusirnya secara halus dan berusaha untuk menghindarinya agar perasaan ini tidak terbawa suasana."Apakah kau mengusirku?""Mengingat bahwa statusku adalah jandamu, dan demi mencegah agar pertemuan kita tidak jadi bahan gosip yang tidak sedap maka kuharap kau menerima keputusanku dengan hati lapang. Aku akan menghargai jika kau tidak perlu menemuiku lagi tanpa istrimu, aku benar-benar tidak nyaman.""Tapi matamu mengatakan hal yang lain, netra itu masih menunjukkan kejujuran yang sama bahwa kau juga merindukanku.""Lalu ada apa kalau memang benar? Itu tidak akan mengubah apapun Mas, kau sudah jadi milik orang dan aku akan melanjutkan hidupku dengan baik.""Baiklah," jawabnya dengan seulas senyum getir. Pada akhirnya ia membalikkan badan dan beranjak tanpa mengatakan apapun lagi. Melihat kepergiannya, kehilangannya dan sisa batangnya dari ker