Kuputuskan untuk tidak memandang pada Mas Fendi daripada membuat kesalahpahaman pada istrinya, kupilih memiringkan badan selalu menutup wajah dengan selimut. Masih bisa kudengar wanita itu terus menggumam manja, minta dibelai, dipijiti, diambilkan minum dan dipeluk.
Masya Allah, sungguh manja wanita itu. "Apapun yang terjadi, aku tidak perlu merasa kecil hati atau iri," gumamku dalam hati, "hubungan kami sudah berakhir, jadi akan kuanggap Mas Fendi sebagai batu dan batang kayu saja." Pertolongan itu akhirnya datang, seorang perawat dan rekannya menyapaku dan mengajakku pindah kamar. Sungguh lega perasaan ini bisa meninggalkan UGD dan pemandangan menyakitkan mata itu. "Ayo, Bu, kita pindah." "Iya, terima kasih," jawabku. Kurapikan posisi, juga rambutku yang terurai panjang, brankar didorong, ketika melewati Mas Fendi pria itu nampak melihatku lagi, menatapku dengan pandangan sedih, aku tertegun namun aku hanya bisa diam saja. "Ibu, kalau butuh sesuatu, panggil saja ya," ucap Perawat kala sudah meletakkan ranjang di ruangan baru. "Iya, terima kasih." "Oh ya, tidak punya kerabat ya?" "Tidak, anak saya sekolah di luar kota," jawabku. "Oh, baik, Bu. Istirahatlah ya Bu, saya permisi dulu," balas perawat berbaju biru itu. Karena sejak tadi masih terus bergelut dengan perut melilit dan.kepala yang pusing, maka kuputuskan untuk memejamkan mata dan merehatkan sejenak pikiran ini. Kupasang badan ke posisi nyaman, membiarkan selang infus mengalir lancar lalu aku melenakan diri dengan mata terpejam. Entah kenapa mau tidur saja bayangan Mas Fendi kembali datang ke pelupuk mata, dalam keadaan setengah sadar dan sudah mau tidur saja tiba tiba kelebatan memori tentang hal hal indah dan kemesraan kami berkelebat. Ada ingatan tentang peluk, cium dan bagaimana luar biasanya percintaan yang pernah terjadi di antara kami. Bayangan di tempat tidur saat tubuh dan napas kami saling beradu. Tiba tiba aku tersentak kaget, seolah terdorong dan ingin jatuh dan langsung mengucapkan istighfar. "Astagfirullah hallazim," ucapku sambil membuka mata. Baru sedetik buka mata, orangnya sudah ada di depanku. Dia berdiri dan menatap mataku dengan pandangan sendu penuh rindu. Lagipula, kalau bukan rindu, apalagi? nafsu? Tidak mungkin, kami sudah bercerai! "Ka-kamu?' dadaku berdegup kencang mendapati orang yang baru saja tak hadir dalam mimpiku berdiri di depanku dan itu pun tanpa menghadirkan suara apa-apa. "Iya, aku, aku membawakan roti dan minuman," jawabnya. Aku yang tak mau terus beradu pandang langsung mengalihkan wajah dan melihat tembok di sekitarku. Mau kerja apa aku tidak mau kerinduan itu semakin melecut-lecut dan keinginan liar dalam hatiku kembali tercipta lagi. Ah tidak, maksudku bukan keinginan liar untuk berbuat di luar batas, seperti contoh mengulang cinta dan bercinta ... namun begitulah, aku ingin menghindarinya. "Jangan hadir di sekitarku karena aku tidak mau dilihat orang lain dan menimbulkan gosip terlebih di sini ada istrimu!" "Apa salahnya aku hanya menjengukmu," balasnya pelan. "Aku berterima kasih tapi sekarang pergilah,"jawabku sambil masih melihat dinding. "Hmm, setidaknya lihatlah wajahku sekali saja," bisiknya sambil mendekatkan wajah. Jangan tanya debaran dadaku saat dihampiri cinta pertama dan cinta masa kecil dalam hidupku. Meski aku kecewa dan menyimpan duka, tetap saja cinta itu tak bisa kubendung. Sungguh, aku tak mau menghadirkan rasa aneh di hatiku lagi. "Aku tidak ingin menatapmu!" "Kumohon, Fatimah," ucapnya pelan, mendayu dan seolah membuka tabir perasaanku yang selalu tersentuh jika suara lembut itu menyapa pendengaranku. Perlahan aku melihatnya, mengumpulkan keberanian agar dia segera menjauh dariku, pandangan mataku bertemu dengan netra coklat yang dibingkai alis tebal yang menegaskan wajah maskulin, yang dulu diidolakan oleh gadis-gadis satu kampung. "Aku masih mencintaimu," ucapnya sambil perlahan mundur dan menjauh dariku. Ucapan seperti itu membuatku langsung terhenyak dan kaget tidak terima sekaligus senang juga karena dia masih menyimpan rasa yang sama. Ah tidak, rasa itu seharusnya tidak boleh sama karena posisi kami sudah berbeda. Aku masih menjanda sebentar statusnya adalah suami orang. Kami tidak boleh menghadirkan rasa yang dulu Ada ke masa sekarang karena itu bukanlah pilihan yang tepat. Sebaiknya cinta yang pernah hadir dalam hatiku, cinta yang begitu besar untuknya, kusimpan sendiri saja. Kami sudah berpisah dengan cara begitu dramatis dan menyakitkan, seharusnya itu sudah cukup untuk menjadi alasanku membencinya. "Aku tidak mendengarmu," ucapku sinis. "Aku merindukanmu dan rasa itu tidak pernah pudar di hatiku sampai sekarang." Aku yang gengsi tentu saja merasa bahwa kalimat itu hanya melecehkanku. Aku kesal dan tidak ingin mendengarkan kalimat cinta lagi meski sebenarnya hatiku haus kasih sayang dan kesepian. "Terima kasih atas puisimu sekarang Tolong biarkan aku tidur dengan tenang. Uruslah istrimu dan jangan temui aku lagi karena itu akan membuatku lebih nyaman!"Ah, ada ada saja, bisa bisanya ... Sempatnya dia datang untuk mengucapkan itu. Meski tidak terlihat bercanda, tetap saja, aku kurang suka. Hatiku memang sepi, tidak munafik, semenjak dia meninggalkanku, aku menutup hati untuk cinta yang lain. Aku trauma dengan luka dan tak bisa memberikan cinta atau kepercayaan yang sama untuk pria lain.Hatiku terkunci untuk satu nama dan itu sudah tidak bisa diganggu lagi. Sayangnya, nama yang terpatri di hati sudah pergi dan jadi milik orang lain."Kurasa ini hanya perasaan sesaat, perceraian sudah tujuh tahun berlalu, dan rasa itu tak mungkin tumbuh subur lagi," gumamku sambil mengatur napas dan memutuskan untuk tidur lagi.Namun, baru ingin tidur lagi, tiba tiba terdengar suara ranjang dorong rumah sakit mendekat ke ruangan tempatku. Aku mulai merasa feelingku tak nyaman, jangan jangan ... ah, jangan sampai kami sekamar lagi dengan wanita rese' yang hobi pamer itu. Aku tidak mau pikiranku tak nyaman lagi.Tapi, berdoa seperti itu nampaknya tidak
"Permisi, apa kau bicara itu tentang aku, Yuna dan Yudi?" tanyaku pada Ibu mertua."Eh, Fa-fatimah, kau di sini?" "Iya, aku di sini, aku mendengar semua ucapan ibu!" Jawabku sambil menahan rahangku yang bergeletuk. "Oh ya, ibu bilang apa tentang anakku, anak wanita haram jadah?!""Eh, kau hanya salah dengar saja, Dik," ujar Kak Iksan, kakak iparku yang kebetulan datang dengan istrinya."Apa ... Kau sengaja sakit untuk bertemu dengan Fendi?""Apa? Seniat itu untuk bertemu anakmu? Maaf, dia tidak sepenting itu!" jawabku sengit. " Dan ya, kamu bilang apa Bu, kamu bilang anakku tak balas Budi dan tidak pernah berterima kasih atas pemberianmu setiap bulannya. Kalau boleh tahu sejak kapan Ibu memberikan kami uang, berapa uangnya dan mana bukti pemberiannya? Setahuku kami tidak pernah mendapatkan sepeserpun darimu Ibu!" Aku menjawab sembari mempermalukan dia di depan menantunya. Beraninya dia mengucapkan kalimat itu seperti itu padahal dulunya Aku adalah menantu yang digadang-gadang palin
Tiba-tiba kantung kemihku terasa pening karena ingin segera dikosongkan sementara kepala juga pusing dan pandanganku rasanya berputar-putar ketika aku hendak bangun dan duduk beberapa saat."Ya Tuhan, kalau begini aku tidak akan bisa ke kamar mandi." Aku menggumam dengan air mata yang ingin menetes dari pelupuknya.Ah, waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, nyamuk nyamuk beterbangan dan mengganggu sekali. Pintu terbuka hingga kabut dan cuaca dingin yang meluncur turun dari pegunungan terasa menusuk tulang. Aku Ingin menutup pintu tapi tidak berdaya sekali.Sepertinya aku harus ke kamar mandi karena kalau aku menahannya sebentar lagi maka aku akan mengompol di tempat tidur. Namun baru saja berusaha untuk bangun tiba-tiba ponselku berdering dan itu adalah nama anakku yang tertera di sana."Halo assalamualaikum, Yuna.""Walaikum salam Ibu.""Apa kabar sayang, bagaimana sekolahnya?""Lancar, tadi baru saja ujian tengah semester," jawabnya."Ah, bagus, ibu senang sekali," jawa
"Mas!" kudengar Santi yulisa terbangun. Dia duduk dan melotot melihat posisi suaminya yang berdiri sambil buru buru menyeka air mata di depanku."Mas, kamu ngapain, kenapa ada di sini!" wanita itu masih berteriak meski dalam keadaan lemah."Aku membawanya masuk karena di luar dingin, juga kasihan, yulisa.""Heh, kamu ga sadar sudah masuk dalam perangkapnya Mas? Wanita itu sengaja keluar dan mengorbankan diri agar kau jatuh Iba dan kembali menyayanginya. Dia wanita yang licik!""Sudahlah Santi istriku, kalau kau di posisi dia, sanggupkah kau bertahan di cuaca 18 derajat dan angin yang kencang, ditambah kau sedang sakit? Tolonglah, Kau boleh jadi tidak menyukainya tapi janganlah bersikap kejam. Toh, sekarang, aku suamimu, dan pikiranku tak akan tertuju kepada selain kamu dan keluarga kecil kita.""Lalu apa yang kau lakukan di depannya?""Hanya memberinya air.""Apa dia tak bisa minum sendiri?""Dia hanya sulit menjangkau. Aku hanya melihat bantuan padanya sebagai sisi kemanusiaanku, buk
"Yuna, Yudi?""Iya, ini kami apakah ayah tidak mengenal kami?" Tanya Yudi dengan wajah heran."Ah, sudah lama kita tidak berjumpa..." Mas Fendi tertawa canggung sekaligus salah tingkah di depan anaknya."Sekampung, hanya beda dusun satu kilometer, tapi tidak berjumpa sama sekali, itu lucu ya Ayah," ucap Yudi."Bukannya ayah tidak mau ketemu kalian, hanya saja....""Ayah tak sempat, Ayah ragu kami akan menolak, Ayah takut pada Ibu, ataukah istri ayah melarang?""Tidak begitu Nak...""Jangan coba membela diri ayah, kami tahu apa yang sebenarnya ayah pikirkan. Sekarang kita berjumpa ... Apakah ayah merasa canggung?""Tidak juga.""Iya, jangan menyangkal. Lucu ya, ada manusia yang canggung pada anaknya...." Sindir anakku pada ayahnya. Kugenggam tangan Yudi untuk mencegah anakku bersikap di luar kendali. Sementara itu, aku dan istri Mas Fendi saling bersitatap dengan pandangan permusuhan yang pekat."Lihat kurang ajar sekali anak anak itu di bawah asuhan istrimu," ucap Wanita itu sambil t
Keesokan hari, kondisiku membaik, ajaibnya sejak kedatangan anak anak, aku jadi membaik dan bersemangat. Sakit yang kemarin melilit lilit perut seakan lenyap begitu saja tanpa sisa. Dokter saja sampai tidak percaya mendapati kondisiku yang kini baik baik saja. "Kalau begitu ibu pulang saja," ucap dokter."Benarkah dok, wah terima kasih," ucapku berbinar."Syukurlah, jadi, ibu kami tak akan makan hati," ujar Yuna sambil melirik ayah mereka yang sibuk menyisir rambut sang istri. Ah, semanja itu wanita berambut panjang dan cerewet itu pada suaminya yang sekarang."Baiklah, sebentar lagi petugas akan datang mencabut selang infus, adik adik tolong tanda tangani surat kepulangan pasien ya, ikut saya.""Iya, dok, siap."Kedua anakku mengikuti dokter sementara tinggallah aku sendiri di sini, memandang mantan suami dari balik tirai yang tersibak. Dulu, dia juga menyisir rambutku, dia membelai dan memeluk sebelum kami berangkat tidur, dia menyisir rambut dengan hati hati sambil menciumi aro
Sudah seminggu yang lalu, sejak keluar dari rumah sakit, kini aku merasa sudah sehat dan siap untuk bekerja lagi. Anak-anak juga sudah kembali ke kota untuk melanjutkan pendidikan mereka. Tak lupa aku berikan sedikit uang untuk bekal mereka dan menitipkan pesan agar mereka tetap hidup dengan prihatin dan rajin ibadah.Pagi ini, setelah selesai sarapan dan membersihkan rumah, menyirami tumbuhan dan tanaman mawar milikku, kubersihkan diri lalu mengenakan pakaian yang pantas kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke pasar. Sudah seminggu lapak sembako tidak dibuka jadi aku rindu suasana pasar dan rindu pembeli yang suka menawar sampai ke titik akhir. Heheheh.Ketika kukunci rumah, tetanggaku Mbak Elsa menyapa."Sudah sehat dan siap ke pasar Mbak?""Sudah. Alhamdulillah.""Wah, mbak cerah sekali.""Harus semangat untuk anak," jawabku dengan lantang dan tawa renyah."Alhamdulillah.""Yuk semangat lagi kita," ucapku pada wanita yang berprofesi sebagai guru itu.Ku keluarkan motor dari garas
Sejam berlalu, sejam berlalu setelah kejadian tak mengenakkan tadi. Aku dan Mbak Rimbi masih berbincang, sesekali si mba merutuk akan kelemahan mantan suamiku yang sama sekali tak bisa menasehati istrinya. Dia lemah dan tak berkutik saat wanita itu berbuat semaunya. Seharusnya, sebagai laki laki ia tunjukkan wibawa dan prinsip, ia harus berani dan tegas mengatakan sesuatu dan mencegah yang salah. Sayangnya ... Ah, aku hanya bisa menggeleng pelan mengingat sulitnya keadaan dia meghadapi wanita seperti ini."Kok kamu dulu bisa cerai ya?""Hmm, begitulah, keadaan dan kekurangan memaksa kami berpisah. Keluarganya meminta suamiku merantau lalu dalam beberapa bulan semuanya berubah, aku dipaksa untuk bercerai dan diusir dari rumah bersama kedua putraku. Aku difitnah berselingkuh hingga Mas Fendi salah paham dan murka. Kami berpisah seperti itu ....""Tapi, kenapa kamu tidak menjelaskan kepada Fendi?""Keluarganya mencegah pertemuan kami lagi pula kesalahpahaman yang terjadi membuat Mas Fen