"Permisi, apa kau bicara itu tentang aku, Yuna dan Yudi?" tanyaku pada Ibu mertua.
"Eh, Fa-fatimah, kau di sini?" "Iya, aku di sini, aku mendengar semua ucapan ibu!" Jawabku sambil menahan rahangku yang bergeletuk. "Oh ya, ibu bilang apa tentang anakku, anak wanita haram jadah?!" "Eh, kau hanya salah dengar saja, Dik," ujar Kak Iksan, kakak iparku yang kebetulan datang dengan istrinya. "Apa ... Kau sengaja sakit untuk bertemu dengan Fendi?" "Apa? Seniat itu untuk bertemu anakmu? Maaf, dia tidak sepenting itu!" jawabku sengit. " Dan ya, kamu bilang apa Bu, kamu bilang anakku tak balas Budi dan tidak pernah berterima kasih atas pemberianmu setiap bulannya. Kalau boleh tahu sejak kapan Ibu memberikan kami uang, berapa uangnya dan mana bukti pemberiannya? Setahuku kami tidak pernah mendapatkan sepeserpun darimu Ibu!" Aku menjawab sembari mempermalukan dia di depan menantunya. Beraninya dia mengucapkan kalimat itu seperti itu padahal dulunya Aku adalah menantu yang digadang-gadang paling berbakti kepada dirinya. Kemanapun dia pergi dia selalu bercerita bahwa akulah yang paling nomor satu mengurusnya dalam keadaan sehat maupun sakit. Beraninya dia menjelekkan Aku di depan istri mantan suamiku, mentang-mentang aku tidak punya hubungan lagi dan dia benar-benar ingin cari muka di depan menantunya yang baru. "Eh, kurang ajar ya...." wanita itu melotot dan berkacak pinggang padaku. "Apakah ibu sangat murka sekarang, begitu pula perasaanku saat ini jika Ibu tersinggung maka aku juga tersinggung! Teganya ibu mengatakan aku hamil duluan padahal kelahiran Yudi terjadi sepuluh bulan setelah pernikahanku, artinya ada jeda waktu sebulan sebelum aku positif hamil," balasku sambil menahan air mata. " ..Teganya Ibu memfitnah aku padahal seburuk-buruknya aku, aku adalah mantan istri mas Fendi dan aku pernah ada di pelukan ibu dengan penuh kasih sayang. Beginikah tingkah ibu kepada yulisa Andai Dia suatu saat nanti bercerai dengan Fendi, Apakah ibu juga akan memfitnah dan menghinanya!" "Hei, Meraka tidak akan pernah cerai!" "Iya, Bu, tidak mungkin aku dan Mas Fendi bercerai beraninya wanita ini bicara seperti itu di hadapan ibu. Pantas saja, Mas Fendi meninggalkannya." Wanita janda yang wajahnya dipaksa secantik mungkin itu menghinaku bersamaa ibu mertua. "Tutup mulutmu, jangan sok cantik dan paling laku. Andai tidak atas desakan ibunya yang materialistis kami tidak akan pernah bercerai!" "Cukup sudah!" ujar Mas Fendi. "Cukup Bu, Kenapa suasananya jadi keruh dan panjang seperti ini? Kami hanya kebetulan bertemu, jadi jangan salahkan dia apalagi sampai saling menghina!" "Jadi, kau membela Ibunya Yuna dan Yudi?" tanya Yulisa emosi. "Bukan begitu, sungguh tidak etis perbuatan kalian menghina orang lain. Jadi, daripada ribut dan salah paham begini lebih baik kita pindah kamar saja." "Kemana kau akan mengajakku pindah, Bukankah petugas rumah sakit sudah mengatakan kalau tidak ada tempat lain di kamar ini selain ruang ibu bersalin dan kamar rawat anak-anak. Aku tidak akan pernah keluar, kalau ada yang pantas keluar itu adalah dirinya. Beraninya wanita itu melawan kami semua..." "Heh, Jangan karena merasa kaya dan sedang dibela oleh semua orang jadi kau merasa ada di atas angin, kalau aku mau aku bisa melempar mulut dan mencabik wajahmu!" ujarku sambil menunjuknya dengan ujung jemari. Mungkin karena mendengar keributan yang ada tiba-tiba dua orang perawat datang dan langsung melerai kami. Paham bahwa hubungan yang terjadi di antara kami rumit dan seorang perawat itu memang mengenal kami karena memang sekampung, maka ia langsung mendekat padaku dan berusaha menenangkan aku. "Tidak apa-apa pindahkan saja saya ke lorong Saya tidak mau ada di sini daripada saya tidak bisa istirahat!" ucapku sambil menahan air mata. "Tidak jangan pindah ke lorong. Di sana ramai, banyak nyamuk dan kotor, kami saja yang pergi," ucap Mas Fendi. "Tidak Mas aku tidak akan keluar hari ini aku baru masuk dan kesakitan," ujar Yulisa dengan penuh rasa egois. "Ayo pindahkan saya, tidak elok rasanya satu kamar dengan orang gila," ucapku tegas. "Baik, Bu." Mendengar perkataanku tadi ibunda masih pending langsung berteriak marah namun aku sudah tidak memperdulikannya, panjangku didorong keluar oleh dua orang perawat dengan gestur mereka yang benar-benar tidak habis pikir dengan keluarga Mas Fendi. "Jika saya nanti merasa sedikit sehat maka saya akan pulang," ucapku pada perawat yang sedang memperbaiki selang infus di dekatku. "Sebaiknya jangan Bu, kondisi Ibu sangat lemah sebaiknya saya akan panggilkan kerabat ibu untuk datang menemani. Seseorang harus berdiri di sini untuk membantu ibu ke kamar mandi, misalnya." "Tidak usah semua orang sedang sibuk panen di sawah dan ladang mereka. Saya juga tak mau merepotkan." "Astaga ibu kasihan sekali." Kini aku dan ranjangku diletakkan di ujung lorong masih dengan selang infus yang tertancap di tangan. Sebenarnya aku kesal dan merutuk dalam hati atas keadaan yang menimpaku sekarang namun aku tidak berdaya lebih baik begini daripada sekamar dengan Yulisa yang menjijikkan itu. * Orang-orang yang silih berganti keluar masuk melihatku dengan wajah penuh keprihatinan karena harus terpaksa berada di tempat seperti itu. "Kenapa berada di sini?"tanya seorang wanita. "Kamarnya penuh." "Tapi ke merawat pasien biasa cukup luas dan punya 6 ranjang." "Saya tidak nyaman berada di sana karena ada mantan suamiku dan istrinya." "Oh, Fendi ya... Astaga. Kalau begitu jaga dirimu, Fatimah." "Baiklah terima kasih."Tiba-tiba kantung kemihku terasa pening karena ingin segera dikosongkan sementara kepala juga pusing dan pandanganku rasanya berputar-putar ketika aku hendak bangun dan duduk beberapa saat."Ya Tuhan, kalau begini aku tidak akan bisa ke kamar mandi." Aku menggumam dengan air mata yang ingin menetes dari pelupuknya.Ah, waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, nyamuk nyamuk beterbangan dan mengganggu sekali. Pintu terbuka hingga kabut dan cuaca dingin yang meluncur turun dari pegunungan terasa menusuk tulang. Aku Ingin menutup pintu tapi tidak berdaya sekali.Sepertinya aku harus ke kamar mandi karena kalau aku menahannya sebentar lagi maka aku akan mengompol di tempat tidur. Namun baru saja berusaha untuk bangun tiba-tiba ponselku berdering dan itu adalah nama anakku yang tertera di sana."Halo assalamualaikum, Yuna.""Walaikum salam Ibu.""Apa kabar sayang, bagaimana sekolahnya?""Lancar, tadi baru saja ujian tengah semester," jawabnya."Ah, bagus, ibu senang sekali," jawa
"Mas!" kudengar Santi yulisa terbangun. Dia duduk dan melotot melihat posisi suaminya yang berdiri sambil buru buru menyeka air mata di depanku."Mas, kamu ngapain, kenapa ada di sini!" wanita itu masih berteriak meski dalam keadaan lemah."Aku membawanya masuk karena di luar dingin, juga kasihan, yulisa.""Heh, kamu ga sadar sudah masuk dalam perangkapnya Mas? Wanita itu sengaja keluar dan mengorbankan diri agar kau jatuh Iba dan kembali menyayanginya. Dia wanita yang licik!""Sudahlah Santi istriku, kalau kau di posisi dia, sanggupkah kau bertahan di cuaca 18 derajat dan angin yang kencang, ditambah kau sedang sakit? Tolonglah, Kau boleh jadi tidak menyukainya tapi janganlah bersikap kejam. Toh, sekarang, aku suamimu, dan pikiranku tak akan tertuju kepada selain kamu dan keluarga kecil kita.""Lalu apa yang kau lakukan di depannya?""Hanya memberinya air.""Apa dia tak bisa minum sendiri?""Dia hanya sulit menjangkau. Aku hanya melihat bantuan padanya sebagai sisi kemanusiaanku, buk
"Yuna, Yudi?""Iya, ini kami apakah ayah tidak mengenal kami?" Tanya Yudi dengan wajah heran."Ah, sudah lama kita tidak berjumpa..." Mas Fendi tertawa canggung sekaligus salah tingkah di depan anaknya."Sekampung, hanya beda dusun satu kilometer, tapi tidak berjumpa sama sekali, itu lucu ya Ayah," ucap Yudi."Bukannya ayah tidak mau ketemu kalian, hanya saja....""Ayah tak sempat, Ayah ragu kami akan menolak, Ayah takut pada Ibu, ataukah istri ayah melarang?""Tidak begitu Nak...""Jangan coba membela diri ayah, kami tahu apa yang sebenarnya ayah pikirkan. Sekarang kita berjumpa ... Apakah ayah merasa canggung?""Tidak juga.""Iya, jangan menyangkal. Lucu ya, ada manusia yang canggung pada anaknya...." Sindir anakku pada ayahnya. Kugenggam tangan Yudi untuk mencegah anakku bersikap di luar kendali. Sementara itu, aku dan istri Mas Fendi saling bersitatap dengan pandangan permusuhan yang pekat."Lihat kurang ajar sekali anak anak itu di bawah asuhan istrimu," ucap Wanita itu sambil t
Keesokan hari, kondisiku membaik, ajaibnya sejak kedatangan anak anak, aku jadi membaik dan bersemangat. Sakit yang kemarin melilit lilit perut seakan lenyap begitu saja tanpa sisa. Dokter saja sampai tidak percaya mendapati kondisiku yang kini baik baik saja. "Kalau begitu ibu pulang saja," ucap dokter."Benarkah dok, wah terima kasih," ucapku berbinar."Syukurlah, jadi, ibu kami tak akan makan hati," ujar Yuna sambil melirik ayah mereka yang sibuk menyisir rambut sang istri. Ah, semanja itu wanita berambut panjang dan cerewet itu pada suaminya yang sekarang."Baiklah, sebentar lagi petugas akan datang mencabut selang infus, adik adik tolong tanda tangani surat kepulangan pasien ya, ikut saya.""Iya, dok, siap."Kedua anakku mengikuti dokter sementara tinggallah aku sendiri di sini, memandang mantan suami dari balik tirai yang tersibak. Dulu, dia juga menyisir rambutku, dia membelai dan memeluk sebelum kami berangkat tidur, dia menyisir rambut dengan hati hati sambil menciumi aro
Sudah seminggu yang lalu, sejak keluar dari rumah sakit, kini aku merasa sudah sehat dan siap untuk bekerja lagi. Anak-anak juga sudah kembali ke kota untuk melanjutkan pendidikan mereka. Tak lupa aku berikan sedikit uang untuk bekal mereka dan menitipkan pesan agar mereka tetap hidup dengan prihatin dan rajin ibadah.Pagi ini, setelah selesai sarapan dan membersihkan rumah, menyirami tumbuhan dan tanaman mawar milikku, kubersihkan diri lalu mengenakan pakaian yang pantas kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke pasar. Sudah seminggu lapak sembako tidak dibuka jadi aku rindu suasana pasar dan rindu pembeli yang suka menawar sampai ke titik akhir. Heheheh.Ketika kukunci rumah, tetanggaku Mbak Elsa menyapa."Sudah sehat dan siap ke pasar Mbak?""Sudah. Alhamdulillah.""Wah, mbak cerah sekali.""Harus semangat untuk anak," jawabku dengan lantang dan tawa renyah."Alhamdulillah.""Yuk semangat lagi kita," ucapku pada wanita yang berprofesi sebagai guru itu.Ku keluarkan motor dari garas
Sejam berlalu, sejam berlalu setelah kejadian tak mengenakkan tadi. Aku dan Mbak Rimbi masih berbincang, sesekali si mba merutuk akan kelemahan mantan suamiku yang sama sekali tak bisa menasehati istrinya. Dia lemah dan tak berkutik saat wanita itu berbuat semaunya. Seharusnya, sebagai laki laki ia tunjukkan wibawa dan prinsip, ia harus berani dan tegas mengatakan sesuatu dan mencegah yang salah. Sayangnya ... Ah, aku hanya bisa menggeleng pelan mengingat sulitnya keadaan dia meghadapi wanita seperti ini."Kok kamu dulu bisa cerai ya?""Hmm, begitulah, keadaan dan kekurangan memaksa kami berpisah. Keluarganya meminta suamiku merantau lalu dalam beberapa bulan semuanya berubah, aku dipaksa untuk bercerai dan diusir dari rumah bersama kedua putraku. Aku difitnah berselingkuh hingga Mas Fendi salah paham dan murka. Kami berpisah seperti itu ....""Tapi, kenapa kamu tidak menjelaskan kepada Fendi?""Keluarganya mencegah pertemuan kami lagi pula kesalahpahaman yang terjadi membuat Mas Fen
"karena kau sudah selesai bicara maka aku anggap pembicaraan kita sudah selesai, Kau boleh pergi karena aku harus melanjutkan pekerjaanku."Aku mengusirnya secara halus dan berusaha untuk menghindarinya agar perasaan ini tidak terbawa suasana."Apakah kau mengusirku?""Mengingat bahwa statusku adalah jandamu, dan demi mencegah agar pertemuan kita tidak jadi bahan gosip yang tidak sedap maka kuharap kau menerima keputusanku dengan hati lapang. Aku akan menghargai jika kau tidak perlu menemuiku lagi tanpa istrimu, aku benar-benar tidak nyaman.""Tapi matamu mengatakan hal yang lain, netra itu masih menunjukkan kejujuran yang sama bahwa kau juga merindukanku.""Lalu ada apa kalau memang benar? Itu tidak akan mengubah apapun Mas, kau sudah jadi milik orang dan aku akan melanjutkan hidupku dengan baik.""Baiklah," jawabnya dengan seulas senyum getir. Pada akhirnya ia membalikkan badan dan beranjak tanpa mengatakan apapun lagi. Melihat kepergiannya, kehilangannya dan sisa batangnya dari ker
Usai bicara dengan putraku, kututup ponsel lalu bangun dari kursi, kututup rapat pintu lalu menuju ke kamarku. Kurebahkan diri di tempat tidur, peluk bantal guling dengan penuh perasaan sedih dan hampa. Tak tahu kenapa, aku merasa kesepian, jenuh dengan kesendirian dan lelah dengan kehidupan seperti ini. Sesekali rasa hampa itu datang meski aku tak pernah mengesampingkan rasa syukur bahwa aku sudah mandiri sejauh ini, sudah bisa merawat anak anak hingga mereka tumbuh dan mengerti. Seharusnya aku tak perlu merasa sekesepian itu.Kuraba pembaringan yang ada di sisiku, itu kosong, hanya ada bantal, selimut dan kehampaan. Timbul kerinduan pada orang yang pernah kucintai, tak tahu kenapa, meski tahun tahun sudah bergulir mengapa aku masih mencintainya. Mengapa aku tak coba mengalihkan perasaan kepada orang lain atau menutupnya sama sekali untuk tidak lagi menerima cinta, mengapa aku bisa merasakan kembali hasrat dan sel sel romantis yang tiba tiba terbangun dari tidur panjang. Sungguh,