"Permisi, apa kau bicara itu tentang aku, Yuna dan Yudi?" tanyaku pada Ibu mertua.
"Eh, Fa-fatimah, kau di sini?" "Iya, aku di sini, aku mendengar semua ucapan ibu!" Jawabku sambil menahan rahangku yang bergeletuk. "Oh ya, ibu bilang apa tentang anakku, anak wanita haram jadah?!" "Eh, kau hanya salah dengar saja, Dik," ujar Kak Iksan, kakak iparku yang kebetulan datang dengan istrinya. "Apa ... Kau sengaja sakit untuk bertemu dengan Fendi?" "Apa? Seniat itu untuk bertemu anakmu? Maaf, dia tidak sepenting itu!" jawabku sengit. " Dan ya, kamu bilang apa Bu, kamu bilang anakku tak balas Budi dan tidak pernah berterima kasih atas pemberianmu setiap bulannya. Kalau boleh tahu sejak kapan Ibu memberikan kami uang, berapa uangnya dan mana bukti pemberiannya? Setahuku kami tidak pernah mendapatkan sepeserpun darimu Ibu!" Aku menjawab sembari mempermalukan dia di depan menantunya. Beraninya dia mengucapkan kalimat itu seperti itu padahal dulunya Aku adalah menantu yang digadang-gadang paling berbakti kepada dirinya. Kemanapun dia pergi dia selalu bercerita bahwa akulah yang paling nomor satu mengurusnya dalam keadaan sehat maupun sakit. Beraninya dia menjelekkan Aku di depan istri mantan suamiku, mentang-mentang aku tidak punya hubungan lagi dan dia benar-benar ingin cari muka di depan menantunya yang baru. "Eh, kurang ajar ya...." wanita itu melotot dan berkacak pinggang padaku. "Apakah ibu sangat murka sekarang, begitu pula perasaanku saat ini jika Ibu tersinggung maka aku juga tersinggung! Teganya ibu mengatakan aku hamil duluan padahal kelahiran Yudi terjadi sepuluh bulan setelah pernikahanku, artinya ada jeda waktu sebulan sebelum aku positif hamil," balasku sambil menahan air mata. " ..Teganya Ibu memfitnah aku padahal seburuk-buruknya aku, aku adalah mantan istri mas Fendi dan aku pernah ada di pelukan ibu dengan penuh kasih sayang. Beginikah tingkah ibu kepada yulisa Andai Dia suatu saat nanti bercerai dengan Fendi, Apakah ibu juga akan memfitnah dan menghinanya!" "Hei, Meraka tidak akan pernah cerai!" "Iya, Bu, tidak mungkin aku dan Mas Fendi bercerai beraninya wanita ini bicara seperti itu di hadapan ibu. Pantas saja, Mas Fendi meninggalkannya." Wanita janda yang wajahnya dipaksa secantik mungkin itu menghinaku bersamaa ibu mertua. "Tutup mulutmu, jangan sok cantik dan paling laku. Andai tidak atas desakan ibunya yang materialistis kami tidak akan pernah bercerai!" "Cukup sudah!" ujar Mas Fendi. "Cukup Bu, Kenapa suasananya jadi keruh dan panjang seperti ini? Kami hanya kebetulan bertemu, jadi jangan salahkan dia apalagi sampai saling menghina!" "Jadi, kau membela Ibunya Yuna dan Yudi?" tanya Yulisa emosi. "Bukan begitu, sungguh tidak etis perbuatan kalian menghina orang lain. Jadi, daripada ribut dan salah paham begini lebih baik kita pindah kamar saja." "Kemana kau akan mengajakku pindah, Bukankah petugas rumah sakit sudah mengatakan kalau tidak ada tempat lain di kamar ini selain ruang ibu bersalin dan kamar rawat anak-anak. Aku tidak akan pernah keluar, kalau ada yang pantas keluar itu adalah dirinya. Beraninya wanita itu melawan kami semua..." "Heh, Jangan karena merasa kaya dan sedang dibela oleh semua orang jadi kau merasa ada di atas angin, kalau aku mau aku bisa melempar mulut dan mencabik wajahmu!" ujarku sambil menunjuknya dengan ujung jemari. Mungkin karena mendengar keributan yang ada tiba-tiba dua orang perawat datang dan langsung melerai kami. Paham bahwa hubungan yang terjadi di antara kami rumit dan seorang perawat itu memang mengenal kami karena memang sekampung, maka ia langsung mendekat padaku dan berusaha menenangkan aku. "Tidak apa-apa pindahkan saja saya ke lorong Saya tidak mau ada di sini daripada saya tidak bisa istirahat!" ucapku sambil menahan air mata. "Tidak jangan pindah ke lorong. Di sana ramai, banyak nyamuk dan kotor, kami saja yang pergi," ucap Mas Fendi. "Tidak Mas aku tidak akan keluar hari ini aku baru masuk dan kesakitan," ujar Yulisa dengan penuh rasa egois. "Ayo pindahkan saya, tidak elok rasanya satu kamar dengan orang gila," ucapku tegas. "Baik, Bu." Mendengar perkataanku tadi ibunda masih pending langsung berteriak marah namun aku sudah tidak memperdulikannya, panjangku didorong keluar oleh dua orang perawat dengan gestur mereka yang benar-benar tidak habis pikir dengan keluarga Mas Fendi. "Jika saya nanti merasa sedikit sehat maka saya akan pulang," ucapku pada perawat yang sedang memperbaiki selang infus di dekatku. "Sebaiknya jangan Bu, kondisi Ibu sangat lemah sebaiknya saya akan panggilkan kerabat ibu untuk datang menemani. Seseorang harus berdiri di sini untuk membantu ibu ke kamar mandi, misalnya." "Tidak usah semua orang sedang sibuk panen di sawah dan ladang mereka. Saya juga tak mau merepotkan." "Astaga ibu kasihan sekali." Kini aku dan ranjangku diletakkan di ujung lorong masih dengan selang infus yang tertancap di tangan. Sebenarnya aku kesal dan merutuk dalam hati atas keadaan yang menimpaku sekarang namun aku tidak berdaya lebih baik begini daripada sekamar dengan Yulisa yang menjijikkan itu. * Orang-orang yang silih berganti keluar masuk melihatku dengan wajah penuh keprihatinan karena harus terpaksa berada di tempat seperti itu. "Kenapa berada di sini?"tanya seorang wanita. "Kamarnya penuh." "Tapi ke merawat pasien biasa cukup luas dan punya 6 ranjang." "Saya tidak nyaman berada di sana karena ada mantan suamiku dan istrinya." "Oh, Fendi ya... Astaga. Kalau begitu jaga dirimu, Fatimah." "Baiklah terima kasih."Tiba-tiba kantung kemihku terasa pening karena ingin segera dikosongkan sementara kepala juga pusing dan pandanganku rasanya berputar-putar ketika aku hendak bangun dan duduk beberapa saat."Ya Tuhan, kalau begini aku tidak akan bisa ke kamar mandi." Aku menggumam dengan air mata yang ingin menetes dari pelupuknya.Ah, waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, nyamuk nyamuk beterbangan dan mengganggu sekali. Pintu terbuka hingga kabut dan cuaca dingin yang meluncur turun dari pegunungan terasa menusuk tulang. Aku Ingin menutup pintu tapi tidak berdaya sekali.Sepertinya aku harus ke kamar mandi karena kalau aku menahannya sebentar lagi maka aku akan mengompol di tempat tidur. Namun baru saja berusaha untuk bangun tiba-tiba ponselku berdering dan itu adalah nama anakku yang tertera di sana."Halo assalamualaikum, Yuna.""Walaikum salam Ibu.""Apa kabar sayang, bagaimana sekolahnya?""Lancar, tadi baru saja ujian tengah semester," jawabnya."Ah, bagus, ibu senang sekali," jawa
"Mas!" kudengar Santi yulisa terbangun. Dia duduk dan melotot melihat posisi suaminya yang berdiri sambil buru buru menyeka air mata di depanku."Mas, kamu ngapain, kenapa ada di sini!" wanita itu masih berteriak meski dalam keadaan lemah."Aku membawanya masuk karena di luar dingin, juga kasihan, yulisa.""Heh, kamu ga sadar sudah masuk dalam perangkapnya Mas? Wanita itu sengaja keluar dan mengorbankan diri agar kau jatuh Iba dan kembali menyayanginya. Dia wanita yang licik!""Sudahlah Santi istriku, kalau kau di posisi dia, sanggupkah kau bertahan di cuaca 18 derajat dan angin yang kencang, ditambah kau sedang sakit? Tolonglah, Kau boleh jadi tidak menyukainya tapi janganlah bersikap kejam. Toh, sekarang, aku suamimu, dan pikiranku tak akan tertuju kepada selain kamu dan keluarga kecil kita.""Lalu apa yang kau lakukan di depannya?""Hanya memberinya air.""Apa dia tak bisa minum sendiri?""Dia hanya sulit menjangkau. Aku hanya melihat bantuan padanya sebagai sisi kemanusiaanku, buk
"Yuna, Yudi?""Iya, ini kami apakah ayah tidak mengenal kami?" Tanya Yudi dengan wajah heran."Ah, sudah lama kita tidak berjumpa..." Mas Fendi tertawa canggung sekaligus salah tingkah di depan anaknya."Sekampung, hanya beda dusun satu kilometer, tapi tidak berjumpa sama sekali, itu lucu ya Ayah," ucap Yudi."Bukannya ayah tidak mau ketemu kalian, hanya saja....""Ayah tak sempat, Ayah ragu kami akan menolak, Ayah takut pada Ibu, ataukah istri ayah melarang?""Tidak begitu Nak...""Jangan coba membela diri ayah, kami tahu apa yang sebenarnya ayah pikirkan. Sekarang kita berjumpa ... Apakah ayah merasa canggung?""Tidak juga.""Iya, jangan menyangkal. Lucu ya, ada manusia yang canggung pada anaknya...." Sindir anakku pada ayahnya. Kugenggam tangan Yudi untuk mencegah anakku bersikap di luar kendali. Sementara itu, aku dan istri Mas Fendi saling bersitatap dengan pandangan permusuhan yang pekat."Lihat kurang ajar sekali anak anak itu di bawah asuhan istrimu," ucap Wanita itu sambil t
Keesokan hari, kondisiku membaik, ajaibnya sejak kedatangan anak anak, aku jadi membaik dan bersemangat. Sakit yang kemarin melilit lilit perut seakan lenyap begitu saja tanpa sisa. Dokter saja sampai tidak percaya mendapati kondisiku yang kini baik baik saja. "Kalau begitu ibu pulang saja," ucap dokter."Benarkah dok, wah terima kasih," ucapku berbinar."Syukurlah, jadi, ibu kami tak akan makan hati," ujar Yuna sambil melirik ayah mereka yang sibuk menyisir rambut sang istri. Ah, semanja itu wanita berambut panjang dan cerewet itu pada suaminya yang sekarang."Baiklah, sebentar lagi petugas akan datang mencabut selang infus, adik adik tolong tanda tangani surat kepulangan pasien ya, ikut saya.""Iya, dok, siap."Kedua anakku mengikuti dokter sementara tinggallah aku sendiri di sini, memandang mantan suami dari balik tirai yang tersibak. Dulu, dia juga menyisir rambutku, dia membelai dan memeluk sebelum kami berangkat tidur, dia menyisir rambut dengan hati hati sambil menciumi aro
Sudah seminggu yang lalu, sejak keluar dari rumah sakit, kini aku merasa sudah sehat dan siap untuk bekerja lagi. Anak-anak juga sudah kembali ke kota untuk melanjutkan pendidikan mereka. Tak lupa aku berikan sedikit uang untuk bekal mereka dan menitipkan pesan agar mereka tetap hidup dengan prihatin dan rajin ibadah.Pagi ini, setelah selesai sarapan dan membersihkan rumah, menyirami tumbuhan dan tanaman mawar milikku, kubersihkan diri lalu mengenakan pakaian yang pantas kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke pasar. Sudah seminggu lapak sembako tidak dibuka jadi aku rindu suasana pasar dan rindu pembeli yang suka menawar sampai ke titik akhir. Heheheh.Ketika kukunci rumah, tetanggaku Mbak Elsa menyapa."Sudah sehat dan siap ke pasar Mbak?""Sudah. Alhamdulillah.""Wah, mbak cerah sekali.""Harus semangat untuk anak," jawabku dengan lantang dan tawa renyah."Alhamdulillah.""Yuk semangat lagi kita," ucapku pada wanita yang berprofesi sebagai guru itu.Ku keluarkan motor dari garas
Sejam berlalu, sejam berlalu setelah kejadian tak mengenakkan tadi. Aku dan Mbak Rimbi masih berbincang, sesekali si mba merutuk akan kelemahan mantan suamiku yang sama sekali tak bisa menasehati istrinya. Dia lemah dan tak berkutik saat wanita itu berbuat semaunya. Seharusnya, sebagai laki laki ia tunjukkan wibawa dan prinsip, ia harus berani dan tegas mengatakan sesuatu dan mencegah yang salah. Sayangnya ... Ah, aku hanya bisa menggeleng pelan mengingat sulitnya keadaan dia meghadapi wanita seperti ini."Kok kamu dulu bisa cerai ya?""Hmm, begitulah, keadaan dan kekurangan memaksa kami berpisah. Keluarganya meminta suamiku merantau lalu dalam beberapa bulan semuanya berubah, aku dipaksa untuk bercerai dan diusir dari rumah bersama kedua putraku. Aku difitnah berselingkuh hingga Mas Fendi salah paham dan murka. Kami berpisah seperti itu ....""Tapi, kenapa kamu tidak menjelaskan kepada Fendi?""Keluarganya mencegah pertemuan kami lagi pula kesalahpahaman yang terjadi membuat Mas Fen
"karena kau sudah selesai bicara maka aku anggap pembicaraan kita sudah selesai, Kau boleh pergi karena aku harus melanjutkan pekerjaanku."Aku mengusirnya secara halus dan berusaha untuk menghindarinya agar perasaan ini tidak terbawa suasana."Apakah kau mengusirku?""Mengingat bahwa statusku adalah jandamu, dan demi mencegah agar pertemuan kita tidak jadi bahan gosip yang tidak sedap maka kuharap kau menerima keputusanku dengan hati lapang. Aku akan menghargai jika kau tidak perlu menemuiku lagi tanpa istrimu, aku benar-benar tidak nyaman.""Tapi matamu mengatakan hal yang lain, netra itu masih menunjukkan kejujuran yang sama bahwa kau juga merindukanku.""Lalu ada apa kalau memang benar? Itu tidak akan mengubah apapun Mas, kau sudah jadi milik orang dan aku akan melanjutkan hidupku dengan baik.""Baiklah," jawabnya dengan seulas senyum getir. Pada akhirnya ia membalikkan badan dan beranjak tanpa mengatakan apapun lagi. Melihat kepergiannya, kehilangannya dan sisa batangnya dari ker
Usai bicara dengan putraku, kututup ponsel lalu bangun dari kursi, kututup rapat pintu lalu menuju ke kamarku. Kurebahkan diri di tempat tidur, peluk bantal guling dengan penuh perasaan sedih dan hampa. Tak tahu kenapa, aku merasa kesepian, jenuh dengan kesendirian dan lelah dengan kehidupan seperti ini. Sesekali rasa hampa itu datang meski aku tak pernah mengesampingkan rasa syukur bahwa aku sudah mandiri sejauh ini, sudah bisa merawat anak anak hingga mereka tumbuh dan mengerti. Seharusnya aku tak perlu merasa sekesepian itu.Kuraba pembaringan yang ada di sisiku, itu kosong, hanya ada bantal, selimut dan kehampaan. Timbul kerinduan pada orang yang pernah kucintai, tak tahu kenapa, meski tahun tahun sudah bergulir mengapa aku masih mencintainya. Mengapa aku tak coba mengalihkan perasaan kepada orang lain atau menutupnya sama sekali untuk tidak lagi menerima cinta, mengapa aku bisa merasakan kembali hasrat dan sel sel romantis yang tiba tiba terbangun dari tidur panjang. Sungguh,
"Jadi kalau sudah begitu mau bagaimana lagi," ujarku pada Mas Fendi."Jangan terlalu dipikirkan, dia sudah punya banyak keluarga, luka hatinya akan membaik seiring berjalannya waktu, jangan khawatir, Fat.""Kok bisa segitunya ya, Mas?""Ya, mungkin karena dia sudah terlalu sayang dan cinta.""Kalau terlalu sayang jangan terlalu mengekang, kalau memang dia percaya padaku, mengapa dia sampai terus menyakiti orang lain dan mencurigainya, aku tak nyaman.""Tidak ingatkah kamu bahwa kamu juga berpartisipasi untuk menyakiti hatiku saat itu.""Konteks perbuatan yang kulakukan hanya karena cemburu dengan dokter Rudi, bukan karena aku ingin mencelakakanmu. Jadi tolong pahamilah keadaan itu dan maafkan aku.""Ya tentu saja aku memaafkan maksudnya kalau aku tidak memaafkanmu maka kita tidak akan bersama sampai sekarang." Aku tersenyum tipis dan mengajaknya masuk untuk ganti baju dan membongkar perhiasan yang menutupi kepala dan badan.Ada kejadian lucu ketika aku baru saja keluar dari kamar man
Perlahan langkah kakiku beranjak menyusuri jalan setapak ditaburi bunga menuju pelaminan, dengan diapit kedua iparku yang ada di kanan dan kiri aku melangkah anggun menebar senyum dan pandanganku ke tamu undangan. Mereka terlihat berdecak kagum dan tatapan mata mereka lekat padaku, ada ibuku, adikkuu dan Mba arimbi yang tak kuasa menahan air mata menyaksikan pada akhirnya aku jadi pengantin dan diperlakukan dengan layak.Ijab kabul sudah usai diikrarkan, kini aku dan suami duduk berdampingan di pelaminan diapit oleh anak dan orang tua kami. Ada senyum bahagia dan raut kegembiraan yang tidak bisa disembunyikan oleh Mas Fendi dari hadapanku dan tamu kepada tamu undangan yang memberi selamat."Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Mas Pendi sambil menggenggam tanganku yang sudah dihias dengan Inai Henna berwarna putih. Pada akhirnya ada cincin emas yang melingkar di jari manisku, cincin yang mengikat hubungan dengan sah, aku bahagia menatapnya sambil terus menyentuhnya."Alhamdulillah,
Mendengar kalimat yang sudah terlontar dari mulut semua orang, Yulisa tentu saja merasa sangat kecewa. Dengan kekesalan dan wajah penuh emosi wanita itu segera beranjak mengajak keluarganya untuk pulang. Jenis-jenis suasana di rumahku kembali seperti semula anak-anak sibuk bercanda dengan nenek dan bibinya sementara aku dan Mas Fendi pergi ke belakang untuk menyiapkan makan malam.Hari ini keluarga mas Fendi membawa banyak makanan yang rencananya akan kami nikmati bersama jadi aku bertugas untuk menyiapkannya di meja makan. Sambil menuangkan makanan ke dalam mangkuk, menghampiri dan menyonggengkan senyum kepadaku senyum godaan sekaligus ekspresi wajah penuh arti bahagia bahwa pada akhirnya aku mau kembali padanya."Terima kasih ya atas keputusan bijakmu karena pada akhirnya semua harapanku terkabul juga. Akhirnya kita bisa bersama lagi."Aku lakukan demi kebahagiaan anak-anak dan ibu mertua," jawabku lirih."Dan kebahagiaanmu sendiri bagaimana?""Iya ... Aku bahagia," jawabku pe
"Ya tentu saja boleh, kalau memang Bunda setuju dan ayah juga bersedia untuk kembali kepada kami ... asal beliau tetap setia dan bersikap baik, why not, kenapa tidak?" Jawab Yudi."Kalau begitu mari persiapkan acara lamaran, dan kita nikahkan orang tuamu dengan layak, nenek akan adakan hajatan untuk menyambut menantu baru karena dulu nenek tidak melakukan kenduri dengan layak untuk ibumu.""Ah, tidak usah begitu, Bu. Malu saya sudah tua...." Aku yang merasa tidak enak langsung saja menatap kedua anakku dan iparku."Jangan sungkan, kami akan lakukan yang terbaik untuk membahagiakanmu dan mulai sekarang Aku ingin melakukan segala sesuatu dengan layak untukmu," jawab Ibu mertua.Senyum di bibir ibu mertua dan kedua iparku juga anakku terkembang bahagia mereka saling merangkul dan bersorak gembira bahwa aku dan ayah mereka akan kembali bersama lagi. Tak lama dari situ motor Mas fendi da tiba di depan rumah. Tentu saja dia kagetan merasa heran karena tiba-tiba rumah kami ramai dengan ora
Mendengar jawaban anak-anak yang tegas, kedua bibinya saling memandang dengan tatapan yang mungkin pusing dan putus asa."Gimana Tante Apakah nenek akan mau datang ke sini?""Kami tidak tahu ya tapi kami akan mencoba bicara dengannya.""Saya pun juga berharap nenek bisa datang.""Nak, kita mengalah aja," bisikku, "kita kan yang muda ya.""Tidak Bu, Jika nenek punya niat baik, biarkan beliau menunjukkannya.""Tapi itu akan memberatkan untuk beliau.""Tidak akan berat jika nenek punya niat baik jika beliau sudah mengirimkan kedua tante untuk datang ke sini itu artinya beliau sudah setuju atas segala kemungkinan.""Baiklah," jawabku lirih.Usai berbincang panjang lebar akhirnya Dewi dan Yanti memutuskan untuk pamit pulang karena hari sudah menjelang petang. Cepat ku tawarkan agar mereka makan malam bersama kami tapi kedua wanita yang statusnya belum menikah itu menolaknya dengan halus."Justru kami berharap Mbak Fatimah dan anak-anak yang bisa datang ke rumah besok malam untuk menikmati
Selama seminggu tinggal di sukamaju anak anak sangat menikmati waktu dan kegiatan mereka, pun Mas Fendi yang kini bekerja sebagai supir pengantar barang di sebuah perusahaan distibusi makanan ringan dan sembako sering mampir untuk sekedar membawakan anaknya makanan. Belakangan kami sering makan malam bersama, bertukar pikiran dan cerita keseharian, sering bercanda dan tertawa, seakan lepassejenak dari semua beban pikiran yang menghimpit. Bila tiba pukul sembilan malam Mas Fendi akan izin pulang dan kami pun melanjutkan istirahat.*Suatu sore, saat aku sedang menyaou halaman datanglah kedua adik Mas Fendi, Yanti dan dewi, mereka menyapa dari balik pagar besi lalu aku bergegas membuka pintu kemudian mempersilakan mereka masuk.“Mbak kami ke sini cuma mau tanya, apakah belakangan ini Mas Fendi merasa nyaman datang ke sini?”“Kalau masalah merasa nyaman aku gak tahu ya … tapi dia nampak sekalli merindukan anaknya dan mencari momen yang tepat untuk bersama mereka. Aku sih, tidak berhak me
Sungguh sedih dan teriris hati ini mendengar percakapan antara ayah dan anaknya. Mendengar bagaimana anak memprotes dengan cara menyentil perasaan ayahnya dan membuat Mas Fendi terpaksa menyadari segala sesuatu yang selama ini sudah keliru ia lakukan.Kalau memang dia tahu betapa berat hari-hari yang kujalani tanpa kehadirannya bagaimana aku membesarkan anak-anak tanpa bantuannya sepeserpun, harusnya dia merasa malu dan berusaha untuk mengganti semua itu. Bukan tentang uang yang aku inginkan tapi bagaimana yang mencuci semua itu dengan pertobatan dan sikap baik. Jujur saja aku belum terbuka untuk rujuk dengannya tapi aku bisa mempertimbangkan itu ke depannya jika anggota keluarganya menyetujui hubungan kami serta Mas Pendi mulai merubah perilaku dan arah hidupnya.Aku ingin dia kembali ke berjuang membangun harga dirinya dengan bekerja secara mandiri. Tidak ikut lagi bertanggung jawab atas kebun sang istri, atau bergantung hidup pada orang lain. Aku ingin dia benar-benar menata keman
Seusai makan kubiarkan anak-anak dan ayahnya duduk di ruang tv sambil menikmati tayangan. Aku sendiri duduk ke teras sambil menikmati udara malam karena selepas makan dan cuci piring tadi aku merasa sedikit berkeringat dan gerah.Sebenarnya tadi tetanggaku melihat kehadiran Mas Fendi dan mereka tahu betul bahwa mantan suamiku masih ada dalam rumah karena suara gelak tawa dan candaannya bersama anak-anak juga terdengar sampai keluar. Tapi entah kenapa keadaan terasa begitu adem dan tenang, seolah tidak ada mata yang melihat dengan sinis atau seseorang yang akan melaporkan kejadian itu pada RT dan menimbulkan kekacauan."Ah lagi pula Mas Fendi hanya datang mengunjungi anak-anak, kami tidak melakukan dosa atau berzina, jadi apa salahnya?"ku tetap teh hangat yang kubawa dari dapur sambil menghela nafas dan menatap langit.Di langit malam yang tertutupi awan kelabu cahaya bulan terlihat malu-malu, sinarnya yang lembut seolah memberi suasana tersendiri yang membawa pada kenangan dan hal
Dengan cara apa aku harus melawan reaksi masyarakat akan tudingan mereka tentang diriku yang katanya mempermainkan rumah tangga Mas Fendi dan Yulisa. Dengan cara apa aku menjelaskan kalau aku tidak terlibat, tidak sama sekali terlibat hubungan dengan suami orang. Sebagian yang tahu keseharianku memaklumi dan membelaku, tapi bagaimana yang tidak. Terlebih jika mereka mendengar agitasi yang diembuskan keluarga Yulisa, orang orang bisa dengan cepat membenciku hanya dari kabar yang mereka dengar saja. Mereka akan memusuhi hanya karena tuduhan yang tidak terbukti, begitulah pola fitnah merusak penilaian seseorang terhadap orang lain.*Sabtu sore, kedua putraku pulang dari kota, alangkah senang hati ini ketika pulang dari pasar dan melihat mereka sudah duduk di teras dan langsung menghambur menyambut kedatanganku. Kupeluk kedua anakku aroma tubuh mereka yang baru usai mandi seketika melenyapkan semua rasa lelah dan penat selama di pasar tadi. Maklumlah selama berjualan di pasar para penj