Zoya terdiam di undakan tangga saat mendengar panggilan dari Gama. Zoya menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan.
Dia tau siapa yang memanggilnya hingga ia tak ingin menoleh dan lebih memilih untuk menunduk. Egois sedang mendominasi diri Zoya sampai dimana dia mengabaikan sopan santun. "Jangan katakan apapun, Kak! Zoya tau apa yang akan kakak pertanyakan." "Bagaimana dengan jejak di tubuh…." "Kak aku mohon! Jangan ungkit itu lagi!" pinta Zoya lalu melangkah panjang meninggalkan Gama yang diam dengan helaan nafas berat. Namun setelahnya pria itu mengedikkan pundak dan masuk kamar tanpa beban. Zoya tak terima apapun sikap Gama padanya. Bagi Zoya itu hanya akan memperkeruh suasana. Mereka harus memiliki batasan jika perlu menjadi asing agar lebih nyaman melanjutkan hidup masing-masing. Walaupun Zoya tau perangai Gama yang sebenarnya baik tetapi setelah malam itu, pandangannya pada Gama tak lagi sama. Zoya nampak ragu untuk masuk kamar. Rasa takut membuat nyalinya menciut. Bayangan akan kemarahan Zein semakin terlihat nyata di depan mata. Bagaimana jika Zein kembali murka? "Ya Tuhan aku harus beralasan apa agar Mas Zein tidak meminta malam ini? Tidak mungkin aku melayani. Aku tidak sanggup untuk meladeni kemarahannya malam ini." Kedua mata Zoya terpejam kuat. Rasanya ingin lenyap sejenak hingga Zein terlelap. Namun menghindar bukanlah pilihan baik untuk menyelesaikan masalah. Zoya menarik nafas dalam sebelum dia masuk dan menghadapi Zein. Perlahan Zoya membuka pintu kamar. Terlihat Zein sudah membuka pakaian dan hanya menyisakan celana pendeknya saja. Semakin ragu Zoya untuk masuk tetapi pergerakannya justru memberikan kesempatan pada Zein saat tangan begitu lancar mengunci pintu kamar. "Mas..." Zein melangkah mendekat dan menarik pinggul Zoya hingga masuk ke dalam pelukannya. Mengecup bibir ranum milik Zoya tanpa memberi kesempatan untuk Zoya menolak dan menghindar. Tangannya pun mulai bergerilya sesuka hati membuat Zoya semakin panik. "Mas maaf, malam ini aku sedang tidak bisa," lirih Zoya setelah Zein melepaskan pagutan dan mulai turun mencumbu leher jenjangnya. Zein terdiam mendengar penolakan dari Zoya. Rahangnya mengeras mendengar Zoya yang mengatakan jika dirinya sedang tak bisa disentuh. Rasa ingin sekejap berubah menjadi kekecewaan yang mendalam. Tatapan keduanya kembali beradu dengan kedua mata Zein yang tajam siap untuk mengamuk. Tak lama Zoya tersentak saat Zein melepaskan tubuhnya dengan kasar. "Bukannya baru seminggu yang lalu, Zoya? Kamu berbohong kepadaku? Apa yang kamu sembunyikan dariku?" Zoya menelan kasar salivanya. Begitu sulit menghindari. Tatapan suaminya begitu mengintimidasi dan pertanyaan itu seakan menjawab arti kata penolakannya. Namun Zoya harus bisa membuat Zein percaya. Sekuat hati dia bertahan menatap kedua mata Zain yang semakin membuat nyalinya habis. "Tadi sore keluar flek, Mas. Mungkin karena aku kecapekan karena kegiatan semalam. Besok malam aku usahakan bisa," jawab Zoya dengan lirih. Sekuat hati meraih tangan Zein tetapi dengan cepat pria itu menepisnya. Zein tak menjawab apapun. Pria itu mendengus kesal kemudian melangkah menuju kamar mandi. Membanting pintu kamar mandi demi melampiaskan amarah yang sudah memuncak karena malam ini pun tak lagi bisa menuntaskan rasa inginnya. Zoya menghela nafas lega. Setidaknya malam ini dia bisa mangkir demi menyelamatkan diri dari amukan Zein. Namun hati semakin bersalah pada suaminya. Tidak pernah sekalipun Zoya menolak. Malam ini perdana dia lakukan dan rasanya sungguh sangat menyesal. "Maafkan aku, Mas. Aku yang salah." Pagi ini Zoya kembali sibuk dengan segala aktivitasnya sebagai istri. Sebelum ke kantor, Zoya lebih dulu menyiapkan semua kebutuhan suaminya. Zoya bergegas turun ke dapur untuk membuatkan sarapan. Kebetulan Bibi sedang pulang kampung jadi semua harus Zoya yang mengerjakannya sendiri. "Kopinya, Mas!" ucap Zoya saat melihat Zein turun dengan pakaian kantornya. Zoya sudah membuatkan dua cangkir kopi untuk suami dan juga kakak iparnya. Meletakkan di meja masing-masing hingga keduanya turun siap untuk sarapan. Zein hanya berdehem lalu menyeruput kopi buatannya. Zoya tersenyum melihat itu tetapi dia sama sekali tidak menawarkan Gama minum. Zoya enggan bersinggungan. Menganggap tak ada meskipun tak lupa juga membuatkan untuk kakak iparnya. Setidaknya kebenciannya pada Gama tak terlihat oleh Zein. Zoya masih berusaha bersikap normal seperti biasanya. Namun agaknya Gama tidak mempermasalahkan akan sikapnya yang tak seperti biasa. Dengan santai pria itu menyeruput kopi dan bersikap seakan tak terjadi apa-apa. Bagi Zoya ini tidak terlalu buruk dan berharap Gama tak menyinggung hal itu. "Mas, boleh aku menumpang mobilmu? Ikut sekalian ya. Pagi ini aku agak kurang enak badan. Boleh ya?" tanya Zoya dengan penuh harap, karena dia sedang malas sekali naik taksi. Sebenarnya bisa saja ikut dengan Gama. Namun pria dingin itu tak mungkin sudi jika dia ikut. Hubungan keduanya pun tak seakrab itu, seperti memiliki batasan karena paham hanya ipar. Ditambah lagi setelah apa yang terjadi dengan mereka. Zoya pun sudah terbiasa menjaga jarak dengan kakak iparnya. Tak menjadikan satu tujuan sebagai alasan untuk pulang pergi bersama. "Aku harus langsung ke lokasi. Ada meeting pagi ini dengan klien penting," tolak Zein dengan sikap datar. Pria itu segera minum air putih lalu beranjak dari sana. Sementara Zoya yang melihat suaminya sudah ingin berangkat, buru-buru meninggalkan makannya dan ikut beranjak dari sana. Zoya buru-buru mengejar Zein yang sudah lebih dulu melangkah keluar rumah. Terlihat suaminya begitu tergesa masuk mobil dan meninggalkannya begitu saja. Malang betul nasibnya, mendapatkan penolakan di saat hati sedang gundah. Kenapa tidak bisa sedikit saja bersikap manis agar tak menimbulkan pemikiran buruk orang lain? "Mas kamu tuh..." Zoya mengangkat kepalanya agar air mata tak lagi membasahi pipinya pagi ini. Sudah biasa ditolak tetapi entah mengapa pagi ini rasanya sungguh sangat menyakitkan. Sampai dimana orang yang sangat ia hindari kembali menghampiri. "Mau bicara apa lagi, Kak? Kamu sudah tau semuanya!" ujar Zoya pada Gama yang hanya mengangkat kedua alis mendengar ocehanhya. "Miris! Kamu terlalu naif, Zoya!" "Kak!" pekik Zoya.“Masuk ke mobil!” perintah Gama terdengar lugas. "Terima kasih. Aku lebih tertarik naik taksi," tolak Zoya dan bergegas kembali masuk ke dalam rumah untuk Bersiap-siap. Tak ingin dia dikasihani oleh Kakak iparnya yang pagi ini pun membuat geregetan. Sesampainya di kantor, Zoya bergegas untuk turun dari taksi online dan berlari masuk ke dalam kantor menuju lift agar cepat sampai ke ruangannya. Beruntung belum telat meskipun dia sudah di penghujung waktu. Namun sialnya masih harus melewati lift khusus karyawan yang terkenal penuh sesak. Pagi-pagi lift karyawan selalu ramai. Dia yang baru datang sudah pasti terjebak antrian. Tak seperti lift khusus CEO yang lancar jaya. Belum lagi saat penuh begini tercium bermacam-macam aroma yang membuatnya mual. Sungguh ujian setiap pagi di waktu yang mepet. Zoya berdiri agak belakang sembari menunggu gilirannya untuk masuk. Ekspresinya gelisah dan terus menerus melirik ke arah jam tangan, karena tinggal tersisa lima menit lagi untuk b
Zoya terdiam masih berdiri menunggu Gama yang terus sibuk tanpa memperdulikan dirinya. Sudah hampir satu jam berlalu setelah pria itu menahannya untuk tetap di sana. Terus menunggu tetapi Gama nampak santai saja tanpa menyentuh berkas yang ia berikan. Zoya frustasi sendiri, kakinya pegal sekali tetapi Gama tetap cuek seakan tak minat. Sengaja menahannya tanpa kejelasan. Rasanya Zoya ingin mengumpat pria itu tapi semua hanya di angan karena dia tak seberani yang dibayangkan. Zoya mendengus kesal, terdengar helaan nafas kasar darinya yang ternyata bisa menarik hati pria itu. Gama melirik ke arahnya dan menyandarkan tubuh di kursi kebanggaannya. "Bosan?" "Anda masih sibuk, Pak." "Tidak sabaran." celetuk Gama yang kemudian berdecak dan mengambil berkas yang Zoya berikan tadi. Meneliti beberapa saat dan kembali menatapnya dengan lekat. Zoya menegakkan tubuhnya saat sadar Gama memperhatikan. Berharap tak ada yang harus kembali direvisi agar dia bisa mengerjakan pekerjaan
Zoya menarik nafas dalam dan beranjak dari duduknya. Sekuat hati dia berusaha untuk tetap tenang. Ingat, harus banyak bukti untuk bisa memberontak dari pria seperti Zein jika tidak ingin hanya dijadikan angin lalu oleh pria itu. Zoya tersenyum menyambut langkah suaminya yang mendekati dan segera mengambil alih tas dan juga jas Zein. Sebenarnya ada rasa takut untuknya kelak memberontak. Zoya tak memiliki siapa-siapa lagi selain Zein. Jika dia dicampakkan oleh Zein lalu bagaimana dengan nasibnya kelak. Zoya melangkah mendekati Zein yang mulai membuka kancing lengan kemejanya. Dengan sigap pun Zoya mulai membantu membukakan kancing kemeja yang Zein kenakan. Aroma parfum yang sudah bercampur dengan parfum wanita membuat dada Zoya semakin sesak bahkan tangannya sedikit gemetar karena dia harus menahan rasa sakit yang semakin dalam. "Mas, tau kamu pulang lebih cepat. Aku tadi minta jemput sekalian. Aku lelah banget, Mas. Mana harus menunggu taksinya lama." "Jangan manja!" k
Zoya tersentak saat mendengar suara pintu kamar terbuka sangat kencang. Kedatangan Zein membuatnya yang baru saja terlelap seketika beranjak dari tidurnya. Zoya menatap heran saat Zein pulang sempoyongan tak seperti saat berangkat tadi. Zoya hendak turun dari ranjang untuk menyambut dan membantu tetapi dengan cepat Zein menghampiri. Zein menyibak selimut yang menutupi bagian tubuh bawahnya, hingga kedua mata Zoya terbelalak melihat itu. Terekspos lah kedua kaki jenjangnya yang putih mulus membuat kedua mata Zein berbinar melihatnya. Pria itu pun merangkak naik dan menyerang tanpa aba-aba. "Mas Zein!" "Layani aku, Zoya!" bisik Zein yang kemudian mendongak dan mencium ceruk leher Zoya yang terpampang indah, putih menggoda. Layaknya aliran sungai yang jernih begitu lancar mengalir lidah Zein menyusuri leher itu. Memberikan percikan gairah dan membangkitkan nafsu yang bercampur dengan rasa yang menggebu. Kedua tangan Zoya mencengkeram kuat sprei menahan gelora nikmat yang Z
Zoya terperangah mendengar tuduhan itu. Belum tenang hatinya karena Gama melihat kejadian semalam, Zein tiba-tiba menuduhnya berbohong hingga membuatnya ketakutan. Tatapan mata Zein begitu tajam padanya sampai Zoya sulit menelan kasar salivanya. Zein berdiri di hadapannya dan menekan tubuhnya hingga membuat Zoya sesak karena terhimpit oleh pintu dan tubuh pria itu. "A... Ada apa, Mas?" "Kamu pembohong, Zoya! Kamu mengatakan padaku jika masih belum bisa, tapi semalam apa? Satu tetes darah pun tidak terlihat. Sprei bersih sampai pagi. Sudah berani kamu membohongiku, hah?" "Mas!" pekik Zoya saat kedua pipinya ditekan kuat hingga kedua mata pun basah. Zein juga semakin menghimpit tubuhnya hingga ia sulit bergerak dan melepaskan diri dari pria itu. "Mas sakit, aku... " PLAK Kedua mata Zoya terpejam kuat merasakan panas menjalar ke seluruh pipi kanannya. Air mata itu pun tak lagi bisa dibendung. Bahkan dadanya begitu sesak hingga dia hanya bisa tertunduk terisak. Semalam
"Kopinya, Mas." Zoya meletakkan secangkir kopi di atas nakas tepat Zein sedang sibuk dengan ponselnya. Tanpa menjawab, pria itu pun terlihat sibuk sekali. Zoya duduk di hadapan Zein membuat pria itu melirik tajam ke arahnya. Tatapan penuh keraguan pun terlihat jelas dari kedua mata Zoya. Antara takut tetapi dia ingin apa yang Gama katakan tadi masih bisa diperbaiki. "Mau apa kamu?" tanya Zein seakan mengerti apa yang ingin dia lakukan setelah ini. "Hanya ingin berbicara sama kamu, Mas." Zoya meraih tangan Zein yang kosong. Menggenggam tangan itu kemudian menatap wajah Zein yang terlihat tak suka melihatnya. "Mas aku tidak bermaksud membohongimu. Aku minta maaf jika sikapku membuatmu marah tapi apa tidak bisa jika kamu sedikit saja lembut padaku, Mas? Aku ingin kita seperti dulu. Sebelum kamu kasar padaku, kamu pernah sangat lembut memperhatikanku, Mas." "Jangan banyak meminta, Zoya! Wajar di awal menikah pasti manis. Semua juga begitu. Kamunya aja yang berlebihan! Aku ng
"Dan apa jika aku mengatakannya sejak awal, kamu akan percaya? Ketika seseorang jatuh cinta dia seperti orang yang sedang mati rasa, Zoya! Kamu tidak akan perduli dan tetap fokus pada cintamu," kata Gama santai kemudian beranjak dari sana. "Keputusan ada di kamu. Tetap bertahan hingga sekarat atau berusaha lepas dari kesakitan. Aku hanya iba, karena kamu korban." Gama melangkah santai pergi dari hadapan Zoya. Semua yang pria itu katakan mengandung makna yang mendalam sedangkan Zoya saat ini begitu sakit mengetahui apa yang suaminya lakukan di luar sana. "Mas kamu sama siapa? Siapa wanita itu sebenarnya? Kenapa Kak Gama begitu mengenal? Sedang aku tidak bisa mengira-ngira." Pulang telat seperti sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Zein. Sudah beberapa hari ini Zein pulang semakin malam bahkan pagi. Tak ada lagi kehangatan yang Zoya rasakan. Zein begitu sibuk hingga membuatnya kesepian. Beralasan tak jelas dan tak mau banyak ditanya. Itulah sikap Zein setiap kali ingin
"Saya ijin pulang lebih cepat, Pak. Pekerjaan saya sudah selesai dan ini berkasnya. Maaf jika saya ijin lagi hari ini karena ada kepentingan mendesak yang tidak bisa saya tunda," ujar Zoya yang kini sedang meminta ijin pada manajer divisinya. "Mau kemana? Jika masih ada yang harus direvisi lagi bagaimana? Kamu sejak kemarin ijin terus. Jangan mentang-mentang memiliki hubungan dengan Pak Gama, Zoya! Kamu harus profesional dalam bekerja." "Baik, Pak. Maaf sebelumnya tapi kali ini benar-benar penting, Pak." Zoya harus mendapatkan ijin itu. Dia tidak bisa menunda lagi. Penasaran juga dengan siapa wanita yang bersama suaminya hingga membuat Zein berubah sikap bahkan sekarang semakin jauh saja. "Satu kali ini saja, setelah itu saya tidak akan menerima lagi apapun alasannya. Tidak ada pengecualian dalam bekerja, Zoya! Jika kamu begini terus, maka bisa menimbulkan kecemburuan sosial antar karyawan. Kami pun tidak akan membeda-bedakan kalian." "Baik, Pak. Maaf dan terimakasih atas i
"Aku tidak mengharapkan itu. Aku sadar posisiku tapi kalau Kakak mau menarikku sebagai pengantin pengganti, aku tidak keberatan. Aku mau dan akan menjalankan peran dengan baik," jawab Sena dengan lugas. "Kalau begitu bersiaplah!" sahut Gama membuat ketiga orang tua yang ada di sana menoleh menatapnya. Mereka terlihat sangat terkejut setelah mendengar penuturan dari Gama. "Gama apa kamu yakin, Nak? Lantas bagaimana dengan Zoya?" tanya Nenek pada Gama yang diam tak menjawab. Gama hanya menatap datar ke arah lain tanpa mengeluarkan suara. "Gama ini terlalu beresiko," ujar Nenek lagi. "Bukankah akan sangat merugi jika aku mundur? Banyak orang juga yang akan aku rugikan sekalipun aku mengadakan konferensi pers yang mana itu mendadak sekali. Tentu akan ada saja yang tidak tau dan akan tetap datang ke acara besok." "Mereka akan kecewa karena kabar itu belum mereka ketahui sebelumnya. Sementara sudah banyak waktu dan tenaga bahkan uang yang mereka keluarkan. Jika seperti itu, a
Gama tidak sama sekali mengatakan apapun. Gama memilih diam dan tak menimpali ucapan Sena. Tatapan iba wanita itu pun tidak Gama pedulikan. Gama kembali menundukkan kepalanya tak lagi menghiraukan ucapan Sena. Namun wanita itu mendekatinya dan duduk di samping Gama dengan tangan yang mengusap lengannya. "Kak, aku benar-benar prihatin akan musibah ini tapi aku harap kamu pun bijak. Jangan terus menangis dan merasa dirimu sedang sangat hancur! Aku tau musibah ini memang sangat menyakitimu tapi kamu harus bijak." "Apa maksudmu, Sen?" tanya Gama. Kali ini Gama terpancing untuk menanggapi ocehan Sena yang membuatnya sedikit bingung. "Maksudku, sedih boleh, tapi kamu pun harus tetap memikirkan acara besok, Kak. Bukankah undangan sudah tersebar? Bagaimana jika mereka hadir dan pengantinnya tidak ada? Bukankah kamu butuh pengganti untuk tetap melaksanakannya? Acara itu tidak mungkin batal Kak." Benar kata Sena, memang acara itu tidak mungkin batal, apalagi undangan sudah terseba
Untuk kedua kalinya, Gama merasakan ketakutan yang sama karena Zoya mengalami musibah tak terduga. Apa yang terjadi saat ini seperti sesuatu yang terulang kembali. Hal pait yang mengancam nyawa sang istri dan lagi-lagi karena kelalaiannya. Gama merasa bersalah karena semua terjadi saat Zoya tidak bersamanya. "Andai aku tidak meninggalkan dia sendirian. Ya Allah berikan aku kesempatan untuk menjaga titipanmu sekali lagi." Gama terduduk di depan pintu ruangan Zoya. Dia menekuk kaki dengan tatapan nanar ke depan. Sudah habis rasa penyesalan yang begitu banyak hingga seorang Gama kembali menangis. Diam Gama menunduk dengan menyembunyikan wajahnya. Namun kedatangan nenek dan juga Sinta membuatnya mendongak menatap keduanya. "Gama... Nak?" Nenek langsung berjongkok dan memeluk Gama. Rapuh Gama tak ada penolakan hingga nenek memberikan sentuhan untuk menguatkan. "Sabar, Nak! Sabar! Ini ujian untuk kalian. Kamu harus kuat, Nak! Zoya butuh doa dari kamu. Zoya butuh dukungan. Ins
Gama belum diperbolehkan masuk oleh Dokter karena alasan medis. Masih butuh waktu untuk ke tahap dimana Zoya bisa dijenguk. Sampai dimana Gama hanya bisa melihat dari celah jendela. Terdiam Gama memperhatikan dengan kedua mata yang basah. "Sayang... " Gama mengepalkan kedua tangannya kemudian memukul tembok tanpa mengalihkan pandangannya pada Zoya. Di sana, wanitanya tengah berjuang dalam kesakitan. "Ya Tuhan, kembali aku meminta padamu untuk keselamatan istriku." Gama menunduk dan menitikkan air mata. Dadanya bergemuruh setelah tau apa yang terjadi pada Zoya. Emosi Gama kembali menyala kala teringat penyebab Zoya mengalami musibah ini. "Dito, kamu pasti tau apa yang harus kamu lakukan. Cepat pergi sekarang dan jangan lepaskan pelakunya. Kalau perlu habiskan nyawanya sekalian!" perintah Gama. Kedua mata pria itu tajam menatap ke arah Dito yang mengangguk menyanggupi. "Baik, Tuan. Akan segera saya kerjakan." Dito pun bergegas pergi dari sana. Gama diam memperhatikan
"Rumah sakit?" Gama berlari kembali masuk mobil diikuti dengan Dito yang langsung duduk di kursi kemudi. Dengan cepat Asisten Dito melajukan mobilnya menuju rumah sakit terdekat tempat Zoya dirawat. Gama mengacak rambutnya dengan wajah kacau. Mendengar Zoya masuk rumah sakit, seketika tulangnya melemah hingga tak mampu untuk berdiri dengan tegak. "Cepat sedikit Dit! Aku sudah tidak sabar untuk tau kondisi istriku. Zoya pasti kesakitan saat ini." Sebetulnya Gama tidak tau apa yang Zoya derita saat ini, tapi masuknya sang istri ke rumah sakit tentu saja karena ada yang dikeluhkan. Itu semua karena Gama tidak lebih dulu mendengarkan apa yang security tadi ingin sampaikan padanya. Pikiran Gama sudah tak karuan setelah mendengar Zoya masuk rumah sakit sehingga langsung memutuskan masuk mobil. "Saya harap Tuan bisa lebih tenang." "Bagaimana aku bisa tenang, Dito? Tidak mungkin aku santai saat tau istriku sedang tidak baik-baik saja. Tadi Zoya sempat menghubungiku tapi sayang
Panggilan masuk ke dalam ponsel Gama tak membuat pria itu terganggu. Gama yang begitu sibuk, sama sekali tidak sadar jika ponselnya yang ada di dalam tas kerja berdering berulang kali. Yang Gama pikirkan saat ini hanya satu, perkerjaan selesai karena sudah diburu waktu. Sadar jika dirinya tengah ditunggu istri tercinta di kantor. Sementara di tempat kejadian perkara, Zoya mendapatkan pertolongan dari pihak mini market yang kini sudah memanggil tenaga medis untuk menolong Zoya. Banyak yang menghampiri tapi tak banyak yang berani menolongnya. Yang ada hanya menonton kejadian naas itu dengan wajah menahan ngeri. Apalagi kejadian ini diduga peluru nyasar tapi pihak berwajib yang datang tetap akan melanjutkan penyelidikan. Untuk mencari tau siapa yang membawa pistol tanpa ijin terlebih dahulu. Sayangnya Gama yang merupakan keluarga korban, setelah melihat panggilan keluar terakhir dari ponsel Zoya, justru tidak ada tanggapan. Hasilnya malah nihil, Gama tidak bisa dihubungi. Ya
Pekerjaan segera diselesaikan hari itu juga. Gama dan Zoya begitu giat karena memang ingin cuti. Jadi jangan sampai terlalu merepotkan Dito juga nantinya. Kasihan kalau sampai Asisten Dito dibuat repot sana sini. Sadar jika pekerjaan itu tanggung jawab mereka penuh. Khususnya Gama yang mana sebagai pemimpin di dua perusahaan. Siangnya Gama pun pergi ke perusahaan peninggalan sang Ayah. Gama meninggalkan Zoya yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Pria itu pergi bersama dengan Asisten Dito tanpa mengajak Zoya. Namun sebelum pamit pada Zoya. Gama memastikan dulu kalau Zoya tidak masalah ditinggal. Gama terlihat sangat perhatian dan tidak ingin Zoya merasa tidak nyaman karena ditinggal sendirian. "Aku hanya sebentar, di sana juga harus aku bereskan. Kamu kalau sudah, tunggu aku saja di dalam. Jangan pulang sendiri! Nanti aku jemput." Gama mengusap kepala Zoya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Biasa bersama, meninggalkan Zoya begini terlihat sangat-sangat berat sekali.
Zoya menatap semua orang yang ada di sana. Mereka semua terlihat tak percaya dengan apa yang mereka dengar sedangkan sebelumnya orang-orang itu sudah memprediksi jika dirinya ada hubungan terlarang dengan kakak ipar. Apalagi video dulu yang tersebar, mereka tau akan itu. Hanya saja memang Zoya dan Gama yang menjaga jarak, sempat mematahkan apa yang menjadi pemikiran mereka. "Bapak serius? Mendadak sekali, Pak? Tidak terlihat tau-tau menikah." "Iya Pak, tapi kami doakan semoga langgeng. Sakinah, mawadah, warahmah." "Aamiin... " Zoya mengangguk ramah dan tersenyum mendengar itu. Zoya menoleh ke arah Gama yang semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tatapan keduanya bertemu hingga Gama gemas dan mengacak rambutnya. Lagi-lagi keharmonisan itu membuat para karyawan yang melihat mereka nampak terkesima. "Undangan akan saya berikan via online. Saya juga meminta pada kalian untuk bekerja dengan baik. Saya akan ambil cuti. Jadi saya tidak ingin ada masalah pada kalian dan per
Entah mengapa Zoya merasa curiga dengan keceriaan Sena. Wanita itu begitu mudah mengiyakan. Bukankah Sena suka dengan Gama? Harusnya tidak senang dengan apa yang akan terlaksana nanti. Usai sarapan, Zoya dan Gama pamit untuk berangkat ke kantor. Ini hari terakhir mereka bekerja sebelum besok mempersiapkan diri untuk hari pernikahan mereka. Tak ada orang tua dan sanak saudara yang sangat dekat, membuat keduanya lebih mendiri menghadapi semua ini. Gama juga tidak terlalu memusingkan karena selagi ada uang, semua bisa beres dengan cepat. Zoya pun berusaha untuk santai walaupun sebenarnya dia agak deg-degan menghadapi banyak tamu nanti yang pastinya memiliki pemikiran beragam pada mereka. "Dito, kita adakan meeting! Siapkan semua karyawan dan minta mereka berkumpul di bawah!" perintah Gama. "Baik, Tuan." Asisten Dito pun segera melaksanakan tugas. Pria itu segera mengumpulkan semua karyawan tanpa terkecuali melalui para manager tiap-tiap divisi. Gama pun bersiap untuk it